- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pendiri JIL, Ulil Abshar Abdalla: Sebut Kisruh di Muktamar NU Cuma 'Pura-pura'


TS
zitizen4r
Pendiri JIL, Ulil Abshar Abdalla: Sebut Kisruh di Muktamar NU Cuma 'Pura-pura'
Ulil Sebut Kisruh di Muktamar NU Cuma 'Pura-pura'
03 AGS 2015

Pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Absar Abdallah
Rimanews – Menyusul berakhirnya deadlock Sidang Pleno tata tertib Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama, intelektual NU Ulil Absar Abdallah menyebut bahwa kisruh sepanjang hari kemarin hingga sore tadi, Senin (03/08/2015) sekadar pura-pura.
“Mungkin beginilah skenario Tuhan u/ perlihatkan kebijaksanaan kiai/warga NU. Pura2 'kisruh' dulu, baru dilerai oleh kiai,” kicau Ulil dalam akun Twitter yang dipantau, Senin (03/08/2015) mengomentari redanya situasi Muktamar pascapidato Rais Am KH Mustofa Bisri yang disampaikannya dengan penuh keprihatinan.
Pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) juga menyebut kalau media yang ingin menggoreng kisruh di Muktamar NU tertipu.
“Media2 ‘Islam sebelah’ yg mau ‘menggoreng’ berita ttg NU kecele,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Sidang Pleno dijadwalkan selesai Sabtu (01/08/2015) malam, tapi baru selesai Senin sore.
http://nasional.rimanews.com/peristi...uma-Pura-pura-
Ulil adalah anak-menantu Gus Mus (Rais Am NU) yang tak sepandangan dengan menantunya itu
Ulil: Mertua Tak Keberatan
Rabu, 18 Desember 2002

Ulil Abshar Abdalla
MENANTU Gus Mus (KH Mustofa Bisri), Ulil Abshar Abdalla, kembali bikin geger kalangan pimpinan ormas Islam, setelah mengangkat tema "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam". Alumnus Pondok Pesantren Maslakul Huda asuhan KH Sahal Mahfudh itu mengajak berdiskusi tentang Islam pascatragedi 11 September, teror bom Bali, dan tuduhan terhadap Jamaah Islamiyah (JI) sebagai organisasi teroris.
Ini untuk kali kedua setelah "Islam Warna-warni", sebuah iklan layanan masyarakat yang ditayangkan di televisi, mendapat reaksi sejumlah pimpinan ormas Islam berhaluan keras.
Menurutnya, umat Islam jelas dalam posisi sulit, karena propaganda pihak Barat yang gencar itu bisa melahirkan stigma yang tidak mengenakkan.
Berangkat dari situlah, bapak dua putra yang sekarang mengibarkan bendera organisasi dengan nama Jaringan Islam Liberal (JIL) itu mengajak untuk keluar dari kejumudan (kebekuan).
Sebagai alumnus pesantren, dia menganggap berdiskusi sebagai satu hal yang biasa, sebagaimana di perguruan tinggi. Berdiskusi, katanya, akan memberikan jalan keluar jika terjadi kebuntuan menghadapi masalah.
''Pikiran yang saya sampaikan bukan hal baru, tapi hanya merefleksi pendapat yang sering saya lontarkan dalam berbagai kesempatan sebelumnya,'' ujar pemikir muda NU itu kepada Suara Merdeka, dalam perbincangan sekitar munculnya reaksi atas tulisan opininya di media terkemuka di Jakarta belum lama ini.
Menurut dia, kalangan pesantren atau akademisi Islam, mereka tidak melihat ada yang aneh dalam pemikirannya itu. Termasuk mertuanya sendiri, Gus Mus, juga tidak mempermasalahkan substansi yang dia lontarkan. Hanya metode dan cara penyampaiannya berbeda dari apa yang disampaikan kalangan kiai sepuh. ''Mertua saya tak keberatan atas substansi yang saya sampaikan,'' ujarnya.
Reaksi berlebihan datang dari kalangan pimpinan ormas Islam yang sering disebut garis keras, yang selama ini sering melontarkan gagasan untuk menerapkan syariat Islam di negeri ini. Ulil dinilai melecehkan Islam dan diancam hukuman mati.
Saat menanggapi reaksi itu, dia mengatakan, mari berdiskusi dengan sehat, tidak perlu menghakimi seperti tudingan melecehkan Islam.
Ulil mencoba meletakkan Islam sebagai sebuah "organisme" yang hidup dan dinamis sesuai dengan perkembangan manusia. Bukan monumen yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
Maka diperlukan penyegaran kembali pemikiran Islam yang cenderung membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan. Pemikiran demikian, menurutnya, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.
Untuk menuju ke arah itu, diperlukan penafsiran yang nonliteral, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Juga, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. ''Mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.'' tulis Ulil.
Kontekstual, dalam pengertian nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan tidak diwajibkan mengikutinya.
Ulil mencoba membuat contoh aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab yang tak perlu diikuti. Misalnya jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.
Yang terpenting adalah nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum. Kepantasan sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Selain itu, dia juga melontarkan pemikiran tentang umat Islam yang universal. Umat Islam sebagai "masyarakat" atau "umat" yang tak terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam. Larangan kimpoi beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Alquran pun tidak pernah dengan tegas melarang hal itu, karena menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.
Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
Juga dibutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama.
Keadilan
Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan. Misi Islam paling penting adalah bagaimana menegakkan keadilan, terutama di bidang politik dan ekonomi, budaya, bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana yang bersifat furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Upaya menegakkan syariat Islam, menurut pemikiran Ulil, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional.
Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka bumi.
Masalah kemanusiaan bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk pada nilai-nilai ketuhanan yang universal, atau sunah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.
Ulil mengutip salah satu hadis, man araadad dunya fa'alaihi bil 'ilmi, wa man araadal aakhirata fa 'alaihi bil 'ilmi (barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di akhirat, juga harus pakai ilmu.
Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai dengan perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.
Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal. Bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.
Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebagai bentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana.
Ulil menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual. Tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara "yang universal" dan "yang partikular".
Di sinilah, umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi.
Karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan.
Ulil memiliki pendapat, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Alquran, tetapi wahyu nonverbal, dalam bentuk ijtihad akal manusia, terus berlangsung.
Dalam tulisannya, Ulil melihat temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan, adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Bagi Ulil, umat Islam dituntut mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandang sendiri. Yang harus dilawan adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.
Dalam konteks ini, Ulil berpandangan lebih maju: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai islami juga. Islam, seperti pernah dikemukakan Nurcholish Madjid dan sejumlah pemikir lain, adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran "Islam" bisa ada dalam filosofi Marxisme.
Dia tidak memandang bentuk, tetapi substansi. Keyakinan dan praktik ke-Islam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah "baju", bukan itu yang penting, tapi nilai yang tersembunyi di baliknya.
Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan "baju" yang dipakai, sementara mereka lupa, inti "memakai baju" adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Mahabenar.
Ada periode di mana umat beragama menganggap "baju" bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
Musuh Islam
Musuh Islam paling berbahaya sekarang adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.
Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dan "mereka", antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara "Barat" dan "Islam"; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.
Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka".
''Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Alquran.''
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, ''Semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat, dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya. Demikian pandangan Ulil.
Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.
Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.
Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia. ''Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri. Demikian pandangan Ulil yang dikenal cendekiwan muda dari kalangan NU yang sering mengangkat nilai-nilai kebangsaan dalam Islam.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0...12/18/nas7.htm
Empat Kesalahan Gus Ulil Menurut Gus Mus
(dalam Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam)
Mei 2, 2008 oleh sastrasantri
Ketika harian Kompas menerbitkan tulisan Ulil Absar Abdalla (Gus Ulil: santri Rembang biasa memanggilnya), Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam
Gus Mus sudah menduga pasti akan muncul beragam reaksi. Bahkan sebagai mertua, Gus Mus kena imbasnya juga dari ulah menantunya tersebut. Hand Phone-nya sibuk dengan komentar-komentar orang yang menanggapi artikel tersebut.
Menurut Gus Mus, Ulil menulis kalimat “terror” tersebut karena merasa takut akan bayang-bayang orang berjubah dan berjenggot yang membawa sebilah pedang seraya meneriaki dirinya agar dia mengikuti orang-orang berjenggot tersebut.
Dari awal tulisannya, nada geram Ulil sudah tercium oleh Gus Mus, selanjutnya imbuh Gus Mus, Ulil sepertinya hanya ingin membuat geram dan kesal “kaum berjenggot” yang telah membayangi dirinya, yaitu orang-orang yang “memonumenkan” Islam.
Oleh karena itu Gus Mus tidak menaggapi isi tulisan tersebut, karena menurut beliau, tulisan menantunya itu tidak menunjukkan pemikirannya bahkan wacana sekalipun.
Empat kesalahan Gus Ulil menurut Gus Mus, jika memang benar menurut “dugaan” Gus Mus adalah:
Gus Mus merasa yakin seandainya Ulil membaca ulang tulisannya, pasti dia akan menyesal, minimal agak menyesal.
Dari alasan yang telah dikemukakan Gus Mus tersebut kita dapat mengambil hikmahnya. Karena ketika para ulama mengecam dan men-justice Ulil sesat dan sembrono, Gus Mus tidak ikut-ikutan memberi fatwa sepihak. Beliau hanya mengatakan Ulil telah salah, namun itupun hanya dugaan semata Gus Mus, “jika memeng benar”, kata Gus Mus. Hal ini semakin menunjukkan akan keluasan samudra pengetahuan Beliau. Pasti Gus Mus tau jika yang berhak men-justice orang itu salah, orang itu sesat, orang itu kafir, orang itu masuk neraka hanyalah Allah Maha Pengampun. Kebenaran hanya milik Tuhan penguasa alam. Wallahu a’lam
source
----------------------------------------------------------
Ulil agak frustasi perjuangan kelompoknya (JIL) yang bermaksud menjadikan NU sebagai alat memperjuangakn konsep JIN (Jemaat Islam Nusantara) kayaknya akan gagal total semenjak mertuanya yang menjabat Rais Am NU saat ini, Gus Mus, bersama Kyai sepuh yang paling disegani kalangan NU yaitu embah Maimoen, akhirnya mengambil alih kendali Muktamar NU kemarin, dan berhasil mengembalikan NU ke jalan yang benar.

03 AGS 2015

Pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Absar Abdallah
Rimanews – Menyusul berakhirnya deadlock Sidang Pleno tata tertib Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama, intelektual NU Ulil Absar Abdallah menyebut bahwa kisruh sepanjang hari kemarin hingga sore tadi, Senin (03/08/2015) sekadar pura-pura.
“Mungkin beginilah skenario Tuhan u/ perlihatkan kebijaksanaan kiai/warga NU. Pura2 'kisruh' dulu, baru dilerai oleh kiai,” kicau Ulil dalam akun Twitter yang dipantau, Senin (03/08/2015) mengomentari redanya situasi Muktamar pascapidato Rais Am KH Mustofa Bisri yang disampaikannya dengan penuh keprihatinan.
Pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) juga menyebut kalau media yang ingin menggoreng kisruh di Muktamar NU tertipu.
“Media2 ‘Islam sebelah’ yg mau ‘menggoreng’ berita ttg NU kecele,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Sidang Pleno dijadwalkan selesai Sabtu (01/08/2015) malam, tapi baru selesai Senin sore.
http://nasional.rimanews.com/peristi...uma-Pura-pura-
Ulil adalah anak-menantu Gus Mus (Rais Am NU) yang tak sepandangan dengan menantunya itu
Quote:
Ulil: Mertua Tak Keberatan
Rabu, 18 Desember 2002

Ulil Abshar Abdalla
MENANTU Gus Mus (KH Mustofa Bisri), Ulil Abshar Abdalla, kembali bikin geger kalangan pimpinan ormas Islam, setelah mengangkat tema "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam". Alumnus Pondok Pesantren Maslakul Huda asuhan KH Sahal Mahfudh itu mengajak berdiskusi tentang Islam pascatragedi 11 September, teror bom Bali, dan tuduhan terhadap Jamaah Islamiyah (JI) sebagai organisasi teroris.
Ini untuk kali kedua setelah "Islam Warna-warni", sebuah iklan layanan masyarakat yang ditayangkan di televisi, mendapat reaksi sejumlah pimpinan ormas Islam berhaluan keras.
Menurutnya, umat Islam jelas dalam posisi sulit, karena propaganda pihak Barat yang gencar itu bisa melahirkan stigma yang tidak mengenakkan.
Berangkat dari situlah, bapak dua putra yang sekarang mengibarkan bendera organisasi dengan nama Jaringan Islam Liberal (JIL) itu mengajak untuk keluar dari kejumudan (kebekuan).
Sebagai alumnus pesantren, dia menganggap berdiskusi sebagai satu hal yang biasa, sebagaimana di perguruan tinggi. Berdiskusi, katanya, akan memberikan jalan keluar jika terjadi kebuntuan menghadapi masalah.
''Pikiran yang saya sampaikan bukan hal baru, tapi hanya merefleksi pendapat yang sering saya lontarkan dalam berbagai kesempatan sebelumnya,'' ujar pemikir muda NU itu kepada Suara Merdeka, dalam perbincangan sekitar munculnya reaksi atas tulisan opininya di media terkemuka di Jakarta belum lama ini.
Menurut dia, kalangan pesantren atau akademisi Islam, mereka tidak melihat ada yang aneh dalam pemikirannya itu. Termasuk mertuanya sendiri, Gus Mus, juga tidak mempermasalahkan substansi yang dia lontarkan. Hanya metode dan cara penyampaiannya berbeda dari apa yang disampaikan kalangan kiai sepuh. ''Mertua saya tak keberatan atas substansi yang saya sampaikan,'' ujarnya.
Reaksi berlebihan datang dari kalangan pimpinan ormas Islam yang sering disebut garis keras, yang selama ini sering melontarkan gagasan untuk menerapkan syariat Islam di negeri ini. Ulil dinilai melecehkan Islam dan diancam hukuman mati.
Saat menanggapi reaksi itu, dia mengatakan, mari berdiskusi dengan sehat, tidak perlu menghakimi seperti tudingan melecehkan Islam.
Ulil mencoba meletakkan Islam sebagai sebuah "organisme" yang hidup dan dinamis sesuai dengan perkembangan manusia. Bukan monumen yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
Maka diperlukan penyegaran kembali pemikiran Islam yang cenderung membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan. Pemikiran demikian, menurutnya, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.
Untuk menuju ke arah itu, diperlukan penafsiran yang nonliteral, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Juga, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. ''Mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.'' tulis Ulil.
Kontekstual, dalam pengertian nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan tidak diwajibkan mengikutinya.
Ulil mencoba membuat contoh aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab yang tak perlu diikuti. Misalnya jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.
Yang terpenting adalah nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum. Kepantasan sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Selain itu, dia juga melontarkan pemikiran tentang umat Islam yang universal. Umat Islam sebagai "masyarakat" atau "umat" yang tak terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam. Larangan kimpoi beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Alquran pun tidak pernah dengan tegas melarang hal itu, karena menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.
Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
Juga dibutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama.
Keadilan
Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan. Misi Islam paling penting adalah bagaimana menegakkan keadilan, terutama di bidang politik dan ekonomi, budaya, bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana yang bersifat furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Upaya menegakkan syariat Islam, menurut pemikiran Ulil, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional.
Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka bumi.
Masalah kemanusiaan bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk pada nilai-nilai ketuhanan yang universal, atau sunah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.
Ulil mengutip salah satu hadis, man araadad dunya fa'alaihi bil 'ilmi, wa man araadal aakhirata fa 'alaihi bil 'ilmi (barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di akhirat, juga harus pakai ilmu.
Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai dengan perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.
Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal. Bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.
Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebagai bentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana.
Ulil menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual. Tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara "yang universal" dan "yang partikular".
Di sinilah, umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi.
Karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan.
Ulil memiliki pendapat, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Alquran, tetapi wahyu nonverbal, dalam bentuk ijtihad akal manusia, terus berlangsung.
Dalam tulisannya, Ulil melihat temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan, adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Bagi Ulil, umat Islam dituntut mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandang sendiri. Yang harus dilawan adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.
Dalam konteks ini, Ulil berpandangan lebih maju: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai islami juga. Islam, seperti pernah dikemukakan Nurcholish Madjid dan sejumlah pemikir lain, adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran "Islam" bisa ada dalam filosofi Marxisme.
Dia tidak memandang bentuk, tetapi substansi. Keyakinan dan praktik ke-Islam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah "baju", bukan itu yang penting, tapi nilai yang tersembunyi di baliknya.
Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan "baju" yang dipakai, sementara mereka lupa, inti "memakai baju" adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Mahabenar.
Ada periode di mana umat beragama menganggap "baju" bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
Musuh Islam
Musuh Islam paling berbahaya sekarang adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.
Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dan "mereka", antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara "Barat" dan "Islam"; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.
Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka".
''Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Alquran.''
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, ''Semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat, dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya. Demikian pandangan Ulil.
Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.
Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.
Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia. ''Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri. Demikian pandangan Ulil yang dikenal cendekiwan muda dari kalangan NU yang sering mengangkat nilai-nilai kebangsaan dalam Islam.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0...12/18/nas7.htm
Empat Kesalahan Gus Ulil Menurut Gus Mus
(dalam Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam)
Mei 2, 2008 oleh sastrasantri
Ketika harian Kompas menerbitkan tulisan Ulil Absar Abdalla (Gus Ulil: santri Rembang biasa memanggilnya), Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam
Gus Mus sudah menduga pasti akan muncul beragam reaksi. Bahkan sebagai mertua, Gus Mus kena imbasnya juga dari ulah menantunya tersebut. Hand Phone-nya sibuk dengan komentar-komentar orang yang menanggapi artikel tersebut.
Menurut Gus Mus, Ulil menulis kalimat “terror” tersebut karena merasa takut akan bayang-bayang orang berjubah dan berjenggot yang membawa sebilah pedang seraya meneriaki dirinya agar dia mengikuti orang-orang berjenggot tersebut.
Dari awal tulisannya, nada geram Ulil sudah tercium oleh Gus Mus, selanjutnya imbuh Gus Mus, Ulil sepertinya hanya ingin membuat geram dan kesal “kaum berjenggot” yang telah membayangi dirinya, yaitu orang-orang yang “memonumenkan” Islam.
Oleh karena itu Gus Mus tidak menaggapi isi tulisan tersebut, karena menurut beliau, tulisan menantunya itu tidak menunjukkan pemikirannya bahkan wacana sekalipun.
Empat kesalahan Gus Ulil menurut Gus Mus, jika memang benar menurut “dugaan” Gus Mus adalah:
- Meskinya tulisan Ulil tersebut tidak disodorkan ke redaksi Kompas, karena pembaca Kompas pada umumnya adalah mereka yang masih mau meluangkan waktunya untuk membaca dan atau mendengar pendapat orang lain. Akibat salah memilih media, maka tulisan itu hanya membuat bingung dan heran orang-orang yang tidak bertipe sebagaimana sasarannya– pendek kata Ulil salah sasaran memanah target– mereka bertanya apa maunya si Ulil?.
- Ulil menulis dengan geram ! Kegeraman sebagaiman sikap athifie lainnya, bisa mengacaukan pikiran yang jernih, bisa membuat orang berbuat berlebihan, dan bisa tidak berlaku adil, jejeg. Kata Gus Mus, Ulil pasti hafal Mahfuzhat yang berbunyi “kaifa yastaqim al-dzillu wa al-‘audu a’waj? Bagaimana bayangan bisa lurus bila tongkatnya bengkok, Bagaimana kita akan meluruskan jika kita sendiri kacau?”.
- Sebagai seorang intelektual, seharusnya Ulil tidak mencampurkan kemampuannya dengan “nafsu”. Untuk melaksanakan amar ma’ruf ddan nahi munkar, hendaknya dilaksanakan secara ma’ruf bukan secara munkar, karena amar ma’ruf nahi munkar merupakan manifestasi dari sebuah kasih sayang. Dengan kata lain amar ma’ruf nahi munkar adalah istilaih lain bagi rahmatan li al-a’lamien.
- Ulil menulis kalimat “panas” tersebut pada bulan suci Ramadhan, dimana umat Islam seharusnya menyerap kasih sayang Ilahi bagi merahmati sesama.
Gus Mus merasa yakin seandainya Ulil membaca ulang tulisannya, pasti dia akan menyesal, minimal agak menyesal.
Dari alasan yang telah dikemukakan Gus Mus tersebut kita dapat mengambil hikmahnya. Karena ketika para ulama mengecam dan men-justice Ulil sesat dan sembrono, Gus Mus tidak ikut-ikutan memberi fatwa sepihak. Beliau hanya mengatakan Ulil telah salah, namun itupun hanya dugaan semata Gus Mus, “jika memeng benar”, kata Gus Mus. Hal ini semakin menunjukkan akan keluasan samudra pengetahuan Beliau. Pasti Gus Mus tau jika yang berhak men-justice orang itu salah, orang itu sesat, orang itu kafir, orang itu masuk neraka hanyalah Allah Maha Pengampun. Kebenaran hanya milik Tuhan penguasa alam. Wallahu a’lam
source
----------------------------------------------------------
Ulil agak frustasi perjuangan kelompoknya (JIL) yang bermaksud menjadikan NU sebagai alat memperjuangakn konsep JIN (Jemaat Islam Nusantara) kayaknya akan gagal total semenjak mertuanya yang menjabat Rais Am NU saat ini, Gus Mus, bersama Kyai sepuh yang paling disegani kalangan NU yaitu embah Maimoen, akhirnya mengambil alih kendali Muktamar NU kemarin, dan berhasil mengembalikan NU ke jalan yang benar.



muhamad.hanif.2 memberi reputasi
-1
14.2K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan