- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Epilog : Antara Aku, Dia, Surga dan Tuhan


TS
fwatikli
Epilog : Antara Aku, Dia, Surga dan Tuhan

“Aku tidak tahu kapan Tuhan akan memberikannya, bisa jadi tinggal satu, setengah, seperempat, bahkan sepermili langkah lagi. Ketidaktahuan yang membuat aku terus melangkah, karena yang aku ketahui aku tidak akan mendapatkannya jika aku berhenti disini”
Memutuskan untuk melakukan perjalanan adalah keputusan berani dalam hidup. Langkah dimulai pasti, tekat kuat adalah bekal utama menuju nirwana, iya nirwana. Berani, entah apa halangan dan rintangan yang ada di depannya. Dia menapaki jalan setapak demi setapak, mencoba menikmati segala yang dia lewati. Kesendirian tidak jarang membuatnya ragu dan takut, namun ini adalah pilihanya yaitu mencapai tujuannya, nirwana. Banyak dia melihat dan dilihatkan dalam perjalanan. Mereka yang dengan canda tawa berjalan bergandengan tangan dengan kendaraan mewah, mereka yang dengan canda tawa walau dengan sepeda, mereka yang dengan canda tawa walau berjalan kaki. Dia pun tersenyum melihat kebahagiaan sederhana itu. Senyum yang melayangkan pikiran dalam angan, melihat pada diri "iya, aku masih sendiri, kapan sekiranya canda tawa itu akan hadir?, ahh cukup bahagia aku melihat mereka".
Langkah demi langkah tak terasa, semakin jauh dia berjalan, ada seseorang yang menghampirinya. Iya, orang tersebut tak asing lagi baginya, teman semasa kecilnya. Teman kecilnya dan dia saling bertegur sapa, mereka saling bercerita tentang masa lalunya yang begitu konyol sampai dengan bercerita tentang pengalaman mereka setelah lama tidak berjumpa. Berlalu bersama setapak demi setapak mereka berjalan. Tujuan mereka sama yaitu nirwana. Teman kecilnya menawarkan diri untuk mengajaknya bersama dengan menggunakan kendaraan miliknya, namun dia menolak. Dia tidak dapat mengendarainya, dia memilih berjalan sendiri. Tak disangka, teman kecilnya pun memilih menemani dia berjalan dengan menuntun kendaraannya.
Perjalan dia kini menjadi perjalanan mereka. Canda tawa pun menyelimuti perjalanan mereka. Selayaknya memandang, mata mereka terbuka melihat sisi lain dari perjalanannya. Ada mereka yang berkendara dengan kendaraan mewah namun terdiam satu sama lain, mereka yang saling menuntun dengan berkendara sepeda, dan mereka yang saling tak mengenal walaupun berjalan berdekatan. Dia bertanya kepada teman kecilnya "sebelumnya aku melihat hal berlawanan dari itu semua, aku melihat canda tawa bahagia,sekarang sungguh bertoalk belaka, kenapa hal tersebut terjadi?" Teman kecilnya hanya tersenyum menjawab "berjalanlah terus, kau akan tau jawabannya, perjalanan di depan tak selamanya mudah".
Masih menikmati perjalanan, sesekali teman kecilnya menawarkan untuk mengendarai kendaraan tersebut agar cepat sampai, namun dia hanya tersenyum, dia hanya ingin melihat keindahan pandang perjalanannya lebih jelas, dia takut akan melewatkan keindahan itu jika dia mengendarai kendaraan itu, "biarlah seperti ini, jika Engkau lelah dan bosan pergilah dahulu" senyumnya kepada teman kecilnya. Iya, senyum yang menyejukkan, senyum yang meyakinkan teman kecilnya untuk selalu menemani perjalanannya. Tak jarang mereka saling membantu mendorong kendaraan itu, bergantian menuntunnya, meyakinkan bahwa kendaraan itu akan tetap ada. Perjalanan panjang mereka lalui dengan detail keindahan pandang.
Balada cuaca yang tak pasti turut menemani mereka. Panas terik dingin menyayat mereka jalani bersama. Berkali - kali panas membuat mereka letih, mereka memutuskan untuk beristirahat, iya istirahat yang membuat mereka sejenak melepas lelah yang menyelimuti. Lelah terganti kebahagiaan penuh syukur, mereka siap melanjutkan perjalanan. Tidak begitu jauh mereka berjalan, rintik hujan menyapa. Dia sangat senang hujan, butir air yang membasahi bumi membuatnya merasa damai. Teman kecilnya menariknya untuk berteduh, teman kecil khawatir dengan kesehatannya. Namun dia menolak, dia beranggapan ini sangat menyenangkan. Teman kecilnya tetap menarik dan memaksanya untuk berteduh, ajakan yang tidak dia hiraukan. Teman kecil hanya dapat berdoa melihatnya menari dengan hujan, doa tulus untuk memohon perlindungan untuknya. Kejadian yang tidak hanya terjadi satu dua kali, setiap kali air langit membasahi bumi, dia sangat antusias untuk menyapa. Namun tidak dengan teman kecil, yang tidak henti mengkhawatirkan dia. Tak jarang teman kecil marah agar dia mengerti kekhawatiran yang dirasa. Dia hanya terdiam dan meng-iya-kan teman kecilnya untuk meredam amarah keadaan. Sepertinya dia masih belum mengerti, ketika hujan menyapa kembali, memang benar dia dan teman kecil berteduh, namun ketika teman kecil terlena dia sudah asyiknya bersenandung dengan hujan. Basah kuyup tidak bisa dia sembunyikan, dia kembali dengan wajah menunduk dan seutas kata maaf. Teman kecil merasa kecewa, hela nafas panjang dan wajah kesal yang tidak dapat disembunyikan mengiringi pemberian maaf kesekian kali untuk dia. Tiga, empat, dia ulangi, terakhir teman kecil begitu marah melihatnya kembali basah kuyup, tanpa mendengarkan maaf darinya, dia justru mendengar maaf dari teman kecil. Teman kecil telah berusaha menjaganya, namun tak pernah dia pahami perhatian tulus itu. "Maaf, tak bisa menjagamu, semua upaya aku lakukan, namun sepertinya kamu tak pernah menghiraukannya, sekarang terserah kepadamu, maaf" kekecewaan yang tak dapat disembunyikan teman kecil. Sontak kejadian tersebut membuat dia tertegun bodoh melakukan kesalahan yang sama, meremehkan kebaikannya sendiri yang coba teman kecil jaga. Sekarang dia hanya bisa merasakan hangat air mata yang menghujani kesenduannya melihat teman kecilnya pergi perlahan menjauh darinya.
Jauh.. Jauh.. Batas langkah mereka. Dia hanya dapat melihat punggung teman kecil dengan tatapan nanar penuh air mata, mencoba tetap berjalan mengikuti tanpa ada keberanian mendekat. Menunduk kaki berjalan dia coba renungkan, betapa bodohnya dia tak menghiraukan ucapan teman kecilnya, teman kecil hanya tak ingin terjadi apa – apa dengan kesehatannya, kenapa dia begitu bodoh tidak melihat dan merasakan ketulusan itu. Dia masih berjalan mengikuti teman kecil dari belakang, dia melihatnya terhenti dan berjalan berbalik arah menuju dia. Iya, takut yang dia rasa sangat kuat, apa yang akan dia terima kali ini, hanya bisa terdiam tertunduk dan perlahan berjalan mundur menghindar pucat pasi. Sekarang tepat orang yang selama ini dia ikuti berdiri, tertunduk diam cemas. "Kenapa kamu jalan lambat sekali?!" teman kecilnya meraih tangannya penuh senyum, "Seharusnya aku lebih meluangkan waktu untuk menjagamu, Tuan Putri". Dia tak percaya apa yang dia dengar dihadapannya, "Tuhan, rasa apa ini, haru bahagia tak terbendung air bah mata ini. Tuhan, perlihatkan selalu senyum ketulusan dan pandangan mata menyejukkan ini terus untukku, bantu aku menjaganya abadi", sungguh kebahagiaan batin dalam perjalanannya. Mereka melanjutkan perjalanan dengan kebahagiaan baru, iya batu sandungan mendekatkan mereka untuk saling menjaga dalam luka perih apapun.
Titik perjalanan ini belum sepenuhnya memberikan keinginan dia untuk mengendarai kendaraan yang selama ini mereka tuntun bersama, teman kecilnya pun tak pernah sekalipun memaksa bahkan menanyakannya kembali. Dia begitu bersemangat menapak langkah bersama teman kecil yang dia tahu begitu memperdulikan melindungi dia. Selalu mereka bertukar lelucon konyol yang membuat mereka tertawa lepas tak peduli sekeliling, dia begitu bahagia terlihat dari senyum dan tawanya yang lama tak terdengar. Semakin teman kecil membuatnya tertawa, semakin degup jantung keras menatap mata melihat dunia, tak ingin terpisah. Dia semangat mencapai nirwana dengan caranya. Jalan ayo dan terus, makin kuat tekat itu memacu. "Apa kamu lelah dengan perjalanan seperti ini?" dia mencoba bertukar pendapat dengan teman kecilnya, karena dia begitu lebih bersemangat dari sebelumnya. "Bersamamu adalah pilihanku, ayo lebih semangat" kepastian yang diberikan teman kecilnya. Sesekali dia melihat teman kecilnya terdiam tak bersuara mendengar ceritanya. Dia memutuskan untuk beristirahat karena melihat wajah teman kecilnya lelah, namun teman kecil menolak dan meyakinkan bahwa keadaannya baik untuk terus berjalan. Masih tak mau mendengarkan apa yang dia bilang, teman kecilnya berusaha berjalan dan sekali lagi meyakinkan bahwa keadaannya baik. Ajakan sampai paksaan dia tak pernah dihiraukan teman kecilnya, hanya berdalih "Iya, di depan tak jauh lagi ada peristirahatan, nanti kita singgah” senyum yang dia rasakan begitu letih dari teman kecilnya mencoba meyakinkannya kembali berjalan. Entah apa yang ada dalam benak teman kecilnya itu. Tak cukup waktu terlalu lama dipanas yang sangat terik, persinggahan itu terlihat, dia senang sekali melihatnya, dia berlari untuk sampai dipersinggahan lebih dahulu. Teman kecilnya tersenyum gembira melihat dia begitu antusias, namun pandangan putih menyelimuti, teman kecilnya sudah lemah jatuh tergeletak tak berdaya.
Dia tersadar teman kecilnya tidak mengikuti dari belakang, berhenti berbalik arah begitu mengejutkan yang dia liat. Lari menghampiri teman kecilnya yang sudah tak berdaya, dia coba menyadarkan teman yang selama ini setia menemaninya. "Apa yang terjadi, kenapa dengan dirimu, bangunlah persinggahan itu ada di depanmu?" kekhawatiran bersimpuh ketidaksanggupan menghentikan air mata. "Maaf Tuan Putri, harus dengan cara seperti ini kamu tahu, kamu begitu bersemangat mana mungkin aku tega menghentikanmu, pergilah, aku lelah!" ketidakberdayaan teman kecilnya membuat hatinya kelu, "Tuhan, begitu bodohnya aku hingga tak menyadari ini, bantu aku, aku tak tahu harus berbuat apa?". Dia berusaha membopong teman kecilnya jalan perlahan menuju persinggahan. Kejadian ini membuatnya kaku tak berdaya, dia sangat ketakutan jika Tuhan akan mengambil teman kecilnya. Siang malam dia menemani teman kecil dengan balutan doa yang terus dia panjatkan kepada Tuhan. Dia hanya bisa melihat wajah itu, wajah terpejam tak bergerak. Apa yang dalam benaknya telah bercampur aduk tak karuan, kenapa dia begitu bodoh menuruti kepentingan egonya tanpa sadar teman kecilnya sedang menahan lelah pesakitan. Kejadian itu seperti petir baginya, untuk pertama kalinya dia menceritakan semua yang dia rasa, berharap belas kasih, "Tuhan, ini semua salahku aku lalai menjaganya, Tuhan jangan ambil teman kecilku, apapun yang terjadi aku ingin tetap bersamanya, buka matanya lagi kumohon" doa yang tak pernah henti dia ucap. Dengan ketekunan dan kesetian dia terus merawat teman kecilnya, dia percaya semua akan baik – baik saja seperti perjalanan sebelumnya mereka lalui.
Dia terus menanti keajaiban teman kecilnya untuk menemani perjalanannya kembali. Menanti harapan yang selalu tanpa lelah dipanjatkan kepada Tuhan. Bersimpu dalam kelelahan bermunajad, dia mendengar lirih suara teman kecil memanggilnya, apa hanya halusinasi, terdiam iya benar suara itu nyata. Dia mendekati teman kecilnya, memastikan apa yang dia dengar, dia melihat teman kecilnya telah siuman dari tidur panjangnya. Syukurlah, Terimakasih Tuhan, begitu haru dia rasa. "Maafkan aku" dengan linangan air mata penuh syukur dia meminta maaf karena memaksanya terus berjalan. Hari berganti hari, minggu serta bulan dia terus menemani dan menjaganya. Keadaannya semakin membaik, tidak jarang teman kecilnya menyuruh dia melanjutkan perjalanan meninggalkannya, namun selalu tak dia anggap, dia percaya teman kecilnya akan baik-baik saja dan dapat melanjutkan perjalanan bersama kembali, bagaimanapun keadaan nantinya dia akan tetap setia menanti kesembuhannya. Kali ini dia tidak mau lalai lagi, dia akan menunggu teman kecilnya benar baik baru memutuskan berjalan kembali. Semakin menjaganya, semakin rasa itu kuat, iya rasa yang tak bisa diungkapkan, yang dia tahu hanya tak ingin meninggalkannya, rasa takut akan dipisahkan untuk kesekian kalinya. Syukurlah teman kecilnya pulih lebih cepat dari dugaan, mereka rasa telah mampu untuk melanjutkan kembali perjalanannya. Ada yang berbeda dari perjalanannya kali ini, dia memutuskan untuk mengendarai kendaraan yang selama ini hanya setia menemani. Keyakinan atas semua kejadian yang telah terjadi, rasa takut kehilangan, keyakinan atas kepercayaan terhadap adanya keajaiban dalam kebersamaan.
Pagi yang cerah menemani memulai perjalanan panjang mereka. Semua telah siap, keceriaan kebahagiaan berbalut kasih. Pertama kalinya dia melakukan perjalanan dengan berkendara, awalnya dia takut, sadar dengan ketakutannya, teman kecil mengisyaratkan tidak akan terjadi apapun. Dia pejamkan mata sejenak memohon memanjatkan doa penuh harap, "Tuhan, lindungi perjalanan kami, sesungguhnya kami tak berdaya tanpa perlindungan dariMu". Perjalanan yang lebih cepat menuju nirwana mereka nikmati. Obrolan ringan mereka lantunkan mengusir kebosanan. Tidak jarang, kerikil kecil tak berarti menghambat perjalanan mereka. Ketika kelelahan menghampiri, mereka sejenak singgah menikmati keindahan alam lebih dekat. Berlempar canda yang membuat perjalanan semakin berarti tidak ingin terpisah. Begitu berartinya kebersamaan perjalanan menikam membunuh kebosanan. Di titik ini, dia semakin merasakan degup jantung kebahagiaan setiap menangkap senyum teman kecilnya, "Tuhan, begitu sempurna atas segala kebahagiaan yang telah Engkau anugerahkan, ada dia, iya teman kecilku yang selalu menemaniku memahami kebesaranmu, rasanya aku tak menginginkan apapun lagi, pemberianmu sempurna ku rasa. Tuhan, jaga kebahagiaan ini, hanya membayangkan Kau jauhkan darinya saja aku tak mampu, terimakasih telah mengirimkan dia untukku, aku takut dia akan Kau ambil lagi dariku".
Cahaya menyilaukan menyelinap celah pandangan, kejadian itu begitu cepat. Dia merasakan hangat dipelipisnya, merah darah, tak berdaya sempoyongan dia menghampiri teman kecilnya. Berserakan berantakan disekitarnya, kacau tak karuan, mereka mengalami benturan yang sangat keras. Benar, benturan tak terhindarkan, menyebabkan mereka terluka sangat parah. Kendaraan yang mereka gunakan sejauh ini hancur berkeping. Mereka tertegun melihat hamparan harapan mereka berdua tercecer berserakan tak karuan. Berusaha tenang, tapi payah justru semakin kalut. Teman kecil berusaha mengumpulkan kepingan dan berusaha memperbaiki kendaraan itu. Pertama kalinya, dia melihat kekecewaan teman kecil begitu mendalam, darah menyelimuti tubuh tidak dihiraukan. Dia coba membantu mengumpulkan kepingan apa yang teman kecil lakukan, "Pergilah, semua yang kita lakukan hanya sia-sia, semua berakhir, aku tak bisa menemanimu, kamu lihat semua telah hancur" kalimat yang kekecewaan sangat keras memanah relung hatinya, "Aku akan membantumu, percayalah semua akan baik-baik saja" dengan berusaha meraih teman kecilnya. "Pergilah, aku sudah lelah!" untuk pertama kalinya, dia melihat kesungguhan ucapan teman kecilnya, kekecewaan yang begitu mendalam tidak dapat disembunyikan. Air mata memaksa tak terbendung keduanya, "Aku tak akan pergi tanpamu, bukankah begitu dalam perjalanan, seberapapun kita berhati-hati melaju namun orang lain ceroboh, kita akan merasakan pula akibat kecerobohannya, kumohon jangan menyuruhku pergi, aku akan pergi tapi denganmu" dia mencoba membesarkan hati teman kecilnya. "Tolong pergilah, tolong...aku tak bisa, lihatlah hancur semua, aku hanya akan menjadi penghambatmu" teman kecilnya masih tak percaya dengan apa yang terjadi. "Kita masih bisa berjalan, kita pernah melakukan dan kita bisa sampai disini, bangkit dan ayo pergi, aku akan menarikmu, aku akan membopongmu, aku akan mengobatimu, tolong… aku tak bisa sendiri mengembalikan kendaraanmu utuh seperti dulu tanpa bantuanmu, bantu aku, percayalah bersama kita akan lalui ini" dia masih bersikeras meyakinkan teman kecilnya. "Sudah berakhir, PERGI" teman kecilnya bicara dengan nada keras mendorongnya meyakinkannya keras untuk pergi. Sangat terpukul dia mendengar dan mendapati perlakuan teman kecilnya yang memaksanya untuk pergi, pergi, pergi dan berlalu. Dia mundur perlahan menjauh pergi dengan penuh kekecewaan segala bujuknya tak dihiraukan. Dia tak benar-benar pergi menjauh, dia berhenti di belakang tembok besar, dari balik tembok tersebut dia masih dapat memperhatikan teman kecilnya. Mereka berdua masih tak percaya dengan kejadian yang begitu cepat tak terelakkan. Air mata yang dapat bicara meluapkan hancur perasaannya, dari kejauhan kekecewaan itu juga dia lihat di relung hatiteman kecilnya. "Tuhan, apa yang telah terjadi, kenapa Kau ambil satu persatu kebahagiaan ini, apa lagi yang akan Kau ambil?" kesempurnaan kebahagiaan yang pernah dia panjatkan kepadaNya sirna tak berbekas harap. Dia masih belum percaya dengan apa yang telah terjadi, semua begitu cepat. Masih tetap dari kejauhan, dia perhatikan merasakan kesedihan yang sama terlihat dari wajah teman kecilnya. Sering dia ingin menghampirinya, namun dia takut, karenanya mereka begini, tak ada lagi senyum dan keceriaan. Kalimat tajam begitu lelahkah teman kecilnya selama ini menemani dia, sehingga tak mampu lagi menemaninya.
Masih dari kejauhan dia memperhatikan, keadaan mereka belum berubah, lelah dan rapuh tak dapat disembunyikan. Niat untuk mendatangi teman kecilnya selalu dia urungkan, dia takut akan membuatnya lebih parah merasakan sakit, lebih baik memperhatikan dari kejauhan, itu yang ada dibenaknya. Malam hari menyelimuti lelap tidurnya, berharap ada keajaiban esok hari. Benar, ajaib dia melihat sekeliling dimana biasa dia perhatikan ada yang berbeda. Iya, dia tidak melihat teman kecilnya, dari kejauhan dia melihat teman kecilnya telah pergi bersama seseorang dan semakin menjauh dari pandangannya. Dia mencoba mengejar, namun sayang luka yang dia rasa terlalu sakit. Suaranya tak dapat memalingkan teman kecilnya. Sedih sekali dia rasa, bisikan buruk menghampiri, namun dia berpikir mungkin teman kecilnya pergi mencari pertolongan dan akan kembali untuk menjemputnya.



anasabila memberi reputasi
1
1.9K
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan