Kaskus

News

ts4l4saAvatar border
TS
ts4l4sa
Kwalitas Kepala Daerah & Wakil Rakyat Semakin Merosot akibat Aturan Main yg Koplak!
Maju di Pilkada 2015: PNS dan TNI/Polri Harus Mundur
Sabtu, 28 Maret 2015 | 10:03:43

Undang-Undang nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada pasal 7 huruf (t), menegaskan bahwa calon kepala daerah maupun wakilnya yang berlatar Pegawai Negeri Sipil (PNS) maka wajib mundur dari kepegawaiannya.

Sementara bagi anggota Komisi Pe­milihan Umum (KPU) yang masih aktif, diminta untuk berhenti bila maju di Pilkada mendatang. “Jadi, tidak hanya PNS saja yang mundur, TNI/Polri yang ingin bertarung di Pilkada juga harus rela menanggalkan jabatannya, tanpa terkecuali anggota KPU lebih dipertegas, berhenti,” ungkap Komisioner KPU Sumut, Benget Silitonga, Jumat (27/3).

Dijelaskannya, surat pengunduran diri calon, itu diterima pihak KPU Kabupaten / Kota pada saat pengajuan pendaftaran dan itu dilampirkan dalam pemberkasan. “Itu undang-undang yang mengatur, dan undur diri itukan proses di tingkat pejabat berwenang kecuali berhenti disebutkan,” kata Benget menegaskan.

Sementara, bagi penyelenggara pemilu (anggota KPU) dalam dalam draf per­syaratan calon yang telah dibuat oleh KPU RI, ditentukan bahwa setiap penyelenggara baik komisioner KPU kabupaten/kota, KPU Provinsi, Panwaslu dan Bawaslu Provinsi, yang berniat maju dalam pilkada, harus berhenti dari jabatannya sebelum tahapan awal pilkada dimulai.

“Persyaratan calon dalam draf itu di­sebut­­kan bahwa setiap penyelenggara baik komisioner KPU kabupaten/kota, KPU Provinsi, Panwaslu dan Bawaslu Provinsi yang akan maju harus berhenti dari jabatannya sebelum pembentukan PPK/PPS, atau sebelum tahapan awal Pilkada dimulai,” tegasnya.

Secara terpisah, Anggota KPU Medan Panda­potan Tamba, menambahkan, bagi PNS yang mendaftar sebagai calon harus sudah memenuhi syarat pengunduran diri yang diketahui oleh atasannya. “Pengunduran diri yang diketahui oleh atas­a­nnya. Jadi, bukan sekadar surat per­nyataan pengunduran diri saja,” katanya
http://www.jurnalasia.com/2015/03/28...-harus-mundur/


Putusan MK, Animo Calon Kepala Daerah dari Kalangan Anggota Legislatif (spt PPP), Menurun!
Jumat, 24 Juli 2015 | 17:42

Jakarta - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengakui adanya perubahan animo dari peminat kursi kepala daerah dari partainya menyusul dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan anggota dewan harus mundur dari jabatannya andaikata hendak maju sebagai calon kepala daerah di pilkada serentak, Desember mendatang.

Hal itu diungkapkan juru bicara DPP PPP, Asrul Sani. "Putusan MK itu yang membuat animo menurun. Saya tahu banyak teman di DPR yang ingin (mencalonkan diri) jadi gubernur dan bupati. Begitu ada putusan MK, mereka membatalkan," kata Asrul, Jumat (24/7).

Di PPP, sebagian besar atau yang berada di urutan pertama untuk menjadi calon kepala daerah umumnya berprofesi sebagai politisi, dimana rata-rata menjabat sebagai anggota dewan di DPR RI, DPRD tingkat provinsi sampai kabupaten. "Setelah ada (putusan) MK, rata-rata, mereka mengurungkan niatnya," imbuh Asrul.

Meski animo dinilai menurun dari periode sebelumnya, secara kuantitas, Asrul menjelaskan masih tingginya peminat kursi kepala daerah yang mendaftar dari PPP. Di tengah dualisme kepengurusan DPP dan adanya putusan MK, sejauh ini tercatat 208 orang telah mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah yang mewakili 180-an kabupaten/kota.

Asrul tak membantah bila PPP tak dapat banyak bermanuver memperjuangkan calon kepala daerah menyusul tingginya persyaratan dalam pengajuan pasangan calon kepala daerah. Seperti diatur dalam UU, syaratnya adalah 20 persen kursi anggota dewan.

"Dengan batasan itu, yang bisa menjadi calon jumlahnya sedikit. Katakan ada 12 parpol saat ini, dimana 10 parpol di parlemen. Paling banyak ada tiga pasang calon. Ada pasangan keempat atau kelima, paling dari jalur independen. Dengan threshold seperti itu, maka pencalonan hanya dikuasai tokoh partai atau orang kaya yang bermodal," tuding Asrul.

Karenanya Asrul berharap syarat threshold dapat direvisi. "Menurut saya, seharusnya pilkada ini kalau mau dikasih threshold, jangan 20 persen. Semakin banyak calon, kesempatan rakyat untuk memilih calon berkualitas akan lebih terbuka," tandasnya.

"Dalam kondisi seperti ini, calon tak berduit seperti Risma di Surabaya susah muncul. PPP misalnya, kurang kursi kalau ingin mengusung (calon) yang seperti Risma, karena tingginya threshold. Untuk jadi calon independen juga sulit, karena syaratnya dinaikkan. Kalau boleh, tak usah dipersulit," harap Asrul.

Di PPP, para calon kepala daerah paling banyak berlatar belakang pengurus parpol yang juga pengusaha. "Calon itu kebanyakan pengurus parpol yang belum menjabat di DPR, atau pengusaha, atau gabungan keduanya," kata Arsul.
http://www.beritasatu.com/nasional/2...p-menurun.html


Mahar Tinggi dari Parpol Dinilai Jadi Penghambat Calon Ikut Pilkada
Selasa, 4 Agustus 2015 | 05:47 WIB

SAMARINDA, KOMPAS.com - Pengamat politik dan hukum Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah, mengemukakan politik patron menjadi salah satu penyebab minimnya pasangan calon yang mendaftar sebagai peserta pemilihan kepala daerah serentak tahap pertama 9 Desember 2015.

"Salah satu penyebab minimnya pasangan calon pada pemilihan kepala daerah yang akan digelar secara serentak yakni politik patron, di mana partai politik di tingkat pusat menentukan calon dengan mahar tinggi. Akibatnya, kader yang kompeten di daerah kalah dari yang berduit," ungkap Herdiansyah Hamzah kepada Antara di Samarinda, Kalimantan Timur, Senin malam (3//8/2015).

Ia mengemukakan hal itu menanggapi kemungkinan penundaan pelaksanaan Pilkada Kota Samarinda akibat hanya ada satu pasangan calon yang resmi mendaftar di KPU setempat.

Faktor lain penyebab minimnya calon peserta Pilkada, jelas Herdiansyah, yakni ketatnya syarat pencalonan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 juncto Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015.

"Sistem pemilihan umum, bukan hanya tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum, tetapi juga pembuat aturan (DPR) serta pemerintah. Memang masih banyak kekurangan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 juncto Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015, salah satunya mengenai syarat pencalonan yang cukup ketat," katanya.

"Tetapi, minimnya pasangan calon juga menjadi tanggung jawab partai politik. Mereka (partai politik) gagal mencetak kader untuk mengisi pos-pos penting pemerintahan, termasuk yang saya maksud di atas yakni politik patron," tambah alumnus Fakultas Pascasarjana Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.

Terkait kemungkinan ditundanya Pilkada Kota Samarinda hingga 2017, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman itu menilai, secara kontestasi akan merugikan pasangan bakal calon yang telah mendaftar, yakni Syaharie Jaang-Nusyirwan Ismail sebagai calon petahana yang saat ini masih menjabat sebagai Wali Kota dan wakil Wali Kota Samarinda.

"Namun, secara prinsip rakyat yang paling dirugikan karena tidak bisa menggunakan hak politiknya. Pada sisi lain, penundaan itu menguntungkan pihak yang tidak ikut bertarung, sebab mereka memiliki waktu yang cukup untuk menaikkan elektabilitas selama dua tahun ke depan," ujar Herdiansyah Hamzah.

Penundaan pemilihan kepala daerah yang berimplikasi pada lamanya Kota Samarinda akan dipimpin oleh seorang penjabat (Pj), menurut Herdiansyah, tidak menjadi masalah.

"Menurut saya, tidak ada masalah jika dua tahun ke depan Samarinda dipimpin pejabat sementara, sepanjang punya kewenangan mengambil keputusan strategis. Makanya, Mendagri harus segera membuat aturan dalam bentuk Permendgri yang mengatur kewenangan penjabat sementara tersebut," jelasnya.

Sebelumnya, Ketua KPU Samarinda Ramaon Dearnov Saragih mengungkapkan Pilkada Kota Samarinda berpeluang besar ditunda hingga Pilkada serentak berikutnya (2017), karena hingga akhir masa perpanjangan pendaftaran pada Senin pukul 16.00 Wita, hanya ada satu calon yang resmi mendaftar.

Satu-satunya calon peserta Pilkada yang telah resmi mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Kota Samarinda adalah pasangan petahana Syaharie Jaang-Nusyirwan Ismail (Wali Kota dan Wawali Samarinda saat ini).

Keputusan resmi terkait kelanjutan Pilkada Kota Samarinda rencananya dirapatkan secara pleno oleh KPU setempat pada Selasa (4/8).

Sebenarnya lanjut Ramaon, telah ada dua tim yang melakukan pendaftaran pasangan cawali-cawawali sebelum batas akhir masa perpanjangan pukul 16.00 Wita.

Namun, pendaftaran yang dilakukan oleh dua tim tersebut dianggap telah mencabut pendaftaran, karena keduanya hanya mendaftarkan secara lisan tanpa menyerahkan berkas persyaratan.

"Keputusan ini merupakan hasil rapat bersama anggota KPU Samarinda, Panwaslu Samarinda dan sesuai arahan KPU Provinsi," jelas Ramaon.
http://nasional.kompas.com/read/2015...ai.Jadi.Pengha


Pilkada Langsung hanya ajang permainan bisnis Proyek dari Cukong Politik?
Quote:


-------------------------------

Bayangkan kalau Pimpinan Eksekutif dan Legislatif di negeri ini semakin hari hanya diisi oleh orang-orang yang sebenarnya kwalitas SDM-nya hanya pas-pasan, oleh para petualang politik, para sarjana pengangguran ber IP dibawah 3 yang tak lolos kerja dimana-mana, para spekulan dan bahkan preman pasar yang kurang terdidik. Dibalik semua itu, ada para cukong-cukong (baik lokal atau asing), yang demi kepentingan bisnisnya di suatu wilayah yang kaya proyek dan sumber daya alam, mereka bersedia mendanai calon-calon Kepala Daerah atau calon anggota DPR/D yang bersedia menjadi bonekanya, dengan syarat-syarat ketat yang mereka berikan kepada calon kepala daerah dan anggota DPR/D itu.

Dengan memanfaatkan aturan main yang menurut saya koplak, dimana calon-calon yang sebenarnya memilki SDM baik tetapi kebetulan sedang berprofessi sebagai PNS atau Polisi atau TNI atau professi lainya, tetapi karena adanya aturan koplak semacam itu, mereka dibatasi tak bisa ikut tanpa mengorbankan jabatannya yang sudah mapan saat ini.

Maka pada akhirnya yang tersisa adalah para pekerja dan pengangguran dari kalangan swasta: Pengusaha yang mulai bangkrut bisnisnya (mana adalah pengusaha sukses yang tertarik masuk kekuasaan kalau harus mengorbankan bisnisnya). Atau para pengangguran dan para spekulan bahkan Preman yang tertarik untuk mendaftar karena mereka memang tak ada pilihan lebih baik lagi, selain ikut-ikutan mendaftar Kepala Daerah atau anggota DPR/D , apalagi kalau ada cukong yang bersedia membiayai pencalonannya.

Lalu apa jadinya negeri ini di masa depan? Kenapa nggak berfikir bahwa semua itu adalah akibat dari pada sistem kita yang sebenarnya amburadul dalam politik kekuasaan? Praktek pelaksanaan Pilkada atau Pilpres dan Pemilu semenjak pasca reformasi dulu adalah praktek demokrasi kebablasan akibat prasarat diberlakukannya demokrasi itu sendiri belum mapan. Belum mapan karena Indon esia itu masih terkebelakang pendidikan pendudukmya, yang kondisi mereka itu adalah mayoritas miskin melarat. Bahkan negara sebesar Amerika Serikat saja, memerlukan waktu sekitar 200 tahun, baru bisa mapan melakukan praktek demokrasi langsung ala pilpres/pilkada dan pemilu bebas itu.

Lalu kenapa kita tak berupaya kembali ke khittah kita yang sebenarnya sudah baik dan cukup sempurna itu? Setidaknya dikembalikanlah aturan mainnya seperti kehendak Konstitusi NKRI yang asli dulu yaitu UUD 1945 yang belum di amandemen. Mudah-mudahan kita tak terlambat sebelum akhirnya negeri ini dipimpin oleh pemimpin-pemimpin koplak yang hanya membuat negeri ini menjadi negeri para budak.



emoticon-Turut Berduka
Diubah oleh ts4l4sa 04-08-2015 09:20
0
2.2K
18
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan