Tujuh Proyek DPR Dinilai Nol Urgensi
Sabtu, 15 Agustus 2015 | 18:51 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Mochtar Pabottinggi menilai, sikap Presiden Joko Widodo yang menolak menandatangani prasasti pencanangan tujuh proyek DPR sudah tepat.
Proyek yang digagas Tim Implementasi Reformasi yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah itu dianggap tak memiliki urgensi. (Baca: Jokowi Tolak Resmikan 7 Proyek DPR)
"Bikin tujuh megaproyek itu kan konyol. Saya bilang itu sangat bagus Presiden menolak itu, karena itu nol urgensi, konyol argumentasi," kata Mochtar di Jakarta, Sabtu (15/8/2015).
Mochtar pun menyoroti keinginan DPR untuk membangun museum dan alun-alun demokrasi. Menurut dia, usia DPR yang relatif masih muda dianggap belum layak untuk membangun museum guna mendokumentasi sejarah perkembangan DPR.
Sementara, pembangunan alun-alun demokrasi dianggap kurang tepat lantaran belum tentu ada demonstran yang bersedia untuk menggunakan tempat itu sebagai lokasi demonstrasi.
"Lalu, jalan masuk untuk tamu, memang selama ini tidak ada jalan masuk apa? Perpustakaan itu untuk apa? Anggota DPR itu kan seharusnya menyediakan perpustakaan sendiri," ujarnya.
Ia menambahkan
, keinginan DPR untuk membangun tujuh proyek itu seakan tumpang tindih dengan tugas eksekutif yang memang bertugas melakukan pembangunan.
Di samping itu, ia menganggap ketujuh proyek itu hanya menjadi akal-akalan DPR untuk mengeruk dana publik. (Baca: JK Sebut Pemerintah Tolak Resmikan 7 Proyek DPR untuk Hindari Masalah)
Rencana pelaksanaan proyek ini akan dijalankan oleh birokrasi Kesetjenan DPR sebagai kuasa pengguna anggaran.
Tujuh proyek pembangunan itu ialah alun-alun demokrasi, museum dan perpustakaan, jalan akses bagi tamu ke Gedung DPR, visitor center, pembangunan ruang pusat kajian legislasi, pembangunan ruang anggota dan tenaga ahli, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR.
sumber
Sekalian saja buka Spa dan Massage plus plus di gedung DPR.