- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Empat Rahasia Ketangguhan ISIS


TS
gustimas
Empat Rahasia Ketangguhan ISIS
Quote:
Pada Maret lalu, majalah The Economist mengatakan bahwa ISIS mulai mengalami kemunduran. Mereka kehilangan seperempat dari total wilayah yang pernah dikuasai, sementara di saat bersamaan 17 dari 43 komandan tertinggi kelompok itu telah tewas.
Laporan The Economist tersebut seperti membenarkan prediksi dari sejumlah analis yang mengatakan bahwa ISIS tidak akan mampu bertahan lama. Argumentasinya, kekuatan anti-teroris seperti Amerika Serikat akan lebih mudah menghancurkan ISIS yang terkonsentrasi di satu tempat—berbeda dengan Al Qaeda yang tersebar dalam jaringan sel-sel kecil lintas negara.
Selain itu, brutalitas ISIS justru akan memicu gerakan perlawanan dari warga di daerah yang mereka kuasai. ISIS, kata para analis itu, akan lemah dari dalam.
Almarhum Osama bin Laden bahkan pernahmewanti-wanti pengikutnya untuk tidak mendirikan negara Islam karena karena akan mudah menjadi target serangan Barat. Osama belajar dari pengalaman buruk Emirat Islam di Afghanistan (Taliban) yang hanya bertahan selama tiga bulan dari serbuan Amerika Serikat.
Tapi, saya tidak setuju dengan Osama ataupun para analis itu. Bagi saya, prediksi di atas mengabaikan kecakapan manajerial ISIS dalam mengatur warga; meremehkan kemampuan regenerasi mereka; terlalu membesarkan pengaruh minyak sebagai sumber pendapatan; dan silap soal dampak politik sektarian-pragmatis yang ISIS mainkan.
Kombinasi dari empat faktor tersebut telah membuat ISIS bertahan hampir setahun setelah serangan udara koalisi internasional. Wilayah inti seperti Raqqa, Aleppo, dan Mosul tetap mereka kuasai tanpa ada tanda-tanda kejatuhan.

KEMAMPUAN MANAJERIAL
Pekerjaan sehari-hari ISIS bukan hanya menggorok kepala orang. Sesudah menguasai wilayah dengan mimpi membangun negara, ISIS harus mulai menanamkan legitimasi yang bukan hanya bersandar pada ayat-ayat Al Quran.
Tugas pertama mereka adalah memulihkan keamanan di tengah situasi perang. ISIS sangat berhasil menciptakan stabilitas yang merupakan kunci pertama ketundukan warga negara—baik akibat teror ataupun kesepakatan bersama
“Anda bisa bepergian dari Raqqa ke Mosul, dan tidak akan ada orang yang berani merampok meski Anda membawa satu juta dolar,” kata seorang warga Raqqa, Bilal, sebagaimana dilaporakan The New York Times.
Untuk memahami prestasi besar ISIS ini, bayangkan situasi ketegangan di Jakarta tahun 1998 tanpa ada perampokan, perampasan, maupun penjarahan.
Kestabilan itu terbentuk dari lembaga pengadilan, polisi syariah, dan polisi biasa yang mempunyai kantor tetap dengan personil yang berbeda satu sama lain (setidaknya di Raqqa). Hal ini mengindikasikan bahwa ISIS telah menginvestasikan sumber daya yang besar bagi urusan sipil di daerah yang mereka kuasai. Meski sering mempertontonkan kekejaman di depan umum—dengan melempar pelaku homoseksual dari gedung, memotong tangan pencuri, dan melempari kepala pezina dengan batu—warga lokal setidaknya masih mengormati pengadilan ISIS. Sebagian di antara mereka menilai hakim ISIS lebih bersih dibanding hakim dari masa sebelumnya.
PRAGMATISME POLITIK
ISIS sendiri sadar bahwa teror tidaklah cukup untuk menandaskan kepatuhan warga. Sebagai negara, mereka juga harus mendapatkan legitimasi dengan mendirikan layanan dasar publik seperti listrik, air, dan distribusi makanan.
Dalam persoalan layanan publik inilah ISIS menampakkan sisi pragmatis yang membuat mereka tidak lagi terlihat sebagai sekumpulan orang-orang fanatik berpikiran sempit yang hanya tahu cara memenggal kepala.
Di Suriah misalnya, mereka menguasai tiga bendungan dan dua pengilangan gas yang berfungsi untuk membangkitkan listrik. Sadar tidak bisa mengoperasikannya, ISIS kemudian bekerja sama dengan rezim pemerintah di Damaskus.
“ISIS menjaga pengilangan itu dan membiarkan pegawai pemerintah datang untuk bekerja. ISIS mendapatkan gas untuk keperluan rumah tangga, sementara rezim mendapat jatah gas untuk keperluan listrik, yang juga akan dikirim ke daerah kekuasaan ISIS,” kata seorang narasumber Financial Times.
Lebih dari itu, rezim Damaskus juga tetap membayar gaji para pegawai pengilangan dan mengimpor suku cadang untuk perbaikan mesin. “Meski saya menentang ISIS, saya harus mengakui kepintaran mereka,” kata narasumber itu.
Jadi, ISIS secara terbuka mengkafirkan Alawite yang merupakan kepercayaan rezim Presiden Bashar al Assad dan membiarkan personil mereka baku tembak dengan pasukan pemerintah, namun di balik meja para elit kedua pihak saling tukar kepentingan.
ISIS juga menunjukkan pragmatisme yang sama dalam hal minyak. Kelompok itu hingga kini tidak bisa memasarkan minyak dari 10 ladang yang mereka kuasai di Suriah ke pasar internasional akibat larangan Dewan Keamanan PBB.
Lalu di mana mereka menjualnya? Sejumlah analis menjawab pertanyaan itu dengan satu kata, “Kurdi.” Ya, Kurdi yang juga mereka perangi dengan gagah berani di Kobane itu.
Satu-satunya pengilangan minyak yang bisa menerima produk ISIS berada di wilayah otonom Kurdi di Irak. Tempat itu tumbuh menjadi pasar gelap minyak sejak tahun 1990an saat dunia memberi sanksi pada rezim Saddam Hussein.
“Ada kemungkinan ISIS menjual minyak mentah mereka ke pengilangan ini (Kurdi). Harus diakui ini memang hal buruk dan ilegal. Namun inilah cara yang dapat mendorong roda perekonomian,” kata pakar energi, Bilal Wahab.
Sementara itu di daerah dengan suprastruktur layanan publik yang tidak memadai, pragmatisme ISIS menunjukkan wajah yang berbeda. Di Mosul misalnya, dua orang perempuan yang hendak melahirkan meninggal hanya karena ISIS tidak memperbolehkan dokter laki-laki memberi suntikan anestesi kepada ibu-ibu malang itu.
Tapi, inkompetensi ISIS di Mosul diimbangi dengan politik sektarian (dalam bahasa Belandanya devide et impera) yang efektif. Mereka selalu mengingatkan penduduk lokal betapa buruknya nasib mereka di bawah kepemimpinan rezim Syiah, boneka Amerika Serikat, di Baghdad.
“Sebagian besar orang tidak mau politisi korup ataupun milisi Syiah kembali ke sini. ISIS, dengan segala kebrutalannya, adalah kelompok yang lebih jujur dibanding pemerintah Syiah di Baghdad dan semua milisinya,” kata Basher Aziz, seorang pemuda sarjana dalam suratnya kepada The Guardian.
PENDAPATAN NON-MINYAK
“Jika ISIS hendak membangun industri minyak, maka mereka akan rentan terhadap serangan militer. Industri ini lambat, besar, dan mudah meledak sekali tembak. Ini bukan cara yang bisa diandalkan untuk mengeruk uang,” kata Michael Knights, dari Washington Institute for Near East Policy kepada majalah Foreign Policy.
Banyak analisis yang menyatakan bahwa untuk mengalahkan ISIS, pesawat koalisi internasional cukup membombardir infratruktur industri tersebut di wilayah kekhalifahan. Tujuannya satu, memberangus sumber pendapatan ISIS sehingga mereka tidak mampu membayar pasukannya.
Tapi prediksi itu mengabaikan fakta sederhana bahwa sektor minyak hanya menyumbang sekitar 11,4 persen dari total pendapatan ISIS tahun lalu. Kelompok ini jauh lebih bergantung pada sektor pajak yang terkadang lebih mirip pemerasan, antara 20-50 persen dari pendapatan warga.

Dengan demikian, salah satu kunci keberlanjutan ISIS adalah penyeimbangan antara tingginya pajak dengan insentif agar roda perekonomian tetap berjalan. Jika ISIS terus melakukan pemerasan sehingga dunia usaha tidak dapat lagi menopangnya, maka mereka akan menghadapi kehancuran sendiri.
Sejauh ini terdapat laporan yang tidak begitu seragam terhadap perekonomian di daerah ISIS. Financial Times misalnya memuji mudahnya pertukaran barang dan memulai bisnis di era kepemimpan Abu Bakr al Baghdadi. Ditambah dengan jaminan keamanan seperti yang diceritakan di atas, maka insentif usaha dai bawah ISIS sebenarnya memadai.
Namun di sisi lain, The International Business Times melaporkan dari sudut pandang yang berbeda. Listrik yang hanya mengalir empat jam sehari tidak akan mampu mendorong industri dasar seperti pabrik pembuatan roti—bahan makanan utama di Irak dan Suriah.
MATI SATU TUMBUH SERIBU
Frasa yang sudah klise itu sepertinya tepat untuk menggambarkan kemampuan ISIS meregenerasi diri. Arus anggota asing, terutama dari kawasan Eropa, Afrika Utara, dan Teluk, masih terus berdatangan ke Suriah dengan melewati Turki.
Sebagian besar di antara para pendatang itu ingin bergabung menjadi warga kekhalifahan baru. Ini merupakan prestasi mengagumkan mengingat ISIS adalah organisasi baru yang belum mempunyai jaringan global mapan seperti Al Qaeda.
Mengenai fenomena ini—khususnya soal cepatnya perkembangan ISIS di Indonesia meski tanpa dukungan jaringan mapan–saya sempat mewawancarai peneliti muda dari S. Rajaratnam School of International Studies, Navhat Nuraniyah.
“Mayoritas orang lama dari Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Ansharusy Syariah, sebenarnya sangat anti-dengan ISIS. Mereka masih sangat loyal kepada Al Qaeda, terutama para alumni Afghanistan” kata Navhat.
Saya-pun bertanya, jika senior-senior jihadis saja anti sama kepemimpinan Abu Bakar al Baghdadi, bagaimana mungkin sebagian di antara 300an anak muda Indonesia yang berangkat ke Suriah bisa bergabung dengan ISIS? Dari mana mereka menjalin konta-kontak awal?
Nahvat menjelaskan bahwa rombongan pertama dari Indonesia yang datang ke Suriah adalah mahasiswa yang belajar di Timur Tengah pada 2012—itu artinya sebelum Al Qaeda pecah dengan ISIS.
“(Fase selanjutnya) banyak yang berangkat sendiri-sendiri lewat jalur umroh atau berpura-pura menjadi turis,” tuturnya.
Sayapun langsung membayangkan diri menjadi salah satu di antara mereka yang berangkat sendiri itu. Saya tidak tahu akan bertemu siapa di Suriah, bagaimana, dan di mana. Saya juga tidak kenal satu pun orang ISIS di sana. Ini sama saja dengan perilaku suporter Persebaya waktu hendak tawuran, bondho nekat.
Demikian hebatnya ISIS ini dalam menguasai imajinasi kelompok muda garis keras di negeri ini sampai-sampai ada guru sekolah menengah yang rela menjual rumah untuk pergi ke negeri impian. Imajinasi ini pula yang mungkin membuat 6.000an warga Eropa berangkat ke Suriah. Kenekatan yang sama juga membuat seorang ibu di Australia meninggalkan dua anaknya yang masih balita demi menjadi istri pejuang jihad.
Saya berkesimpulan bahwa ISIS pasti mempunyai tim media yang tangguh untuk berkomunikasi dengan mereka meski tidak secara langsung. ISIS punya majalah berbahasa Inggris dengan desain yang tidak amatiran. Saya menduga bahwa eksekusi bar-bar yang mereka lakukan—beserta videonya—adalah bukan semata-mata karena fanatik, tapi semacam kesengajaan strategi media untuk mendapat publikasi gratis di media-media internasional.
Berita tentang kemenganan ISIS di Asia Selatan dalam perang sosial media ini setidaknya menguatkan dugaan saya.
Namun saat saya mengungkapkan pikiran itu, Navhat hanya tertawa sambil mengatakan, “kalau itu susah ditentukan…karena mereka (pemuda ISIS Indonesia) mempunyai ideolog seperti Aman Abdurrahman dan dukungan Abu Bakar Baasyir.”
….
Itulah empat kekuatan yang menurut saya bisa membuat ISIS bertahan. Dua yang pertama (pragmatisme dan kemampuan manajerial), setidaknya untuk saat sekarang, membuat ISIS kebal terhadap perlawanan dari dalam. Sementara dua yang terakhir membuat ISIS masih mampu terus mendapatkan uang sekaligus pengikut baru
Laporan The Economist tersebut seperti membenarkan prediksi dari sejumlah analis yang mengatakan bahwa ISIS tidak akan mampu bertahan lama. Argumentasinya, kekuatan anti-teroris seperti Amerika Serikat akan lebih mudah menghancurkan ISIS yang terkonsentrasi di satu tempat—berbeda dengan Al Qaeda yang tersebar dalam jaringan sel-sel kecil lintas negara.
Selain itu, brutalitas ISIS justru akan memicu gerakan perlawanan dari warga di daerah yang mereka kuasai. ISIS, kata para analis itu, akan lemah dari dalam.
Almarhum Osama bin Laden bahkan pernahmewanti-wanti pengikutnya untuk tidak mendirikan negara Islam karena karena akan mudah menjadi target serangan Barat. Osama belajar dari pengalaman buruk Emirat Islam di Afghanistan (Taliban) yang hanya bertahan selama tiga bulan dari serbuan Amerika Serikat.
Tapi, saya tidak setuju dengan Osama ataupun para analis itu. Bagi saya, prediksi di atas mengabaikan kecakapan manajerial ISIS dalam mengatur warga; meremehkan kemampuan regenerasi mereka; terlalu membesarkan pengaruh minyak sebagai sumber pendapatan; dan silap soal dampak politik sektarian-pragmatis yang ISIS mainkan.
Kombinasi dari empat faktor tersebut telah membuat ISIS bertahan hampir setahun setelah serangan udara koalisi internasional. Wilayah inti seperti Raqqa, Aleppo, dan Mosul tetap mereka kuasai tanpa ada tanda-tanda kejatuhan.

KEMAMPUAN MANAJERIAL
Pekerjaan sehari-hari ISIS bukan hanya menggorok kepala orang. Sesudah menguasai wilayah dengan mimpi membangun negara, ISIS harus mulai menanamkan legitimasi yang bukan hanya bersandar pada ayat-ayat Al Quran.
Tugas pertama mereka adalah memulihkan keamanan di tengah situasi perang. ISIS sangat berhasil menciptakan stabilitas yang merupakan kunci pertama ketundukan warga negara—baik akibat teror ataupun kesepakatan bersama
“Anda bisa bepergian dari Raqqa ke Mosul, dan tidak akan ada orang yang berani merampok meski Anda membawa satu juta dolar,” kata seorang warga Raqqa, Bilal, sebagaimana dilaporakan The New York Times.
Untuk memahami prestasi besar ISIS ini, bayangkan situasi ketegangan di Jakarta tahun 1998 tanpa ada perampokan, perampasan, maupun penjarahan.
Kestabilan itu terbentuk dari lembaga pengadilan, polisi syariah, dan polisi biasa yang mempunyai kantor tetap dengan personil yang berbeda satu sama lain (setidaknya di Raqqa). Hal ini mengindikasikan bahwa ISIS telah menginvestasikan sumber daya yang besar bagi urusan sipil di daerah yang mereka kuasai. Meski sering mempertontonkan kekejaman di depan umum—dengan melempar pelaku homoseksual dari gedung, memotong tangan pencuri, dan melempari kepala pezina dengan batu—warga lokal setidaknya masih mengormati pengadilan ISIS. Sebagian di antara mereka menilai hakim ISIS lebih bersih dibanding hakim dari masa sebelumnya.
PRAGMATISME POLITIK
ISIS sendiri sadar bahwa teror tidaklah cukup untuk menandaskan kepatuhan warga. Sebagai negara, mereka juga harus mendapatkan legitimasi dengan mendirikan layanan dasar publik seperti listrik, air, dan distribusi makanan.
Dalam persoalan layanan publik inilah ISIS menampakkan sisi pragmatis yang membuat mereka tidak lagi terlihat sebagai sekumpulan orang-orang fanatik berpikiran sempit yang hanya tahu cara memenggal kepala.
Di Suriah misalnya, mereka menguasai tiga bendungan dan dua pengilangan gas yang berfungsi untuk membangkitkan listrik. Sadar tidak bisa mengoperasikannya, ISIS kemudian bekerja sama dengan rezim pemerintah di Damaskus.
“ISIS menjaga pengilangan itu dan membiarkan pegawai pemerintah datang untuk bekerja. ISIS mendapatkan gas untuk keperluan rumah tangga, sementara rezim mendapat jatah gas untuk keperluan listrik, yang juga akan dikirim ke daerah kekuasaan ISIS,” kata seorang narasumber Financial Times.
Lebih dari itu, rezim Damaskus juga tetap membayar gaji para pegawai pengilangan dan mengimpor suku cadang untuk perbaikan mesin. “Meski saya menentang ISIS, saya harus mengakui kepintaran mereka,” kata narasumber itu.
Jadi, ISIS secara terbuka mengkafirkan Alawite yang merupakan kepercayaan rezim Presiden Bashar al Assad dan membiarkan personil mereka baku tembak dengan pasukan pemerintah, namun di balik meja para elit kedua pihak saling tukar kepentingan.
ISIS juga menunjukkan pragmatisme yang sama dalam hal minyak. Kelompok itu hingga kini tidak bisa memasarkan minyak dari 10 ladang yang mereka kuasai di Suriah ke pasar internasional akibat larangan Dewan Keamanan PBB.
Lalu di mana mereka menjualnya? Sejumlah analis menjawab pertanyaan itu dengan satu kata, “Kurdi.” Ya, Kurdi yang juga mereka perangi dengan gagah berani di Kobane itu.
Satu-satunya pengilangan minyak yang bisa menerima produk ISIS berada di wilayah otonom Kurdi di Irak. Tempat itu tumbuh menjadi pasar gelap minyak sejak tahun 1990an saat dunia memberi sanksi pada rezim Saddam Hussein.
“Ada kemungkinan ISIS menjual minyak mentah mereka ke pengilangan ini (Kurdi). Harus diakui ini memang hal buruk dan ilegal. Namun inilah cara yang dapat mendorong roda perekonomian,” kata pakar energi, Bilal Wahab.
Sementara itu di daerah dengan suprastruktur layanan publik yang tidak memadai, pragmatisme ISIS menunjukkan wajah yang berbeda. Di Mosul misalnya, dua orang perempuan yang hendak melahirkan meninggal hanya karena ISIS tidak memperbolehkan dokter laki-laki memberi suntikan anestesi kepada ibu-ibu malang itu.
Tapi, inkompetensi ISIS di Mosul diimbangi dengan politik sektarian (dalam bahasa Belandanya devide et impera) yang efektif. Mereka selalu mengingatkan penduduk lokal betapa buruknya nasib mereka di bawah kepemimpinan rezim Syiah, boneka Amerika Serikat, di Baghdad.
“Sebagian besar orang tidak mau politisi korup ataupun milisi Syiah kembali ke sini. ISIS, dengan segala kebrutalannya, adalah kelompok yang lebih jujur dibanding pemerintah Syiah di Baghdad dan semua milisinya,” kata Basher Aziz, seorang pemuda sarjana dalam suratnya kepada The Guardian.
PENDAPATAN NON-MINYAK
“Jika ISIS hendak membangun industri minyak, maka mereka akan rentan terhadap serangan militer. Industri ini lambat, besar, dan mudah meledak sekali tembak. Ini bukan cara yang bisa diandalkan untuk mengeruk uang,” kata Michael Knights, dari Washington Institute for Near East Policy kepada majalah Foreign Policy.
Banyak analisis yang menyatakan bahwa untuk mengalahkan ISIS, pesawat koalisi internasional cukup membombardir infratruktur industri tersebut di wilayah kekhalifahan. Tujuannya satu, memberangus sumber pendapatan ISIS sehingga mereka tidak mampu membayar pasukannya.
Tapi prediksi itu mengabaikan fakta sederhana bahwa sektor minyak hanya menyumbang sekitar 11,4 persen dari total pendapatan ISIS tahun lalu. Kelompok ini jauh lebih bergantung pada sektor pajak yang terkadang lebih mirip pemerasan, antara 20-50 persen dari pendapatan warga.

Dengan demikian, salah satu kunci keberlanjutan ISIS adalah penyeimbangan antara tingginya pajak dengan insentif agar roda perekonomian tetap berjalan. Jika ISIS terus melakukan pemerasan sehingga dunia usaha tidak dapat lagi menopangnya, maka mereka akan menghadapi kehancuran sendiri.
Sejauh ini terdapat laporan yang tidak begitu seragam terhadap perekonomian di daerah ISIS. Financial Times misalnya memuji mudahnya pertukaran barang dan memulai bisnis di era kepemimpan Abu Bakr al Baghdadi. Ditambah dengan jaminan keamanan seperti yang diceritakan di atas, maka insentif usaha dai bawah ISIS sebenarnya memadai.
Namun di sisi lain, The International Business Times melaporkan dari sudut pandang yang berbeda. Listrik yang hanya mengalir empat jam sehari tidak akan mampu mendorong industri dasar seperti pabrik pembuatan roti—bahan makanan utama di Irak dan Suriah.
MATI SATU TUMBUH SERIBU
Frasa yang sudah klise itu sepertinya tepat untuk menggambarkan kemampuan ISIS meregenerasi diri. Arus anggota asing, terutama dari kawasan Eropa, Afrika Utara, dan Teluk, masih terus berdatangan ke Suriah dengan melewati Turki.
Sebagian besar di antara para pendatang itu ingin bergabung menjadi warga kekhalifahan baru. Ini merupakan prestasi mengagumkan mengingat ISIS adalah organisasi baru yang belum mempunyai jaringan global mapan seperti Al Qaeda.
Mengenai fenomena ini—khususnya soal cepatnya perkembangan ISIS di Indonesia meski tanpa dukungan jaringan mapan–saya sempat mewawancarai peneliti muda dari S. Rajaratnam School of International Studies, Navhat Nuraniyah.
“Mayoritas orang lama dari Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Ansharusy Syariah, sebenarnya sangat anti-dengan ISIS. Mereka masih sangat loyal kepada Al Qaeda, terutama para alumni Afghanistan” kata Navhat.
Saya-pun bertanya, jika senior-senior jihadis saja anti sama kepemimpinan Abu Bakar al Baghdadi, bagaimana mungkin sebagian di antara 300an anak muda Indonesia yang berangkat ke Suriah bisa bergabung dengan ISIS? Dari mana mereka menjalin konta-kontak awal?
Nahvat menjelaskan bahwa rombongan pertama dari Indonesia yang datang ke Suriah adalah mahasiswa yang belajar di Timur Tengah pada 2012—itu artinya sebelum Al Qaeda pecah dengan ISIS.
“(Fase selanjutnya) banyak yang berangkat sendiri-sendiri lewat jalur umroh atau berpura-pura menjadi turis,” tuturnya.
Sayapun langsung membayangkan diri menjadi salah satu di antara mereka yang berangkat sendiri itu. Saya tidak tahu akan bertemu siapa di Suriah, bagaimana, dan di mana. Saya juga tidak kenal satu pun orang ISIS di sana. Ini sama saja dengan perilaku suporter Persebaya waktu hendak tawuran, bondho nekat.
Demikian hebatnya ISIS ini dalam menguasai imajinasi kelompok muda garis keras di negeri ini sampai-sampai ada guru sekolah menengah yang rela menjual rumah untuk pergi ke negeri impian. Imajinasi ini pula yang mungkin membuat 6.000an warga Eropa berangkat ke Suriah. Kenekatan yang sama juga membuat seorang ibu di Australia meninggalkan dua anaknya yang masih balita demi menjadi istri pejuang jihad.
Saya berkesimpulan bahwa ISIS pasti mempunyai tim media yang tangguh untuk berkomunikasi dengan mereka meski tidak secara langsung. ISIS punya majalah berbahasa Inggris dengan desain yang tidak amatiran. Saya menduga bahwa eksekusi bar-bar yang mereka lakukan—beserta videonya—adalah bukan semata-mata karena fanatik, tapi semacam kesengajaan strategi media untuk mendapat publikasi gratis di media-media internasional.
Berita tentang kemenganan ISIS di Asia Selatan dalam perang sosial media ini setidaknya menguatkan dugaan saya.
Namun saat saya mengungkapkan pikiran itu, Navhat hanya tertawa sambil mengatakan, “kalau itu susah ditentukan…karena mereka (pemuda ISIS Indonesia) mempunyai ideolog seperti Aman Abdurrahman dan dukungan Abu Bakar Baasyir.”
….
Itulah empat kekuatan yang menurut saya bisa membuat ISIS bertahan. Dua yang pertama (pragmatisme dan kemampuan manajerial), setidaknya untuk saat sekarang, membuat ISIS kebal terhadap perlawanan dari dalam. Sementara dua yang terakhir membuat ISIS masih mampu terus mendapatkan uang sekaligus pengikut baru
Sumber di sini gan.
Diubah oleh gustimas 17-08-2015 10:40
0
5.7K
Kutip
29
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan