Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kaskusvmAvatar border
TS
kaskusvm
Saatnya spekulasi dollar?
Rupiah: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Datang

Bagian I: Masa Lalu, Periode Kondratieff Spring dan Commodity Bear Market

Ekonomi Bukan Sains

Walaupun mungkin kurang akurat, terkadang untuk meramalkan masa depan ekonomi, moneter dan harga, kita harus melihat masa lampau. Karena, ekonomi bukan sains. Untuk sains, cara memahaminya, mempelajarinya dan mengertinya ada laboratorium yang bisa digunakan untuk melakukan eksperimen. Eksperimen yang dilakukan dalam skala kecil dan dalam kondisi yang terkontrol serta terbatas, jika ada hasil yang tidak diinginkan serta tidak diantisipasi sebelumnya, maka dampaknya terbatas dan kerusakannyapun terbatas.
Untuk ekonomi tidak ada yang namanya laboratorium untuk menguji suatu hipotesa dan teori. Sering kali, politikus di pemerintahan, melakukan eksperimen langsung ke masyarakat. Dampaknya sering merupakan suatu penderitaan. Mungkin sejak awal para politikus ini memang tidak punya niat baik, mungkin ada unsur keterpaksaan untuk memilih antara buruk dan lebih buruk sebagai suatu necessary evil. Bahkan, sekalipun diawali dengan niat yang baik, dampak buruk yang tidak terpikirkan sebelumnya atau harmful unintended conseqencies, sering muncul dan menjadi penyebab penderitaan jutaan manusia.
Anda bisa membayangkan, seorang dokter yang main coba-coba obat baru yang belum diuji secara klinis langsung ke masyarakat. Masyarakat dijadikan sebagai uji klinisnya. Berapa banyak orang yang akan mati, jika metode ini diterapkan. Mungkin jutaan. Disini terlihat bahwa uji coba di laboratorium bisa mengurangi resiko yang bisa menimpa masyarakat. Pada uji laboratorium, yang terkena pertama adalah hewan-hewan percobaan. Kemudian secara bertahap ke manusia. Tahapan-tahapan ini membuat dampaknya terukur dan terbatas.
Kali ini EOWI akan melihat sejarah rupiah selama hampir satu (1) siklus manusia (siklus Kondratieff), yang panjangnya antara 50 – 70 tahun. Berbarengan dengan itu, rupiah juga sudah melewati hampir dua (2) siklus komoditi yang panjang siklusnya 30 tahun.
EOWI mempunyai hipotesa bahwa rupiah punya terkaitan dengan kedua siklus ini. Siklus yang pertama (siklus Kondratieff), ada kaitannya dengan pola konsumsi dan prilaku manusia ditinjau dari perjalanan hidupnya. Setiap masa dalam hidup (umur)nya manusia punya pola konsumsi yang berbeda.
Siklus yang kedua ada kaitannya dengan sisi pemenuhan kebutuhannya, yaitu bahan bakunya. Kebetulan basis ekonomi Indonesia adalah bahan komoditi. Dengan mempelajari pola yang ada, diharapkan EOWI bisa meramalkan bagaimana nasib rupiah dimasa 10 – 30 tahun mendatang.

Dikaitkan dengan siklus Kondratieff, antara batas-batas siklus dengan kurs dollar terhadap rupiah tidak nampak korelasi yang jelas. Pada masa Kondratieff spring sampai awal summer, terjadi lonjakan nilai tukar dollar terhadap rupiah. Kemudian pada sebagian besar masa Kondratieff summer yaitu tahun 1970an, rupiah relatif stabil sampai menjelang fall (authum).
Rupiah memperoleh tekanan kembali sampai 75% dari masa Kondrtieff fall (authum) sampai 1998. Dan kemudian kembali stabil sampai pertengahan Kondratief winter.
Korelasi kurs dollar terhadap rupiah dengan siklus komoditi nampak lebih jelas dibandingkan dengan siklus Kondratieff. Bisa dilihat bahwa selama setiap commodity secular bear market, rupiah selalu tertekan, walaupun tingkat tekanannya berbeda. Sedangkan selama periode commodity secular bull market, rupiah relatif stabil.

Saat ini sampai 10 – 15 tahun mendatang, kita berada dalam periode commodity secular bear market. Secara deduksi analogi, peluangnya rupiah akan tertekan terus untuk jangka waktu yang lama yaitu selama 10 – 15 tahun mendatang. Pertanyaannya adalah, apakah pergerakan kurs dollar tajam akan seperti beruang grizzly tahun 1950 – 1970 atau beruangnya hanyalah beruang madu Asia tahun 1980 – 2000? Mungkin jawabannya ada di prilaku manusia dikaitkan dengan siklus Kondratieff.
Dengan melihat perjalanan rupiah ini dan dalam rangka menyongsong masa 10 – 30 tahun kedepan, diharapkan pembaca dan kami sendiri di EOWI bisa menjadikan analisa ini sebagai guiding star (petunjuk) untuk menyusuri hidup ini lebih baik. Setidaknya untuk bisa lebih baik dari pendahulu-pendahulu kita. Bagi para baby boomer yang mulai pensiun, semoga bisa mempertahankan nilai tabungan hari tuanya lebih baik sampai ajal menjemput. Dan bagi mereka yang masih muda-muda agar bisa menjalani karir serta mengumpulkan harta lebih banyak. Hedonis dan materialistis sekali kedengarannya. Kami di EOWI sangat hedonis dan materialistis. Kami bukan penganut spiritualisme yang tidak jelas. Hedonis dan materialistis adalah baik!!
Kata hedon, punya konotasi yang buruk. Tetapi Quran dalam salah satu ayatnya, menganjurkan perilaku hedon, yaitu: hidup bukan sekedar memenuhi kebutuhan dasar, tetapi lebih dari sekedar dasar.
[Q 2:219] Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat keburukan yang besar dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi mudharat keduanya lebih besar dari manfa'atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka belanjakan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.
Umat Islam disuruh membelanjakan uangnya lebih dari sekedar untuk keperluan dasar, selama bukan hal-hal yang buruk dan merugikan. Kalau mampu, belilah mobil BMW atau Mercedes dan pekerjakan supir bukan sekedar beli Toyota Kijang. Pergilah untuk manicure dan pedicure. Bukan sekadar beli pemotong kuku. Nikmatilah hidup yang lebih dari keperluan (dasar). Tentu saja harus dibarengi dengan mengejar rejeki yang banyak dan halal. Itulah Islam. Hedon, mencintai kenikmatan. Sorgapun penuh dengan kenikmatan. Carilah sorga di dunia dan sorga di akhirat.
Itulah sedikit pesan moral dari EOWI.
EOWI bermaksud untuk memasukkan sebagian dari tulisan ini akan menjadi bagian dari laman Paska Krisis 2014 – 2020, karena relevansinya.

Indonesia, atau Hindia Belanda pada jaman dulu, adalah wilayah yang ekonominya berbasis komoditi. Walaupun komoditi bukanlah tujuan awal dari orang-orang Eropa datang ke wilayah nusantara ini, tetapi dalam perjalanan waktu, peran komoditi menjadi penyebab yang besar untuk tetap bercokol di wilayah ini.
Di abad 19, Hindia Belanda sudah menjadi wilayah yang berbasis komoditi. Walaupun cultuurstesel (buku-buku sejarah menyebutnya sebagai Tanam Paksa walaupun seandainya paksaan itu ada, paksaannya jauh lebih lunak dari pada paksaan membayar pajak di masa NKRI paska Orde Baru dan memberi kemakmuran pada masa jayanya) yang dicanangkan oleh gubernur Jenderal van den Bosch pada tahun 1830. Untuk mereka yang berkacamata myop akan mengambilnya sebagai tonggak awal komoditi sebagai basis ekonomi wilayah Hindia Belanda. Padahal sebelumnya, wilayah nusantara didatangi oleh pedagang-pedagang asing, Arab, Cina dan India untuk mencari bahan komoditi pertanian.
Menjelang akhir abad 19, tepatnya tahun 1885 ditemukan minyak bumi di Telaga Said, Langkat. Penemuan-penemuan lapangan minyak berikutnya di Cepu dan di tempat-tempat lain membuat wilayah Hindia Belanda ini tidak lagi hanya bergantung pada komoditi pertanian, seperti karet, gula, tembakau, tetapi juga komoditi tambang. Tidak hanya minyak, tetapi juga timah (Bangka), bauksit dan batubara mengalami perkembangan yang pesat karena adanya mesin-mesin (uap) yang bisa dipakai untuk eksploitasi besar-besaran. Maka lengkaplah wilayah Hindia Belanda sebagai wilayah yang berbasis komoditi. Dan lengkaplah pula-lah nasib wilayah yang dulu bernama Hindia Belanda ini mempunyai ekonomi yang naik turunnya mengikuti siklus komoditi 30 tahunan. Tidak bisa disangkal lagi, pasang-surutnya rupiah Indoensia sangat dipengaruhi oleh siklus komoditi 30 tahunan ini.
Itulah nasib wilayah ini, sangat bergantung pada komoditi. Dan nampaknya tidak akan berubah sampai sejauh mata bisa memandang. Inilah yang akan dijadikan asumsi EOWI dalam menganalisa rupiah.

Kelahiran Rupiah Indonesia

Mohammad Hatta sering dianggap sebagai pahlawan tanpa cacat oleh kalangan sejarahwan. Bagi EOWI, Mohammad Hatta, mungkin adalah orang yang paling berdosa dalam menyengsarakan bangsa Indonesia. Dan dosanya termasuk jenis amal dosa jariah (amal = perbuatan). Yaitu perbuatan dosa yang seperti mata air yang besar, selalu mengeluarkan evil/keburukan/kemudharatan sampai akhir jaman dan menimpa orang banyak. Dibandingkan dengan Orde Barunya Suharto yang melakukan purging orang-orang yang dianggap PKI, Hatta lebih kejam. Purging yang meliputi dari pembunuhan, penahanan dan pengabaian hak-hak hidup keluarga anggota PKI, dilakukan Suharto hanya berlangsung sampai 15 tahun. Sedangkan apa yang diperbuat Hatta dengan memperkenalkan rupiah kepada bangsa Indonesia, penyengsaraan rakyat Indonesia melalui inflasi dimulai sejak awal penggunaan rupiah, dan masih berlangsung terus sampai sekarang serta masa yang akan datang. Suharto hanya terbatas pada eks-PKI dan keluarganya, sedangkan Hatta seluruh rakyat Indonesia yang punya uang. Dan semua rakyat Indonesia punya uang rupiah kecuali rakyat di pedalaman, kaum Badui di Banten, suku Kubu dan suku-suku sejenisnya.
Cerita rupiah dimulai pada tanggal 29 Oktober 1946. Melalui Radio Republik Indonesia (RRI), Mohammad Hatta mengumumkan pemberlakuan uang rupiah. Teks pidato Bung Hatta adalah sebagai berikut:
Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah satu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadap penghidupan baru.
Besok mulai beredar Uang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang syah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang syah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang ikut pula tidak berlaku Uang De Javasche Bank.
Dengan ini tutuplah masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita.
Sejak mulai besok, kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita.
Uang Republik keluar dengan membawa perubahan nasib rakyat, istimewa pegawai negeri, yang sekian lama menderita karena inflasi uang Jepang rupiah republik yang harganya di Jawa lima puluh kali harga rupiah Jepang. Di Sumatra seratus kali, menimbulkan sekaligus tenaga pembeli kepada rakyat yang bergaji tetap yang selama ini hidup daripada menjual pakaian dan perabot rumah, dan juga kepada rakyat yang menghasilkan, yang penghargaan tukar penghasilannya jadi tambah besar.
Apakah memang penderitaan rakyat Indonesia hilang karena penggunaan rupiah seperti kata bung Hatta? EOWI harus mengatakan “tidak”. Pembaca EOWI juga tahu. Banyak orang merasakan kebalikan dari apa yang Hatta katakan, tetapi tidak tahu kenapa.
Semua cerita di atas itu adalah sejarah, yang dijadikan latar belakang dari kisah perjalanan rupiah.

Rupiah Masa Kondratieff Spring (1950 – 1966) dan Commodity Bull Market

Tujuan pembahasan nilai rupiah pada tulisan ini adalah untuk melihat nasib rupiah di masa Kondratieff spring 2020 – 2035(?) dengan melihat periode Kondratieff spring dan summer di masa lalu. Oleh sebab itu EOWI akan mengutip kejadian-kejadian, kondisi saat ini pada saat membahas Kondratieff spring 1950 – 1965 untuk membandingkan keduanya.
Kondratieff spring dimulai sekitar 1944 – 1945, setelah perang dunia II selesai. Serdadu-serdadu yang pulang kampung setelah perang usai kemudian melaksanakan perkimpoian tertunda dengan pujaan hatinya. Kemudian mereka beranak-pinak, cepat sekali, melahirkan baby boom, gelombang kelahiran antara tahun 1945 – 1964. Generasi baby boomers ini nantinya yang menjadi penentu arah ekonomi, budaya, pola konsumsi dan teknologi pada 4 dekade berikutnya.
Disebut (Kondratieff) spring karena pada masa itu secara siklus manusia memang bak awal dari suatu kehidupan yang baru bangun dari tidur. Pada masa ini suku bunga masih rendah, harga bahan komoditi juga masih rendah (akibat periode depressi di masa sebelumnya) dan tingkat hutang juga rendah. Faktor-faktor ini menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi.
Sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi, perlahan-lahan money velocity meningkat. Inflasi juga merangkak naik tetapi masih pada level yang nyaman. Suku bunga juga mulai merangkak naik dari level terendahnya di masa Kondratieff winter, tetapi masih pada level yang nyaman. Akumulasi kapital baik berupa modal tabungan atau alat-alat produksi juga beranjak naik. Tingkat pengangguran menurun.
Tetapi hal yang disebutkan di atas terjadi di US dan Eropa. Di Indonesia sendiri, yang pada masa itu (tahun 1950) baru merdeka. Sektor ekonomi andalannya yaitu komoditi masih dalam masa secular bear market. Sehingga kebangkitan di US dan Eropa tidak memberikan keuntungan apa-apa. Bahkan terhadap rupiah kondisi seperti ini malah menjadi tekanan. Pertama modal akan tersedot ke arah negara-negara industri dimana akumulasi kapital sedang berlangsung. Kedua sumber pemasukan pendapatan, yaitu bahan komoditi, harganya masih rendah. Untuk membiayai jalannya pemerintahan, NKRI yang belum mempunyai sistem perpajakan yang baik, mencetak rupiah dengan gila-gilaan yang berlanjut pada inflasi yang tinggi.
Pada awalnya banyak sumber daya disalurkan untuk hal-hal yang positif seperti pembangunan perumahan dan wilayah dengan penataan yang baik. Di Jakarta, seperti Kebayoran, dibangun tahun 1949. Tebet, Grogol, adalah wilayah-wilayah yang dibangun penataannya di masa awal-awal sampai pertengahan Kondrateff spring 1950 – 1965.
Adanya perang Korea, 1950 – 1953, membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia karena perang Korea membutuhkan minyak dan karet Indonesia. Walaupun harga bahan komoditi masih tertekan, setidaknya pemasukan devisa melalui volume penjualan yang meningkat. Hal ini berlanjut terus sekalipun perang Korea telah usai.
Kalau tahun 2015 pengontrolan kapital dilakukan pemerintah melalui pembatasan penjualan/pembelian mata uang asing maksimium $100 ribu dan larangan transaksi selain dengan rupiah, pada tahun 1950an pemerintah menerapkan pembatasan-pembatasan, atau pengontrolan terhadap kapital berupa kurs ganda. Pada tahun-tahun sekitar 1950an, pemerintah menerapkan sistem kurs ganda terhadap mata uang US dollar. Ketidak-bijaksanaan ini dimulai seminggu setelah Gunting Sjafruddin diberlakukan. Pada ketidak-bijaksanaan kurs ganda ini ada kurs resmi yaitu Rp 3,80 per US dollar ada harga kurs effektif untuk eksportir yaitu Rp 7,60 dan ada harga kurs effektif untuk importir yaitu Rp 11,40 per dollar.
Pada dasarnya bagi importir yang memerlukan mata uang asing dan harus membeli dollar akan dikenakan kurs effektif Rp 11,40 per US dollar. Bagi ekspotir yang memperoleh mata uang asing dikenakan kurs effektif Rp 7,60 ketika menukarkannya dengan rupiah. Dari perbedaan kurs effektif ini, pemerintah memperoleh keuntungan untuk menutup defisit anggaran negara.
Tentu saja dalam prakteknya tidak semudah itu. Dengan mekanisme seperti ini, eksportir bak dikenai pajak ekspor sebesar 66,70%. Siapa sih yang suka dikenai pajak. Kalau ada celah, kenapa tidak menghindar? Eksportir (juga berlaku bagi semua yang berpenghasilan dollar) akan cenderung menghindari dari pada menjual dollarnya secara resmi. Oleh sebab itu perlu peraturan pemaksan, harus ada instrumen pemaksa bagi pelaku bisnis untuk tunduk dengan kemauan pemerintah. Aliran devisa dikontrol ketat melalui BLLD (Biro Lalu Lintas Devisa). Penukaran resmi uang asing dapat dilakukan di bank-bank devisa yang memperoleh ijin dari Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negri (LAAPLN). Disinilah pasar resmi mata uang asing.
Apapun namanya, .....pajak, cukai, kurs ganda, kalau sudah 66,70%, walaupun untuk pemerintah, banyak orang tidak rela. Angka 66,70% itu lebih kejam dari beban Taman Paksa yang hanya 20%. Memang bentuknya berupa pengotrolan devisa bukan seperti pajak, yang secara terang-terangan ditarik ke wajib pajak. Pengontrolan dan pengkebirian mekanisme pasar yang berlebihan seperti ini menyebabkan distorsi pasar yang besar. Orang akan selalu mencari jalan keluar. Muncullah kurs saingan sehingga kurs dollar ada dua, yaitu kurs resmi dan kurs Pasar Baru. Kurs resmi adalah kurs yang didasari oleh paksaan (coercion) dan kurs Pasar Baru (atau pasar gelap lainnya) adalah kurs yang adil yang muncul dari pasar bebas. Pasar gelap tempat pertukaran mata uang asing berlangsung terus sampai tahun 1967, dimana pengontrolan devisa melonggar.
Saya sebut kurs yang tidak resmi ini sebagai kurs Pasar Baru karena kalau pada masa itu anda jalan-jalan ke Pasar Baru Jakarta, sering ada orang mendekat dan berkata pelan-pelan: “dollar pak...., dollar ibu”. Mereka mengajak bertransaksi dollar. Kadang pasar uang di Pasar Baru di masa itu disebut pasar gelap. Kata pasar gelap ini digunakan pemerintah pada hakekatnya untuk memberikan konotasi buruk. Padahal sebenarnya adalah pasar bebas dan dilakukan di siang hari yang terang.
Ketidak-bijaksanaan kurs ganda ternyata membuat kekacauan dan umurnya hanya kurang dari 2 tahun. Pada bulan Januari 1952, diberlakukan satu (1) kurs resmi yaitu Rp 3,80 per US dollar. Ternyata itupun hanya berlaku sekitar 1 bulan. Karena pada bulan Februari 1952, rupiah didevaluasi menjadi Rp 11,40 per dollar. Nilai rupiah menguap 67% hanya dengan sebuah peraturan. Beruntunglah orang-orang yang menyimpan asset non-rupiah. Nilainya tidak tergerus oleh peraturan pemerintah.
Reaksi orang terhadap pemaksaan (coercion) pajak (pajak yang terang-terangan atau terselubung) bermacam-macam. Ada menentang secara terang-terangan lewat kekerasan, ada yang hanya menghindar, membuat jalan keluar yang baru. Biasanya kekerasan adalah jalan terakhir. Hal ini nampak pada NKRI di masa akhir Kondratieff spring. Politik kekerasan bermunculan seperti pembrotakan Permesta 1957, PRRI 1958, yang sedikitnya dilatar-belakangi oleh ekonomi.
Merasa kekerasan yang sudah ada masih kurang, Sukarno, yang menjadi presiden saat itu memberi sirkus sebagai pengganti roti yang diminta rakyat. Lahirlah Ganyang Malaysia, Dwikora 1962 dan Bebaskan Irian Barat, Trikora 1961. Keduanya adalah sirkus yang harus dibayar mahal, baik dengan nyawa dan materi. Dan keduanya itu bukan politik kekerasan yang terakhir. Konflik terakhir terjadi, melainkan G30S, suatu konflik internal angkatan darat yang kemudian terbawa ke wilayah sipil. Antara 500 ribu – 3 juta jiwa melayang. Dan konflik terakhir ini membawa ibu pertiwi ke neraka hiper-inflasi rupiah yang terbesar dari semua yang pernah meletus sebelumnya. Hiper-inflasi ini terjadi di awal Kondratieff summer 1966 – 1967. Negara (rakyat dan pemerintah) sudah kehabisan dana akibat pengeluaran yang besar dan pendapatannya pun mengalami terkanan commodity secular bear market. Commodity secular bear market yang dimulai dari tahun 1950, membuat pendapatan merosot terus selama 17 tahun dan ini bersama-sama prilaku tidak produktif menguras dana yang ada.
Itulah kisah perjalanan rupiah selama periode Kondratieff spring 1950 – 1966 dan commodity secular bear market. Mari kita ringkas saja agar supaya memudahkan pembahasan berikutnya nanti.
Secara ringkas, ada beberapa poin penting pada masa Kondratieff spring di Indonesia:
Dengan murahnya harga bahan komoditi yang menjadi andalan Indonesia, membuat pemerintah mengalami kesulitan untuk membiayai jalannya roda pemerintahan.
Selanjutnya pemerintah melakukan kontrol devisa (kontrol kapital) dan penyunatan tabungan rakyat sebagai pajak terselubung untuk membiayai pemerintahan.
Inflasi rata-rata di atas 100% per tahun.
Nilai dollar (dan emas dalam rupiah) meningkat.
Perang dan pertikaian (PRRI/Permesta, kampanye Ganyang Malaysia dan Bebaskan Irian Barat, serta “pembrontakan” G30S) menjelang Kondratieff summer memperburuk fiskal, selanjutnya merambat ke ekonomi dan rupiah mengalami hiper-inflasi.


Sekian dulu, akan bersambung secepatnya.

sumber: ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2015/07/rupiah-masa-lalu-sekarang-dan-masa.html
0
1.8K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan