- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ribuan Buruh Bakal Demo Besar-Besaran 1 September. Dana DEMO Kayaknya Sudah Cair?
TS
ts4l4sa
Ribuan Buruh Bakal Demo Besar-Besaran 1 September. Dana DEMO Kayaknya Sudah Cair?
Ribuan Buruh Bakal Demo Besar-Besaran 1 September
27 AGS 2015
Rimanews - Ribuan buruh dari berbagai elemen mulai dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) berencana berunjuk rasa besar-besaran pada 1 September 2015 di beberapa titik di Jakarta,yakni Bundaran HI, Istana Negara, Balaikota, Kemenkes, dan Kemenaker.
Mereka menuntut agar Presiden Joko Widodo tidak salah langkah dalam mengatasi krisis yang terjadi saat ini.
"Sekitar 50 ribu buruh akan turun kejalan pada 1 September dan bergerak mulai pukul 09.00 Wib, dari Bundaran HI menuju ke Istana Negara, dan mampir ke Balaikota dan Kemenkes serta Kemenaker," tegas Sekjen KSPI M. Rusdi di Gedung Joeang 45, Jakarta, Kamis (27/8/2015).
Lebih lanjut, Rusdi mengingatkan kepada Jokowi untuk memperhatikan kaum buruh akibat dampak ancaman krisis.
Menurut dia, Jokowi jangan lagi mengutamakan Bailout yang dinilai hanya menghabiskan uang para bandit-bandit di Perbankan, tapi harus mempertahankan daya beli masyarakat dan daya beli buruh sehingga pabrik-pabrik bisa terserap produknya dan tidak terjadi PHK.
"Itu caranya, agar pedagang kaki lima juga laku produknya dan mempertahankan daya beli dan upah yang layak. Kita akan memperjuangkan minimal 25 persen untuk UMP ke depan," ungkapnya.
http://nasional.rimanews.com/peristi...n-1-September-
Broker Demo, Bisnis Pengerah Massa Bayaran
July 30, 2012
TERGULINGNYA Soeharto dari kursi kepresidenan pada 1998 tak dapat dipungkiri salah satunya berkat aksi mahasiswa yang massif. Tak hanya di Ibukota DKI Jakarta yang berhasil menduduki gedung MPR, mahasiswa juga melakukan aksi gerilya di daerah-daerah. Dari sini, terbaca jelas betapa kuatnya posisi tawar sebuah aksi unjukrasa atau demonstrasi.
Setelahnya, euforia reformasi memberi kesempatan seluas-luasnya bagi anggota masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya yang selama 32 tahun terbungkam. Demo pun merebak di mana-mana, bahkan menjadi tren. Tak puas sedikit demo, pemerintah keluarkan kebijakan demo. Tengok saja media cetak dan elektronik dimana hampir tiap hari ada saja demo dari kelompok ini tentang isu itu.
Maka demo pun seakan telah menjadi kebutuhan. Dan dimana ada kebutuhan (demand), sesuai hukum ekonomi, maka dibutuhkan supply yang cukup. Apa yang di supply? Tentu saja pendemo. Bagi orang yang punya massa, jelas mudah membuat aksi demo. Tapi yang tidak, nah disinilah dibutuhkan orang-orang yang bisa mendatangkan puluhan, ratusan bahkan ribuan massa. Tentu saja dengan imbalan tertentu.
Lambat laun, para pengerah massa ini merasa keahliannya bisa diandalkan. Maka tak lagi sekedar menunggu tawaran, mereka pun mulai jemput bola. Jadilah mereka mempunyai profesi baru bergelar broker demo atau makelar demo.
Salah satunya adalah Jack, 31 (bukan nama sebenarnya). Sekarang ini sementara memang dia sedang istirahat dari aktivitasnya itu. Namun segudang pengalamannya terlalu penting untuk dilewatkan. “Sebenarnya banyak di Semarang ini yang berprofesi seperti itu. Ya bagaimana lagi, keberadaan mereka memang dibutuhkan,” kata pria yang sekarang bekerja di salah satu lembaga publik itu.
Maka ia mulai menyebut, mulai ketua RT, tokoh kampung atau kelurahan, politisi, pejabat perusahaan dan BUMN, hingga di lembaga-lembaga pemerintahan. Isunya macam-macam. Menolak kebijakan pemerintah, mendiskreditkan lembaga atau pejabat tertentu, atau mempressure penegak hukum.
Sebagai demo tandingan pun bisa, misalnya mendukung kenaikan harga BBM atau pengalihan isu. Yang paling banyak tentu saja, pada masa pemilu. Partai politik yang membutuhkan masa banyak dalam kampanye di simpanglima misalnya, adalah tambang emas karena ordernya bisa mencapai ribuan orang.
Tapi, seratus persen pengorder pasti tidak mau terlihat. Hal ini adalah mutlak. Maka broker demo harus mengatur sedemikian rupa agar atasannya itu aman. Tapi, biasanya si tokoh atau pejabat yang memesan demo sudah melakukan antisipasi terlebih dahulu. “Misalnya order melalui tangan kedua atau ketiga. Dan broker demo tak harus tahu siapa pemesannya. Cukup tahu isunya apa, setingannya bagaimana, berapa orang massa, sudah. Selanjutnya tinggal negosiasi harga dan laksanakan perintah,” kata Jack.
Selanjutnya Jack menghubungi para bawahannya untuk mengumpulkan massa. Para pengerah massa bawahannya ini sudah memiliki kantong-kantong massa yang bisa digerakkan. Paling mudah ialah organisasi pemuda atau LSM karena mereka sudah terorganisir. Di luar itu, ada buruh bangunan, nelayan, kuli pasar, tukang parkir, tukang becak, sampai pengangguran. Juga tak ketinggalan, sang pengusung reformasi, mahasiswa.
Ya, siapa bilang aksi mahasiswa semuanya murni karena ideologi atau memperjuangkan nasib rakyat. Dari ratusan ribu mahasiswa, tampaknya ada yang “cerdas” menangkap peluang bisnis itu. Tentu saja, dengan pertimbangan aksi yang dilakukan mahasiswa dirasa lebih meyakinkan dibandingkan yang dilakukan preman pasar. “Yang isunya terseting rapi biasanya tak masalah menggunakan nama organisasi mahasiswanya. Ya yang biasa anda kenal di jalan-jalan itu. Tapi jika dirasa sensitif, mereka tak mau namanya tercoreng lalu membuat organisasi bentukan sendiri,” kata pria berambut ikal ini.
Lalu berapa bayarannya? Sembari mengepulkan asap kreteknya, Jack mengatakan bahwa tidak ada patokan tarif resmi. Segalanya berdasar kesepakatan dengan memperhatikan isu yang diangkat, jumlah massa, berapa spanduk dan poster, sampai konsumsi, dan setingan yang diminta. Namun sekedar ancar-ancar, tarif per kepala saat ini antara Rp. 25 ribu hingga Rp. 40 ribu. “Tergantung demonya, cuma jalan dan teriak-teriak ataukah pake dorong-dorongan, goyang pagar dan bentrok? Semakin tinggi resiko, ya nambah. Semua bisa diatur kok,” ucapnya.
Itu belum dana operasional, semisal transportasi pendemo dan ijin kepolisian. Juga spanduk, mau satu atau banyak, Poster mau berapa puluh, selebaran berapa ratusserta juga konsumsi. Selain itu, dihitung juga, berapa orator yang tampil, pakai teatrikal atau hanya mimbar bebas biasa. “Kalau orator itu antara 100 sampai 300 ribu, korlap sekitar 500 ribu keatas. Pake teatrikal nambah lagi” sebutnya.
Kalau tidak, ada cara sistem borongan. Misalnya pengorder hanya punya dana Rp. 10 juta. Ya sudah, si broker harus bisa mengatur anggaran itu untuk membuat sebuah demo. Intinya, berapapun dananya sebenarnya tidak masalah, asal kedua pihak sepakat. Tengok saja demo-demo di Semarang yang hanya dilakukan belasan orang bahkan kurang.
Bagaimana jika sampai bentrok dan ada yang terluka? Dengan tertawa, Jack mengatakan hal itu sudah diatur. Meski dikatakannya, Semarang jarang ada demo yang sampai bentrok dengan aparat, namun terkadang ada juga pesanan seperti itu. Jika tertangkap, tenang saja, pasti ada yang mengeluarkan. Jika terluka, juga tak usah khawatir, broker yang baik, kata Jack, sudah menganggarkan untuk anggotanya yang harus dirawat di rumah sakit ataukah hanya obat jalan.
Jika ada broker baik, tentu ada broker yang buruk? Betul, broker seperti ini adalah yang serakah. Sebetulnya semua sudah dianggarkan sampai ke hal yang terkecil. Tapi namanya orang, ada saja yang memotong anggaran sehingga yang diterima massa lebih kecil. Kalau tidak, janji jumlah massa tidak sesuai kenyataan. “Janjinya seribu tapi yang demo cuma seratus, ini sering. Tapi yang nakal biasanya besok lagi tidak dipakai,” cibir pria asli Semarang ini.
Secara kasat mata, antara demo pesanan dan demo yang benar sebetulnya, ujar jack mudah dibedakan. Demo pesanan biasanya menggunakan nama-nama aneh-aneh, satu contoh misalnya GERAM (Gerakan Rakyat Menuntut), atau Persatuan Pemuda Peduli APBD (Peped APBD). Bisa juga diperhatikan dari posternya yang seragam, massanya sedikit tapi busnya banyak. “Atau kalau mau bukti konkret, tanya saja peserta aksinya, yang demo pesanan, pasti massanya asal teriak dan tidak tahu permasalahan sebenarnya,” tandasnya.
Brokernya Mantan Aktivis, Pendemo Harus Latihan Dulu
SATU lagi orang yang dekat dengan fenomena broker demo atau demo bayaran. Tapi pria bernama Winarso, 40, ini mengaku tidak terjun langsung. Dalam bahasanya, ia mengaku kenal dengan para broker demo seperti Jack dan kawan-kawannya.
Tak berbeda jauh seperti apa yang dituturkan oleh Jack, Winarso mengakui bahwa para broker demo bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang terpelajar yang sadar bahwa demo atau massa sudah menjadi komoditi yang bisa dijual. Dengan pintarnya mereka memanfaatkan momentum reformasi untuk mencari untung.
Apakah salah? Tidak, secara hukum tidak ada aturan yang melarang seseorang menjadi broker demo ataupun pengerah massa. “Ini kebutuhan saja, ada yang mau demo tapi tak tahu caranya dan ada yang punya tenaga atau massa tapi tak tahu cara menjualnya. Broker ini adalah penghubung,” ujar pria kelahiran Semarang, 11 Februari 1970 ini.
Dan, para broker ini memang memiliki keahlian itu. Darimana ilmu itu didapatkan? Ya, dari kebiasaan. Jika sering demo, maka segala sesuatu tentang perangkat aksi, ijin kepolisian, lobi-lobi, dan setting media pasti akan hafal di luar kepala. Pria yang akrab dipanggil Win laut ini menyebut, sebagian dari para broker itu adalah para mantan aktivis kampus yang dulunya getol menyuarakan anti penindasan.
Ya, para mantan aktivis mahasiswa baik 1998 maupun sesudahnya, terang saja memiliki keahlian dalam mengorganisir massa dan cara orasi yang membangkitkan semangat peserta aksi. Pun, biasanya karena sering beroposisi dengan pemerintah, mereka sering bertemu pejabat dan anggota dewan. Akhirnya kenal dan bisa digunakan ketika dibutuhkan.
Salah satu yang paling penting bagi seorang broker demo adalah keahlian mengorganisir massa. Tidak sulit jika yang diajak demo adalah mahasiswa yang terpelajar, tapi jika massa kebanyakan akan lain ceritanya. Dibutuhkan latihan sekedarnya untuk bisa membuat massa aksi yang berasal dari preman terminal misalnya, agar seolah-olah benar-benar terlihat sebagai massa terorganisir.
“Caranya ya seperti demo beneran, sebelum demo ada konsolidasi dulu,jika tidak seluruhnya ya para koordinatornya. Diajari cara ngomongnya gimana, cara teriaknya, kalau ada media bagaimana,” jelas pria yang tinggal di bilangan Cinde, Semarang Selatan itu.
Jika sudah, maka demo pun berjalan lancar. Jika brifingnya baik, maka akan sulit mengidentifikasi apakah itu massa aksi betulan atau pesanan. Sebab, jika massa aksi tidak akan bersedia ditanya jika bukan bagiannya. Jika sekedar massa penggembira, maka jika ditanya akan diam dan menunjuk orang lain yang memang sudah diposisikan untuk ditanyai. “Kalau diam dirasa kurang wajar ya pura-pura sibuklah sembari mengantarkan pada korlap atau koordinator aksi, beres,” katanya.
Namun, meski pekerjaannya rapi, menurut pria yang salah satu aktivitasnya di event organizer ini, sampai saat ini para broker demo tidak membentuk wadah tersendiri. Masing-masing bekerja sendiri-sendiri, meskipun banyak juga yang saling mengenal dan kemudian bekerjasama. Misal, mendapat job besar dan merasa sulit mencari massa banyak, sebagian pekerjaan bisa dilempar ke kolega lain.
Yang menarik, meskipun bekerja berdasarkan pesanan (baca: uang), broker ini juga profesional. Salah satu wujudnya, misalnya, tidak menerima order dari dua kubu yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan. Tidak ada demo yang dilawan demo dengan broker yang sama. “Kalau broker demo tandingannya itu temannya, mungkin, tapi kalau dua demo satu broker tidak ada,” tegasnya.
Pun, jika sama-sama demo pesanan, biasanya tidak akan bentrok. Selain karena sudah saling mengerti bahwa “sama-sama cari makan”, maka meskipun beda pendapat, paling banter hanya dorong-dorongan. Bentrok hanya terjadi jika demo pesanan versus demo betulan, atau demo pesanan lawan aparat.
Satu lagi yang tak boleh dilupakan, bahwa broker demo jarang terlihat di lapangan. Mereka telah memiliki orang-orang yang bisa diandalkan untuk memimpin demo. Para broker biasanya hanya memantau dari jauh untuk memastikan apakah demo berjalan sesuai pesanan atau tidak. “Sebab jika tidak, anggaran yang sudah disepakati bisa dipotong,” tandasnya. (*)
Tanpa Uang Pun Bisa Demo
TAK dapat disangkal, fenomena demo pesanan telah merusak persepsi masyarakat. Masyarakat jadi berfikir bahwa demo-demo baik LSM, mahasiswa maupun organisasi lain adalah omong kosong. Yang diajak demo untuk menyuarakan aspirasi pun kemudian memukul rata, tak ada duit ya ogah.
Padahal, tidak semuanya demo dilakukan berdasarkan imbalan. Sunu Wiwid Fajar, salah satu aktivis yang tak asing di kalangan jurnalis berpendapat bahwa masih banyak demo yang murni menyuarakan aspirasi rakyat. Demo ini berprinsip tiga hal yakni tanpa imbalan, tanpa paksaan dan tak bersyarat.
“Cara ini biasa kami praktekkan untuk mengorganisir masyarakat yang rumahnya mau digusur, abang becak yang mau dihilangkan, atau demo anti kenaikan harga BBM kemarin. Meskipun sulit, tapi kami percaya bisa dilakukan secara bertahap,” ujar Ketua DPC Papernas Kota Semarang ini.
Ia mencontohkan, ketika mengorganisir abang becak se Kota Semarang untuk menentang penghilangan becak pada tahun 2005 lalu. Ketika itu abang becak yang notabene tidak pernah bersentuhan dengan demo dikonsolidasi. Awalnya aksi pertama cuma diikuti sekitar 60 orang. Tapi puncaknya, sebanyak 1200 tukang becak bersatu dalam aksi bersama menolak kebijakan Pemkot Semarang itu. Bahkan, pengorganisasian itu mampu melahirkan wadah tukang becak se Kota Semarang bernama “Setia Kawan”.
Bagaimana caranya? Pria berkulit gelap dan berambut kriwil ini menerangkan, bahwa yang penting adalah menyadarkan masyarakat tentang pentingnya persatuan demi tujuan bersama. Maka, daripada grundelan tidak jelas juntrungan-nya, para tukang becak ini di undang musyawarah. Di situ, diadakan dengar pendapat agar Sunu dan rekan-rekan mengerti permasalahan sebenarnya.
“Usai diskusi, dibuatlah selebaran. Yang membuat kami karena kami yang bisa dan punya akses. Tapi pemikiran di dalamnya kami sistemastiskan dari keluhan para tukang becak itu. Selebaran kami berikan dan disebar sendiri ke seluruh tukang becak oleh mereka,” jelasnya.
Tapi tak semuanya mulus seperti itu.Tteknik yang disebut oleh Sunu sebagai “pengorganisasian kesadaran” itu kadang juga menemui jalan buntu. Selain karena masyarakat tidak berani, perpecahan pendapat diantara masyarakat sendiri, juga adanya penggembosan dari pihak lain.
Pihak yang menggembosi ini adalah pesanan dari kubu yang bertentangan dengan masyarakat. Mereka biasa mengutus LSM yang seolah-olah membantu namun menjerumuskan. “Mainnya halus, biasanya mengarahkan masyarakat untuk mau diajak mediasi. Yang dipegang tokoh-tokohnya, lalu diiming-imingi dengan janji-janji,” terangnya.
Pun sebenarnya, menurut Sunu, ada cara lain untuk menyuarakan aspirasi dengan tanpa demonstrasi. Baik ketika membawa bendera Partai Rakyat Demokratik (PRD) maupun Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional), Sunu sering melakukan move-move lain. Diantaranya dengan membuat sekolah alam atau sekolah gratis untuk menyindir pemerintah yang tak kunjung menerapkan pendidikan gratis.
Keberadaan sekolah-sekolah memang sifatnya sementara. “Namun dengan bantuan media sudah cukup untuk membuat masyarakat tahu bahwa ternyata sekolah gratis bukan sesuatu yang mustahil,” tandasnya
source
---------------------------------------------------------
Bisnis jasa DEMO lumayan memberikan rezeki tambahan bagi buruh Jakarta dan sekitarnya, ditengah lesunya bisnis properti belakangan ini dan rendahnya sektor bangunan berkembang. Bagi para pengangguran, termasuk sarjana S1, duit 50 sampai 100 rebu plus nasi bungkus, lumayanlah untuk bisa mempertahankan hidup 2-3 hari di tengah belantara ibukota
27 AGS 2015
Rimanews - Ribuan buruh dari berbagai elemen mulai dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) berencana berunjuk rasa besar-besaran pada 1 September 2015 di beberapa titik di Jakarta,yakni Bundaran HI, Istana Negara, Balaikota, Kemenkes, dan Kemenaker.
Mereka menuntut agar Presiden Joko Widodo tidak salah langkah dalam mengatasi krisis yang terjadi saat ini.
"Sekitar 50 ribu buruh akan turun kejalan pada 1 September dan bergerak mulai pukul 09.00 Wib, dari Bundaran HI menuju ke Istana Negara, dan mampir ke Balaikota dan Kemenkes serta Kemenaker," tegas Sekjen KSPI M. Rusdi di Gedung Joeang 45, Jakarta, Kamis (27/8/2015).
Lebih lanjut, Rusdi mengingatkan kepada Jokowi untuk memperhatikan kaum buruh akibat dampak ancaman krisis.
Menurut dia, Jokowi jangan lagi mengutamakan Bailout yang dinilai hanya menghabiskan uang para bandit-bandit di Perbankan, tapi harus mempertahankan daya beli masyarakat dan daya beli buruh sehingga pabrik-pabrik bisa terserap produknya dan tidak terjadi PHK.
"Itu caranya, agar pedagang kaki lima juga laku produknya dan mempertahankan daya beli dan upah yang layak. Kita akan memperjuangkan minimal 25 persen untuk UMP ke depan," ungkapnya.
http://nasional.rimanews.com/peristi...n-1-September-
Quote:
Broker Demo, Bisnis Pengerah Massa Bayaran
July 30, 2012
TERGULINGNYA Soeharto dari kursi kepresidenan pada 1998 tak dapat dipungkiri salah satunya berkat aksi mahasiswa yang massif. Tak hanya di Ibukota DKI Jakarta yang berhasil menduduki gedung MPR, mahasiswa juga melakukan aksi gerilya di daerah-daerah. Dari sini, terbaca jelas betapa kuatnya posisi tawar sebuah aksi unjukrasa atau demonstrasi.
Setelahnya, euforia reformasi memberi kesempatan seluas-luasnya bagi anggota masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya yang selama 32 tahun terbungkam. Demo pun merebak di mana-mana, bahkan menjadi tren. Tak puas sedikit demo, pemerintah keluarkan kebijakan demo. Tengok saja media cetak dan elektronik dimana hampir tiap hari ada saja demo dari kelompok ini tentang isu itu.
Maka demo pun seakan telah menjadi kebutuhan. Dan dimana ada kebutuhan (demand), sesuai hukum ekonomi, maka dibutuhkan supply yang cukup. Apa yang di supply? Tentu saja pendemo. Bagi orang yang punya massa, jelas mudah membuat aksi demo. Tapi yang tidak, nah disinilah dibutuhkan orang-orang yang bisa mendatangkan puluhan, ratusan bahkan ribuan massa. Tentu saja dengan imbalan tertentu.
Lambat laun, para pengerah massa ini merasa keahliannya bisa diandalkan. Maka tak lagi sekedar menunggu tawaran, mereka pun mulai jemput bola. Jadilah mereka mempunyai profesi baru bergelar broker demo atau makelar demo.
Salah satunya adalah Jack, 31 (bukan nama sebenarnya). Sekarang ini sementara memang dia sedang istirahat dari aktivitasnya itu. Namun segudang pengalamannya terlalu penting untuk dilewatkan. “Sebenarnya banyak di Semarang ini yang berprofesi seperti itu. Ya bagaimana lagi, keberadaan mereka memang dibutuhkan,” kata pria yang sekarang bekerja di salah satu lembaga publik itu.
Maka ia mulai menyebut, mulai ketua RT, tokoh kampung atau kelurahan, politisi, pejabat perusahaan dan BUMN, hingga di lembaga-lembaga pemerintahan. Isunya macam-macam. Menolak kebijakan pemerintah, mendiskreditkan lembaga atau pejabat tertentu, atau mempressure penegak hukum.
Sebagai demo tandingan pun bisa, misalnya mendukung kenaikan harga BBM atau pengalihan isu. Yang paling banyak tentu saja, pada masa pemilu. Partai politik yang membutuhkan masa banyak dalam kampanye di simpanglima misalnya, adalah tambang emas karena ordernya bisa mencapai ribuan orang.
Tapi, seratus persen pengorder pasti tidak mau terlihat. Hal ini adalah mutlak. Maka broker demo harus mengatur sedemikian rupa agar atasannya itu aman. Tapi, biasanya si tokoh atau pejabat yang memesan demo sudah melakukan antisipasi terlebih dahulu. “Misalnya order melalui tangan kedua atau ketiga. Dan broker demo tak harus tahu siapa pemesannya. Cukup tahu isunya apa, setingannya bagaimana, berapa orang massa, sudah. Selanjutnya tinggal negosiasi harga dan laksanakan perintah,” kata Jack.
Selanjutnya Jack menghubungi para bawahannya untuk mengumpulkan massa. Para pengerah massa bawahannya ini sudah memiliki kantong-kantong massa yang bisa digerakkan. Paling mudah ialah organisasi pemuda atau LSM karena mereka sudah terorganisir. Di luar itu, ada buruh bangunan, nelayan, kuli pasar, tukang parkir, tukang becak, sampai pengangguran. Juga tak ketinggalan, sang pengusung reformasi, mahasiswa.
Ya, siapa bilang aksi mahasiswa semuanya murni karena ideologi atau memperjuangkan nasib rakyat. Dari ratusan ribu mahasiswa, tampaknya ada yang “cerdas” menangkap peluang bisnis itu. Tentu saja, dengan pertimbangan aksi yang dilakukan mahasiswa dirasa lebih meyakinkan dibandingkan yang dilakukan preman pasar. “Yang isunya terseting rapi biasanya tak masalah menggunakan nama organisasi mahasiswanya. Ya yang biasa anda kenal di jalan-jalan itu. Tapi jika dirasa sensitif, mereka tak mau namanya tercoreng lalu membuat organisasi bentukan sendiri,” kata pria berambut ikal ini.
Lalu berapa bayarannya? Sembari mengepulkan asap kreteknya, Jack mengatakan bahwa tidak ada patokan tarif resmi. Segalanya berdasar kesepakatan dengan memperhatikan isu yang diangkat, jumlah massa, berapa spanduk dan poster, sampai konsumsi, dan setingan yang diminta. Namun sekedar ancar-ancar, tarif per kepala saat ini antara Rp. 25 ribu hingga Rp. 40 ribu. “Tergantung demonya, cuma jalan dan teriak-teriak ataukah pake dorong-dorongan, goyang pagar dan bentrok? Semakin tinggi resiko, ya nambah. Semua bisa diatur kok,” ucapnya.
Itu belum dana operasional, semisal transportasi pendemo dan ijin kepolisian. Juga spanduk, mau satu atau banyak, Poster mau berapa puluh, selebaran berapa ratusserta juga konsumsi. Selain itu, dihitung juga, berapa orator yang tampil, pakai teatrikal atau hanya mimbar bebas biasa. “Kalau orator itu antara 100 sampai 300 ribu, korlap sekitar 500 ribu keatas. Pake teatrikal nambah lagi” sebutnya.
Kalau tidak, ada cara sistem borongan. Misalnya pengorder hanya punya dana Rp. 10 juta. Ya sudah, si broker harus bisa mengatur anggaran itu untuk membuat sebuah demo. Intinya, berapapun dananya sebenarnya tidak masalah, asal kedua pihak sepakat. Tengok saja demo-demo di Semarang yang hanya dilakukan belasan orang bahkan kurang.
Bagaimana jika sampai bentrok dan ada yang terluka? Dengan tertawa, Jack mengatakan hal itu sudah diatur. Meski dikatakannya, Semarang jarang ada demo yang sampai bentrok dengan aparat, namun terkadang ada juga pesanan seperti itu. Jika tertangkap, tenang saja, pasti ada yang mengeluarkan. Jika terluka, juga tak usah khawatir, broker yang baik, kata Jack, sudah menganggarkan untuk anggotanya yang harus dirawat di rumah sakit ataukah hanya obat jalan.
Jika ada broker baik, tentu ada broker yang buruk? Betul, broker seperti ini adalah yang serakah. Sebetulnya semua sudah dianggarkan sampai ke hal yang terkecil. Tapi namanya orang, ada saja yang memotong anggaran sehingga yang diterima massa lebih kecil. Kalau tidak, janji jumlah massa tidak sesuai kenyataan. “Janjinya seribu tapi yang demo cuma seratus, ini sering. Tapi yang nakal biasanya besok lagi tidak dipakai,” cibir pria asli Semarang ini.
Secara kasat mata, antara demo pesanan dan demo yang benar sebetulnya, ujar jack mudah dibedakan. Demo pesanan biasanya menggunakan nama-nama aneh-aneh, satu contoh misalnya GERAM (Gerakan Rakyat Menuntut), atau Persatuan Pemuda Peduli APBD (Peped APBD). Bisa juga diperhatikan dari posternya yang seragam, massanya sedikit tapi busnya banyak. “Atau kalau mau bukti konkret, tanya saja peserta aksinya, yang demo pesanan, pasti massanya asal teriak dan tidak tahu permasalahan sebenarnya,” tandasnya.
Brokernya Mantan Aktivis, Pendemo Harus Latihan Dulu
SATU lagi orang yang dekat dengan fenomena broker demo atau demo bayaran. Tapi pria bernama Winarso, 40, ini mengaku tidak terjun langsung. Dalam bahasanya, ia mengaku kenal dengan para broker demo seperti Jack dan kawan-kawannya.
Tak berbeda jauh seperti apa yang dituturkan oleh Jack, Winarso mengakui bahwa para broker demo bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang terpelajar yang sadar bahwa demo atau massa sudah menjadi komoditi yang bisa dijual. Dengan pintarnya mereka memanfaatkan momentum reformasi untuk mencari untung.
Apakah salah? Tidak, secara hukum tidak ada aturan yang melarang seseorang menjadi broker demo ataupun pengerah massa. “Ini kebutuhan saja, ada yang mau demo tapi tak tahu caranya dan ada yang punya tenaga atau massa tapi tak tahu cara menjualnya. Broker ini adalah penghubung,” ujar pria kelahiran Semarang, 11 Februari 1970 ini.
Dan, para broker ini memang memiliki keahlian itu. Darimana ilmu itu didapatkan? Ya, dari kebiasaan. Jika sering demo, maka segala sesuatu tentang perangkat aksi, ijin kepolisian, lobi-lobi, dan setting media pasti akan hafal di luar kepala. Pria yang akrab dipanggil Win laut ini menyebut, sebagian dari para broker itu adalah para mantan aktivis kampus yang dulunya getol menyuarakan anti penindasan.
Ya, para mantan aktivis mahasiswa baik 1998 maupun sesudahnya, terang saja memiliki keahlian dalam mengorganisir massa dan cara orasi yang membangkitkan semangat peserta aksi. Pun, biasanya karena sering beroposisi dengan pemerintah, mereka sering bertemu pejabat dan anggota dewan. Akhirnya kenal dan bisa digunakan ketika dibutuhkan.
Salah satu yang paling penting bagi seorang broker demo adalah keahlian mengorganisir massa. Tidak sulit jika yang diajak demo adalah mahasiswa yang terpelajar, tapi jika massa kebanyakan akan lain ceritanya. Dibutuhkan latihan sekedarnya untuk bisa membuat massa aksi yang berasal dari preman terminal misalnya, agar seolah-olah benar-benar terlihat sebagai massa terorganisir.
“Caranya ya seperti demo beneran, sebelum demo ada konsolidasi dulu,jika tidak seluruhnya ya para koordinatornya. Diajari cara ngomongnya gimana, cara teriaknya, kalau ada media bagaimana,” jelas pria yang tinggal di bilangan Cinde, Semarang Selatan itu.
Jika sudah, maka demo pun berjalan lancar. Jika brifingnya baik, maka akan sulit mengidentifikasi apakah itu massa aksi betulan atau pesanan. Sebab, jika massa aksi tidak akan bersedia ditanya jika bukan bagiannya. Jika sekedar massa penggembira, maka jika ditanya akan diam dan menunjuk orang lain yang memang sudah diposisikan untuk ditanyai. “Kalau diam dirasa kurang wajar ya pura-pura sibuklah sembari mengantarkan pada korlap atau koordinator aksi, beres,” katanya.
Namun, meski pekerjaannya rapi, menurut pria yang salah satu aktivitasnya di event organizer ini, sampai saat ini para broker demo tidak membentuk wadah tersendiri. Masing-masing bekerja sendiri-sendiri, meskipun banyak juga yang saling mengenal dan kemudian bekerjasama. Misal, mendapat job besar dan merasa sulit mencari massa banyak, sebagian pekerjaan bisa dilempar ke kolega lain.
Yang menarik, meskipun bekerja berdasarkan pesanan (baca: uang), broker ini juga profesional. Salah satu wujudnya, misalnya, tidak menerima order dari dua kubu yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan. Tidak ada demo yang dilawan demo dengan broker yang sama. “Kalau broker demo tandingannya itu temannya, mungkin, tapi kalau dua demo satu broker tidak ada,” tegasnya.
Pun, jika sama-sama demo pesanan, biasanya tidak akan bentrok. Selain karena sudah saling mengerti bahwa “sama-sama cari makan”, maka meskipun beda pendapat, paling banter hanya dorong-dorongan. Bentrok hanya terjadi jika demo pesanan versus demo betulan, atau demo pesanan lawan aparat.
Satu lagi yang tak boleh dilupakan, bahwa broker demo jarang terlihat di lapangan. Mereka telah memiliki orang-orang yang bisa diandalkan untuk memimpin demo. Para broker biasanya hanya memantau dari jauh untuk memastikan apakah demo berjalan sesuai pesanan atau tidak. “Sebab jika tidak, anggaran yang sudah disepakati bisa dipotong,” tandasnya. (*)
Tanpa Uang Pun Bisa Demo
TAK dapat disangkal, fenomena demo pesanan telah merusak persepsi masyarakat. Masyarakat jadi berfikir bahwa demo-demo baik LSM, mahasiswa maupun organisasi lain adalah omong kosong. Yang diajak demo untuk menyuarakan aspirasi pun kemudian memukul rata, tak ada duit ya ogah.
Padahal, tidak semuanya demo dilakukan berdasarkan imbalan. Sunu Wiwid Fajar, salah satu aktivis yang tak asing di kalangan jurnalis berpendapat bahwa masih banyak demo yang murni menyuarakan aspirasi rakyat. Demo ini berprinsip tiga hal yakni tanpa imbalan, tanpa paksaan dan tak bersyarat.
“Cara ini biasa kami praktekkan untuk mengorganisir masyarakat yang rumahnya mau digusur, abang becak yang mau dihilangkan, atau demo anti kenaikan harga BBM kemarin. Meskipun sulit, tapi kami percaya bisa dilakukan secara bertahap,” ujar Ketua DPC Papernas Kota Semarang ini.
Ia mencontohkan, ketika mengorganisir abang becak se Kota Semarang untuk menentang penghilangan becak pada tahun 2005 lalu. Ketika itu abang becak yang notabene tidak pernah bersentuhan dengan demo dikonsolidasi. Awalnya aksi pertama cuma diikuti sekitar 60 orang. Tapi puncaknya, sebanyak 1200 tukang becak bersatu dalam aksi bersama menolak kebijakan Pemkot Semarang itu. Bahkan, pengorganisasian itu mampu melahirkan wadah tukang becak se Kota Semarang bernama “Setia Kawan”.
Bagaimana caranya? Pria berkulit gelap dan berambut kriwil ini menerangkan, bahwa yang penting adalah menyadarkan masyarakat tentang pentingnya persatuan demi tujuan bersama. Maka, daripada grundelan tidak jelas juntrungan-nya, para tukang becak ini di undang musyawarah. Di situ, diadakan dengar pendapat agar Sunu dan rekan-rekan mengerti permasalahan sebenarnya.
“Usai diskusi, dibuatlah selebaran. Yang membuat kami karena kami yang bisa dan punya akses. Tapi pemikiran di dalamnya kami sistemastiskan dari keluhan para tukang becak itu. Selebaran kami berikan dan disebar sendiri ke seluruh tukang becak oleh mereka,” jelasnya.
Tapi tak semuanya mulus seperti itu.Tteknik yang disebut oleh Sunu sebagai “pengorganisasian kesadaran” itu kadang juga menemui jalan buntu. Selain karena masyarakat tidak berani, perpecahan pendapat diantara masyarakat sendiri, juga adanya penggembosan dari pihak lain.
Pihak yang menggembosi ini adalah pesanan dari kubu yang bertentangan dengan masyarakat. Mereka biasa mengutus LSM yang seolah-olah membantu namun menjerumuskan. “Mainnya halus, biasanya mengarahkan masyarakat untuk mau diajak mediasi. Yang dipegang tokoh-tokohnya, lalu diiming-imingi dengan janji-janji,” terangnya.
Pun sebenarnya, menurut Sunu, ada cara lain untuk menyuarakan aspirasi dengan tanpa demonstrasi. Baik ketika membawa bendera Partai Rakyat Demokratik (PRD) maupun Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional), Sunu sering melakukan move-move lain. Diantaranya dengan membuat sekolah alam atau sekolah gratis untuk menyindir pemerintah yang tak kunjung menerapkan pendidikan gratis.
Keberadaan sekolah-sekolah memang sifatnya sementara. “Namun dengan bantuan media sudah cukup untuk membuat masyarakat tahu bahwa ternyata sekolah gratis bukan sesuatu yang mustahil,” tandasnya
source
---------------------------------------------------------
Bisnis jasa DEMO lumayan memberikan rezeki tambahan bagi buruh Jakarta dan sekitarnya, ditengah lesunya bisnis properti belakangan ini dan rendahnya sektor bangunan berkembang. Bagi para pengangguran, termasuk sarjana S1, duit 50 sampai 100 rebu plus nasi bungkus, lumayanlah untuk bisa mempertahankan hidup 2-3 hari di tengah belantara ibukota
0
3.8K
Kutip
36
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan