Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

forzafauzanAvatar border
TS
forzafauzan
Cerita Horor Fiksi (forzafauzan.wordpress.com)
Cerita Horor Fiksi (forzafauzan.wordpress.com)
Nih Gan salah satu part cerita horor series yang lagi ane garap. Judulnya Auto Astral Projection. Walaupun ini cerita fiksi, tapi beberapa pengalaman dan kejadian ane dapetin dari kisah nyata. Langsung aja nih dinikmati!

Cerita Horor Fiksi (forzafauzan.wordpress.com)
Fabian dan Helena duduk berdua di kursi paling ujung di kantin. Semangkuk bubur ayam sedang disantap Fabian begitu lahap, sedangkan segelas teh manis hangat dan kopi susu tersimpan di meja tepat di hadapan keduanya duduk.
“Hel, pulang sekolah, kita jadi ngerjain proposal?” tanya Fabian, dengan mulut yang penuh.
“Jadi, lah. Aku udah bawa laptopnya,” jawab Helena. “Emangnya kenapa?”
“Gimana kalau kita ngerjainnya jangan di sekolah?” tanyanya, meneguk teh manis hangat.
“Terus dimana?” tanya Helena, melihat ke gelas teh manis itu.
“Emmm, Kebun Raya Bogor. Gimana?” Fabian balik bertanya.
“Hmm... Boleh tuh,” Helena kemudian memanggil seorang pelayan kantin, “Bang! Teh manis hangatnya satu lagi, ya!”
“Oke, Mba.” jawab pelayan itu.
“Lho, kok kamu mesen lagi?” tanya Fabian, terheran.
Helena menunjuk ke arah gelas teh manisnya yang telah kosong.
“Astaga! Maaf, Hel, maaf. Minuman kamu malah aku habisin,” imbuh Fabian, salah tingkah. “Sebagai gantinya, kamu berhak atas kopi susu punyaku itu deh,”
“Nggak apa-apa, Bian. Santai aja. Lagipula aku mesen lagi kok,” tanggap Helena, tersenyum. Fabian hanya tersenyum canggung.
“Kamu tuh aneh, masa makan bubur minumnya kopi, sih.” Ujar Helena.
“Yaahh, namanya udah kebiasaan, Hel. Aku suka ada yang kurang, kalau pagi belum ngopi.”
Evan dan Dimas yang melihat Fabian sedang berduaan dengan Helena, kemudian datang menghampiri.
“Ayo, Dim! Kita recokin mereka,” ajak Evan. Ia lalu duduk di salah satu dari dua kursi kosong yang tersisa di tempat itu.
Helena tertawa canggung, sementara Fabian tersenyum sebal dan mengacungkan jari tengahnya kepada Evan.
“Duduk, Dimas! Kayak pelayan nungguin pelanggan milih pesanan aja. Haha,” ejek Helena. Fabian dan Evan tergelak, itu adalah pertama kalinya mereka mendengar Helena mengejek orang.
“I-iya, Hel...” jawab Dimas. Ia lalu duduk. “Bella mana, Hel?” tanyanya, melihat sekitar.
“Masih di kelas. Sebentar lagi kesini kok,” jawab Helena
Bella yang baru keluar dari kelas, kemudian datang menghampiri mereka berempat yang sedang asik ngobrol di kantin. “Hel!” serunya. “Hai, semuaaa!”
“Panjang umur, loe Bell!” kata Evan.
“Kalian abis ngomongin gue?!” tanya Bella, agak nyolot.
Semua mata tertuju pada lelaki cupu itu, yang lantas membuat ia salah tingkah.
“Emm, enggg... kenapa?” tanya Dimas. “Gu-gue... duluan ya!” ujar Dimas, tersipu. Ia hendak pergi, namun Evan menarik tangannya.
“Eits! Mau kemana sih, Dimas? Tadi nanyain, “Bella mana, Hel?” gitu!” ujar Evan, menggodai.
“CIYEEE!!!” jawab mereke serempak, kecuali Bella.
“Kenapa loe, Dim?” tanya Bella, dengan perangainya yang menyebalkan.
Dimas terperangah. Begitulah caranya menunjukan kalau ia sedang terpesona gadis yang menanyainya begitu kasar itu. “Emm, emm, eeumm...”
“Jawab, Dim! Yeee!” kekeh Bella.
Sementara Dimas dalam tekanan, yang lain berusaha menahan tawa, melihat ekspresi wajah Dimas yang tidak karuan itu.
“Eng-enggak, Bel. Ta-tadi...” tutur Dimas, belum selesai.
“Tadi kenapa? Hah?” sambar Bella.
“Ta-tadi gue tanya Helena... Loe kemana, gitu. Kan biasanya kalian bareng-bareng,” jawab Dimas.
“Oke. Terus?” tanya Bella lagi, melanjutkan tekanannya.
“Emmm, terus...” Dimas berpikir keras untuk mencari alasan, “Terus, kayaknya gue harus ke kelas,” Dimas bergegas, “A-ada tugas buat di Lab!” ia langsung pergi.
Fabian, Helena, dan Evan yang sedari tadi menahan untuk tidak tertawa pun lantas tergelak melihat Dimas yang malah begitu ketakutan ketika Bella terus saja menanyainya.
“HAHAHAHAHAHA!!!”
“Kejam banget loe, Bel!” ungkap Fabian, masih tergelak.
“Hahahaha. gue bisa bayangin kalau aja ekspresi si Cupu tadi kita rekam, itu pasti jadi adegan terkocak abad ini!” kekeh Evan.
Bella membubuhkan senyum tengil khasnya, “Hemh,”
“Loe juga, Bel. Jangan gitu-gitu banget lah! Kasihan si Dimas tuh,” tutur Helena, juga masih tertawa.
“Lagian dia klemer-klemer melulu. Nggak suka gue! Cowok kok gitu?!” tandas Bella.
“Berarti loe suka sama yang perkasa kayak gue gini, dong?” tanya Evan, mengangkat sebelah alisnya.
“Loe lagi, Bandit Cinta Kesepian! Ya jelas nggak lah!” ketus Bella.
“Sialan,” Evan menatap sinis.
“HAHAHAHAHAHAHAHA!!!” Fabian dan Helena kembali tergelak.
Amanda berjalan penuh kepastian untuk menghampiri Fabian yang sedang asik ngobrol dengan Helena, Evan, dan Bella.
"Hai, My Boy!" sapa Amanda.
Fabian menoleh, "Hai," sahutnya, cuek.
"Hai, Amanda!" sambar Evan, gumoh.
Amanda mengacuhkan Evan, lantas berdiri di samping Fabian, "Thanks ya, kemarin kamu udah nolongin, waktu aku kesurupan kemarin." ucapnya, tersenyum.
"Iya, Man, sama-sama." jawab Fabian.
"Kamu emang perhatian banget sama aku," tambah Amanda, memeluknya.
Melihat itu, Helena nampak memalingkan wajahnya. Ada gejolak cemburu yang ia rasa.
"O-oke. Tapi nggak usah gini, bisa nggak?" Fabian coba melepas pelukan.
"Geer banget sih loe, Man!" gertak Bella, "Lagian yang kemaren Fabian tolong kan bukan loe doang!"
"Terserah gue dong! Ikut campur aja, emang loe siapa?!" balas Amanda.
"Yeee ngeselin juga loe!" Bella tersulut.
Ia beranjak dan hendak melakukan sesuatu. Tapi Helena menahannya, "Udah, Bel. Nggak usah ditanggepin!"
Fabian yang merasa tak nyaman lalu melepas paksa dirinya dari pelukan Amanda.
"Hemh, kamu malu ya, kalau dipeluk disini?" Amanda memanja.
"Peluk gue, Man. Peluk gue!" kekeh Evan, nimbrung.
"Dasar cowok gatel!" ungkap Bella kepada Evan.
Lagi-lagi Amanda mengacuhkan Evan, "Yaudah, pulang sekolah nanti kita makan yuk! Aku yang traktir deh, sebagai ungkapan rasa terima kasih karena kamu udah nolong aku. Gimana?"
"Thanks, Man. Tapi sorry, gue nggak bisa." jawab Fabian.
"Kenapa nggak bisa?" tanya Amanda.
"Aku udah ada janji mau jalan sama Helena," Fabian menatap Helena, lalu tersenyum. Helena membalas senyuman itu.
Amanda memperhatikan cara Fabian dan Helena saling tatap, "Oh, gitu. Yaudah deh!" ujarnya, kesal. Ia lalu pergi.
“Man, sama gue aja, Man!” teriak Evan, coba mengambil kesempatan.
"Hahaha, mampus!" ejek Bella, satir.

***

Seusai memarkirkan motornya, Fabian dan Helena segera masuk ke dalam Kebun Raya Bogor dan mencari lokasi ideal untuk mengerjakan proposal. Keduanya berjalan mengitari area kebun raya di siang menjelang sore itu, sambil asik ngobrol dan bercanda. Sesekali Fabian melihat makhluk-makhluk lain yang ada di sekitar tempat itu.
"Astaga!" Fabian terkejut melihat sesosok wanita berambut sangat panjang dengan wajah menyeramkan terbang melintas di hadapannya.
"Kenapa, Bian?",tanya Helena.
Fabian tersenyum, "Nggak," ia melirik ke arah sosok tadi dan lanjut berjalan.
“Bian, disitu aja, yuk! Kayaknya teduh,” tunjuk Helena, ke arah bebatuan yang ada di bawah pohon rindang.
“Jangan, Hel, rame!” jawabnya menolak, karena ia melihat banyak sekali makhluk-makhluk dari alam lain sedang bermain di tempat Helena tunjuk itu.
Helena mengerutkan wajahnya, “Hah? Rame?” ia terheran, karena tidak melihat ada seorang pun di tempat itu.
“Emm, maksud aku... cari tempat yang lebih ideal lagi aja, Hel.” jawab Fabian, berkilah.
“Disitu kayaknya nyaman deh. Teduh, angin sepoy-sepoy...”
“Kalau terlalu nyaman, nanti kita malah nyantai, Hel. Mending kita lanjut jalan, kayaknya di depan sana ada tempat yang pas!” kilahnya.
“Oke,” Helena menuruti mau Fabian.
Sambil terus berjalan, Fabian menatap ke arah tempat tadi. Ia tertawa geli melihat sesosok makhluk berwajah tua namun bertubuh balita itu melambaikan tangan ke arahnya sambil melakukan gerakan-gerakan aneh dan cenderung cabul. Sementara makhluk-makhluk alam ghaib lainnya itu bermain-main dengan riang gembira juga ikut melambaikan tangannya kepadanya.

***

Beberapa menit setelah mengeksplorasi, akhirnya mereka menemukan lokasi yang asik untuk bersantai sekaligus ideal untuk bisa konsentrasi membuat proposal. Sebuah kursi panjang berwarna hijau tua yang terletak di bawah pohon rindang, dengan pemandangan sebuah kolam di depannya, keduanya terduduk relaks.
Helena mengeluarkan laptop dari tasnya, “Jadi kita bikin dua proposal nih?” ia lalu menyalakan laptopnya.
“Iya, Hel. Buat Pembina Ekstrakulikuler dan buat perizinan ke OSIS.” jawab Fabian, sambil melumat es krim durian.
Tiba-tiba Black Robe muncul tepat di belakang Helena. Fabian yang melihat itu pun terkejut. Tapi beberapa detik saat ia berkedip, makhluk itu sudah menghilang.
Astaga! Apa yang direncanakan makhluk sialan itu? Kenapa dia bisa muncul di saat gue bahkan tidak sedang keadaan resah?
“Bian?”
“Emm, iya, Hel?” jawabnya, terkaget.
“Ngelamunin apaan sih? Kok kayaknya serius banget?” tanya Helena, terheran.
“Hemmm, emm, proposal. Iya. Aku lagi mikirin proposal, Hel,” jawabnya, berkilah.
“Proposal? Kan kita udah bikin draftnya. Tinggal ngetik,”
“Emm, nggak, Hel. Maksud aku, proposal ini harus... harus keren,” Fabian tersenyum palsu.
Helena mengerutkan wajahnya, “Keren?”
“Gimana kalau kita kelarin aja ini? Udah sore nih,” Fabian berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Baiklah,” turut Helena.

***

“Ya! Beres!” ujar Helena.
“Yaudah, kita pulang, yuk!” ajaknya.
Helena beranjak dari duduknya, sementara Fabian merapihkan barang-barang. Tapi kemudian pandangannya berhenti pada satu titik, ketika lagi-lagi Black Robe berdiri tegak menantang, tepat di belakang Helena berdiri.
“Fabian, ayo!”
Ia menoleh ke arah Helena, “O-oke, Hel,” ia lekas beranjak.
Keduanya berjalan menuju pintu keluar kebun raya, yang nampak mulai sepi dan menampilkan kesan hening layaknya hutan belantara.
“Bian, makan dulu, yuk!” ajak Helena.
“Boleh, Hel, boleh tuh.” Jawabnya, menyetujui.
“Beberapa ratus meter dari sini ada restoran yang enak lho!” Helena nampak antusias.
“Oh, ya?”
“Iya. Kayak kafe gitu, namanya Benvenuto Café. Menunya Italian Food gitu. Aku lagi pengin Pizza nih,”
“Emmm, Pizza...”
“Aku yang traktir!” Helena mengerutkan wajah, sambil membubuhkan senyuman.
“Traktir? Oke, berangkat!” cengirnya.
“Let’s go!”
Sebelum pergi, ia sekali lagi melihat Black Robe itu, yang kali ini melayang tepat di belakang Helena. Sementara Helena terus membubuhkan senyum ceria, ia memanipulasi rasa khawatir akan kehadiran Black Robe itu dengan ekspresi kalem.

***

Cukup menempuh sepuluh menit perjalanan, mereka tiba di restoran berkonsep Italia itu. Dekorasi klasik ala Italia, dengan hiasan-hiasan dan penataan cahaya yang sengaja dibuat agar pengunjung merasa sedang ada di kafe-kafe khas Milan. Keduanya lantas duduk di kursi dengan sebuah meja di bagian sudut restoran, begitu dekat dengan jalan dan hanya tertutupi kaca besar yang tembus pandang.
Seorang pelayan perempuan berpenampilan unik menghampiri mereka, menawarkan menu-menu makanan, “Silahkan, menu-menunya bisa dilihat,” tuturnya, lalu menyodorkan buku menu.
Helena melihat-lihat daftar menu, “1 pan Pizza ukuran besar, Lemon Tea...”
Pelayan itu mencatat pesanan yang Helena sebutkan.
“Kamu minumnya apa?” tanya Helena kepada Fabian.
“Aku ekspreso, Hel,” jawabnya.
“Sama ekspreso satu ya, Mba!” kata Helena kepada wanita itu.
Setelah mencatat semuanya, wanita itu menyebutkan kembali pesanan Helena tadi. “1 pan Pizza ukuran besar, 1 Lemon Tea, dan 1 Ekspreso.”
“Oke,” Helena mengangguk.
Sambil menunggu pesanan, keduanya mengisi waktu dengan obrolan.
"Oh, iya. Aku baru inget kalau aku mau cerita sesuatu sama kamu," ujar Helena.
"Cerita apa, Hel?" tanya Fabian, antusias.
Helena memasang ekspresi serius, "Semalem aku mimpi, ada sosok yang nyeremin banget. Sosoknya hitam, tinggi-besar, pake jubah sebadan-badan. Dia ngelihatin aku dengan matanya yang merah menyala itu, penuh ancaman."
Ternyata Black Robe itu kini memang sedang mengincar Helena.
"Bian?" Helena coba menyadarkan Fabian yang terdiam melamun, dengan raut wajah heran.
"Eh, iya, Hel." sadarnya, "Itu cuman mimpi, nggak usah dipikirin!"
"Iya juga, ya." turut Helena.
Helena tampak melupakan begitu saja cerita dalam mimpinya tersebut. Tapi Fabian masih belum bisa merasa nyaman karena ia khawatir dengan penampakan Black Robe yang sedari tadi membuntuti Helena. Apalagi setelah Helena bercerita, ia didatangi sosok yang identik dengan Black Robe itu dalam mimpinya.
Sedang asik berbincang, sekelebatan wanita misterius yang pernah dilihatnya itu lagi-lagi muncul. Wanita itu menatap Fabian, kemudian bergerak ke arah luar restoran seperti mau memberitahu sesuatu.
Apa maksudnya?
Fabian menatap ke arah luar restoran dari kaca itu., pandangannya mengikuti sosok wanita misterius itu. Ia lalu melihat Black Robe terbang dan menerabas masuk ke dalam sebuah mini bus putih yang tengah melaju. Makhluk itu mengganggu sang pengemudinya hingga kehilangan kendali.
“Hel, bangun, Hel! Awas!” ia segera menarik Helena.
Tiba-tiba mini bus itu meluncur kencang ke arah Fabian dan Helena tengah duduk. PRRRAAANGGG!!! dan menembus kaca restoran. Semua pengunjung seketika histeris, melihat kejadian itu. [tiiin tiiin tiiin...] suara alarm mobil itu terus berbunyi. Suasana seketika mencekam.
“Kamu nggak apa-apa, Hel?” tanya Fabian, cemas.
Helena tak mampu berucap. Ia terbelalak menyaksikan kejadian yang hampir saja mungkin menewaskannya. Beberapa saat kemudian Helena terjatuh pingsan. Fabian lekas menangkap tubuh itu sebelum terjatuh ke bawah.
Sementara para pengunjung kafe ramai-ramai mengerubuti tempat kejadian, Fabian memapah Helena ke sofa panjang berwarna merah di ruangan bagian tengah restoran.
Makhluk itu rupanya mencoba menyerangku dengan cara lain, dengan menjadikan Helena sebagai targetnya untuk melemahkanku. Aku harus dan mencari cara untuk menjaga Helena.

*****
Diubah oleh forzafauzan 31-07-2015 02:06
0
3.5K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan