- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Imbas ke Indonesia? Cina Tidak Akan Selamat. Kejatuhannya Justru Semakin Cepat


TS
ts4l4sa
Imbas ke Indonesia? Cina Tidak Akan Selamat. Kejatuhannya Justru Semakin Cepat
Cina Tidak Akan Selamat. Kejatuhan Cina Justru Semakin Cepat
August 15, 2015 18:21
Review.com -- PBoC sepertinya tidak sadar bahwa penyakit utama dari ekonomi Cina bukanlah menurunya angka ekspor, tapi terlalu besarnya utang luar negeri Cina dalam bentuk USD.
Dalam tiga hari berturut-turut People’s Bank of China (PBOC) melemahkan Yuan terhadap USD. Awalnya memang sukses, dan pasar modal beberapa negara pun mengalami penurunan cukup dalam.
Tapi itu tidak bertahan lama. Setelah sadar, para investor dan pedagang di pasar uang dan modal kembali berfikir realitis, bahwa pelemahan Yuan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap ekspor Cina. Alasannya, selama ini nilai Yuan telah dimanipulasi oleh pemerintah Cina.
Nilai Yuan dibandingkan USD secara teoritis sebenarnya telah dibawah nilai sebenarnya (undervalue). Dengan, melemahkan nilai Yuan, mata uang Cina ini akan makin undervalue. Padahal nilai suatu mata uang, cepat atau lambat, akan kembali ke nilai sebenarnya.
Manipulasi Yuan oleh PBoC sudah berlangsung semenjak booming pertumbuhan ekonomi Cina yang dimulai pada era Deng Xiaoping. Manipulasi itu bertujuan agar barang-barang Cina berharga murah dibandingkan dengan barang-barang negara lain, sehingga ekspor Cina selalu berjaya.
Struktur pertumbuhan ekonomi Cina memang mengandalkan ekspor dibandingkan konsumsi masyarakatnya. Akibatnya, ketika ekspornya menurun mereka panik. PBoC berharap bahwa dengan melemahkan Yuan, ekspor Cina akan kembali pulih. PBoC tampaknya tak perduli bahwa penurunan ekspor Cina sesungguhnya disebabkan oleh lesunya perekonomian dunia. Jadi, jelas bahwa penurunan ekspor Cina bukan disebabkan dari sisi harga barang, tapi akibat dari sisi permintaan dunia yang melemah.
Awalnya, dalam memanipulasi Yuan, PBoC memborong surat utang Amerika Serikat (AS). Mereka tidak peduli dengan imbal hasil yang kecil. Sebab tujuannya adalah sekedar untuk menjaga nilai Yuan tetap rendah. Hasilnya, cadangan devisa Cina dalam bentuk USD membengkak sampai menjadi yang terbesar di dunia, yaitu sekitar USD 3 triliun.
Besarnya cadangan devisa Cina sering membuat orang terpukau. Padahal jika dibanding utang luar negeri Cina yang mencapai USD 49 triliun, cadangan devisa itu sangat kecil. Dampak dari besarnya utang luar negeri Cina tercermin dari tingginya debt service ratio (perbadingan antara ekspor dibandingkan cicilan utang ditambah bunga) Cina, yaitu sebesar 42%.
Kenyataan tersebut membuat cadangan devisa tergerus terus menerus. Merasa peluru sudah mulai menipis, untuk mempertahankan nilai Yuan agar tetap lemah, PBoC melemahkan nilai Yuan. Selain untuk memacu ekspor, PBoC juga berharap langkahnya akan menekan impor.
PBoC tentu saja juga berharap bahwa pelemahan Yuan akan berdampak positif pada harga-harga saham. Maklum, bursa Cina dalam beberapa bulan belakangan merosot sangat dalam. Tapi, sayangnya mereka tidak sadar bahwa saham di Cina memang sudah terlalu mahal. Maka, langkah yang telah diambil PBoC membuat resiko kurs dan investasi saham di Cina semakin tinggi.
PBoC sepertinya tidak sadar bahwa penyakit utama dari ekonomi Cina bukanlah menurunnya angka ekspor, tapi terlalu besarnya jumlah utang luar negeri Cina dalam bentuk USD. Tahun ini saja, sudah ada beberapa perusahaan Cina gagal bayar utang, salah satunya adalah BUMN Cina bernama Baoding Tianwei Group.
Dengan demikian, langkah PBoC menurunkan nilai Yuan justru membuat utang luar negeri Cina membengkak. Akibatnya, Kejatuhan ekonomi Cina akan semakin cepat, dan semoga tidak membuat negeri berusia ribuan tahun ini bubar!
http://indonesianreview.com/daniel-r...k-akan-selamat
Bursa China Masih Bisa Rontok Lagi
Selasa, 28 Juli 2015
ator Komisi Pengaturan Sekuritas China (CSRC) bertekad untuk tetap menyetabilkan pasar modal negeri itu, analis memperkirakan bahwa indeks saham Shanghai dan Shenzhen kemungkinan masih bakal anjlok 14% lagi dalam tiga pekan mendatang. Thomas DeMark, analis yang pernah memprediksi titik terendah Indeks Saham Gabungan Shanghai pada 2013, menyebut bahwa pola perdagangan di bursa saham China sudah menyerupai peristiwa kelabu jatuhnya pasar modal Amerika Serikat pada 1929 yang mengawali masa Depresi Hebat.
Setelah pada Senin 27 Juli lalu Indeks Saham Gabungan Shanghai merosot 8,5% ke 3.725 dalam sebuah aksi jual saham terburuk dalam delapan tahun, DeMark memperkirakan bahwa indeks yang menjadi acuan bursa di China daratan itu bisa kembali meluncur turun ke level 3.200. Pendiri firma DeMark Analytics LLC di Arizona dan memopulerkan Indikator DeMark itu menyebut bahwa pergerakan Indeks Saham Gabungan Shanghai menyerupai Indeks Rata-Rata Industrial Dow Jones (DJIA) pada 1929 yang ketika itu kehilangan 48% nilainya.
"Cetakannya telah dibuat," kata DeMark memberi perumpamaan mengenai nasib indeks saham China yang tampaknya sudah dalam suratan takdir untuk terus jatuh. Pria berusia 68 tahun yang menghabiskan 40 tahun mengembangkan indikator untuk mengidentifikasi titik balik indeks saham itu mengingatkan bahwa intervensi oleh pemerintah terhadap pasar modal bakal sia-sia. "Anda tak bisa memanipulasi pasar begitu saja. Fundamental yang mendikte pasar."
Bila kajian yang dirilis DeMark pada Senin itu benar-benar terjadi, maka akan meneruskan kejatuhan selama tiga pekan sejak pertengahan Juni sampai awal Juli lalu yang menghapus hampir sepertiga kapitalisasi pasar atau setara US$4 triliun. Ramalan DeMark akan membuat nilai aset yang menguap di pasar modal China daratan menjadi 38% sejak puncak indeks pada 12 Juni lalu.
Kejatuhan bursa Shanghai dan Shenzhen yang merembet ke Hong Kong mendorong pemerintah China menjalankan intervensi seperti mendorong pembelian kembali saham oleh badan usaha milik negara dan sekuritas besar, membatasi transaksi spekulatif seperti short selling, melarang penjualan saham selama enam bulan oleh pemegang saham utama, memberi izin pembekuan perdagangan 1.400 saham, dan menunda penawaran saham perdana oleh emiten baru. Akibat intervensi itu, indeks saham Shanghai memang telah pulih kembali, naik 16% dari titik rendah 8 Juli sampai akhir pekan lalu.
Namun, ketika pada Senin muncul kabar yang mengindikasikan bahwa sekuritas besar mulai mengurangi aksi pembelian saham, investor pun terdorong untuk melanjutkan aksi jual pada Senin. CSRC telah mengeluarkan rilis yang membantah bahwa China Securities Finance Corporation yang telah dibelaku dana US$480 miliar telah keluar dari pasar. Regulator juga menjamin bahwa pemerintah tetap berkomitmen menyetabilkan bursa. Namun, tampaknya investor masih was-was. Pada perdagangan Selasa 28 Juli sampai pukul 10.39 siang, indeks saham Shanghai masih melemah 2,6%.
DeMark mengingatkan bahwa reli kenaikan kembali saham tak akan mampu disokong oleh intervensi. "Pasar jatuh karena kabra buruk, bukan karena berita baik," kata dia. "Anda menginginkan penjual saham terakhir sudah selesai melakukan penjualan. Kita mendapatkan kabar baik ketika indeks sudah rendah akhir-akhir ini. Reli kenaikan itu hanya artifisial."
Pada Februari 2013 DeMark pernah membuat prediksi bahwa Indeks Saham Gabungan Shanghai akan anjlok tajam, sehari sebelum indeks memulai kejatuhan hampir 20% setelah selama sembilan bulan mencapai rekor baru. Empat bulan kemudian, ramalannya bahwa saham-saham perusahaan China daratan sudah menyentuh dasar terbukti ketika indeks Shanghai menyentuh titik terendah dalam empat tahun dan kemudian harganya mulai naik kembali.
Tak selamanya ramalan DeMark menjadi kenyataan. Pada awal Agustus 2014 DeMark memperkirakan bahwa indeks saham Shanghai akan jatuh setelah reli 10% dari titik rendah pada Juni. Sebaliknya, indeks tetap melejit, naik lebih dari 130% sampai pertengahan Juni dan mencetak rekor tertingginya sepanjang sejarah. Ramalannya mentah karena terjadi euforia di pasar modal yang diramaikan jutaan investor individu semenjak spekulasi di sektor properti China tak lagi menjanjikan.
DeMark menyebut bahwa euforia dan kepanikan di pasar modal China menyerupai apa yang terjadi di Amerika Serikat pada akhir 1920-an lampau. Saat itu DJIA mengalami reli panjang naik selama lima tahun dengan pertumbuhan lebih dari 200% sebelum akhirnya anjlok pada 1929. Puncak indeks saat itu terjadi pada September 1929 sebelum kemudian merosot hampir 50% hanya dalam tiga bulan berikutnya. Setelah itu, perekonomian Amerika Serikat nyaris kolaps.
Dia juga pernah membuat pernyataan yang mirip pada Februari 2014 mengenai Indeks S&P 500 yang mendata saham 500 perusahaan terbesar yang diperdagangkan di Bursa Efek New York dan Nasdaq. Saat itu dia menyatakan bahwa jika kondisi tertentu terpenuhi, maka saham-saham perusahaan Amerika Serikat telah mencapai titik yang menyerupai periode menjelang kejatuhan bursa pada 1929. Setelah itu, indeks S&P 500 justru menanjak 8% dalam dua bulan. Dalam catatan kemarin, DeMark menyebut bahwa kondisi yang disebutkannya untuk S&P 500 saat itu belum terwujud.
DeMark mengatakan bakal kembali mengkaji situasi pasar setelah indeks Shanghai menyentuh level 3.200 yang berarti menghapus semua keuntungan yang pernah dicetak sejak awal tahun. Level itu mewakili 61,8% dari puncak indeks Shanghai pada 12 Juni sebagai nisbah Fibonacci Retracement yang dipakai untuk memperkirakan atau mengidentifikasi potensi kejatuhan indeks saham. Beberapa analisis teknikal memang telah memakai rasio Fibonacci yang berdasarkan proporsi struktur bentuk-bentuk di alam, untuk memprediksi posisi indeks saham.
http://www.businessweekindonesia.com...i#.Vc9RdrKqqko
AEPI Ingatkan Bahaya Ekonomi China
Senin, 18 Mei 2015 Dilihat: 217
JAKARTA- Ekonomi China tengah berada di bawah tekanan utang raksasa, nilainya mencapai 28,2 Triliun dolar AS, atau sekitar Rp 366 ribu triliun atau sekitar 100 kali utang luar negeri Indonesia. Utang China telah meningkat dengan sangat pesat sejak tahun 2007. Demikian Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (18/5).
“Besarnya peningkatan mencapai 20,8 Triliun Dolar. Krisis yang melanda ekonomi Eropa dan AS menyebabkan pasar keuangan berpindah menyerbu ekonomi China, seiring pembukaan sektor keuangan negara tersebut,” jelasnya.
Menurutnya China menguasai dua pertiga dari peningkatan utang global dalam rentang waktu tahun 2007 – 2014 sebesar 57 triliun dolar. Sekarang utang ekonomi China telah mencapai 286 % GDP negara tersebut. Utang china tampaknya akan mengalami peningkatan dimasa yang akan datang. Utang China telah jauh melampaui utang ekonomi Amerika Serikat (AS). Saat ini utang AS senilai 18 triliun dolar.
“Seberapa bahaya kondisi ekonomi China ? sebagian besar utang berkaitan dengan sektor property, sekitar 40 % -45 % dari total utang. Dengan dana utang, perusahaan di negara tersebut membangun property ugal-ugalan yang menyebabkan terjadinya gelembung property. Kota-kota baru dengan gedung-gedung megah, infrastuktur mewah. Apa yang terjadi ? kota kota baru terancam menjadi kota hantu, gedung gedung megah berubah menjadi sarang burung wallet,” katanya.
Ia menjelaskan, meski suku bunga sudah diturunkan dan harga property juga merosot, namun tetap tidak laku sebagaimana ekspektasi pengembang. Akibatnya ekonomi China sedang menuju kejatuhan.
“Pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 7 % pada kwartal I 2015. Tahun depan diperkirakan hanya akan tumbuh 6 % dan tahun-tahun berikutnya hanya akan mencapai paling tinggi 4 %,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa kondisi ekonomi China merupakan alaram bagi ekonomi global.
“Karena jika utang raksasa China jatuh maka puing-puing bangunan utang akan menimpa kawasan Asia tanpa ampun ! Krisis 2008 yang melanda ekonomi AS akan kembali terulang di China dalam skala yang lebih besar,” tegasnya.
Bisnis Online
Saat ini industri China telah meluas tidak hanya manufaktur, tetapi juga ke inovasi dan desain. Desain industri telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir berkat dukungan pemerintah. Sejumlah besar perusahaan kecil dan menengah mulai bertumbuh dibawah bimbingan pemerintah.
"Melalui reformasi, khususnya reformasi industri dan bisnis, ada muncul banyak perusahaan baru. Kita tidak hanya mengandalkan perusahaan besar, tetapi juga memberikan perhatian pada usaha kecil berbasiskan rakyat," kata Miao Wei, Menteri Perindustrian dan Teknologi Informasi kepada Xinhua di Bejing, Rabu (13/5) lalu
Diperkirakan bahwa lebih dari 3,6 juta perusahaan baru telah didaftarkan sejak Maret tahun lalu dan banyak perusahaan-perusahaan yang bisnis jasa produksi.
"Setiap perusahaan baru memiliki ide-ide kreatif. Jika mereka dilindungi dan didukung negara maka akan aktif berkembang tanpa batas dalam ekonomi China,"
Sementara itu, dengan menggunakan penyebaran Internet, desain industri sekarang dapat ditemukan di mana-mana.
"Suatu perusahaan menghasilkan sejumlah besar produk yang diangkut dan ritel ke daerah lain. Di masa depan, dengan penggunaan internet, semua orang bisa menjadi seorang desainer, dan dapat membeli semua bahan dan menjadi bagian online, untuk menghasilkan produk pribadi," kata Miao Wei.
Menggeser Amerika
Pada akhir tahun 2014, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan China resmi menyandang status perekonomian terbesar di dunia, menggeser Amerika Serikat. Data itu dilansir oleh Dana Moneter Internasional (IMF) beberapa waktu lalu. Ekonom Chris Giles juga sudah mengingatkan April 2014 lalu, bahwa potensi AS tersalip oleh rivalnya itu sudah terlihat sejak awal 2014.
Intinya, IMF mengukur Produk Domestik Bruto dan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) sesuai konteks masing-masing negara.
Dari hitung-hitungan lembaga keuangan internasional ini, akhir tahun 2014 China menguasai 16,4 persen daya beli dunia dengan PDB senilai USD 17,6 triliun.
Sementara Amerika yang selama nyaris seabad terakhir menguasai perekonomian dunia, harus rela turun tahta dengan penguasaan PPP 16,2 persen dari PDB sebesar USD 17,4 triliun.
http://www.bergelora.com/nasional/ek...ekonomi-china.
Ekonomi China Memburuk: Dampaknya ke Dunia dan Kita Terpuruk?
March 10, 2015
Ada kabar bahwa Pemerintah China panik. Dan supaya ekonominya tetap tumbuh mereka memberikan stimulus yang besar kepada ekonominya. Dengan dana yang didapat untuk menjalankan stimulus tersebut pemerintah Cina dan daerah terpaksa main giat berutang.
Akibatnya, rasio utang dengan PDB tahun 2008 China yang masih sebesar 147%, melonjak drastis menjadi 251% pada akhir tahun 2013. Utang pemerintah daerah saja menurut auditor resmi pemerintah Cina sudah berjumlah USD 3 triliun. Tapi itu belum seberapa dibandingkan dengan utang BUMN Cina yang berjumlah USD 12 triliun.
Awal tahun 2014 terjadi gagal bayar pertama perusahaan China. Banyak analisis yang mengatakan bahwa ini adalah permulaan dari gagal bayar selanjutnya. Rata-rata perusahaan Cina memang dalam kondisi kelebihan kapasitas dan menggunakan utang yang terlalu besar dibanding assetnya.
Survei yang digelar Bloomberg awal tahun ini mencatat, cadangan devisa Cina akan menyusut akhir tahun dengan kisaran USD 3 triliun, suatu angka yang kecil dibandingkan jumlah utang keluruhan Cina.
Naiknya USD terhadap seluruh mata uang dunia juga akan mengacam turunnya nilai ekspor Cina. Akibatnya debt service ratio yang sudah menyetuh angka 39% tampaknya akan naik menjadi 40% (angka debt service ratio yang aman di bawah 20%).
Dari data rasio utang dibanding dengan PDB yang sudah sangat tinggi. Cadangan devisa kecil dibandingkan jumlah utang, kapasitas produksi yang berlebihan, utang perusahaan dibandingkan asset perusahaan yang tinggi, rasio debt service juga tidak aman. Sulit untuk mengatakan bahwa tidak ada ancaman yang besar bagi perekonomian Cina.
China sepertinya ingin mengikuti Jepang era 1990 awal yang mengempiskan gelembung ekonominya secara perlahan, bedanya kala itu kondisi ekonomi Jepang masih lebih baik dari China sekarang.
Tampaknya ekonomi China sekarang sedang terjebak dalam jaring laba-laba, ingin menurunkan pertumbuhan secara perlahan tapi tidak mempunyai kemampuan. Membiarkan ekonomi jatuh akan sangat berbahaya bagi keamanan nasional, karena kesenjangan ekonomi yang tinggi. Kondisi itu terlihat dari tingginya koefesien gini yang sampai di angka 0,45. Gambaran jatuhnya perekonomian Cina memang sudah di depan mata. Dan dampaknya akan sangat berbahaya bagi dunia
http://www.konfrontasi.com/content/p...-kita-terpuruk
----------------------------------------
China memang tampaknya mulai memasuki siklus resesi ekonomi setelah perekonomiannya melesat pesat selama beberapa tahun belakangan ini. .
August 15, 2015 18:21
Review.com -- PBoC sepertinya tidak sadar bahwa penyakit utama dari ekonomi Cina bukanlah menurunya angka ekspor, tapi terlalu besarnya utang luar negeri Cina dalam bentuk USD.
Dalam tiga hari berturut-turut People’s Bank of China (PBOC) melemahkan Yuan terhadap USD. Awalnya memang sukses, dan pasar modal beberapa negara pun mengalami penurunan cukup dalam.
Tapi itu tidak bertahan lama. Setelah sadar, para investor dan pedagang di pasar uang dan modal kembali berfikir realitis, bahwa pelemahan Yuan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap ekspor Cina. Alasannya, selama ini nilai Yuan telah dimanipulasi oleh pemerintah Cina.
Nilai Yuan dibandingkan USD secara teoritis sebenarnya telah dibawah nilai sebenarnya (undervalue). Dengan, melemahkan nilai Yuan, mata uang Cina ini akan makin undervalue. Padahal nilai suatu mata uang, cepat atau lambat, akan kembali ke nilai sebenarnya.
Manipulasi Yuan oleh PBoC sudah berlangsung semenjak booming pertumbuhan ekonomi Cina yang dimulai pada era Deng Xiaoping. Manipulasi itu bertujuan agar barang-barang Cina berharga murah dibandingkan dengan barang-barang negara lain, sehingga ekspor Cina selalu berjaya.
Struktur pertumbuhan ekonomi Cina memang mengandalkan ekspor dibandingkan konsumsi masyarakatnya. Akibatnya, ketika ekspornya menurun mereka panik. PBoC berharap bahwa dengan melemahkan Yuan, ekspor Cina akan kembali pulih. PBoC tampaknya tak perduli bahwa penurunan ekspor Cina sesungguhnya disebabkan oleh lesunya perekonomian dunia. Jadi, jelas bahwa penurunan ekspor Cina bukan disebabkan dari sisi harga barang, tapi akibat dari sisi permintaan dunia yang melemah.
Awalnya, dalam memanipulasi Yuan, PBoC memborong surat utang Amerika Serikat (AS). Mereka tidak peduli dengan imbal hasil yang kecil. Sebab tujuannya adalah sekedar untuk menjaga nilai Yuan tetap rendah. Hasilnya, cadangan devisa Cina dalam bentuk USD membengkak sampai menjadi yang terbesar di dunia, yaitu sekitar USD 3 triliun.
Besarnya cadangan devisa Cina sering membuat orang terpukau. Padahal jika dibanding utang luar negeri Cina yang mencapai USD 49 triliun, cadangan devisa itu sangat kecil. Dampak dari besarnya utang luar negeri Cina tercermin dari tingginya debt service ratio (perbadingan antara ekspor dibandingkan cicilan utang ditambah bunga) Cina, yaitu sebesar 42%.
Kenyataan tersebut membuat cadangan devisa tergerus terus menerus. Merasa peluru sudah mulai menipis, untuk mempertahankan nilai Yuan agar tetap lemah, PBoC melemahkan nilai Yuan. Selain untuk memacu ekspor, PBoC juga berharap langkahnya akan menekan impor.
PBoC tentu saja juga berharap bahwa pelemahan Yuan akan berdampak positif pada harga-harga saham. Maklum, bursa Cina dalam beberapa bulan belakangan merosot sangat dalam. Tapi, sayangnya mereka tidak sadar bahwa saham di Cina memang sudah terlalu mahal. Maka, langkah yang telah diambil PBoC membuat resiko kurs dan investasi saham di Cina semakin tinggi.
PBoC sepertinya tidak sadar bahwa penyakit utama dari ekonomi Cina bukanlah menurunnya angka ekspor, tapi terlalu besarnya jumlah utang luar negeri Cina dalam bentuk USD. Tahun ini saja, sudah ada beberapa perusahaan Cina gagal bayar utang, salah satunya adalah BUMN Cina bernama Baoding Tianwei Group.
Dengan demikian, langkah PBoC menurunkan nilai Yuan justru membuat utang luar negeri Cina membengkak. Akibatnya, Kejatuhan ekonomi Cina akan semakin cepat, dan semoga tidak membuat negeri berusia ribuan tahun ini bubar!
http://indonesianreview.com/daniel-r...k-akan-selamat
Bursa China Masih Bisa Rontok Lagi
Selasa, 28 Juli 2015
ator Komisi Pengaturan Sekuritas China (CSRC) bertekad untuk tetap menyetabilkan pasar modal negeri itu, analis memperkirakan bahwa indeks saham Shanghai dan Shenzhen kemungkinan masih bakal anjlok 14% lagi dalam tiga pekan mendatang. Thomas DeMark, analis yang pernah memprediksi titik terendah Indeks Saham Gabungan Shanghai pada 2013, menyebut bahwa pola perdagangan di bursa saham China sudah menyerupai peristiwa kelabu jatuhnya pasar modal Amerika Serikat pada 1929 yang mengawali masa Depresi Hebat.
Setelah pada Senin 27 Juli lalu Indeks Saham Gabungan Shanghai merosot 8,5% ke 3.725 dalam sebuah aksi jual saham terburuk dalam delapan tahun, DeMark memperkirakan bahwa indeks yang menjadi acuan bursa di China daratan itu bisa kembali meluncur turun ke level 3.200. Pendiri firma DeMark Analytics LLC di Arizona dan memopulerkan Indikator DeMark itu menyebut bahwa pergerakan Indeks Saham Gabungan Shanghai menyerupai Indeks Rata-Rata Industrial Dow Jones (DJIA) pada 1929 yang ketika itu kehilangan 48% nilainya.
"Cetakannya telah dibuat," kata DeMark memberi perumpamaan mengenai nasib indeks saham China yang tampaknya sudah dalam suratan takdir untuk terus jatuh. Pria berusia 68 tahun yang menghabiskan 40 tahun mengembangkan indikator untuk mengidentifikasi titik balik indeks saham itu mengingatkan bahwa intervensi oleh pemerintah terhadap pasar modal bakal sia-sia. "Anda tak bisa memanipulasi pasar begitu saja. Fundamental yang mendikte pasar."
Bila kajian yang dirilis DeMark pada Senin itu benar-benar terjadi, maka akan meneruskan kejatuhan selama tiga pekan sejak pertengahan Juni sampai awal Juli lalu yang menghapus hampir sepertiga kapitalisasi pasar atau setara US$4 triliun. Ramalan DeMark akan membuat nilai aset yang menguap di pasar modal China daratan menjadi 38% sejak puncak indeks pada 12 Juni lalu.
Kejatuhan bursa Shanghai dan Shenzhen yang merembet ke Hong Kong mendorong pemerintah China menjalankan intervensi seperti mendorong pembelian kembali saham oleh badan usaha milik negara dan sekuritas besar, membatasi transaksi spekulatif seperti short selling, melarang penjualan saham selama enam bulan oleh pemegang saham utama, memberi izin pembekuan perdagangan 1.400 saham, dan menunda penawaran saham perdana oleh emiten baru. Akibat intervensi itu, indeks saham Shanghai memang telah pulih kembali, naik 16% dari titik rendah 8 Juli sampai akhir pekan lalu.
Namun, ketika pada Senin muncul kabar yang mengindikasikan bahwa sekuritas besar mulai mengurangi aksi pembelian saham, investor pun terdorong untuk melanjutkan aksi jual pada Senin. CSRC telah mengeluarkan rilis yang membantah bahwa China Securities Finance Corporation yang telah dibelaku dana US$480 miliar telah keluar dari pasar. Regulator juga menjamin bahwa pemerintah tetap berkomitmen menyetabilkan bursa. Namun, tampaknya investor masih was-was. Pada perdagangan Selasa 28 Juli sampai pukul 10.39 siang, indeks saham Shanghai masih melemah 2,6%.
DeMark mengingatkan bahwa reli kenaikan kembali saham tak akan mampu disokong oleh intervensi. "Pasar jatuh karena kabra buruk, bukan karena berita baik," kata dia. "Anda menginginkan penjual saham terakhir sudah selesai melakukan penjualan. Kita mendapatkan kabar baik ketika indeks sudah rendah akhir-akhir ini. Reli kenaikan itu hanya artifisial."
Pada Februari 2013 DeMark pernah membuat prediksi bahwa Indeks Saham Gabungan Shanghai akan anjlok tajam, sehari sebelum indeks memulai kejatuhan hampir 20% setelah selama sembilan bulan mencapai rekor baru. Empat bulan kemudian, ramalannya bahwa saham-saham perusahaan China daratan sudah menyentuh dasar terbukti ketika indeks Shanghai menyentuh titik terendah dalam empat tahun dan kemudian harganya mulai naik kembali.
Tak selamanya ramalan DeMark menjadi kenyataan. Pada awal Agustus 2014 DeMark memperkirakan bahwa indeks saham Shanghai akan jatuh setelah reli 10% dari titik rendah pada Juni. Sebaliknya, indeks tetap melejit, naik lebih dari 130% sampai pertengahan Juni dan mencetak rekor tertingginya sepanjang sejarah. Ramalannya mentah karena terjadi euforia di pasar modal yang diramaikan jutaan investor individu semenjak spekulasi di sektor properti China tak lagi menjanjikan.
DeMark menyebut bahwa euforia dan kepanikan di pasar modal China menyerupai apa yang terjadi di Amerika Serikat pada akhir 1920-an lampau. Saat itu DJIA mengalami reli panjang naik selama lima tahun dengan pertumbuhan lebih dari 200% sebelum akhirnya anjlok pada 1929. Puncak indeks saat itu terjadi pada September 1929 sebelum kemudian merosot hampir 50% hanya dalam tiga bulan berikutnya. Setelah itu, perekonomian Amerika Serikat nyaris kolaps.
Dia juga pernah membuat pernyataan yang mirip pada Februari 2014 mengenai Indeks S&P 500 yang mendata saham 500 perusahaan terbesar yang diperdagangkan di Bursa Efek New York dan Nasdaq. Saat itu dia menyatakan bahwa jika kondisi tertentu terpenuhi, maka saham-saham perusahaan Amerika Serikat telah mencapai titik yang menyerupai periode menjelang kejatuhan bursa pada 1929. Setelah itu, indeks S&P 500 justru menanjak 8% dalam dua bulan. Dalam catatan kemarin, DeMark menyebut bahwa kondisi yang disebutkannya untuk S&P 500 saat itu belum terwujud.
DeMark mengatakan bakal kembali mengkaji situasi pasar setelah indeks Shanghai menyentuh level 3.200 yang berarti menghapus semua keuntungan yang pernah dicetak sejak awal tahun. Level itu mewakili 61,8% dari puncak indeks Shanghai pada 12 Juni sebagai nisbah Fibonacci Retracement yang dipakai untuk memperkirakan atau mengidentifikasi potensi kejatuhan indeks saham. Beberapa analisis teknikal memang telah memakai rasio Fibonacci yang berdasarkan proporsi struktur bentuk-bentuk di alam, untuk memprediksi posisi indeks saham.
http://www.businessweekindonesia.com...i#.Vc9RdrKqqko
AEPI Ingatkan Bahaya Ekonomi China
Senin, 18 Mei 2015 Dilihat: 217
JAKARTA- Ekonomi China tengah berada di bawah tekanan utang raksasa, nilainya mencapai 28,2 Triliun dolar AS, atau sekitar Rp 366 ribu triliun atau sekitar 100 kali utang luar negeri Indonesia. Utang China telah meningkat dengan sangat pesat sejak tahun 2007. Demikian Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (18/5).
“Besarnya peningkatan mencapai 20,8 Triliun Dolar. Krisis yang melanda ekonomi Eropa dan AS menyebabkan pasar keuangan berpindah menyerbu ekonomi China, seiring pembukaan sektor keuangan negara tersebut,” jelasnya.
Menurutnya China menguasai dua pertiga dari peningkatan utang global dalam rentang waktu tahun 2007 – 2014 sebesar 57 triliun dolar. Sekarang utang ekonomi China telah mencapai 286 % GDP negara tersebut. Utang china tampaknya akan mengalami peningkatan dimasa yang akan datang. Utang China telah jauh melampaui utang ekonomi Amerika Serikat (AS). Saat ini utang AS senilai 18 triliun dolar.
“Seberapa bahaya kondisi ekonomi China ? sebagian besar utang berkaitan dengan sektor property, sekitar 40 % -45 % dari total utang. Dengan dana utang, perusahaan di negara tersebut membangun property ugal-ugalan yang menyebabkan terjadinya gelembung property. Kota-kota baru dengan gedung-gedung megah, infrastuktur mewah. Apa yang terjadi ? kota kota baru terancam menjadi kota hantu, gedung gedung megah berubah menjadi sarang burung wallet,” katanya.
Ia menjelaskan, meski suku bunga sudah diturunkan dan harga property juga merosot, namun tetap tidak laku sebagaimana ekspektasi pengembang. Akibatnya ekonomi China sedang menuju kejatuhan.
“Pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 7 % pada kwartal I 2015. Tahun depan diperkirakan hanya akan tumbuh 6 % dan tahun-tahun berikutnya hanya akan mencapai paling tinggi 4 %,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa kondisi ekonomi China merupakan alaram bagi ekonomi global.
“Karena jika utang raksasa China jatuh maka puing-puing bangunan utang akan menimpa kawasan Asia tanpa ampun ! Krisis 2008 yang melanda ekonomi AS akan kembali terulang di China dalam skala yang lebih besar,” tegasnya.
Bisnis Online
Saat ini industri China telah meluas tidak hanya manufaktur, tetapi juga ke inovasi dan desain. Desain industri telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir berkat dukungan pemerintah. Sejumlah besar perusahaan kecil dan menengah mulai bertumbuh dibawah bimbingan pemerintah.
"Melalui reformasi, khususnya reformasi industri dan bisnis, ada muncul banyak perusahaan baru. Kita tidak hanya mengandalkan perusahaan besar, tetapi juga memberikan perhatian pada usaha kecil berbasiskan rakyat," kata Miao Wei, Menteri Perindustrian dan Teknologi Informasi kepada Xinhua di Bejing, Rabu (13/5) lalu
Diperkirakan bahwa lebih dari 3,6 juta perusahaan baru telah didaftarkan sejak Maret tahun lalu dan banyak perusahaan-perusahaan yang bisnis jasa produksi.
"Setiap perusahaan baru memiliki ide-ide kreatif. Jika mereka dilindungi dan didukung negara maka akan aktif berkembang tanpa batas dalam ekonomi China,"
Sementara itu, dengan menggunakan penyebaran Internet, desain industri sekarang dapat ditemukan di mana-mana.
"Suatu perusahaan menghasilkan sejumlah besar produk yang diangkut dan ritel ke daerah lain. Di masa depan, dengan penggunaan internet, semua orang bisa menjadi seorang desainer, dan dapat membeli semua bahan dan menjadi bagian online, untuk menghasilkan produk pribadi," kata Miao Wei.
Menggeser Amerika
Pada akhir tahun 2014, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan China resmi menyandang status perekonomian terbesar di dunia, menggeser Amerika Serikat. Data itu dilansir oleh Dana Moneter Internasional (IMF) beberapa waktu lalu. Ekonom Chris Giles juga sudah mengingatkan April 2014 lalu, bahwa potensi AS tersalip oleh rivalnya itu sudah terlihat sejak awal 2014.
Intinya, IMF mengukur Produk Domestik Bruto dan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) sesuai konteks masing-masing negara.
Dari hitung-hitungan lembaga keuangan internasional ini, akhir tahun 2014 China menguasai 16,4 persen daya beli dunia dengan PDB senilai USD 17,6 triliun.
Sementara Amerika yang selama nyaris seabad terakhir menguasai perekonomian dunia, harus rela turun tahta dengan penguasaan PPP 16,2 persen dari PDB sebesar USD 17,4 triliun.
http://www.bergelora.com/nasional/ek...ekonomi-china.
Ekonomi China Memburuk: Dampaknya ke Dunia dan Kita Terpuruk?
March 10, 2015
Ada kabar bahwa Pemerintah China panik. Dan supaya ekonominya tetap tumbuh mereka memberikan stimulus yang besar kepada ekonominya. Dengan dana yang didapat untuk menjalankan stimulus tersebut pemerintah Cina dan daerah terpaksa main giat berutang.
Akibatnya, rasio utang dengan PDB tahun 2008 China yang masih sebesar 147%, melonjak drastis menjadi 251% pada akhir tahun 2013. Utang pemerintah daerah saja menurut auditor resmi pemerintah Cina sudah berjumlah USD 3 triliun. Tapi itu belum seberapa dibandingkan dengan utang BUMN Cina yang berjumlah USD 12 triliun.
Awal tahun 2014 terjadi gagal bayar pertama perusahaan China. Banyak analisis yang mengatakan bahwa ini adalah permulaan dari gagal bayar selanjutnya. Rata-rata perusahaan Cina memang dalam kondisi kelebihan kapasitas dan menggunakan utang yang terlalu besar dibanding assetnya.
Survei yang digelar Bloomberg awal tahun ini mencatat, cadangan devisa Cina akan menyusut akhir tahun dengan kisaran USD 3 triliun, suatu angka yang kecil dibandingkan jumlah utang keluruhan Cina.
Naiknya USD terhadap seluruh mata uang dunia juga akan mengacam turunnya nilai ekspor Cina. Akibatnya debt service ratio yang sudah menyetuh angka 39% tampaknya akan naik menjadi 40% (angka debt service ratio yang aman di bawah 20%).
Dari data rasio utang dibanding dengan PDB yang sudah sangat tinggi. Cadangan devisa kecil dibandingkan jumlah utang, kapasitas produksi yang berlebihan, utang perusahaan dibandingkan asset perusahaan yang tinggi, rasio debt service juga tidak aman. Sulit untuk mengatakan bahwa tidak ada ancaman yang besar bagi perekonomian Cina.
China sepertinya ingin mengikuti Jepang era 1990 awal yang mengempiskan gelembung ekonominya secara perlahan, bedanya kala itu kondisi ekonomi Jepang masih lebih baik dari China sekarang.
Tampaknya ekonomi China sekarang sedang terjebak dalam jaring laba-laba, ingin menurunkan pertumbuhan secara perlahan tapi tidak mempunyai kemampuan. Membiarkan ekonomi jatuh akan sangat berbahaya bagi keamanan nasional, karena kesenjangan ekonomi yang tinggi. Kondisi itu terlihat dari tingginya koefesien gini yang sampai di angka 0,45. Gambaran jatuhnya perekonomian Cina memang sudah di depan mata. Dan dampaknya akan sangat berbahaya bagi dunia
http://www.konfrontasi.com/content/p...-kita-terpuruk
----------------------------------------
China memang tampaknya mulai memasuki siklus resesi ekonomi setelah perekonomiannya melesat pesat selama beberapa tahun belakangan ini. .
Diubah oleh ts4l4sa 15-08-2015 14:54
0
2.9K
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan