Kaskus

News

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ts4l4saAvatar border
TS
ts4l4sa
Utang RI Sudah Berbahaya: DSR tembus 56%, Utang Negara Rp 2.864T, Swasta US$ 165M
Utang Kita Sudah Berbahaya
July 29, 2015 20:08

IndonesianReview.com - Rasio pembayaran utang luar negeri terhadap debt to service ratio (DSR) sudah mencapai 56,08%. Hati-hati.

Depresiasi rupiah terhadap dolar AS memang memakan banyak ‘korban’. Selain harga kebutuhan pokok melambung dan importir menjerit, menguatnya dolar AS juga telah menaikkan nilai utang pemerintah.

Kalau pada Mei 2015 posisi utang pemerintah senilai Rp 2.843,25 triliun, tapi pada akhir Juni 2015 sudah menjadi Rp 2.864,18 triliun.

Selain jumlah pokok utang yang bertambah, pelemahan rupiah juga telah menambah beban bunga utang. Pada akhir Juni 2015 belanja beban bunga utang sudah sebesar Rp 73,61 triliun atau 47,3% dari pagu Rp 155,73 triliun.

Nah, sudah bisa dibayangkan kalau dolar AS semakin kuat, nilai utang itu semakin membengkak. Apalagi, dana investor asing yang ditempatkan di surat berharga negara (SBN) secara mendadak bisa kabur, bila mereka menghitung situasi di Indonesia sudah tidak baik untuk beternak uang.

Tak hanya utang luar negeri pemerintah yang mengkhawatirkan. Pertumbuhan utang luar negeri swasta juga semakin bikin cemas. Kalau pada akhir Desember 2014 jumlahnya US$ 162,8 miliar, tapi kuartal I-2015 sudah mencapai US$ 165,3 miliar.

Jumlah utang swasta ini diperkirakan akan terus membengkak karena Bank Indonesia (BI) hingga kini masih menerapkan kebijakan moneter ketat. Inilah satu yang membuat banyak perusahaan akhirnya harus mencari pinjaman ke luar negeri, yang kebetulan bunganya juga lebih murah.

Faktor biaya memang menjadi salah satu pertimbangan perusahaan yang ingin mencari pinjaman dari luar negeri. Saat ini, rata-rata tingkat suku bunga pinjaman luar negeri adalah sekitar 4% per tahun. Jauh lebih murah ketimbang bunga kredit di dalam negeri yang mencapai 12%. Tak hanya mahal, belakangan bank-bank di dalam negeri pun semakin pelit mengucurkan kreditnya.

Masalahnya adalah jika mata uang dolar AS semakin menguat terhadap nilai rupiah, utang itu bisa menjadi malapetaka. Sebab, semakin dolar AS menguat, semakin besar pula jumlah utang yang harus ditanggung perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS. Apalagi, jika para pengelola korporasi, termasuk BUMN tidak berhati-hati dalam mengelola utang luar negeri, maka mereka bakal terkena risiko nilai tukar maupun risiko jangka waktu.

Situasi utang pemerintah dan swasta memang sudah mengkhawatirkan. Apalagi, bila melihat rasio pembayaran utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan atau debt to service ratio (DSR), yang sudah 56,08%, naik dibanding akhir tahun lalu yang hanya 46,48%.

Dengan DSR di atas 50%, bagaimana prospek pemerintah membiayai utang luar negerinya? Sebab, bukan apa-apa, wajah ekspor kita ke depan masih muram, karena 70% barang yang diekspor adalah komoditas primer yang harganya sedang anjlok. Ditambah lagi, kondisi perekonomian global tidak bagus, terutama Cina yang menjadi andalan utama ekspor Indonesia.

Berdasarkan analisa future market Bank Indonesia, penurunan harga ekspor komoditas Indonesia tahun ini bisa 11%, lebih dalam dibanding sebelumnya yang diperkirakan 5%. Kalau ekspor tertekan, otomatis DSR meningkat.

Kalaupun di tahun depan ekonomi global membaik, Indonesia belum bisa langsung menikmati hasil ekspor komoditas primer. Sebab, yang kita ekspor bukanlah komoditas jadi, tapi komoditas bahan baku. Jadi, ada jeda waktu untuk menikmati hasilnya.

Semua ini, tentu saja sangat mengkhawatirkan. Bila tim ekonomi pemerintah tak mahir mengelolanya, utang itu bisa berubah menjadi malapetaka. Kita tentu tak ingin.
http://indonesianreview.com/satrio/u...udah-berbahaya


Rupiah Melemah, Apa Kabar Utang Indonesia?
29 Jun 2015 at 20:43 WIB

Liputan6.com, Jakarta Tekanan terhadap rupiah tak kunjung reda. Sepanjang Juni 2015, nilai tukar rupiah terus tertekan di level 13.300 per dolar Amerika Serikat (AS). Memang, dalam beberapa hari rupiah sempat menguat ke level 13.200 per dolar AS. Namun penguatan tersebut tak berlangsung lama.

Jika dihitung, sejak awal tahun ini atau secara year on date, nilai tukar rupiah telah mengalami pelemahan hampir 7 persen dari level 12.474 per dolar AS pada 2 Januari 2015 menjadi 13.338 per dolar AS pada Jumat 26 Juni 2015. Ke depan, kemungkinan besar rupiah akan masih mengalami tekanan.

Ada beberapa sentimen yang mempengaruhi pelemahan nilai tukar tersebut. Pertama ada faktor eksternal. Pelemahan eksternal utama dari rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga.

Kenaikan suku bunga tersebut membuat dana-dana asing yang tadinya masuk ke Indonesia kembali ke Amerika. Capital outflow tersebut membuat permintaan akan dolar AS meningkat sehingga menekan rupiah.

Sentimen lainnya adalah krisis utang Yunani yang tak kunjung selesai. Krisis tersebut membuat orang melakukan reposisi investasi dengan menaruh dana ke instrumen yang aman salah satunya adalah dolar AS. “Hal tersebut memberikan tekanan kepada rupiah,” jelas Direktur Institute For Developments of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati.

Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Dian Ayu Yustina menambahkan, pelemahan nilai tukar rupiah juga disebabkan kekhawatiran terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. "Kebijakan pemerintah juga hingga saat ini dirasa belum mampu memperkuat pertumbuhan ekonomi di Tanah Air," terangnya saat dihubungi Liputan6.com.

Badan Pusat Statisitik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2015 mencapai 4,71 persen secara tahunan (year on year/yoy), atau turun dibandingkan kuartal I 2014 sebesar 5,21 persen. Dalam data BPS, perlambatan pertumbuhan ekonomi RI dipengaruhi melemahnya perekonomian di China.

Penyebab lainnya adalah pelemahan harga minyak mentah dunia. Kemudian penurunan nilai ekspor dan impor di kuartal I dibandingkan periode yang sama di tahun lalu.

Utang Pemerintah

Pelemahan nilai tukar rupiah ini berdampak terhadap merosotnya porsi kepemilikan asing dalam Surat Berharga Negara (SBN) domestik. Investor asing menahan diri membeli surat utang Indonesia.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan mengungkapkan, permintaan surat utang jangka panjang (obligasi) Indonesia dari investor asing mengalami penurunan.

"Kurs rupiah melemah, jadi asing menahan diri sehingga demand terhadap obligasi jadi turun. Kalau demand turun, maka bunganya naik," ungkap dia.

Robert melanjutkan, posisi utang pemerintah belum terganggu dengan pelemahan rupiah saat ini. Dalam data yang dimilikinya, Pemerintah Indonesia mencatatkan posisi utang Rp 2.845,25 triliun atau 24,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) untuk periode Mei 2015. Total utang pemerintah tersebut naik lebih dari Rp 64 triliun dibanding realisasi sebulan sebelumnya atau untuk periode April 2015.

Rasio utang terhadap PDB Indonesia masih tergolong rendah jika dibanding dengan negara-negara lain. Contohnya Singapura yang mencapai 108 persen, Malaysia 56 persen, bahkan Kamboja yang 28 persen.

Dari hasil riset HSBC menyebutkan, Singapura menjadi negara dengan tingkat utang tertinggi, yaitu mencapai 450 persen terhadap PDB.
Robert menjabarkan, dalam denominasi dolar Amerika Serikat (AS), utang pemerintah pusat hingga Mei ini setara dengan US$ 215,22 miliar.

"Terhadap PDB Indonesia sebesar Rp 11.000 triliun, rasio utangnya masih 24,7 persen. Rasio ini aman, karena ambang batas rasio utang yang susah di manage atau kurang aman sebesar 60 persen," ungkap Robert.

Dari catatannya, Robert merinci, total utang pemerintah pusat sebesar Rp 2.843,25 triliun ini terdiri dari total pinjaman Rp 691,66 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 2.151,58 triliun sepanjang 2010-Mei tahun ini.

Pinjaman sebesar Rp 691,66 triliun atau terealisasi 24 persen dari target sampai akhir tahun terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 688,31 triliun (24 persen), pinjaman bilateral Rp 338,21 triliun (12 persen), pinjaman multilateral Rp 303,66 triliun (11 persen). Pinjaman lainnya, yakni pinjaman komersial Rp 46,35 triliun (2 persen) dan pinjaman suplier Rp 0,20 triliun (nol persen). Serta pinjaman dalam negeri Rp 3,35 triliun (nol persen).

Sementara realisasi SBN sampai dengan bulan kelima ini menembus Rp 2.151,58 triliun atau 76 persen dari target. Meliputi, SBN dalam denominasi valuta asing (valas) sebesar Rp 54,77 triliun (19 persen) dan dalam bentuk rupiah Rp 1.602,81 triliun (56 persen).

"Yang penting kita jaga utang dalam batas aman. Jangan sampai banyak jatuh tempo mendadak, termasuk porsi pinjaman jangan banyak mata uang asing karena kalau ada pelemahan kurs bisa membengkak. Jadi mesti tambah porsi domestik," pungkas Robert.

Utang Swasta Perlu Diwaspadai

Tekanan eksternal terutama menghadapi kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) membebani nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Beban nilai tukar rupiah itu ditambah dari sentimen domestik dengan ekonomi Indonesia lesu.

Beban eksternal dan domestik membuat rupiah tembus level 13.000 per dolar AS. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah telah melemah 6,92 persen secara year to date (Ytd) dari level 12.474 per dolar AS pada 2 Januari 2015 menjadi 13.338 per dolar AS pada Jumat 26 Juni 2015. Sepanjang Juni 2015, rupiah berada di kisaran 13.200 per dolar AS hingga 13.300 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah terus tertekan ini memang akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Sejumlah analis menilai tekanan rupiah akan mempengaruhi emiten yang memiliki utang dolar AS dan sebagian besar bahan bakunya impor.

"Pelemahan rupiah akan berdampak terhadap perusahaan yang impor bahan bakunya menggunakan dolar Amerika Serikat. Akan tetapi pelemahan rupiah tak hanya berdampak dari bahan baku impor, emiten yang eksposur utang dalam dolar AS juga kena karena berdampak terhadap kerugian selisih kurs," ujar Analis PT BNI Securities saat dihubungi Liputan6.com.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) utang luar negeri swasta tercatat US$ 166,980 miliar. Utang luar negeri swasta itu 55 persen dari total utang luar negeri Indonesia sekitar US$ 299,84 miliar pada April 2015.

Utang luar negeri swasta US$ 166,98 miliar pada April 2015 naik dari bulan sebelumnya di kisaran US$ 165,30 miliar. Bila dilihat secara year on year, utang luar negeri swasta naik sekitar 13,37 persen dari US$ 147,28 miliar pada April 2014 menjadi US$ 166,98 miliar pada April 2015.

Utang luar negeri perbankan tercatat US$ 31,91 miliar, sedangkan utang non bank tercatat US$ 135 miliar. Lembaga bukan bank terdiri dari LKBB atau nonbank financial corporation dengan jumlah utang US$ 11,52 miliar dan perusahaan bukan lembaga keuangan atau nonfinancial corporation sebesar US$ 123,54 miliar.

Bila dilihat posisi utang luar negeri berdasarkan sektor ekonomi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan mencatatkan utang luar negeri terbesar mencapai US$ 140,32 miliar pada April 2015 dari periode April 2014 di kisaran US$ 123,64 miliar. Lalu disusul industri pengolahan mencapai US$ 34,06 miliar pada April 2015 dari periode sama tahun sebelumnya di kisaran US$ 31,15 miliar.

Ekonom BCA, David Sumual menuturkan, suku bunga rendah di luar negeri telah mendorong perusahaan swasta untuk menarik pinjaman. Utang tersebut bukan hanya berasal dari perusahaan tetapi juga bisa dari induk perusahaan yang berada di luar negeri.

Kondisi itu perlu diwaspadai mengingat angka utang luar negeri terus meningkat. Apalagi kondisi ekonomi Indonesia cenderung lesu di awal 2015 mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan sehingga membuat risiko gagal bayar terhadap bunga pinjaman.

Hal senada dikatakan ekonom PT Standard Chartered Bank Indonesia, Erick Alexander. Utang swasta ada risiko bila nilai tukar rupiah terus tertekan karena memicu risiko gagal bayar terutama tidak melakukan hedging (lindung nilai).

"Perusahaan tidak melakukan hedging berindikasi terhadap utang jangka pendek," ujar Erick.

Gubernur BI, Agus Martowardojo pernah mengingatkan kepada para bankir untuk siap menghadapi tantangan berat baik eksternal dan internal ke depan terhadap ekonomi Indonesia.

Sentimen eksternal datang dari penguatan dolar AS. Selain itu, ekonomi global melemah didukung harga komoditas dunia cenderung tertekan selama tiga tahun ini juga mempengaruhi ekonomi Indonesia.

"Padahal komoditi andalan ekspor. Kondisi itu memberi tekanan dan berdampak nasional," kata Agus.

Dari dalam negeri, pihaknya menilai, defisit transaksi berjalan belum pada posisi yang sehat. Perusahaan pun banyak yang belum melakukan lindung nilai pada utangnya. "Utang swasta memberi kewaspadaan tersendiri terutama yang tidak lindung nilai," kata Agus.

David menuturkan, berdasarkan data BI, utang luar negeri yang baru lindung nilai (hedging) sekitar 26 persen. Sebagian besar perusahaan juga lebih memilih melakukan hedging di luar negeri ketimbang dalam negeri. Alasannya instrumen hedging di luar negeri lebih likuid dan ada instrumennya. Selain itu, biaya hedging memang lebih mahal sehingga membuat perusahaan enggan melakukannya.

"Instrumen hedging di dalam negeri belum ada. Sedangkan option di Indonesia belum likuid," kata David.

Melihat kondisi itu, David mendorong instrumen hedging untuk tingkatkan di dalam negeri. Dengan instrumen lebih banyak akan mendorong perusahaan melakukan hedging di dalam negeri ketimbang luar negeri.

"Option yang ditawarkan lebih murah, dan ini belum berkembang. Kalau di Indonesia, valas sekitar US$ 6 miliar sedangkan di Singapura mencapai US$ 350 miliar. Banyak pengusaha hedging di Singapura," kata David.
http://news.liputan6.com/read/226199...tang-indonesia


Prediksi Analis: Bom Utang Akan Meledak di September 2015?
March 12, 201

Utang RI Sudah Berbahaya: DSR tembus 56%, Utang Negara Rp 2.864T, Swasta US$ 165M
Ledakan Utang di tahun 2015 ini?

Analis logam mulia terkenal, David Morgan, mengeluarkan sebuah buku baru yang disebut “The Silver Manifesto.” Dalam sebuah bab berjudul “The Debt Bom” Morgan menjabarkan masalah terbesar dan alasan terbesar untuk memiliki logam mulia.

Morgan berpendapat, “Pada dasarnya, Amerika Serikat telah mengekspor inflasi ke setiap negara lain di dunia. Jadi, bagi mereka untuk tetap kompetitif, mereka harus melemahkan mata uang mereka sendiri untuk apa yang disebut keunggulan kompetitif. Ini artinya jika mereka tidak mencetak maka dollar akan menjadi terlalu kuat, dan mereka tidak akan bisa mengekspor (dollar terlalu kuat, negara lain tidak mampu membeli). Agar perdagangan mengalir, negara-negara lain pada dasarnya diperlukan untuk melakukan apa yang pemerintah AS tidak, dan itu adalah ekspor dalam jumlah besar uang kertas yang tidak dibackup dan tidak mungkin untuk dibayar kembali Itulah inti dari Bom Hutang.

Dasar pemikirannya adalah default pada utang … atau terus “menendang kaleng” ke jalanan, dan terus merendahkan nilai mata uang, diman aitu adalah apa yang akan selalu pemerintah lakukan pada mata uang yang tidak dibackup (dengan cadangan emas). Jika Anda melihat nilai Federal Reserve dari tahun 1913 sampai sekarang, hampir seratus tahun, Federal Reserve sendiri akan mengakui bahwa 100 sen dulu sekarang bernilai sekitar 4 sen. Jadi, Anda telah kehilangan 96% dari nilai dolar AS.. yang telah gagal, kegagalan yang luar biasa. Itu adalah keruntuhan dalam gerakan lambat. Sekarang, apa yang kita serius perberdebatkan adalah tentang apa yang akan terjadi pada 4 sen terakhir dari dolar AS? Saya melihat bahwa di beberapa titik, titik kritis, bahwa kita akan mendapatkan akselerasi dan hal-hal akan berubah secara dramatis.”

Kapan ekonomi dan “bom utang” meledak? Morgan memprediksi musim gugur ini. Mengapa? Ia mengatakan, “Momentum merupakan salah satu indikator dan juga jumlah uang beredar. Juga, ketika saya membuat perkiraan, ada musim besar dan itu adalah bagian dari detil analisa yang ketat dan bagian dari itu sedang di pasar ini selama 40 tahun. Saya punya ide pemikiran yang cukup baik tentang apa yang terjadi di luar sana dan umpan balik yang saya dapatkan …. saya di Eropa, di Asia, di Amerika Selatan, di Meksiko, saya di Kanada dan sebagainya, saya merasakan global, untuk orang yang benar-benar berpikir dan benar-benar berurusan dengan ini seperti membaca barometer, dan saya merasa ada lebih banyak ketegangan sepanjang waktu dan semakin kurang dan semakin kurang solusi. Ini adalah mendasar tentang bagaimana orang secara global muak. Berdasarkan itu, menurut saya seperti yang saya katakan dalam edisi Januari Laporan Morgan, September akan menjadi titik di mana orang-orang mendapatkan hal itu (red: ledakan hutang)”
http://investasiemas-id.com/analisa-...eptember-2015/


2015, Ekonomi Global Diprediksi Bangkrut
Kejatuhan ekonomi bakal lebih dalam dari krisis global 2008.
Selasa, 6 Januari 2015 | 14:01 WIB

VIVAnews - Perekonomian global tahun 2015 diperkirakan bakal mengalami kebangkrutan. Harga minyak terus turun dan raksasa ekonomi di beberapa kawasan, kondisinya menghawatirkan. Para pelaku dan pakar meramalkan ekonomi dunia bakal mengalami depresi pada 2015. Bahkan, kejatuhannya bakal lebih dalam dibanding krisis ekonomi global 2008 silam.

John Ing, ekonom sekaligus CEO Maison Placements di Kanada, pernah bilang kalau krisis 2008 merupakan gladi resik dari krisis yang bakal terjadi pada 2015. "Keruntuhan (ekonomi) kali ini akan berada pada skala yang lebih besar dari apa yang dunia saksikan pada tahun 2008," ujar dia dalam sebuah wawancara dengan King World News.

Para pakar dari Phoenix Capital Research, mensinyalir proyek atau investasi yang didanai oleh pinjaman dolar, bakal segera meledak. Sebab, "recovery" ekonomi dalam lima tahun belakangan ini hanya dipicu oleh pelemahan dolar. "Sekarang dolar telah keluar (dari keterpurukan), Anda akan melihat lebih banyak aset berisiko (karena pinjaman berbentuk dolar). Dan, tragedi minyak hanyalah awalan," ujar pernyataan itu, dikutip laman Zerohedge.

Jika harga minyak terus turun, ada potensi ledakan senilai lebih dari US$9 triliun yang menunggu. "Bayangkan jika seluruh ekonomi Jerman dan Jepang meledak dan sebesar apa dampak terhadap sistem keuangan," kata pernyataan itu lagi.

Sementara, Ambrose Evans Pritchard, salah satu wartawan ekonomi yang cukup berpengaruh di dunia memprediksi zona Eropa akan berada dalam deflasi pada Februari mendatang. "Suku bunga riil akan lebih tinggi. Beban utang akan terus meningkat pada kecepatan yang lebih cepat dari nominal PDB. Wilayah ini akan tenggelam lebih dalam ke dalam perangkap bunga majemuk," ujar Pritchard, yang juga editor bidang ekonomi di media The Telegraph.

Sistem keuangan bakal terkoyak pada tahun 2015. Ekonom asal Amerika Serikat, Paul Craig Robert menganalogikan sistem keuangan Barat seperti rumah kartu. Berdiri tanpa ada pondasi. "Ini (sistem keuangan) adalah rumah kartu. Tidak ada fundamental ekonomi yang mendukung harga saham (Dow Jones). Tidak ada fundamental ekonomi yang mendukung dolar yang kuat," ujar mantan penasihat Presiden Ronald Reagan itu.

Sementara itu, pada hari-hari terakhir 2014, "peramal" di Wall Street mengirim sebuah pesan. Isinya, berupa peringatan akan bencana obligasi dari pemerintah AS. Aneka peringatan tersebut merupakan sebuah petunjuk awal akan terjadinya krisis global. Bahkan, pengamat pasar saham, David Tice, merasakan gelagat yang sama akan adanya krisis ekonomi. "Saya memiliki jenis nuansa yang sama dari nuansa pada 1998 dan 1999, juga 2005 dan 2006. Ini akan berakhir buruk. Saya sangat yakin (akan menimpa) di dunia," katanya pada sebuah wawancara dengan CNBC.
http://bisnis.news.viva.co.id/news/r...diksi-bangkrut

---------------------------------

Indonesia memasuki masa krisis?
0
4.6K
47
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan