Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

cingelingAvatar border
TS
cingeling
Jokowi Tertawa Meski Rupiah Terkulai Lemah. Indonesia sedang Bunuh Diri?


Rupiah melemah dan Jokowi masih tertawa, sementara rakyat makin was-was. Ada apa?

Celaka bahwa otoritas moneter dan pemerintah tampaknya lebih tertarik melindungi perbankan dan perusahaan ketimbang masyarakat bawah dari pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

Hingga Jumat (13/3/2015) siang ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berada di atas Rp 13.000 per dolar AS. Dengan demikian, sudah empat hari ini nilai rupiah bertahan di level yang memprihatinkan.

Anehnya, beberapa pejabat moneter negeri ini masih terlihat tenang-tenang saja. Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bilang, kondisi ini sudah sesuai fundamentalnya. Bahkan, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Irwan Lubis mengatakan, sektor perbankan masih aman hingga nilai tukar rupiah mencapai Rp 14 ribu per dolar AS.

Duh…, kok, bisa begini pernyataan pejabat moneter? Apa ukurannya fundamental? Apakah ukurannya jika bank dan perusahaan masih dalam batas aman? Kalau cara ini yang dipakai, bagaimana dengan masyarakat bawah? Sebab, kalau dolar AS terus menguat dan rupiah terus melemah, yang harus menanggung beban berat adalah masyarakat lapisan bawah. Sebab, hampir pasti semua harga kebutuhan pokok dan barang lainnya akan naik. Ini terjadi, karena ketergantungan kita pada produk impor masih tinggi.

Di sektor pangan, hampir sebagian besar jenis komoditas dari sektor ini harus dibeli dari luar negeri. Kedelai, bawang merah dan bawang putih, jagung, garam, gula, minyak goreng, susu, mentega, kelapa, lada, teh, kopi, cengkeh, kentang, cabai, daging sapi, dan masih banyak lagi jenis pangan harus diimpor. Sepanjang tahun 2014, nilai impor pangan negara ini mencapai sekitar US$ 5 miliar atau hampir Rp 70 triliun.

Pangan adalah kebutuhan pokok rakyat Indonesia. Sudah bisa dibayangkan tidak kalau harga berbagai jenis komoditas pangan ini serentak naik? Ibu-ibu dari golongan menengah ke bawah pasti menjerit karena pengeluaran membengkak, sementara gaji suami mereka tetap alias tidak naik.

Para pedagang komoditas pangan juga waswas. Sebab, kenaikan harga berbagai jenis komoditas pangan itu akan membuat ongkos produksi menjadi mahal. Dampaknya, usaha bisa tutup atau mereka melakukan efisiensi dengan mengurangi pegawai atau produksi.

Dengar saja keluhan para perajin tahu dan tempe. Saat ini, harga kedelai—bahan utama pembuatan tahu dan tempe--di pasar mulai naik dari Rp 7.500 per kg menjadi Rp 8.500, karena melemahnya rupiah terhadap dolar AS. Kalau nanti harganya menjadi Rp 9.000-Rp 10.000 per kg,”Ini alamat mati buat kami,” kata Tatang, perajin tahu dan tempe di kawasan Cengkareng.

Selama ini, kedelai itu diimpor dari Amerika Serikat (AS), Kanada, Brasil, China, dan Malaysia. Untuk tahun ini, Indonesia mengimpor sebanyak 1,8 juta ton dari kebutuhan dalam negeri sebanyak 2,5 juta ton. Sedangkan produksi kedelai nasional hanya 700 ribu ton.

Rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS juga berdampak negatif bagi perusahaan-perusahaan di sektor konsumer, seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, PT Nippon Indosari Corpindo Tbk, PT Mayora Indah Tbk, PT Unilever Indonesia Tbk , dll. Maklum, antara 50%-60% bahan baku perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari luar negeri.

Para analis memprediksi, produsen barang konsumsi baru akan mulai menaikkan harga jual antara kuartal II hingga kuartal III-IV tahun ini. Asal tahu saja, produk-produk perusahaan di atas banyak dikonsumsi masyarakat. Kalau harga produk mereka naik, yang ketiban beban lagi-lagi masyarakat.

Sekali lagi, yang paling banyak menanggung beban adalah golongan masyarakat menengah ke bawah. Belum lagi bicara soal kenaikan harga obat, karena sebagian besar bahan bakunya harus diimpor. Atau barang-barang elektronik, yang 80% komponen biaya industri elektroniknya memakai mata uang dolar AS. Begitu pula dengan sektor properti, otomotif, atau maskapai penerbangan. Namun, beberapa sektor yang terakhir ini, lebih banyak menyentuh golongan mampu.

Makanya, aneh juga kalau ada pejabat moneter yang mengatakan pelemahan rupiah hingga Rp di atas Rp 13.000 per dolar AS masih aman. Kalau aman untuk perbankan, perusahaan, atau pemilik uang, bagaimana perlindungan terhadap masyarakat lapisan bawah? Tak adil rasanya yang satu dilindungi, sedangkan yang lainnya dibiarkan harus menanggung beban berat kenaikan dolar AS.

Sudah sejak lama cara yang dilakukan pejabat moneter dan pemerintah dalam mengatasi pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS, tak ada yang greget. Tahun 2011 BI mengeluarkan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Kebijakan ini mewajibkan eksportir menyimpan devisa hasil ekspor di dalam negeri. Caranya, eksportir menyampaikan rincian transaksi ekspor kepada bank penerima dana hasil ekspor di dalam negeri, kemudian meneruskan ke BI. Lantas, BI membubukukan sebagai penerimaan devisa.

Tapi, apa yang terjadi? Suplai valas dari para eksportir tak sesuai harapan. Sepanjang Januari 2012 hingga September 2014, total DHE hanya US$ 398,5 miliar dengan nilai ekspor US$ 497,8 miliar. Dari jumlah itu, sumbangan dari sektor migas baru 67%.

Kemudian keluar lagi kebijakan BI yang mewajibkan mereka yang membeli valas di atas US$ 100.000 harus lewat bank, termasuk pedagang valas. Kebijakan ini sebagai salah satu upaya mencegah aksi spekulasi valas. Sebab, suplai valas terbatas, tapi kebutuhannya besar.

Cukup? Ternyata belum. BI kembali mengeluarkan instrumen lindung nilai (hedging) FX Swap. Caranya, bank atau pengusaha menjual dolarnya kepada BI untuk memperoleh rupiah dalam jangka waktu tertentu. Bisa 1 bulan, 3 bulan atau 6 bulan. Setelah itu mereka bisa kembali mendapat dolar dari BI dengan jumlah dan kurs seperti saat dijual ditambah premi. Acuan kurs yang digunakan adalah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor).Premi yang ditawarkan bervariasi, tergantung kondisi pasar.

Lewat regulasi ini, BI bisa lebih mudah memonitor posisi valas di pasar. Alhasil, ketika harus menstabilkan rupiah, BI bisa lebih tepat mengintervensi pasar.

Hasilnya? Semuanya kurang efektif. Faktanya, rupiah sampai hari ini masih saja memble. Kini, giliran Presiden Jokowi dan tim ekonominya yang sebentar lagi mengeluarkan tujuh jurus untuk menyelamatkan nilai rupiah.

Salah satu jurus itu adalah Jokowi akan memberikan insentif pajak kepada perusahaan penanaman modal asing (PMA). Syaratnya, dividen (keuntungan) diinvestasikan kembali ke Indonesia, bukan dibawa ke negara asal atau perusahaan induk di luar negeri. “Bulan ini akan dikeluarkan PP (Peraturan Pemerintah) dalam bentuk tax incentive," kata Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

“Lucu,” kata teman di sebelah saya. Lagi-lagi yang diutak-atik soal teknikal, bukan sumber penyakitnya. Padahal, saat ini, perekonomian Indonesia sedang digerogoti empat defisit sekaligus, yakni defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, defisit neraca pembayaran, dan defisit keseimbangan primer.

Empat defisit itulah yang sering dianggap para pemilik uang sebagai pertanda buruk ekonomi suatu negara. Makanya, jangan heran kalau investor keuangan dari luar hanya sesaat di Indonesia. Mereka tidak betah tinggal lama di sini, karena keroposnya fundamental ekonomi Indonesia. Inilah kerap yang membuat rupiah sempoyongan. Ruoiah terus melemah, bersama Jokowi mungkin Indonesia sedang bunuh diri. (Indonesian Review)

http://www.konfrontasi.com/content/t...ang-bunuh-diri
0
3.6K
43
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan