Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ts4l4saAvatar border
TS
ts4l4sa
Pakar Hukum Tata Negara: Presiden bukan Lambang Negara! Jadi Aman Dihina?
Pasal Penghinaan Blunder, Presiden bukan Lambang Negara!
Rabu, 05 Agustus 2015 , 19:10:00 WIB

RMOL. Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengkritisi upaya pemerintah yang mengajukan kembali pasal tentang penghinaan terhadap presiden dalam draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurutnya, penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden merupakan pola pikir yang salah.

"Cara berfikirnya Pemerintah salah. Presiden itu bukan lambang negara secara hukum. Sehingga, kalau ada orang yang bilang begitu, selain bertentangan dengan UUD, itu sama artinya dengan melakukan feodalisasi negara," ujar Margarito saat dikontak, Rabu (5/8).

Margarito menilai, diajukannya pasal penghinaan Presiden membuat Pemerintah anti kritik. Makanya, dia khawatir hal ini akan menjadikan penyimpangan yang besar.

"Nah, kalau sudah mendapatkan krititik dari warga ke penyelenggara Pemerintahan itu dikualifikasi penghinaan, sama saja menutup pemerintahan dan mengundang penyimpangan yang lebih jauh lagi. Sama saja menjauhkan kesejahteraan rakyat dari bangsa ini," cecarnya.
http://www.rmol.co/read/2015/08/05/2...mbang-Negara!-


MK: Hidupkan Pasal Penghinaan Presiden Langgar Konstitusi
Pasal yang sudah dicabut dalam suatu UU tidak boleh dihidupkan lagi.
Jum'at, 5 April 2013 | 12:18 WIB

VIVAnews - Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menyatakan bahwa dimuatnya kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertentangan dengan konstitusi.

"Yang jelas itu bertentangan dengan konstitusi, jadi tidak boleh dihidupkan lagi," ujar Akil di gedung MK, Jakarta, Kamis, 5 April 2013.

Penghinaan terhadap presiden tertuang dalam pasal 256 RUU KUHP. Bunyinya, 'Setiap orang yang dimuka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp300 juta'.

"Yang dibatalkan MK itu bukan pasal, tapi normanya, karena bertentangan dengan konstitusi. Jadi itu tidak boleh dihidupkan lagi," tegas dia.

Menurut Akil, pasal yang sudah dicabut dalam suatu Undang-Undang tidak boleh dihidupkan lagi karena itu melanggar konstitusi. "Di negara manapun pasal yang sudah dicabut tidak boleh hidup lagi," kata Akil.

Seperti diketahui, pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai melanggar UUD 1945 dan tidak demokratis. Tapi kini pasal itu dimuat kembali oleh pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang telah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas bersama.

Pemerintah beralasan, dimasukkannya pasal itu karena presiden adalah seorang kepala negara yang patut dihormati. Maka sah saja jika dibuatkan pasal khusus terkait penghinaan kepada presiden dalam KUHP.

"Jadi apa salahnya untuk itu diatur posisinya yang khusus tadi dan dilindungi Undang-undang dengan cara yang khusus. Substansi daripada unsur penghinaan itu sama saja," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin di Gedung DPR, Kamis 4 Maret 2013.

Menurut Amir, ancaman hukuman ini tidak jauh berbeda dengan penghinaan terhadap orang lain. Bahkan, pasal ini berbeda dengan pasal penghinaan di Undang-Undang sebelumnya yang pernah dibatalkan oleh MK.

"Itu pasal penghinaan di UU yang berbeda, ini kan baru di RUU. Kita tunggu saja kalau sudah jadi," kata dia.
http://nasional.news.viva.co.id/news...gar-konstitusi


Mantan Ketua MK, Jimly Asshidiqie:
Presiden sebagai Simbol Negara adalah Pemikiran Feodal
Selasa, 4 Agustus 2015 | 20:46 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie tidak sepakat dengan rencana pemerintah yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Alasan pemerintah yang menganggap posisi presiden sebagai simbol negara dianggap sebagai warisan pemikiran feodal yang tak lagi relevan dengan era demokrasi.

"Mereka anggap presiden itu simbol suatu negara. Itu teori feodal yang anggap presiden itu lambang negara," ujar Jimly di Istana Kepresidenan, Selasa (4/8/2015).

Menurut dia, persoalan lambang negara sudah diatur secara khusus dalam pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945. Lambang negara yang diatur dalam konstitusi adalah "Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika", dan bukan presiden.

Jimly menceritakan, pada tahun 2006 lalu, MK yang dipimpinnya memutuskan menghapus pasal penghinaan kepada presiden karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang dibawa pada era demokrasi. Saat itu, lanjut dia, Indonesia dipuji oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Indonesia bahkan dianggap telah melampaui peradaban di negara-negara Eropa seperti Belgia, Swedia, dan Belanda, yang masih menerapkan pasal penghinaan terhadap presiden. Jimly menuturkan, meski di negara-negara itu masih ada pasal penghinaan kepala negara, namun tidak pernah digunakan karena peradaban yang semakin maju.

"Ngapain seorang presiden urusin fotonya diinjak? Enggak usah diurusin! Masa diinjek foto sendiri sedikit saja tersinggung," kata Jimly.

Jimly khawatir apabila pasal penghinaan terhadap presiden dihidupkan lagi, maka budaya feodal yang ada di Indonesia akan kembali hidup. Kekhawatiran itu timbul manakala penegak hukum menjadi terlalu sensitif pada setiap penentangan terhadap kepala negara yang masih dianggap sebagai simbol negara itu.

"Begitu dia lihat fotonya presiden, 'wah presiden saya marah nih, langsung lah'. Nah itu merusak kebebasan berpendapat. Kalau jadi presiden, harus siap dikritik. Kalau nggak, ya jangan," ujar Jimly.
http://nasional.kompas.com/read/2015...mikiran.Feodal


Pasal Penghinaan Presiden Tak Mungkin Dihidupkan Lagi dalam RKUHP
Pasal pidana penghinaan presiden jelas disebutkan MK sebagai salah satu warisan dari kolonialisme.
SENIN, 03 AGUSTUS 2015

Usulan pemerintah memasukan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Kitab Hukum Pidana (RKUHP) menjadi sorotan. Tak saja melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah mesti menghormati negara hukum.

“Tidak bisa, karena negara hukum. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Apa yang diputuskan tidak mungkin itu (pasal penghinaan terhadap presiden, red) dihidupkan kembali,” ujar Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin di Gedung DPR, Senin (3/8).

Aziz mengakui ada beberapa pasal yang dimunculkan kembali sejak adanya putusan MK terkait pasal penghinaan presiden. Namun, sejauh ini belum ada pembahasan substansi antara pemerintah dengan DPR. Menurutnya, berdasarkan asas hukum yang berlaku, sesuatu yang sudah dibatakan MK tak dapat lagi dibahas atau dihidupkan kembali. Tapi yang pasti, Aziz menyerahkan sepenuhnya pada Panitia Kerja (Panja) RKUHP dengan melakukan inventarisir masalah terlebih dahulu.

Poliitisi Partai Golkar itu lebih jauh berpandangan, Panja sejatinya tidak ingin membahas pasal yang sudah dibatalkan MK. Secara logika hukum, Panja tidak mungkin melakukan pembahasan pasal tersebut sekalipun pemerintahkekeuh menghidupkan kembali. Sebab pertimbangan hukum dalam amar putusan MK terlihat gamblang.

“Dalam hal tertentu untuk menjaga kebebasan dalam mengungkapkan pikiran karena berhimpit pada kebebasan pendapat dari UUD,” ujarnya.

Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, pemerintah memasukan pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam RKUHP. Namun, usulan pemerintah tersebut masih bersifat rancangan. Dengan begitu, nantinya dimungkinkan bakal terjadi perdebatan. Bukan tidak mungkin usulan pemerintah tersebut menuai penolakan.

“Belum tentu diterima oleh DPR seperti apa adanya,” ujarnya.

Dikatakan Arsul, dalam pembahasan pasal yang memiliki sensitifitas publi yang tinggi, DR bakal mendengarkan pendapat dari berbagai pihak. Mulai ahli dan akademisi, pratisi hukum, maupun kalangan masyarakat sipil yang memiliki concern terhadap pasal tersebut. Arsul berpandangan pasal tersebut bukan menjadi titipan Jokowi maupun Jusuf Kalla sebagai pucuk pimpinan pemerintahan dan negara.

“Karena sebelum pemerintahan yang sekarang, ide adanya pasal itu juga sudah tertuang,” katanya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu lebih jauh berpandangan, fraksinya akan melakukan kajian mendalam atas putusan MK yang mencabut pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam KUHP. Langkah itu dinilai tepat sebelum menentukan sikap menerima atau menolak usulan pemerintah tersebut dengan modifikasi unsur pidananya.

Selain itu juga untuk dapat memastikan agar pasal tersebut tidak menjadi pasal karet yang dipergunakan untuk membungkam kritik terhadap presiden dan pemerintahan. “PPP sendiri masih mengkaji secara internal dan meminta pendapat dari teman-teman aliansi reformasi KUHP,” ujarnya.

Anggota Aliansi Reformasi KUHP, Supriyadi W Eddyono menilai pemerintah tidak konsisten menerapkan kebijakan kriminalisasi dalam tindak pidana penghinaan di RKUHP. Ia menilai alasan pemerintah tidak dapat diterima. Pasalnya argumentasi pemerintah kepala negara asing dilindungi di dalam negeri, sementara kepala negara sendiri tidak.

Menurutnya rezim hukum penghinaan di dalam negeri belum dapat membedakan rana kritik dan penghinaan. Padahal presiden maupun pejabat publik wajib dikritik dalam rangka perbaikan pemberian pelayanan terhadap masyarakat luas.

“Lagi pula sudah terlalu banyak pasal penghinaan di Indonesia, buat apa menambah tindak pidana penghinaan lagi,” ujarnya.

Lebih jauh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berpandangan aliansi RKUHP bakal menolak keras usulan pemerintah tersebut. Menurutnya pemerintah melalui tim perumus RKUHP mengesampingkan putusan MK yang membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden.

“Intinya kita tolak keras. Ini berarti tim perumus RKUHP mbalelo atas putusan MK. Kita siap kawal dan uji lagi pasal ini jika masih dihidupkan lagi sama pemerintah,” ujarnya.

Anggota Aliansi Reformasi KUHP lainnya, Wahyudi Djafar menambahkan masuknya pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam RKUHP. Ia berpandangan mestinya RKUHP secara jeli menerjamahkan dan mengimplementasikan mandat dalam putusan MK terkait dengan pembaharuan hukum pidana.

“Bukan justru membangkangnya. Apalagi semangat pembaharuan KUHP adalah pembentukan KUHP nasional, keluar dari belenggu kolonial. Pasal pidana penghinaan presiden jelas disebutkan MK sebagai salah satu warisan dari kolonialisme,” pungkas program officer monitoring kebijakan dan pengembangan jaringan advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)itu.
http://www.hukumonline.com/berita/ba...gi-dalam-rkuhp


Dinilai Diskriminatif, Pasal Penghinaan Pejabat Digugat.
Majelis akan menentukan permohonan ini berlanjut ke sidang pleno atau tidak.
KAMIS, 02 APRIL 2015

Dinilai Diskriminatif, Pasal Penghinaan Pejabat Digugat. Kuasa Hukum Pemohon (Ki-Ka) Okta Heriawan dan Kurniawan saat menyampaikan perbaikan permohonan dalam sidang pengujian KUHP, Rabu (1/4). Foto: Humas MK

Tak terima dijerat pasal penghinaan pejabat, dua aktivis LSM yang didakwa menghina Walikota Tegal yakni Agus Slamet dan Komar Raenudin, akhirnya mempersoalkan Pasal 319 KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menganggap Pasal 319 KUHP terkait penghinaan terhadap pejabat negara itu cenderung diskriminatif karena memungkinkan orang tidak terkena kejahatan penghinaan dapat melaporkan ke aparat penegak hukum.

"Pasal 319 KUHP khususnya frasa 'kecuali berdasarkan Pasal 316 sudah tidak relevan lagi kalau dipandang sama dengan penghinaan presiden dan wakil presiden," ujar kuasa pemohon, Victor Santoso Tandiasa dalam sidang perbaikan yang dipimpin Suhartoyo di ruang sidang MK, Rabu (01/4).

Pasal 319 KUHP berbunyi "Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan Pasal 316." Sedangkan pasal 316 KUHP mengatur ancaman pidana penghinaan kepada seorang pejabat.

Victor menegaskan Pasal 319 KUHP sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan sejak MK memutuskan pengujian Pasal 207 KUHP pada 2006. Dalam putusan MK bernomor 013-022/PUU-IV/2006 itu, MK menyatakan pembelakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan (delik aduan).

"Jadi, atas dasar putusan itu, aparat penegak hukum baru dapat memproses memberlakukan Pasal 207 KUHP, setelah ada pengaduan dari penguasa (secara langsung)," ujarnya.

Menurutnya, ketentuan penghinaan terhadap pemerintah yang sah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat tergantung pada tafsir apakah suatu proses, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan. Hal ini juga berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap.

Pemohon juga menganggap pemberlakuan Pasal 319 KUHP, khususnya frasa "kecuali berdasarkan Pasal 316" memungkinkan terjadinya ketidakpastian hukum. Sebab, orang yang tidak terkena kejahatan penghinaan dapat melaporkan orang yang dianggap telah menghina orang lain. "Pasal 319 KUHP khususnya frasa 'kecuali berdasarkan Pasal 316' memberi perlakuan yang berbeda antara jabatan presiden dan wakil presiden dengan jabatan kepala daerah atau jabatan lain di bawah presiden," tegasnya. "Ini bentuk pembedaan terhadap unsur yang dapat melakukan pengaduan terhadap terjadinya tindak pidana penghinaan."

Atas dasar itu, pemohon meminta MK menghapus frasa "kecuali berdasarkan Pasal 316" dalam Pasal 319 KUHP karena bertentangan dengan UUD 1945.

Atas perbaikan permohonan ini, Majelis Panel akan mengadakan rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan kelanjutan dari sidang ini. "Nanti, kita akan RPH dulu, nanti kita akan tentukan apakah sidang akan lanjut ke sidang pleno atau tidak," kata Suhartoyo mengingatkan.

Untuk diketahui, Agus Slamet dan Komar Raenudin ditangkap pada Oktober 2014 lalu lantaran menghina Walikota Tegal lewat situs Facebook. Penangkapan dilakukan oleh petugas dari Polda Jawa Tengah setelah ada pengaduan dari masyarakat. Kini, kedua aktivis ini tengah menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Tegal yang didakwa dengan Pasal 319 KUHP.
http://www.hukumonline.com/berita/ba...ejabat-digugat

-------------------------------------

Kenapa seorang Pemimpin Rakyat itu sampai dihina, dicaci-maki, bahkan dibunuh dan disembelih, contohnya kayak Presiden Saddam Husein atau Presiden Khadafi itu. Atau digulingkan rakyatnya seperti Soekarno, Soeharto, Gus Dur atau Marcos? Biasanya sih itu akibat sang Pemimpinnya sendiri tak becus mengurus rakyatnya, dan rayatnya dibiarkan miskin menderita, atau dia suka berbuat dzolim yang sudah melampaui batas kepada rakyatnya seperti Fir'aun.

Jadi hal itu terjadi dengan sendirinya, sudah merupakan hukum alam. Sunatullah. Makanya mengapa syarat untuk menjadi pemimpin itu sangat berat karena tanggung jawabnya itu, karena dia harus mengemban amanah rakyat yang dipimpinnya diatas pundaknya sendri. Sekarang bayangkan kalo jumlah rakyat yang harus diemban amanahnya itu, berjumlah sampai 250 juta orang seperti di Indonesia saat ini. Makanya jangan sok mampu kalo memang tak punya kapasitas sebagai Pemimpin rakyat.



emoticon-Turut Berduka
Diubah oleh ts4l4sa 06-08-2015 01:18
0
4.6K
37
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan