- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pertamina Jual Premium Rugi Rp80 Miliar/Hari


TS
tiarano1
Pertamina Jual Premium Rugi Rp80 Miliar/Hari
Quote:

Direktur Pemasaran PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang mengatakan, perusahaan mengalami kerugian menjual premium mencapai Rp80 miliar/hari.
"Mestinya (harga premium) lebih mahal Rp1.000, rugi bisa dihitung dari setiap hari jual 80.000 kiloliter kali Rp1.000, sehari rugi Rp80 miliar," ujarnya di Jakarta, Rabu (5/8/2015).
Di tempat yang sama, Direktur Pembinaan Program Direktorat Jenderal (Ditjen) Minyak dan Gas Agus Cahyono Adi menjelaskan, secara kalkulasi sampai hari ini, Pertamina merugi Rp12,5 triliun.
Dia menjelasakan, harga minyak dunia sempat menurun pada Februari-Maret, tapi kembali naik pada April-Juni. Pada saat naik, Pertamina tidak mengubah harga premium.
"April, Mei, Juni selisih keekonomiannya Rp2.000. Revisi harga premium belum ada sejak April sampai sekarang (minggu lalu)," jelas Agus.
Pemerintah melihat perlu ada evaluasi soal perubahan harga premium, tidak lagi sebulan sekali. Ke depannya bisa tiga, empat atau enam bulan sekali.
"Akhirnya setelah rapat, untuk jaga stabilitas ekonomi, kita ambil kebijakan lihat penetapan harga premium setiap bulan tidak pas," pungkasnya.
source: http://ekbis.sindonews.com/read/1029...ari-1438748304
mari kita menghitung angka produksi minyak di negara ini apakah sesuai dengan hitung2an pemerintah
Quote:

Cara Sederhana Hitung Harga Pokok Produksi BBM
Kok bisa ya, harga jual BBM beda jauh dengan harga minyak? Padahal Indonesia punya banyak sumur minyak, tapi kok impor BBM? Mungkin pertanyaan tersebut sering terlintas di pikiran Anda. Nah, mari kita coba telusuri perhitungan sederhana harga pokok produksi (HPP) BBM yang dijual di Indonesia.
Harga bahan bakar minyak baik itu premium, solar maupun pertamax yang dikonsumsi masyarakat berbeda dengan harga minyak yang ditulis di berita-berita yang biasanya dinyatakan dalam dollar per barel. Harga minyak yang tertera pada berita itu adalah bahan dasar dari produk-produk bahan bakar kendaraan kamu. Jadi setelah melewati proses penyulingan minyak mentah yang diekstrak dari dalam bumi diolah supaya bisa digunakan sebagai bahan bakar kendaraan.
Di Indonesia sendiri cara penghitungan harga pokok produksi ditetapkan oleh PT Pertamina (Persero). Harga pokok produksi (HPP) inilah yang nantinya akan menjadi patokan harga jual dan juga subsidi. Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir menjelaskan, pemerintah telah mematok harga penjualan BBM di tanah air berdasarkan patokan minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP). Harga ICP sendiri sedikit berbeda dengan harga acuan minyak mentah global yaitu WTI dan Brent.
Beberapa faktor yang mempengaruhi harga BBM di dalam negeri adalah jumlah lifting minyak (produksi dalam negeri), kapasitas pengolahan (penyulingan), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan juga biaya transportasi.
Indonesia mengkonsumsi bahan bakar dengan jumlah yang lebih besar dari yang bisa dipenuhi oleh produksi minyaknya. Karena itulah Indonesia saat ini merupakan importir bersih minyak mentah, padahal dulunya Indonesia sempat bergabung dalam OPEC menjadi eksportir minyak. Karena itulah pemerintah sangat menginginkan agar lifting minyak mentah bisa ditingkatkan. Menurut data saat ini kemampuan lifting minyak di Indonesia masih jauh dari target APBN di 870 ribu barel per hari.
Sebagai ilustrasi saat ini lifting minyak sekitar 800 ribu barel per hari. Menurut Ali hanya 85 persen hasil lifting minyak yang bisa diolah menjadi BBM. Jadi dari 800 ribu barel tersebut yang bisa diolah menjadi BBM sekitar 680 ribu barel. Dengan kebutuhan dalam negeri yang mencapai 1.3 juta barel per hari, Pertamina harus mengimpor minyak mentah sebanyak 320 ribu barel. Kapasitas produksi penyulingan dalam negeri hanya sebesar 1 juta barel per hari. Sisanya sebesar sekitar 300 ribu barel diimpor dalam bentuk BBM jadi (sudah diolah).
Dengan kapasitas penyulingan yang minim, impor minyak mentah dan BBM menjadi sebuah keniscayaan. Karena itulah nilai tukar rupiah menjadi sangat penting dalam menentukan harga pokok produksi BBM. Jika rupiah melemah terhadap dollar artinya dibutuhkan biaya yang lebih besar untuk impor sehingga HPP akan mengalami kenaikan. Demikian pula jika rupiah menguat maka HPP akan turun.
Anggaplah kita sudah bisa memenuhi kebutuhan BBM dari hasil produksi sendiri sehingga biaya impor ditiadakan. Apakah dengan demikian harga jual BBM berada di bawah HPP? Mari kita hitung dengan ilustrasi sederhana.
Menurut data ICP atau harga minyak mentah Indonesia ada di level 95 dollar per barel. Nilai tukar rupiah saat ini berada di level 12.200 per dollar AS 1 barel = 158.99 liter.
Dengan demikian harga minyak mentah Indonesia per liter adalah 95 x 12.200/158.2 = Rp 7289 per liter. Itu belum termasuk biaya produksi dan transportasi yang bisa 15 – 30 persen dari harga pokok. Sehingga HPP BBM Indonesia paling tidak lebih tinggi dari Rp 8.300.
Tapi ingat bahwa perhitungan ini berdasarkan asumsi produksi minyak dan kapasitas penyulingan dalam negeri bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri , yang mana pada kenyataannya tidak demikian.
Nah, dengan harga jual eceran saat ini yang hanya sebesar Rp 6.500, terbayang ya kenapa subsidi BBM Indonesia amat besar?
https://www.selasar.com/ekonomi/cara...k-produksi-bbm
dan pada kenyataannya dimulai dari pertengahan tahun 2014 harga komoditi (termasuk di dalamnya adalah minyak mentah ) mengalami trend penurunan yang sangat dahsyat
Quote:


Mengapa Harga Minyak Jatuh Sejak Pertengahan 2014
Merosotnya harga minyak dari titik puncak 115USD per barel pada Juni 2014 membuat banyak orang bertanya-tanya, "Mengapa harga minyak bisa merosot sedemikian rupa dengan tiba-tiba?" Berbagai spekulasi pun mulai ditempa dan bermacam faktor disebut-sebut sebagai biang perkaranya. Berikut ini beberapa pendapat yang beredar di kalangan pengamat dan media tentang mengapa harga minyak dunia bisa terjungkal.
The Economist: Empat Faktor
Harga minyak sebagian ditentukan oleh permintaan (demand) dan penawaran (supply), dan sebagian lagi ditentukan oleh ekspektasi. Demand untuk sektor energi sangat berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Ini sebabnya mengapa demand dari bumi bagian utara meningkat saat musim dingin dan di khatulistiwa meningkat saat musim panas karena penggunaan AC. Sedangkan supply dipengaruhi oleh musim dan konflik geopolitik yang kemungkinan mengganggu produksi dan distribusi. Jika produsen memperkirakan harga akan tetap tinggi, mereka akan meningkatkan investasi, yang pada gilirannya meningkatkan supply. Demikian pula, harga yang murah akan membuat orang malas investasi. Dalam hal ini, keputusan-keputusan OPEC membentuk ekspektasi: jika OPEC membatasi supply dari negara-negara anggotanya, maka harga akan melejit. Di OPEC sendiri, negara yang paling berpengaruh adalah Arab Saudi yang memproduksi nyaris 10 juta barel perhari, atau sepertiga dari total produksi minyak OPEC.
Menurut media ekonomi terdepan The Economist, saat ini ada empat faktor yang berpengaruh. Pertama, permintaan minyak rendah karena aktivitas ekonomi melemah, efisiensi yang meningkat, dan peralihan dari minyak ke bahan bakar lainnya. Kedua, gejolak di Irak dan Libya (yang bersama-sama menghasilkan nyaris 4 juta barel perhari) tidak berdampak pada output produksi minyak mereka. Ketiga, Amerika telah menjadi produsen minyak terbesar dunia. Walaupun AS tidak mengekspor minyak, tetapi impornya berkurang signifikan sehingga menciptakan banyak suplai yang tak terpakai. Terakhir, Arab Saudi dan kawan-kawannya di Teluk telah memutuskan untuk tidak mengorbankan pangsa pasar mereka demi mengembalikan harga ke level semula. Mereka bisa membatasi produksi dengan mudah, tetapi manfaat utamanya akan dinikmati oleh negara-negara yang tidak mereka sukai, seperti Iran dan Rusia. Negara-negara itu telah cukup terpukul dengan rendahnya harga minyak; sebaliknya Arab Saudi bisa mentolerir harga minyak murah dengan mudah karena cadangan minyaknya yang melimpah dan biaya produksi sedikit (sekitar 5-6 USD per barel).
Efek utama dari kondisi ini dirasakan oleh bagian-bagian industri minyak yang paling berisiko dan rapuh. Termasuk diantaranya adalah pelaku fracking di AS yang sebelumnya melakukan penambangan dengan modal dana pinjaman berbunga dengan ekspektasi harga minyak tinggi. Juga, perusahaan-perusahaan minyak Barat yang terlibat eksplorasi berbiaya tinggi seperti penambangan di laut dalam atau di Arktik, atau di wilayah yang makin lama makin mahal seperti North Sea. Namun yang paling menderita adalah negara-negara yang pemerintahannya bergantung pada harga minyak tinggi untuk membayar program-program sosial dan luar negeri yang mahal, seperti Rusia dan Iran. Mereka yang optimis memperkirakan tekanan harga minyak murah akan membuat negara-negara itu makin mudah ditekan oleh dunia internasional, sedangkan para pesimis menduga negara-negara itu bisa mengamuk ketika dipojokkan.
OilPrice: AS, Rusia, Dan Saudi
Mungkin tidak ada yang akan memperdebatkan kalau jatuhnya harga minyak dimulai dari berlipatganda-nya produksi minyak shale di Amerika Serikat. Dari perspektif Amerika, hal ini sangat bermanfaat karena dengan demikian maka negerinya yang dulu merupakan importir minyak terbesar dunia jadi bisa berswasembada energi. Terlepas dari berbagai kekhawatiran akan dampak negatif eksplorasi minyak shale dengan cara fracking bagi lingkungan, strategi itu telah terbukti amat produktif. Menurut media khusus sektor perminyakan dan energi OilPrice.com, itu pula lah sumber dari melimpahnya suplai minyak yang menyeret jatuh harga minyak sejak Juni 2014.
Bahkan, salah satu pendukung terbesar fracking, T. Boone Pickens, menyalahkan booming minyak shale AS sebagai pemicu jatuhnya harga minyak yang memukul industri energi. Ia menilai bahwa ini adalah saat bagi perusahaan-perusahaan AS untuk mulai mengurangi produksi dan mengantarkan harga minyak ke suatu keseimbangan. Dalam wawancara dengan Financial Times yang dipublikasikan pada 18 Maret 2015, Pickens menyebut perusahaan-perusahaan minyak shale telah berproduksi berlebihan (overproduced) dan kenaikan harga minyak ke level yang profitabel akan tergantung pada apakah mereka mau mengurangi output.
Jadi, itulah awal mula kejatuhan harga minyak. Tetapi, apakah itu satu-satunya alasan mengapa harga minyak merosot hingga lebih dari setengahnya, dari 110USD per barel ke 50USD hari ini dalam sembilan bulan saja?
Coba tengok Rusia. Ia adalah eksportir minyak terbesar dunia yang seharusnya bisa menuai manfaat, tetapi harga minyak murah justru berdampak negatif bagi anggaran pemerintahnya yang bersandar pada pendapatan sektor minyak untuk memenuhi lebih dari separuh total penerimaan. Solusi mudah dari masalah adalah mengurangi produksi agar harga naik, tetapi disini ada kendala iklim. Mengurangi produksi bisa buruk bagi sektor minyak Rusia, terutama karena iklim di sebagian besar ladang minyaknya amat sangat dingin hingga penghentian produksi bisa mengakibatkan sejumlah sumur membeku. Oleh sebab itu, Rusia terus memproduksi minyak dan menyimpannya; tetapi karena kapasitas penyimpanan sangat terbatas, maka minyak Rusia terus mengalir ke pasar dan memperparah kelebihan suplai.
Sejauh ini kita mengetahui bahwa melimpahnya suplai minyak yang berakibat pada kejatuhan harga dipicu oleh perusahaan-perusahaan minyak AS, juga ketidakmampuan Rusia untuk memangkas produksi. Tetapi, apakah kita sudah menemukan biang kerok yang sesungguhnya, yang malah memperparah situasi?
Coba tengok Arab Saudi, khususnya Menteri Bidang Perminyakan Ali Al-Naimi, yang dianggap sebagai arsitek dibalik keputusan-keputusan OPEC untuk mempertahankan total produksi kartel minyak tersebut pada 30 juta barel per hari di arena perang harga guna mempertahankan pangsa pasarnya. Keputusan yang diambil pada November lalu itu membuat limpahan persediaan minyak di pasar terus membuncah.
sumber
Dengan menggunakan harga sekarang seharusnya mereka mendapatkan untung yang sangat besar per harinya bukan malahan mendapat buntung yang sangat besar
Diubah oleh tiarano1 09-08-2015 11:57
0
11.9K
Kutip
208
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan