- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Gadis di bawah terik matahari


TS
redxiv
Gadis di bawah terik matahari
Spoiler for Part 1:
Aku terus memperhatikannya, gadis yang berdiri di pematang jalan itu. Seorang diri di tengah hilir mudik kepadatan arus kendaraan, di antara kesibukan orang-orang yang berlalu lalang. Payung yang digenggamnya seolah menjadi benda yang sangat berharga. Terik panas matahari ia abaikan seakan itu sama sekali tak mengganggunya. Hembusan angin barat sesekali coba menghidupkan rambut dan gaun yang dikenakannya, seperti ingin menyatakan bahwa dia yang berdiri di sana bukanlah seonggok patung tanpa nyawa.
Kulitnya putih pucat, tampak serasi dengan gaun krem panjang yang membalut tubuhnya yang ramping dan tinggi. Kedua tangannya yang panjang dan kurus tampak anggun menggenggam erat payungnya yang berwarna putih dengan motif bunga-bunga. Rambut hitamnya dibiarkannya teruai sepanjang punggung. Sorot matanya terkadang tampak seperti orang yang sedang melamun, namun tak jarang bola matanya bergerak liar seperti tersengat oleh sesuatu. Bibir pucatnya sering kali terkunci rapat-rapat, tapi beberapa kali aku mendapatinya seperti sedang menggumamkan sesuatu—aku berpikir mungkin dia merapal sebuah mantra.
Seandainya yang tergantung di langit itu bukanlah matahari melainkan bulan—bulan purnama yang amat besar. Dan latar gedung-gedung pencakar langit serta taman kota dengan beberapa pepohonannya, berubah menjadi padang rumput luas lengkap dengan pepohonan hutan pinus yang gelap dan kelam. Lalu payung yang digenggamnya diganti sapu jerami tua. Kemudian terbang sampai ke bulan.
“Dia bukan hantu, jika Anda mengiranya demikian, Tuan.”
Suara itu mengangetkanku, memecah lamunan siangku yang hampir mendekati sempurna. Dia seorang pelayan pria bertubuh kekar, lengkap dengan setelan khas berwarna putih kombinasi cokelat tua.
“Maafkan saya, saya benar-benar tidak bermaksud untuk mengejutkan Anda. Ini hindangan yang Anda pesan, Tuan.”
“Terima kasih. Tapi, apa Anda kenal dengan gadis itu?”
“Jika yang Anda maksud adalah gadis yang berdiri di seberang jalan sambil membawa payung itu, ya, saya mengenalnya. Dia selalu berdiri di sana hampir setiap hari, tepat pada pukul sebelas hingga satu siang.”
“Setiap hari? Apa Anda serius?!” Aku menyadari keterkejutanku yang mungkin berlebihan, jadi aku coba memperbaikinya. “Maaf. Maksudku, ya, aku mungkin memang baru memperhatikannya belakangan ini. Tapi, setiap hari...” Aku mulai agak ragu. “Maksudku, aku sering datang kemari untuk makan siang tapi tak pernah melihatnya. Atau paling tidak, aku tak pernah melihat seseorang berdiri di bawah sengatan matahari sambil membawa payung begitu lama.”
Pelayan itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab dengan bijak, yang juga membuat diriku tampak agak bodoh. “Ya, saya tahu bahwa Anda adalah pelanggan setia restoran kami. Dan kami sangat menghargai itu.”
Aku bersikeras, mengabaikan fakta bahwa dia menghindari pertanyaanku. “Apa Anda tahu apa yang sedang dilakukan gadis itu? Dua jam berdiri tanpa melakukan apa pun?”
“Gadis itu memang selalu berdiri disana. Tepat di seberang restoran ini, di bawah terik matahari dan berlindung dibayang-bayang payung yang selalu dibawanya. Hanya itu yang saya tahu.”
“Apa Anda tak pernah bertanya padanya? Anda bilang dia selalu berdiri di sana, di seberang jalan restoran kalian. Apa hal itu tak pernah mengganggu Anda—atau mengganggu pemilik restoran ini, mungkin.”
“Tapi ada pula fakta bahwa tak banyak orang yang menyadari keberadaannya. Seperti halnya Anda. Jadi saya rasa hal itu tidak terlalu mengganggu.”
Dia mengucapnya seraya tersenyum—selayaknya senyum seorang pelayan restoran profesional yang tetap ingin membuat pelanggannya merasa terpuaskan meski si pelanggan itu sangat menyebalkan. Tapi entah mengapa dibalik sikap ramahnya itu, aku menangkap perasaan aneh yang membuat bulu kudukku bergidik ngeri.
Si pelayan berbadan kekar itu mohon diri setelah menerima ucapan terima kasihku karena bersedia melayani rasa penasaranku tentang gadis yang berdiri sambil membawa payung—dan juga atas menu hindangan makan siang yang telah disajikan.
Aku belum terlalu lapar, jadi kuputuskan untuk menerusan lamunanku sejenak. Duduk di teras luar di sebuah restoran yang cukup terkenal, yang biasanya kukunjungi dengan seorang wanita yang menurut banyak pria dia sangat cantik dan menarik, meski sejak awal kutahu hubunganku dengannya tidak akan berlangsung selamanya. Sama-sama sedang meniti karir di sebuah perusahaan besar, menyukai jenis film yang sama, menyukai jenis buku yang sama, hampir sepemikiran dalam segala hal, sama-sama setuju bahwa ekonomi belakangan ini amat mengkhawatirkan dan investasi di bidang properti diprediksi akan mengalami kemunduran, jadi penghematan adalah jalan terbaik untuk menatap masa depan. Kadangkala kau menabung bukan untuk menumpuk kekayaan, tapi hanya tak mengerti bagaimana cara menggunakannya, dan berharap, ada seseorang di sisimu yang bersedia untuk menghambur-hamburkannya. Maksudku, aku rindu pertengkaran; perbedaan pedapat; saling melempar argumen. Mencegahnya saat ia melakukan hal-hal konyol yang tak bisa kupahami, atau sebaliknya, dia yang mencegahku saat aku melakukan hal-hal gila yang tak kusadari. Kami sama-sama waras, itulah masalahnya!
Aku coba mengalihkan emosiku, menatap gumpalan-gumpalan putih yang berarak-arak di angkasa. Ini musim kemarau, ya, dan aku bahkan berjalan kemari dengan menenteng jasku karena tak tahan dengan hawanya yang terlalu panas. Tapi gadis itu, apa yang membuatnya bersedia berdiri berlama-lama di tengah sengatan sinar matahari ini. Apa yang dicarinya? Aku kembali menatap ke seberang jalan, gadis itu tidak ada di sana. Aku menatap jam tanganku, pukul tiga belas lebih tujuh menit. Ya, dan gadis itu selalu pergi tepat pada waktunya, pukul satu siang!
Pelayan pria berbadan kekar itu berjalan melewatiku, membawa secangkir kopi di atas sebuah nampan kayu. Aku suka kopi buatan restoran ini, aromanya sangat khas. Dia meletakkan kopi itu di hadapan seorang wanita berambut panjang dan hitam, yang sorot matanya kadang menggambarkan bahwa dia sedang melamun. Dari bibir tipis dan pucat wanita itu keluar ucapan terima kasih—yang mestinya tak mungkin bisa kudengar, dan dalam bayanganku aku masih beranggapan kalau dia sedang merapal sebuah mantra. Kenapa dia di sini? Selama aku memperhatikannya belakangan hari ini, aku tak pernah melihatnya mengunjungi restoran ini. Apa dia tahu kalau aku terus mengawasinya? Apa dia tahu kalau aku mengiranya sebagai penyihir dari abad pertengahan?
Pelayan berbadan kekar itu berjalan melewatiku sekali lagi, lalu melemparkan sebuah senyum. Apa arti senyuman itu? Apa dia memberitahu wanita itu bahwa aku terus mengawasinya?
Wanita itu menatapku. Aku langsung membuang muka.
Ini tidak benar, kenapa aku harus menghindarinya. Tak ada yang salah denganku, tak ada yang salah juga jika aku terus memperhatikannya dari kejauhan. Dia sendiri yang berdiri di sana, sepanjang siang hari, dengan payung aneh yang berwarna pucat itu, jadi itu sama sekali bukan kesalahanku. Aku kembali coba menatapnya, dan ternyata dia masih melihatku. Tatapan matanya yang tegas, bola matanya yang berwarna kecokelatan. Aku merasa seolah waktu berhenti berputar.
Dia mencondongkan tubuhnya, “boleh aku duduk di sana?” katanya sambil tersenyum.
“Ya—tentu, silahkan. Saya tidak sedang menunggu siapapun.”
“Aku tahu.” Balasnya seraya menarik kursi di hadapanku sambil menenteng secangkir kopi.
Aku tahu. Aku tahu. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku, seolah-olah aku membayangkan dia memang tahu segalanya—termasuk tahu jika aku menganggapnya sebagai penyihir dari abad pertengahan.
“Bagaimana kau bisa tahu?” aku bertanya.
“Kau tidak mengecek jam, paling tidak yang kutahu selama empat puluh lima menit kau berada di sini. Kebiasaan orang-orang yang menunggu orang lain, mereka akan selalu mengecek jam untuk memastikan waktu pertemuan, atau memastikan berapa lama mereka telah menunggu. Dan sejauh yang kuketahui, kau tidak melakukannya.”
Dia mengawasiku!
“Mungkin Anda tidak melihatnya, saya rasa saya mengecek jam tangan saya beberapa saat yang lalu.” kataku.
“Dan itu bukan untuk memastikan waktu, atau melihat berapa lama kau telah menunggu. Tapi untuk mencari tahu sesuatu yang tak lagi berada di sana.” Dia tersenyum.
Dia benar-benar mengawasiku. Apa maksudnya ini? Seharusnya aku yang dari tadi mengawasinya, bukan sebaliknya ! Dan apa arti sikap menantangnya itu.
Dia menyodorkan tangannya. “Elisa,” dia berkata.
“Oh, saya pikir Anda juga mengetahui nama saya,” entah mengapa aku merasa sangat lega. Aku menjabat tangannya memperkenalkan diri, “Ardian, senang berkenalan, nona Elisa.”
“Kenapa kau berpikir aku mengetahui namamu, tuan Ardian.”
Aku berpikir sejenak, “ya—kupikir, Anda tahu saya tidak sedang menunggu siapapun. Bahkan mengetahui saya telah berada di sini selama empat puluh lima menit, sesuatu yang bahkan tidak saya sadari.”
Elisa tersenyum, menyibak rambutnya yang tersapu oleh angin. “Aku tidak mungkin bisa tahu namamu jika kau tidak memberitahukannya, tuan Ardian, aku bukan seorang cenayang.”
“Tolong Ardian saja, Elisa.”
“Dengan senang hati.”
Percakapan singkat terhenti. Elisa memperhatikan sejenak kopi yang berada di cangkir di hadapannya, sebelum akhirnya memutuskan untuk meminumnya.
“Jadi,” aku memecah keheningan, “kenapa Anda mengamati saya?”
“Oh! Aku? Kupikir yang terjadi justru sebaliknya.”
Aku tertawa,
“Oh, aku bahkan tak tahu Anda berjalan menuju restoran ini dan duduk di sana—di meja itu. Seolah-olah memang Anda ingin supaya saya bisa melihat Anda.” Kataku.
Elisa balik tertawa,
“Apakah itu salahku? Kau menyalahkanku karena kau yang tidak melihatku berjalan kemari dan duduk di sana, yang seolah-olah aku memang ingin terlihat olehmu.”
“Bukan, maksudku—itu—“
“Aku sangat mengerti, Ardian, dan sebenarnya—maaf saja—aku tidak secara khusus berbicara tentang dirimu, tapi tentang kebanyakan orang. Sama sepertimu, kebanyakan orang-orang terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Dan yang lebih menggelikan, mereka menciptakan urusan-urusan baru yang sebenarnya tidak perlu ada. Mereka mengada-adakannya supaya bisa menjadi lebih sibuk, supaya mereka lebih bisa berkutat dengan urusan mereka sendiri. Dan sesuatu di sekeliling mereka menjadi semakin terabaikan.”
Aku berpikir, coba menjejalkan semua perkataannya ke dalam kepalaku. Tapi aku tetap yang mengerti dengan apa yang tengah dibicarakannya.
“Maaf, tapi agaknya saya kurang memahaminya.” Kataku.
“Mudahnya, coba lihat dirimu sendiri. Aku selalu berdiri di sana, tepat di seberang restoran ini, kau tahu itu? Bagus. Tapi kau sama sekali tidak menyadarinya, bukan? Paling tidak sampai tiga hari yang lalu. Padahal ada fakta bahwa kau adalah pelanggan tetap restoran ini sejak tiga setengah tahun yang lalu. Kecuali hari kamis dan minggu—dan atau hari-hari besar, dan atau mungkin kau sedang sangat sibuk, kau selalu menyempatkan diri untuk datang ke restoran ini. Kenapa? Karena kau terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri. Seperti kebanyakan orang-orang!”
Aku kagum, bukan karena pemikirannya, tapi karena dia tahu bahwa aku tak pernah datang ke restoran ini untuk makan siang pada hari kamis dan minggu! Hari kamis aku selalu makan di kantor sambil menyelesaikan setumpukan berkas mingguan yang selalu datang pada hari rabu malam, dan tempat tinggalku terlalu jauh dari sini jika harus makan siang di sini pada hari minggu. Karena sudah menjadi kebiasaanku sejak lama, aku sama sekali melupakannya!
“Oh, jadi mungkinkah Anda juga tahu jika aku telah memiliki pacar? Aku sering datang kemari dengannya untuk makan siang.” Kataku menantang.
Dia terkesiap,
“Oh! Jadi kalian belum putus?” balas Elisa.
Aku tercekat. Bagaimana dia bisa mengetahuinya? Kami bahkan belum benar-benar putus meski kami sama-sama tahu bahwa hubungan itu tidak mungkin bisa dilanjutkan lagi!
“Oh, jadi sudah? Tentu saja, aku tahu itu.” Dia tersenyum penuh kemenangan. “Mungkin tak pantas jika harus mengatakan ini, tapi jujur saja, kalian sama sekali tidak cocok. Kalian lebih mirip rekan bisnis, atau apa itu namanya—transaksi saling menguntungkan. Maaf jika agak keras, tapi sungguh, aku berpikir demikian.” Lanjutnya terang-terangan.
Aku senang ada yang mengatakannya, karena kebanyakan orang berkata bahwa kami pasangan yang sangat serasi. Dan jujur, karena kata-kata itulah kami terus mempertahankan hubungan tak lagi menyenangkan itu.
“Jika kau memang bukan seorang cenayang, Elisa. Maukah kau berbaik hati menjelaskan padaku bagaimana kau bisa mengetahuinya?” tanyaku dingin.
Elisa menyesap kopinya, tersenyum kecil padaku sebelum akhirnya berbicara,
“Hari sabtu kemarin, atau tepatnya lima hari sebelumnya, kau datang ke restoran ini sendirian. Memang kau sering datang kemari sendirian, tapi tidak pernah pada hari sabtu. Dan juga, meski kau datang seorang diri, kau selalu menyempatkan diri untuk mengecek handphone—entah itu untuk menulis pesan, atau menelepon, sebuah rutinitas untuk mereka yang merasa dirinya ‘orang sibuk.’ Dan di hari sabtu itu, kau melanggar semua kebiasaanmu. Hanya ada tiga alasan kenapa orang melanggar kebiasaan mereka: satu, mereka terlalu senang; dua, mereka terlalu sedih; tiga, mereka dalam tekanan atau tertimpa masalah. Saat itu kau sedang senang? Tentu tidak, aku sama sekali tak melihat senyum di wajahmu hari itu. Kau sedang sedih? Mungkin, tapi kau memesan makanan yang terlalu berat untuk di makan pada saat makan siang, dan memesan kopi dua kali. Seseorang yang sedang bersedih tak memiliki nafsu makan yang besar, dan memesan kopi sampai dua kali dalam kurun waktu satu setengah jam itu berarti kau tetap ingin terjaga, meskipun kau sangat mengantuk. Mengantuk, ini menjadi petunjuk bahwa sesuatu menimpamu pada malam sebelumnya—jum’at malam, yang membuatmu tetap terjaga pada malam harinya. Seseorang yang sedang bersedih—secerdas apapun orang itu—akan lebih memilih alkohol untuk menghilangkan kesedihannya. Tapi fakta bahwa sabtu siang kau berada di restoran ini adalah bukti bahwa kau tak menggunakan alkohol sebagai pelampiasan. Jadi kusimpulkan bahwa kau sedang berada dalam masalah atau tertekan. Kau lebih memilih untuk memikirkan masalahmu semalaman, tapi kau tetap bimbang hingga memutuskan untuk mengganti suasana dengan pergi ke restoran ini pada siang harinya. Makanan yang kau pesan menandakan bahwa kau sama sekali belum makan, dan kopi memberiku petunjuk bahwa kau masih ingin terus memikirkan masalah itu. Yang masih belum bisa kumengerti saat itu ada hanya satu, masalah apa yang menimpamu?”
Aku hanya mendengarkannya dengan saksama, tak coba menjawab, membantah, atau pun menyela.
“Hari minggu,” Elisa melanjutkan. “Kau sama sekali tak datang kemari, atau mungkin datang tapi pada malam hari. Hari senin, kau datang dengan setelan jas yang berantakan—lagi-lagi kau melanggar kebiasaanmu sendiri. Hari senin itu saat kau datang, restoran penuh, jadi kau memesan bekal dan es kopi, lalu membawanya untuk dimakan di dalam taman itu. Saat itu jarak antara kita bahkan tidak sampai lima meter, tapi kau sama sekali belum menyadari tentang keberadaanku, bukan?”
“Tidak, aku terlalu sibuk dengan isi kepalaku sendiri. Lagipula jalanan di sekitar taman itu memang selalu ramai, jarak lima meter mungkin dekat, tapi jika dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang ceritanya akan menjadi sangat berbeda.” Aku menjawab.
“Itulah masalahnya, mereka terlalu sibuk dengan urusan yang mereka buat-buat sendiri hingga mengabaikan sesuatu yang ada di sekitar mereka. Kembali ke pokok masalah, hari itu karena kau berada dibelakangku aku jadi tidak terlalu memperhatikannya, tapi pada pukul satu siang, saat aku hendak kembali, aku masih melihatmu berada disana. Dengan kantung mata tebal dan hitam pekat, menunjukkan bahwa kau masih berada dalam masalah dan sama sekali tak bisa tidur dengan tenang. Keesokkan harinya pada hari selasa, kau datang ke restoran ini agak siang, pukul setengah satu. Saat itu kau terlihat jauh lebih baik—orang awam mungkin akan mengira kau baik-baik saja, tapi tidak di mataku. Kala itu dengan sangat intens kau memperhatikan hal-hal di sekelilingmu, terutama pada pasangan yang tengah bersama, atau wanita dan gadis-gadis. Saat itu aku mulai mengerti masalah apa yang tengah merundungmu, pertengkaran; keretakan; ketidak cocokkan, pokoknya hal-hal yang berhubungan dengan cinta dan romantisme. Dan di saat itu pula kau mulai menyadari keberadaanku yang berdiri di seberang jalan restoran ini. Tapi saat itu hampir pukul satu siang, jadi kau tak mengira jika aku sudah berdiri di sana selama dua jam.”
“Kenapa kau berdiri di sana? Apa yang kau cari dengan berdiri selama itu?”
“Pada hari rabu,” dia mengabaikan pertanyaanku dan meninggikan nadanya. “Kau datang kemari seperti biasanya, pukul dua belas siang lebih sedikit. Dan menyadari bahwa gadis berpayung yang kau lihat kemarin—aku—berada di sana. Kau penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya, berdiri di siang bolong seperti patung di pinggir jalan—mungkin itu yang kau pikirkan. Dan kau terus memperhatikanku, mungkin tertarik akan sampai kapan aku akan berdiri seperti itu di sana. Kau bahkan sama sekali tidak menyentuh makananmu, dan hanya sesekali meminum kopi yang kau pesan. Dan hari ini—kamis, kau melanggar kebiasaanmu dengan datang kemari untuk—mungkin—memastikan apakah gadis berpayung itu, masih berdiri di tempat yang sama.
Dan, beginilah pada akhirnya. Kau dan aku, Ardian, berhadapan duduk di satu meja.” Dia tersenyum mengakhiri penjelasannya.
Keheningan di antara kami tercipta, di antara hiruk pikuk keramaian pengujung restoran ini. Entah aku harus kagum atau justru ngeri begitu mendengar penjelasan. Dia seolah-olah berada di dekatku,menjadi bayanganku, mengawasi setiap detail gerakanku tanpa celah sedikit pun.
Kulitnya putih pucat, tampak serasi dengan gaun krem panjang yang membalut tubuhnya yang ramping dan tinggi. Kedua tangannya yang panjang dan kurus tampak anggun menggenggam erat payungnya yang berwarna putih dengan motif bunga-bunga. Rambut hitamnya dibiarkannya teruai sepanjang punggung. Sorot matanya terkadang tampak seperti orang yang sedang melamun, namun tak jarang bola matanya bergerak liar seperti tersengat oleh sesuatu. Bibir pucatnya sering kali terkunci rapat-rapat, tapi beberapa kali aku mendapatinya seperti sedang menggumamkan sesuatu—aku berpikir mungkin dia merapal sebuah mantra.
Seandainya yang tergantung di langit itu bukanlah matahari melainkan bulan—bulan purnama yang amat besar. Dan latar gedung-gedung pencakar langit serta taman kota dengan beberapa pepohonannya, berubah menjadi padang rumput luas lengkap dengan pepohonan hutan pinus yang gelap dan kelam. Lalu payung yang digenggamnya diganti sapu jerami tua. Kemudian terbang sampai ke bulan.
“Dia bukan hantu, jika Anda mengiranya demikian, Tuan.”
Suara itu mengangetkanku, memecah lamunan siangku yang hampir mendekati sempurna. Dia seorang pelayan pria bertubuh kekar, lengkap dengan setelan khas berwarna putih kombinasi cokelat tua.
“Maafkan saya, saya benar-benar tidak bermaksud untuk mengejutkan Anda. Ini hindangan yang Anda pesan, Tuan.”
“Terima kasih. Tapi, apa Anda kenal dengan gadis itu?”
“Jika yang Anda maksud adalah gadis yang berdiri di seberang jalan sambil membawa payung itu, ya, saya mengenalnya. Dia selalu berdiri di sana hampir setiap hari, tepat pada pukul sebelas hingga satu siang.”
“Setiap hari? Apa Anda serius?!” Aku menyadari keterkejutanku yang mungkin berlebihan, jadi aku coba memperbaikinya. “Maaf. Maksudku, ya, aku mungkin memang baru memperhatikannya belakangan ini. Tapi, setiap hari...” Aku mulai agak ragu. “Maksudku, aku sering datang kemari untuk makan siang tapi tak pernah melihatnya. Atau paling tidak, aku tak pernah melihat seseorang berdiri di bawah sengatan matahari sambil membawa payung begitu lama.”
Pelayan itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab dengan bijak, yang juga membuat diriku tampak agak bodoh. “Ya, saya tahu bahwa Anda adalah pelanggan setia restoran kami. Dan kami sangat menghargai itu.”
Aku bersikeras, mengabaikan fakta bahwa dia menghindari pertanyaanku. “Apa Anda tahu apa yang sedang dilakukan gadis itu? Dua jam berdiri tanpa melakukan apa pun?”
“Gadis itu memang selalu berdiri disana. Tepat di seberang restoran ini, di bawah terik matahari dan berlindung dibayang-bayang payung yang selalu dibawanya. Hanya itu yang saya tahu.”
“Apa Anda tak pernah bertanya padanya? Anda bilang dia selalu berdiri di sana, di seberang jalan restoran kalian. Apa hal itu tak pernah mengganggu Anda—atau mengganggu pemilik restoran ini, mungkin.”
“Tapi ada pula fakta bahwa tak banyak orang yang menyadari keberadaannya. Seperti halnya Anda. Jadi saya rasa hal itu tidak terlalu mengganggu.”
Dia mengucapnya seraya tersenyum—selayaknya senyum seorang pelayan restoran profesional yang tetap ingin membuat pelanggannya merasa terpuaskan meski si pelanggan itu sangat menyebalkan. Tapi entah mengapa dibalik sikap ramahnya itu, aku menangkap perasaan aneh yang membuat bulu kudukku bergidik ngeri.
Si pelayan berbadan kekar itu mohon diri setelah menerima ucapan terima kasihku karena bersedia melayani rasa penasaranku tentang gadis yang berdiri sambil membawa payung—dan juga atas menu hindangan makan siang yang telah disajikan.
Aku belum terlalu lapar, jadi kuputuskan untuk menerusan lamunanku sejenak. Duduk di teras luar di sebuah restoran yang cukup terkenal, yang biasanya kukunjungi dengan seorang wanita yang menurut banyak pria dia sangat cantik dan menarik, meski sejak awal kutahu hubunganku dengannya tidak akan berlangsung selamanya. Sama-sama sedang meniti karir di sebuah perusahaan besar, menyukai jenis film yang sama, menyukai jenis buku yang sama, hampir sepemikiran dalam segala hal, sama-sama setuju bahwa ekonomi belakangan ini amat mengkhawatirkan dan investasi di bidang properti diprediksi akan mengalami kemunduran, jadi penghematan adalah jalan terbaik untuk menatap masa depan. Kadangkala kau menabung bukan untuk menumpuk kekayaan, tapi hanya tak mengerti bagaimana cara menggunakannya, dan berharap, ada seseorang di sisimu yang bersedia untuk menghambur-hamburkannya. Maksudku, aku rindu pertengkaran; perbedaan pedapat; saling melempar argumen. Mencegahnya saat ia melakukan hal-hal konyol yang tak bisa kupahami, atau sebaliknya, dia yang mencegahku saat aku melakukan hal-hal gila yang tak kusadari. Kami sama-sama waras, itulah masalahnya!
Aku coba mengalihkan emosiku, menatap gumpalan-gumpalan putih yang berarak-arak di angkasa. Ini musim kemarau, ya, dan aku bahkan berjalan kemari dengan menenteng jasku karena tak tahan dengan hawanya yang terlalu panas. Tapi gadis itu, apa yang membuatnya bersedia berdiri berlama-lama di tengah sengatan sinar matahari ini. Apa yang dicarinya? Aku kembali menatap ke seberang jalan, gadis itu tidak ada di sana. Aku menatap jam tanganku, pukul tiga belas lebih tujuh menit. Ya, dan gadis itu selalu pergi tepat pada waktunya, pukul satu siang!
Pelayan pria berbadan kekar itu berjalan melewatiku, membawa secangkir kopi di atas sebuah nampan kayu. Aku suka kopi buatan restoran ini, aromanya sangat khas. Dia meletakkan kopi itu di hadapan seorang wanita berambut panjang dan hitam, yang sorot matanya kadang menggambarkan bahwa dia sedang melamun. Dari bibir tipis dan pucat wanita itu keluar ucapan terima kasih—yang mestinya tak mungkin bisa kudengar, dan dalam bayanganku aku masih beranggapan kalau dia sedang merapal sebuah mantra. Kenapa dia di sini? Selama aku memperhatikannya belakangan hari ini, aku tak pernah melihatnya mengunjungi restoran ini. Apa dia tahu kalau aku terus mengawasinya? Apa dia tahu kalau aku mengiranya sebagai penyihir dari abad pertengahan?
Pelayan berbadan kekar itu berjalan melewatiku sekali lagi, lalu melemparkan sebuah senyum. Apa arti senyuman itu? Apa dia memberitahu wanita itu bahwa aku terus mengawasinya?
Wanita itu menatapku. Aku langsung membuang muka.
Ini tidak benar, kenapa aku harus menghindarinya. Tak ada yang salah denganku, tak ada yang salah juga jika aku terus memperhatikannya dari kejauhan. Dia sendiri yang berdiri di sana, sepanjang siang hari, dengan payung aneh yang berwarna pucat itu, jadi itu sama sekali bukan kesalahanku. Aku kembali coba menatapnya, dan ternyata dia masih melihatku. Tatapan matanya yang tegas, bola matanya yang berwarna kecokelatan. Aku merasa seolah waktu berhenti berputar.
Dia mencondongkan tubuhnya, “boleh aku duduk di sana?” katanya sambil tersenyum.
“Ya—tentu, silahkan. Saya tidak sedang menunggu siapapun.”
“Aku tahu.” Balasnya seraya menarik kursi di hadapanku sambil menenteng secangkir kopi.
Aku tahu. Aku tahu. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku, seolah-olah aku membayangkan dia memang tahu segalanya—termasuk tahu jika aku menganggapnya sebagai penyihir dari abad pertengahan.
“Bagaimana kau bisa tahu?” aku bertanya.
“Kau tidak mengecek jam, paling tidak yang kutahu selama empat puluh lima menit kau berada di sini. Kebiasaan orang-orang yang menunggu orang lain, mereka akan selalu mengecek jam untuk memastikan waktu pertemuan, atau memastikan berapa lama mereka telah menunggu. Dan sejauh yang kuketahui, kau tidak melakukannya.”
Dia mengawasiku!
“Mungkin Anda tidak melihatnya, saya rasa saya mengecek jam tangan saya beberapa saat yang lalu.” kataku.
“Dan itu bukan untuk memastikan waktu, atau melihat berapa lama kau telah menunggu. Tapi untuk mencari tahu sesuatu yang tak lagi berada di sana.” Dia tersenyum.
Dia benar-benar mengawasiku. Apa maksudnya ini? Seharusnya aku yang dari tadi mengawasinya, bukan sebaliknya ! Dan apa arti sikap menantangnya itu.
Dia menyodorkan tangannya. “Elisa,” dia berkata.
“Oh, saya pikir Anda juga mengetahui nama saya,” entah mengapa aku merasa sangat lega. Aku menjabat tangannya memperkenalkan diri, “Ardian, senang berkenalan, nona Elisa.”
“Kenapa kau berpikir aku mengetahui namamu, tuan Ardian.”
Aku berpikir sejenak, “ya—kupikir, Anda tahu saya tidak sedang menunggu siapapun. Bahkan mengetahui saya telah berada di sini selama empat puluh lima menit, sesuatu yang bahkan tidak saya sadari.”
Elisa tersenyum, menyibak rambutnya yang tersapu oleh angin. “Aku tidak mungkin bisa tahu namamu jika kau tidak memberitahukannya, tuan Ardian, aku bukan seorang cenayang.”
“Tolong Ardian saja, Elisa.”
“Dengan senang hati.”
Percakapan singkat terhenti. Elisa memperhatikan sejenak kopi yang berada di cangkir di hadapannya, sebelum akhirnya memutuskan untuk meminumnya.
“Jadi,” aku memecah keheningan, “kenapa Anda mengamati saya?”
“Oh! Aku? Kupikir yang terjadi justru sebaliknya.”
Aku tertawa,
“Oh, aku bahkan tak tahu Anda berjalan menuju restoran ini dan duduk di sana—di meja itu. Seolah-olah memang Anda ingin supaya saya bisa melihat Anda.” Kataku.
Elisa balik tertawa,
“Apakah itu salahku? Kau menyalahkanku karena kau yang tidak melihatku berjalan kemari dan duduk di sana, yang seolah-olah aku memang ingin terlihat olehmu.”
“Bukan, maksudku—itu—“
“Aku sangat mengerti, Ardian, dan sebenarnya—maaf saja—aku tidak secara khusus berbicara tentang dirimu, tapi tentang kebanyakan orang. Sama sepertimu, kebanyakan orang-orang terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Dan yang lebih menggelikan, mereka menciptakan urusan-urusan baru yang sebenarnya tidak perlu ada. Mereka mengada-adakannya supaya bisa menjadi lebih sibuk, supaya mereka lebih bisa berkutat dengan urusan mereka sendiri. Dan sesuatu di sekeliling mereka menjadi semakin terabaikan.”
Aku berpikir, coba menjejalkan semua perkataannya ke dalam kepalaku. Tapi aku tetap yang mengerti dengan apa yang tengah dibicarakannya.
“Maaf, tapi agaknya saya kurang memahaminya.” Kataku.
“Mudahnya, coba lihat dirimu sendiri. Aku selalu berdiri di sana, tepat di seberang restoran ini, kau tahu itu? Bagus. Tapi kau sama sekali tidak menyadarinya, bukan? Paling tidak sampai tiga hari yang lalu. Padahal ada fakta bahwa kau adalah pelanggan tetap restoran ini sejak tiga setengah tahun yang lalu. Kecuali hari kamis dan minggu—dan atau hari-hari besar, dan atau mungkin kau sedang sangat sibuk, kau selalu menyempatkan diri untuk datang ke restoran ini. Kenapa? Karena kau terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri. Seperti kebanyakan orang-orang!”
Aku kagum, bukan karena pemikirannya, tapi karena dia tahu bahwa aku tak pernah datang ke restoran ini untuk makan siang pada hari kamis dan minggu! Hari kamis aku selalu makan di kantor sambil menyelesaikan setumpukan berkas mingguan yang selalu datang pada hari rabu malam, dan tempat tinggalku terlalu jauh dari sini jika harus makan siang di sini pada hari minggu. Karena sudah menjadi kebiasaanku sejak lama, aku sama sekali melupakannya!
“Oh, jadi mungkinkah Anda juga tahu jika aku telah memiliki pacar? Aku sering datang kemari dengannya untuk makan siang.” Kataku menantang.
Dia terkesiap,
“Oh! Jadi kalian belum putus?” balas Elisa.
Aku tercekat. Bagaimana dia bisa mengetahuinya? Kami bahkan belum benar-benar putus meski kami sama-sama tahu bahwa hubungan itu tidak mungkin bisa dilanjutkan lagi!
“Oh, jadi sudah? Tentu saja, aku tahu itu.” Dia tersenyum penuh kemenangan. “Mungkin tak pantas jika harus mengatakan ini, tapi jujur saja, kalian sama sekali tidak cocok. Kalian lebih mirip rekan bisnis, atau apa itu namanya—transaksi saling menguntungkan. Maaf jika agak keras, tapi sungguh, aku berpikir demikian.” Lanjutnya terang-terangan.
Aku senang ada yang mengatakannya, karena kebanyakan orang berkata bahwa kami pasangan yang sangat serasi. Dan jujur, karena kata-kata itulah kami terus mempertahankan hubungan tak lagi menyenangkan itu.
“Jika kau memang bukan seorang cenayang, Elisa. Maukah kau berbaik hati menjelaskan padaku bagaimana kau bisa mengetahuinya?” tanyaku dingin.
Elisa menyesap kopinya, tersenyum kecil padaku sebelum akhirnya berbicara,
“Hari sabtu kemarin, atau tepatnya lima hari sebelumnya, kau datang ke restoran ini sendirian. Memang kau sering datang kemari sendirian, tapi tidak pernah pada hari sabtu. Dan juga, meski kau datang seorang diri, kau selalu menyempatkan diri untuk mengecek handphone—entah itu untuk menulis pesan, atau menelepon, sebuah rutinitas untuk mereka yang merasa dirinya ‘orang sibuk.’ Dan di hari sabtu itu, kau melanggar semua kebiasaanmu. Hanya ada tiga alasan kenapa orang melanggar kebiasaan mereka: satu, mereka terlalu senang; dua, mereka terlalu sedih; tiga, mereka dalam tekanan atau tertimpa masalah. Saat itu kau sedang senang? Tentu tidak, aku sama sekali tak melihat senyum di wajahmu hari itu. Kau sedang sedih? Mungkin, tapi kau memesan makanan yang terlalu berat untuk di makan pada saat makan siang, dan memesan kopi dua kali. Seseorang yang sedang bersedih tak memiliki nafsu makan yang besar, dan memesan kopi sampai dua kali dalam kurun waktu satu setengah jam itu berarti kau tetap ingin terjaga, meskipun kau sangat mengantuk. Mengantuk, ini menjadi petunjuk bahwa sesuatu menimpamu pada malam sebelumnya—jum’at malam, yang membuatmu tetap terjaga pada malam harinya. Seseorang yang sedang bersedih—secerdas apapun orang itu—akan lebih memilih alkohol untuk menghilangkan kesedihannya. Tapi fakta bahwa sabtu siang kau berada di restoran ini adalah bukti bahwa kau tak menggunakan alkohol sebagai pelampiasan. Jadi kusimpulkan bahwa kau sedang berada dalam masalah atau tertekan. Kau lebih memilih untuk memikirkan masalahmu semalaman, tapi kau tetap bimbang hingga memutuskan untuk mengganti suasana dengan pergi ke restoran ini pada siang harinya. Makanan yang kau pesan menandakan bahwa kau sama sekali belum makan, dan kopi memberiku petunjuk bahwa kau masih ingin terus memikirkan masalah itu. Yang masih belum bisa kumengerti saat itu ada hanya satu, masalah apa yang menimpamu?”
Aku hanya mendengarkannya dengan saksama, tak coba menjawab, membantah, atau pun menyela.
“Hari minggu,” Elisa melanjutkan. “Kau sama sekali tak datang kemari, atau mungkin datang tapi pada malam hari. Hari senin, kau datang dengan setelan jas yang berantakan—lagi-lagi kau melanggar kebiasaanmu sendiri. Hari senin itu saat kau datang, restoran penuh, jadi kau memesan bekal dan es kopi, lalu membawanya untuk dimakan di dalam taman itu. Saat itu jarak antara kita bahkan tidak sampai lima meter, tapi kau sama sekali belum menyadari tentang keberadaanku, bukan?”
“Tidak, aku terlalu sibuk dengan isi kepalaku sendiri. Lagipula jalanan di sekitar taman itu memang selalu ramai, jarak lima meter mungkin dekat, tapi jika dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang ceritanya akan menjadi sangat berbeda.” Aku menjawab.
“Itulah masalahnya, mereka terlalu sibuk dengan urusan yang mereka buat-buat sendiri hingga mengabaikan sesuatu yang ada di sekitar mereka. Kembali ke pokok masalah, hari itu karena kau berada dibelakangku aku jadi tidak terlalu memperhatikannya, tapi pada pukul satu siang, saat aku hendak kembali, aku masih melihatmu berada disana. Dengan kantung mata tebal dan hitam pekat, menunjukkan bahwa kau masih berada dalam masalah dan sama sekali tak bisa tidur dengan tenang. Keesokkan harinya pada hari selasa, kau datang ke restoran ini agak siang, pukul setengah satu. Saat itu kau terlihat jauh lebih baik—orang awam mungkin akan mengira kau baik-baik saja, tapi tidak di mataku. Kala itu dengan sangat intens kau memperhatikan hal-hal di sekelilingmu, terutama pada pasangan yang tengah bersama, atau wanita dan gadis-gadis. Saat itu aku mulai mengerti masalah apa yang tengah merundungmu, pertengkaran; keretakan; ketidak cocokkan, pokoknya hal-hal yang berhubungan dengan cinta dan romantisme. Dan di saat itu pula kau mulai menyadari keberadaanku yang berdiri di seberang jalan restoran ini. Tapi saat itu hampir pukul satu siang, jadi kau tak mengira jika aku sudah berdiri di sana selama dua jam.”
“Kenapa kau berdiri di sana? Apa yang kau cari dengan berdiri selama itu?”
“Pada hari rabu,” dia mengabaikan pertanyaanku dan meninggikan nadanya. “Kau datang kemari seperti biasanya, pukul dua belas siang lebih sedikit. Dan menyadari bahwa gadis berpayung yang kau lihat kemarin—aku—berada di sana. Kau penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya, berdiri di siang bolong seperti patung di pinggir jalan—mungkin itu yang kau pikirkan. Dan kau terus memperhatikanku, mungkin tertarik akan sampai kapan aku akan berdiri seperti itu di sana. Kau bahkan sama sekali tidak menyentuh makananmu, dan hanya sesekali meminum kopi yang kau pesan. Dan hari ini—kamis, kau melanggar kebiasaanmu dengan datang kemari untuk—mungkin—memastikan apakah gadis berpayung itu, masih berdiri di tempat yang sama.
Dan, beginilah pada akhirnya. Kau dan aku, Ardian, berhadapan duduk di satu meja.” Dia tersenyum mengakhiri penjelasannya.
Keheningan di antara kami tercipta, di antara hiruk pikuk keramaian pengujung restoran ini. Entah aku harus kagum atau justru ngeri begitu mendengar penjelasan. Dia seolah-olah berada di dekatku,menjadi bayanganku, mengawasi setiap detail gerakanku tanpa celah sedikit pun.
Diubah oleh redxiv 19-08-2015 07:28




nona212 dan anasabila memberi reputasi
2
5.9K
Kutip
38
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan