- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
1948,1965,1982,1999,(2016?) Siklus 17 tahun kah ?


TS
mas.patub
1948,1965,1982,1999,(2016?) Siklus 17 tahun kah ?
Nemu ini di google,tulisan ini dibuat hampir 5 tahun yang lalu dan diposting setahun yang lalu, kalo melihat perkembangan negara ini seperti adanya atribut PKI di perayaan kemerdekaan di Madura kemarin kok sepertinya mendekati kenyataan,,entahlah
Sebuah pembentukan perspektif yang aneh terjadi di Indonesia. Ada yang membuat sebuah ide gila tentang sirkulasi sejarah, bahwa ada morfologi setiap 17 tahun akan ada "goro-goro" atau huru-hara yang mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dimulai tahun 1948 terjadinya pemberontakan PKI Madiun, 17 tahun berikutnya adalah tahun 1965 adalah pemberontakan G-30-S (yang dikatakan juga didalangi oleh PKI). 17 tahun berikutnya, 1982, peristiwa Malari. 17 tahun setelah itu, 1999, Reformasi. Maka 17 tahun reformasi, atau 2016 harusnya terjadi sesuatu.
Lalu Morfologi kedua adalah tentang ketatanegaraan Indonesia, bahwa umur pemerintahan di Indonesia ini hanya 70 tahun saja. Demikian lah kerajaan Sriwijaya, lalu demikian pula Majapahit. Dan sekiranya demikian pula Republik Indonesia, yang pada tahun 2015 nanti akan merayakan 70 tahun kemerdekaannya.
Sebenarnya ada lagi "pembusukan sejarah" bangsa ini, yang terjadi karena bangsa ini sudah enggan mengajarkan sejarah kepada generasi penerusnya. Misalnya Politik Etis yang dikatakan untuk melemahkan Islam, dengan cara menyekolahkan orang Indonesia ke Arab Saudi (aneh sekali). Lalu bahwa hasil dari Politik Etis itu adalah terbentuknya sel Islam garis keras di Indonesia. Saya sebenarnya bertanya dalam hati, apakah orang-orang ini belajar sejarah dengan benar, atau apakah orang-orang ini berusaha mengelabui bangsanya sendiri, ataukah orang-orang ini sekedar membual supaya terdengar penting dan hebat? Saya takut, bukan hanya itu saja bagian sejarah yang memang hanya diam meskipun dibelokkan dan dipalsukan, sehingga mengganggu kesehatan otak dan cara berpikir anak-anak saya nanti.
Kita memang tidak hidup di jaman itu semua. Tak ada seorang pun hari ini yang merasakan kehidupan awal jaman penjajahan Belanda, jaman Majapahit, apalagi jaman Sriwijaya. Maka tak ada yang haqqul yaqin tentang itu semua, tetapi manusia seyogyanya membaca (Iqra'), membaca dari tanda-tanda, karena Tuhan selalu memberikan tanda-tanda. Dari peninggalan sejarah misalnya, dari hikayat dan legenda, dari sejarah bangsa lain, dari dinamika sejarah dunia, dan lain sebagainya.
Sriwijaya bertahan sekitar 200 tahun lamanya, dari sekitar 671 hingga sekitar 1025. Hampir 300 tahun. Sedangkan Majapahit juga bertahan sekitar 300 tahun, dari tahun 1293 hingga 1520-an. Adhyaksa Dault mengatakan (saya kurang lebih menyetujui) bahwa Sriwijaya dan Majapahit runtuh karena kegagalan kaderisasi kepemimpinan. Secara umum, pandangan itu tidak salah, meskipun sebenarnya bukan hanya itu saja. Menurut saya, Sriwijaya dan Majapahit runtuh karena tidak mampu menghadapi perbedaan ide agama antara Hindu-Buddha dengan Islam. Hindu dan Buddha masih memberikan kesempatan terjadinya kelas sosial, kasta. Sedangkan Islam tidak mengenal kasta, monokasta. Klaasloose, kata Bung Karno. Tanpa kelas. Hindu dan Buddha masih bisa berjalan seiring, tetapi tidak dengan Islam. Karena itu, elit pemerintahan (Keraton) yang berkuasa akan kehilangan legitimasi manakala mereka yang Hindu dan Buddha saat itu menerima Islam sebagai salah satu agama di keraton kerajaan mereka. Padahal legitimasi mereka disahkan oleh Hindu dan Buddha.
Hampir 300 tahun berikutnya terjadi absence of national authority. Nation di Indonesia mengalami bentuk yang paling alami, nasionalisme kesukubangsaan. Dan dari penaklukan-penaklukan terhadap nasion-nasion itu, maka berdirilah Pemerintahan (Kolonial) Hindia Belanda. Meskipun resminya tidak ada kata "kolonial", tetapi kita sebagai bangsa Indonesia WAJIB menambahkan "gelar" itu, karena pemerintahan itu ada memang bukan untuk memerintah, tetapi untuk mengkolonisasi Indonesia. Resminya, sejak Belanda masuk ke Indonesia dengan "merk dagang" VOC pada sekitar tahun 1600-an, terjadi penaklukan-penaklukan bangsa asli Indonesia. Dan pada 1800, VOC dibubarkan dan berdiri Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pemerintahan ini bertahan hingga berbentuk NICA. NICA sendiri tidak pernah dibubarkan, hanya bersalin nama menjadi Komisi Tinggi untuk Hindia Belanda (High Commisioners of the Crown for Dutch East Indie). Dalam sejarah Indonesia, hanya dikenal nama Hubertus Johannes Van Mook sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tetapi kenyataannya Van Mook punya pengganti bernama Louis Joseph Maria Beel. Dalam Wikipedia dicatat bahwa Gubernur Jenderal terakhir adalah AHJ Lovink. Manifestasi perjuangan Hindia Belanda sebenarnya tidak berhenti disana, tetapi juga harus dilihat dari KNIL yang merupakan tentaranya. Buktinya, saat perjanjian Renville, Belanda mengajukan nama Abdoelkadir Widjoatmodjo sebagai perunding untuk Belanda. 71% KNIL adalah pribumi Indonesia, dan salah satu mantan KNIL sempat menjabat sebagai presiden RI, Soeharto.
Sedangkan Politik Etis (Etisch Politiek) dijalankan pada tahun 1890-an yang melahirkan gerakan pembangunan edukasi, irigasi, dan emigrasi di daerah jajahan Belanda. Pencetusnya adalah Van Deventer. Indonesia harusnya berhutang budi kepada Van Deventer, karena tanpa Politik Etis, tidak akan muncul nama-nama tokoh pergerakan nasional Indonesia seperti Moh Hatta, MH Thamrin, Soekarno, Soetan Sjahrir, dsb, yang dilahirkan dari pendidikan Belanda. Van Deventer menjiplak metode Inggris dalam mengendalikan daerah koloninya yakni dengan membangun kemampuan rakyat daerah jajahannya sehingga tidak hanya merupakan daerah pemasok bahan baku tetapi sekaligus menjadi pasar potensial untuk komoditas produksinya. Van Deventer pernah menjabat menteri daerah jajahan, dan itulah yang menjadi bahan pemikiran lahirnya Politik Etis. Sayangnya Conrad Theodore Van Deventer tak lama hidup (entah mengapa), dan perjuangannya dilanjutkan oleh istrinya yang membuka yayasan Kartini untuk memajukan pendidikan perempuan Indonesia yang terinspirasi oleh buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang memang dirilis pertama di Belanda.
Sedangkan Islam garis keras adalah akibat perseteruan Inggris-Belanda dalam memperebutkan Sumatera. Yang sempat mencuat di dalam sejarah adalah perang Paderi di Sumatera Barat, dimana Imam Bonjol sejatinya menonjolkan perjuangan diatas dasar faham Wahabi. Siapa Imam Wahabi, dari mana asalnya, dan bagaimana hubungannya dengan Inggris dan Belanda dapat dilihat lebih jauh dari berbagai literatur. Yang jelas, ada sumber yang mengatakan bahwa Imam Bonjol akhirnya memahami bahwa Islam di Indonesia tidak bisa menggunakan faham Wahabi, dan sebuah Mazhab bukanlah harga mati kebenaran Islam. Radikalisme mati dengan sendirinya. Sedangkan DR Snouck Hurgronye justru berusaha menyuntikkan pragmatisme dan skeptisme dikalangan Muslim untuk meredam perjuangan rakyat Aceh. Hurgronye dianggap salah satu pakar Islam Belanda. Dan riwayat ini sekaligus menyangkal bahwa Islam garis keras masuk ke Indonesia sejak Imam Bonjol, karena pada akhirnya Imam Bonjol pun menjadi moderat. Tidak ada Islam garis keras di Indonesia pada abad ke-20. Golongan sosialis Islam baru muncul setelah infiltrasi komunis ke dalam Sarekat Indonesia sehingga muncul SI Merah dan SI Putih. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo juga bukan sempalan Islam tradisional, tetapi dia mengadopsi ajaran ini dan itu dan menurut saya merupakan ajaran sesat karena menganggap dirinya sendiri sebagai wali. Tidak adal wali yang mendeklarasikan diri sebagai wali. Jadi kalau ada orang Islam yang mengikuti jejak Kartosoewirjo mendirikan NII itu sama saja mengikuti aliran sesat.
Lalu apa yang bisa ditarik kesimpulan dari sini? We cannot escape history. "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah", pesan Bung Karno. Bahkan Al Quran pun mengajarkan lewat sejarah. Karena melalui sejarah biasanya sebuah rezim melegitimasikan kekuasaannya. Raden Wijaya melegitimasi pemberontakannya sebagai balas dendam atas kudeta Jayakatwang terhadap mertuanya, Sri Kertanegara. Lalu demikian pula Republik Indonesia, melegitimasi negaranya sejajar seperti Sriwijaya dan Majapahit. Namun diatas semua itu, tergantung dari masing-masing generasi untuk mengubah nasibnya. Boleh jadi, jika pun benar siklus goro-goro itu ada, dengan upaya yang optimal, sebuah generasi bisa mengubah siklus itu menjadi hilang. Menghentikan karma. Sebagaimana yang dilakukan Muhammad 14 abad lalu terhadap kehidupan bangsa Quraisy. Rasulullah "mengkhianati" budaya yang berlaku dalam suku Quraisy saat itu; maka pengkhianatan berdasarkan kebenaran adalah benar, dan kesetiaan terhadap kebodohan dan kesesatan selamanya tidak akan membawa manfaat. Muhammad tidak akan menjadi Rasul dan Nabi jika ia setia kepada budaya, kebiasaan, menerima nasib apa adanya, tidak mempunyai keinginan untuk mengubah diri dan lingkungannya.
Selanjutnya, apa yang terjadi terhadap Republik Indonesia ini adalah tergantung apa yang akan kita perbuat hari ini. Seperti teladan Rasulullah, jika kita mengikuti saja apa yang tersedia hari ini, pasrah bongkokan, tidak punya visi dan cita-cita yang ingin diwujudkan, ya mungkin nasib republik ini justru lebih kacau daripada Sriwijaya dan Majapahit. Dan dari sejarah ini juga kita belajar mengapa founding fathers negara ini memiliki filsafat sosialisme. Karena memang yang menghancurkan Sriwijaya dan Majapahit adalah cita-cita untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang Klaasloos, masyarakat tanpa kelas. Egaliterian. Bukan masyarakat yang dikastakan oleh keturunan, bukan juga yang dikastakan oleh pangkat dan jabatan, apalagi kasta berdasarkan kemampuan ekonomi dan finansial. Adanya perbedaan itu alamiah, karena tanpa perbedaan takkan terjadi interaksi dan karena perbedaan adalah suatu hal yang mutlak. Tetapi perbedaan perlu diatur agar tidak menimbulkan kesenjangan.
Marilah, kita rapatkan barisan. Jangan mau dipecah belah. Perdalam ilmu pengetahuan, agar tak mudah diombang-ambingkan. Spesialisasi dalam kehidupan itu boleh, tetapi ada batasan dimana tetap diperlukan pengetahuan yang mendalam dalam hal-hal tertentu seperti pengetahuan agama, pengetahuan kenegaraan dan kebangsaan, serta pengetahuan sejarah. Tanpa itu semua, mustahil kita bisa membaca tanda-tanda dari-NYA. Mustahil kita bisa Iqra' bismirabbikalladzii khalaq. Lha wong pengetahuan tentang sejarah dan dasar agama saja tak punya...
Surabaya, 2 September 2010 pukul 0:27
Dharma Nusantara Antasena
Diposkan 10th May 2014 oleh Dharma Nusantara Antasena
sumber
Quote:
Morfologi dan Metamorfosis Nusantara (?)
Sebuah pembentukan perspektif yang aneh terjadi di Indonesia. Ada yang membuat sebuah ide gila tentang sirkulasi sejarah, bahwa ada morfologi setiap 17 tahun akan ada "goro-goro" atau huru-hara yang mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dimulai tahun 1948 terjadinya pemberontakan PKI Madiun, 17 tahun berikutnya adalah tahun 1965 adalah pemberontakan G-30-S (yang dikatakan juga didalangi oleh PKI). 17 tahun berikutnya, 1982, peristiwa Malari. 17 tahun setelah itu, 1999, Reformasi. Maka 17 tahun reformasi, atau 2016 harusnya terjadi sesuatu.
Lalu Morfologi kedua adalah tentang ketatanegaraan Indonesia, bahwa umur pemerintahan di Indonesia ini hanya 70 tahun saja. Demikian lah kerajaan Sriwijaya, lalu demikian pula Majapahit. Dan sekiranya demikian pula Republik Indonesia, yang pada tahun 2015 nanti akan merayakan 70 tahun kemerdekaannya.
Sebenarnya ada lagi "pembusukan sejarah" bangsa ini, yang terjadi karena bangsa ini sudah enggan mengajarkan sejarah kepada generasi penerusnya. Misalnya Politik Etis yang dikatakan untuk melemahkan Islam, dengan cara menyekolahkan orang Indonesia ke Arab Saudi (aneh sekali). Lalu bahwa hasil dari Politik Etis itu adalah terbentuknya sel Islam garis keras di Indonesia. Saya sebenarnya bertanya dalam hati, apakah orang-orang ini belajar sejarah dengan benar, atau apakah orang-orang ini berusaha mengelabui bangsanya sendiri, ataukah orang-orang ini sekedar membual supaya terdengar penting dan hebat? Saya takut, bukan hanya itu saja bagian sejarah yang memang hanya diam meskipun dibelokkan dan dipalsukan, sehingga mengganggu kesehatan otak dan cara berpikir anak-anak saya nanti.
Kita memang tidak hidup di jaman itu semua. Tak ada seorang pun hari ini yang merasakan kehidupan awal jaman penjajahan Belanda, jaman Majapahit, apalagi jaman Sriwijaya. Maka tak ada yang haqqul yaqin tentang itu semua, tetapi manusia seyogyanya membaca (Iqra'), membaca dari tanda-tanda, karena Tuhan selalu memberikan tanda-tanda. Dari peninggalan sejarah misalnya, dari hikayat dan legenda, dari sejarah bangsa lain, dari dinamika sejarah dunia, dan lain sebagainya.
Sriwijaya bertahan sekitar 200 tahun lamanya, dari sekitar 671 hingga sekitar 1025. Hampir 300 tahun. Sedangkan Majapahit juga bertahan sekitar 300 tahun, dari tahun 1293 hingga 1520-an. Adhyaksa Dault mengatakan (saya kurang lebih menyetujui) bahwa Sriwijaya dan Majapahit runtuh karena kegagalan kaderisasi kepemimpinan. Secara umum, pandangan itu tidak salah, meskipun sebenarnya bukan hanya itu saja. Menurut saya, Sriwijaya dan Majapahit runtuh karena tidak mampu menghadapi perbedaan ide agama antara Hindu-Buddha dengan Islam. Hindu dan Buddha masih memberikan kesempatan terjadinya kelas sosial, kasta. Sedangkan Islam tidak mengenal kasta, monokasta. Klaasloose, kata Bung Karno. Tanpa kelas. Hindu dan Buddha masih bisa berjalan seiring, tetapi tidak dengan Islam. Karena itu, elit pemerintahan (Keraton) yang berkuasa akan kehilangan legitimasi manakala mereka yang Hindu dan Buddha saat itu menerima Islam sebagai salah satu agama di keraton kerajaan mereka. Padahal legitimasi mereka disahkan oleh Hindu dan Buddha.
Hampir 300 tahun berikutnya terjadi absence of national authority. Nation di Indonesia mengalami bentuk yang paling alami, nasionalisme kesukubangsaan. Dan dari penaklukan-penaklukan terhadap nasion-nasion itu, maka berdirilah Pemerintahan (Kolonial) Hindia Belanda. Meskipun resminya tidak ada kata "kolonial", tetapi kita sebagai bangsa Indonesia WAJIB menambahkan "gelar" itu, karena pemerintahan itu ada memang bukan untuk memerintah, tetapi untuk mengkolonisasi Indonesia. Resminya, sejak Belanda masuk ke Indonesia dengan "merk dagang" VOC pada sekitar tahun 1600-an, terjadi penaklukan-penaklukan bangsa asli Indonesia. Dan pada 1800, VOC dibubarkan dan berdiri Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pemerintahan ini bertahan hingga berbentuk NICA. NICA sendiri tidak pernah dibubarkan, hanya bersalin nama menjadi Komisi Tinggi untuk Hindia Belanda (High Commisioners of the Crown for Dutch East Indie). Dalam sejarah Indonesia, hanya dikenal nama Hubertus Johannes Van Mook sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tetapi kenyataannya Van Mook punya pengganti bernama Louis Joseph Maria Beel. Dalam Wikipedia dicatat bahwa Gubernur Jenderal terakhir adalah AHJ Lovink. Manifestasi perjuangan Hindia Belanda sebenarnya tidak berhenti disana, tetapi juga harus dilihat dari KNIL yang merupakan tentaranya. Buktinya, saat perjanjian Renville, Belanda mengajukan nama Abdoelkadir Widjoatmodjo sebagai perunding untuk Belanda. 71% KNIL adalah pribumi Indonesia, dan salah satu mantan KNIL sempat menjabat sebagai presiden RI, Soeharto.
Sedangkan Politik Etis (Etisch Politiek) dijalankan pada tahun 1890-an yang melahirkan gerakan pembangunan edukasi, irigasi, dan emigrasi di daerah jajahan Belanda. Pencetusnya adalah Van Deventer. Indonesia harusnya berhutang budi kepada Van Deventer, karena tanpa Politik Etis, tidak akan muncul nama-nama tokoh pergerakan nasional Indonesia seperti Moh Hatta, MH Thamrin, Soekarno, Soetan Sjahrir, dsb, yang dilahirkan dari pendidikan Belanda. Van Deventer menjiplak metode Inggris dalam mengendalikan daerah koloninya yakni dengan membangun kemampuan rakyat daerah jajahannya sehingga tidak hanya merupakan daerah pemasok bahan baku tetapi sekaligus menjadi pasar potensial untuk komoditas produksinya. Van Deventer pernah menjabat menteri daerah jajahan, dan itulah yang menjadi bahan pemikiran lahirnya Politik Etis. Sayangnya Conrad Theodore Van Deventer tak lama hidup (entah mengapa), dan perjuangannya dilanjutkan oleh istrinya yang membuka yayasan Kartini untuk memajukan pendidikan perempuan Indonesia yang terinspirasi oleh buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang memang dirilis pertama di Belanda.
Sedangkan Islam garis keras adalah akibat perseteruan Inggris-Belanda dalam memperebutkan Sumatera. Yang sempat mencuat di dalam sejarah adalah perang Paderi di Sumatera Barat, dimana Imam Bonjol sejatinya menonjolkan perjuangan diatas dasar faham Wahabi. Siapa Imam Wahabi, dari mana asalnya, dan bagaimana hubungannya dengan Inggris dan Belanda dapat dilihat lebih jauh dari berbagai literatur. Yang jelas, ada sumber yang mengatakan bahwa Imam Bonjol akhirnya memahami bahwa Islam di Indonesia tidak bisa menggunakan faham Wahabi, dan sebuah Mazhab bukanlah harga mati kebenaran Islam. Radikalisme mati dengan sendirinya. Sedangkan DR Snouck Hurgronye justru berusaha menyuntikkan pragmatisme dan skeptisme dikalangan Muslim untuk meredam perjuangan rakyat Aceh. Hurgronye dianggap salah satu pakar Islam Belanda. Dan riwayat ini sekaligus menyangkal bahwa Islam garis keras masuk ke Indonesia sejak Imam Bonjol, karena pada akhirnya Imam Bonjol pun menjadi moderat. Tidak ada Islam garis keras di Indonesia pada abad ke-20. Golongan sosialis Islam baru muncul setelah infiltrasi komunis ke dalam Sarekat Indonesia sehingga muncul SI Merah dan SI Putih. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo juga bukan sempalan Islam tradisional, tetapi dia mengadopsi ajaran ini dan itu dan menurut saya merupakan ajaran sesat karena menganggap dirinya sendiri sebagai wali. Tidak adal wali yang mendeklarasikan diri sebagai wali. Jadi kalau ada orang Islam yang mengikuti jejak Kartosoewirjo mendirikan NII itu sama saja mengikuti aliran sesat.
Lalu apa yang bisa ditarik kesimpulan dari sini? We cannot escape history. "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah", pesan Bung Karno. Bahkan Al Quran pun mengajarkan lewat sejarah. Karena melalui sejarah biasanya sebuah rezim melegitimasikan kekuasaannya. Raden Wijaya melegitimasi pemberontakannya sebagai balas dendam atas kudeta Jayakatwang terhadap mertuanya, Sri Kertanegara. Lalu demikian pula Republik Indonesia, melegitimasi negaranya sejajar seperti Sriwijaya dan Majapahit. Namun diatas semua itu, tergantung dari masing-masing generasi untuk mengubah nasibnya. Boleh jadi, jika pun benar siklus goro-goro itu ada, dengan upaya yang optimal, sebuah generasi bisa mengubah siklus itu menjadi hilang. Menghentikan karma. Sebagaimana yang dilakukan Muhammad 14 abad lalu terhadap kehidupan bangsa Quraisy. Rasulullah "mengkhianati" budaya yang berlaku dalam suku Quraisy saat itu; maka pengkhianatan berdasarkan kebenaran adalah benar, dan kesetiaan terhadap kebodohan dan kesesatan selamanya tidak akan membawa manfaat. Muhammad tidak akan menjadi Rasul dan Nabi jika ia setia kepada budaya, kebiasaan, menerima nasib apa adanya, tidak mempunyai keinginan untuk mengubah diri dan lingkungannya.
Selanjutnya, apa yang terjadi terhadap Republik Indonesia ini adalah tergantung apa yang akan kita perbuat hari ini. Seperti teladan Rasulullah, jika kita mengikuti saja apa yang tersedia hari ini, pasrah bongkokan, tidak punya visi dan cita-cita yang ingin diwujudkan, ya mungkin nasib republik ini justru lebih kacau daripada Sriwijaya dan Majapahit. Dan dari sejarah ini juga kita belajar mengapa founding fathers negara ini memiliki filsafat sosialisme. Karena memang yang menghancurkan Sriwijaya dan Majapahit adalah cita-cita untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang Klaasloos, masyarakat tanpa kelas. Egaliterian. Bukan masyarakat yang dikastakan oleh keturunan, bukan juga yang dikastakan oleh pangkat dan jabatan, apalagi kasta berdasarkan kemampuan ekonomi dan finansial. Adanya perbedaan itu alamiah, karena tanpa perbedaan takkan terjadi interaksi dan karena perbedaan adalah suatu hal yang mutlak. Tetapi perbedaan perlu diatur agar tidak menimbulkan kesenjangan.
Marilah, kita rapatkan barisan. Jangan mau dipecah belah. Perdalam ilmu pengetahuan, agar tak mudah diombang-ambingkan. Spesialisasi dalam kehidupan itu boleh, tetapi ada batasan dimana tetap diperlukan pengetahuan yang mendalam dalam hal-hal tertentu seperti pengetahuan agama, pengetahuan kenegaraan dan kebangsaan, serta pengetahuan sejarah. Tanpa itu semua, mustahil kita bisa membaca tanda-tanda dari-NYA. Mustahil kita bisa Iqra' bismirabbikalladzii khalaq. Lha wong pengetahuan tentang sejarah dan dasar agama saja tak punya...
Surabaya, 2 September 2010 pukul 0:27
Dharma Nusantara Antasena
Diposkan 10th May 2014 oleh Dharma Nusantara Antasena
sumber
Diubah oleh mas.patub 18-08-2015 10:10
0
9.2K
Kutip
54
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan