mawar.mewangiAvatar border
TS
mawar.mewangi
[FULL MULUSTRASI....] Kisah Mahasiswa Miskin Jadi Lulusan Terbaik Universitas Negeri

Anak buruh tani, anak penjual kue, mantan TKW, lulus sarjana dengan nilai gemilang. Kisah mereka menginspirasi banyak orang.

Dream - Belum jenak duduk, mata Sularjo terbelalak. Seperti tak percaya dengan apa yang dilihat. Di hadapan ribuan orang itu, sebuah layar monitor berukuran besar menampilkan gambar si Parara, putera keduanya. Sang anak memakai toga. Dan duduk di tempat terhormat. Barisan para wisudawan terbaik

Pararawendy Indarjo, begitu nama lengkap si Parara, bersama sejumlah kawannya duduk di barisan sakral itu. Hati Sularjo membuncah. Dia mengongkosi anak itu dari mencangkul uang sebagai buruh tani di Perkebunan Karet. Dan Rabu, 3 Juni 2015 di Gedung Widya IPB itu, keringat bertahun-tahun itu sepertinya terbayar sudah.

Parara sendiri terlihat tidak tenang. Seperti gusar duduk di depan para petinggi kampus. Dia makin kikuk ketika sebuah kamera menyorot. Sejenak dia celingukan ke arah undangan. Mencari di mana gerangan sang Ayah dan Ibu di tengah lautan manusia itu.

Setelah menyapu hampir separuh undangan, dia menemukan kedua orangtuanya duduk di Tribun Utama. Mereka memakai baju batik. Serius menatap layar di tengah panggung. Hati Parara berangsur tenang.

Acara wisuda itu lalu dimulai, sekitar pukul sembilan pagi. Keriuhan di gedung 4,5 hektar itu pelan berganti senyap. Dan sesaat kemudian, Profesor Herry Suhardiyanto, Rektor di situ, melangkah ke atas panggung menuju podium.
Meletakan secarik kertas di atas podium, dia menyapa tamu yang hadir. Sang profesor memberikan pidato sambutan prosesi wisuda. Lalu tibalah waktu pengumuman wisudawan terbaik. Semua berdebar menunggu. Penasaran ingin tahu siapa lulusan terbaik.

Sesudah memberi pengantar sebentar, sang rektor melanjutkan, "Jatuh pada mahasiswa sarjana Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ialah Pararawendy Indarjo dengan predikat cum laude dan IPK 4,00 dengan masa studi 44 bulan.” Gedung aula itu gemuruh. Tepuk tangan panjang membahana.

Di layar besar, wajah memerah wisudawan tengah disorot kamera. Pararawendy sedang tersenyum menahan tangis haru. Di sudut lain, Sularjo dan istrinya terperanjat. Keharuan tak bisa disembunyikan dari wajah mereka. Pekikan nama Pararawendy di dalam gedung berkubah biru itu menggetarkan hatinya.

Tak tahan lagi, air mata sang ibu tumpah. Menangis sesenggukan. Bahagia. Perjuangan sang putra dan seluruh keluarga sungguh tak sia-sia. "Saya menahan tangis. Malu kena sorot kamera. Kalau duduk di belakang saya menangis,” kata Parara dengan nada bergetar mengingat momen itu saat berbicang dengan Dream.co.id, di Masjid Kampus Al Hurriyyah IPB, Bogor, Minggu kemarin.

Datang dari keluarga transmigran yang serba pas-pasan, tidak mengendurkan semangat pemuda kelahiran Sampit, 24 Januari 1994 itu, mengukir prestasi. Nilai IPK-nya sempurna. Sebanyak 53 mata kuliah yang diikuti lulus dan semua nilainya A. Luar biasa!

****

Negeri kita yang mahaluas ini, yang membentang dari Sabang hingga Merauke, memang menyimpan banyak orang-orang hebat seperti Parara. Gemilang dari kesulitan. Kisah-kisah seperti Parara ini, sesungguhnya bertebaran dan menginspirasi banyak anak-anak muda di seantero negeri.

Lihatlah anak penjual kue yang mendapat IPK nyaris sempurna. Anak seorang pembantu rumah tangga yang terbang jauh ke negeri Kangguru menempuh master. Dan begitu banyak kisah serupa yang membuat kita bukan sekedar kagum, tapi juga berharap kisah mereka jadi inspirasi.

Bacalah kisah Devi Triasari. Putri seorang ibu pembantu rumah tangga yang menggegerkan jagat dunia maya. Meski hanya anak pembantu rumah tangga, semangat Devi meraih pendidikan terbaik terang menyala. IPK 3,99 dari Universitas Sebelas Maret Surakarta menjadi bekalnya berkelana di belantara Monash University, Australia.

Jalan panjang menuju Australia itu sungguh berliku dan berpeluh. Lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan, semangat bersekolah Devi memang tersudut kehidupan. Dia menjadi tenaga kerja di Jepang. Dia berharap dengan menjadi tenaga kerja di sana, seluruh kehidupannya bisa dibeli termasuk kebahagiaan. "Saya mikirnya jadi TKW, pulang dua tahun bisa beli tanah, sawah, dan bisa membangun rumah kami yang sudah hampir roboh," kisah gadis asal Ngawi, Jawa Timur, ini.

Tapi merasa cara ini gagal. Lalu menyala ambisi mengangkat derajat keluarga lewat pendidikan. Tapi dia sadar betul, modal tak cukup dan bakal begitu banyak pengorbanan yang diserahkan. Uang tak cukup. Itulah sebabnya, demi cita-cita itu dia menjadi guru les dan berjualan pulsa.

Semua kerja keras itu ada hasilnya. Dia lulus sarjana. Dan hari ini dia tengah menempuh Master di Australia. Devi ditawari menjadi dosen usai menyelesaikan studi S2 itu. Kisah si Devi ini sudah menginspirasi banyak orang. Betatapun hidup menyudutkan kita, keringat akan menyudahinya.

Dengarlah juga kisah dari Universitas Negeri Semarang ini. Mochammad Najmul Afad, mahasiswa penjual donat ini mungkin membuat mereka yang berleha-leha mengisi waktu kuliahnya, bisa tersipu malu. Dengan keterbatasan ekonomi dan sempat diusir dari kost temannya karena dilarang majikan, Afad mendapat kesempatan langka. Berjabat tangan dengan rektor karena menjadi mahasiswa lulusan terbaik. Nilai IPK-nya nyaris sempurna 3,87.

****

Kisah sukses Pararawendy, Devi dan Afad, adalah bukti bahwa semangat bisa memerdekakan kita dari kesusahan ekonomi. Memang tak mudah, tapi kisah mereka bisa memberi semangat kepada ribuan anak-anak Indonesia, yang ekonomi orangtuanya kembang kempis.

Di negeri ini, jumlah orang-orang yang hidupnya kembang-kempis itu memang tak sedikit. Setidaknya sekitar 27,27 juta orang Indonesia hidup miskin. Sebanyak 10,36 juta di antaranya ada di perkotaan. Lowongan kerja yang sulit, tak punya lahan membawa 17,37 juta orang desa hidup miskin.

Hidup yang susah itu menjauhkan mereka dari pendidikan. Biaya kuliah memang mahal,. Pelamar yang ingin mengenyam pendidikan di negeri ternama di Jakarta misalnya, sudah harus merogoh uang Rp 300 ribu-600 ribu. Itu baru uang pendaftaran.

Lolos uji saringan, tak ada waktu bersenang-senang. Mereka harus menyiapkan dana minimal Rp 5 juta-7 juta hanya untuk biaya pendidikan selama enam bulan. Selanjutnya, harus merogoh kantong lagi.

Untuk anak-anak seperti Pararawendy, Devi, dan Afad, memiliki uang sebanyak itu mungkin hanya mimpi belaka. Beruntung ada program Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi). Uang bulanan biaya hidup minimal Rp 600 ribu. Bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan Rp 400 ribu per bulan. Setidaknya itu meringankan beban mereka.

(Laporan: Maulana Alkautsar)

Sumber: http://www.dream.co.id/orbit/susah-p...a-150812v.html

Baca Juga:
1. Kisah haru Anak Penyadap Karet Lulus Cum Laude, Sempurna
2.Jatuh Bangun Devi, Anak Pembantu Lulusan Terbaik UNS3.
3. Kisah Afad, Penjual Donat Kampus Peraih Cum Laude

Mantap bro, mahasiswa miskin bisa meraih gelar cum laude!!!!
tien212700
tien212700 memberi reputasi
1
19.7K
94
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan