Kaskus

News

zitizen4rAvatar border
TS
zitizen4r
"Islam NUSANTARA" Mulai Terkenal di Dunia, Diangkat di PBB New York
Wajah Muslim Indonesia Moderat Diangkat di PBB
07.07.2015

"Islam NUSANTARA" Mulai Terkenal di Dunia, Diangkat di PBB New York
Diskusi 'Islam in Nusantara' di markas besar PBB di New York.

NEW YORK - Masih ingat peristiwa 11 September 2001 yang menewaskan 3,000 orang di tiga kota di Amerika? Tragedi ini membawa menimbulkan luka mendalam tidak hanya bagi warga Amerika tapi juga seluruh dunia. Setelah insiden 9/11 itu, prasangka negatif terhadap Islam dan Muslim meningkat di kalangan warga Amerika. Para pemuka agama baik Islam maupun agama lain berupaya menepis anggapan yang keliru ini dengan mengadakan berbagai acara lintas agama untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang damai.

Dan untuk pertama kalinya, wajah Muslim Indonesia yang moderat menjadi topik diskusi antara para pemuka agama, pengamat, diplomat, serta tokoh masyarakat di kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Diskusi yang diprakarsai Perwakilan Tetap Republik Indonesia di PBB, Nusantara Foundation dan Dompet Dhuafa ini mengangkat tema Islam Nusantara. Islam Nusantara dijadikan contoh bagi negara-negara dunia untuk menunjukkan keragaman, toleransi dan demokrasi.

Salah seorang pembicaranya adalah Dr. James B. Hoesterey dari Universitas Emory di Atlanta, Georgia. “Sebagai seorang antropolog yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia, saya senang bahwa dunia luar dan wakil-wakil serta duta besar dari negara masing-masing dapat mendengarkan sedikit lebih dalam mengenai Islam di Indonesia yang mungkin tidak sama dengan Islam di negara mereka, misalkan Arab Saudi," ujarnya. "Kalau kita lihat ke depan, mungkin Indonesia bisa menjadi contoh.”

Islam Nusantara Jadi Contoh Bagi Negara Lain

Dr. Chiara Formichi, pakar sejarah Islam di Indonesia, dari Universitas Cornell di Ithaca, New York juga terlibat dalam diskusi tersebut. Ia mengatakan kepada VOA banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Indonesia.

“Gagasan Islam Nusantara sangat erat dengan budaya dan sejarah Indonesia. Saya tidak tahu bisa diterapkan di negara lain atau tidak tetapi yang jelas bisa menjadi contoh untuk mengerti mengapa seseorang memeluk Islam," katanya. "Ada banyak cara untuk memahami Islam dan banyak cara untuk berinteraksi dengan non Muslim. Muslim disana juga punya banyak pengalaman berbeda. Jadi ada banyak pelajaran yang bisa dipetik.”

Bukti keragaman dan keterbukaan Muslim Indonesia itu terlihat di IMAAM Center, Masjid kebanggaan komunitas Indonesia di sekitar Washington DC. Sejak diresmikan akhir tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masjid ini tidak hanya menjadi pusat ibadah tapi juga kegiatan sosial.

Masjid yang dikelola Asosiasi Muslim Indonesia di AS (IMAAM) ini membuka pintunya kepada seluruh warga Indonesia, komunitas Muslim dari mana saja, serta tetangga dan sahabat.

Salah seorang jemaahnya adalah Abdul Kadir asal Ethiopia. “Masjidnya semakin ramai, apalagi pada akhir pekan. Saya sangat tertarik dengan masyarakat Indonesia karena kebersamaannya. Mereka selalu bersama-sama di kala senang maupun susah," katanya. "Dan mereka suka makan-makan.”

Tahun ini adalah pertama kalinya IMAAM Center mengadakan kegiatan Ramadan. Selain buka puasa dan sholat tarawih bersama setiap hari, rumah ibadah ini juga mengadakan pesantren kilat serta berbagai ceramah dan diskusi.

Pada bulan Ramadan, suasana kebersamaan kian terasa di Masjid ini dengan acara buka puasa bersama dengan masyarakat sambil mencicipi kuliner nusantara.
http://www.voaindonesia.com/content/...b/2850965.html


JIN, Islam Nusantara dan Neo Liberalisasi
“Islam Nusantara” atau JIN, adalah gerakan Neo-liberalisasi agama
Senin, 8 Juni 2015 - 16:00 WIB

"Islam NUSANTARA" Mulai Terkenal di Dunia, Diangkat di PBB New York
Doa sebelum ritual malam karnaval "1 Suro" (kalender Jawa) selama perayaan Tahun Baru Islam di Kraton Kasunanan pada tanggal 14 November 2012 di Kota Solo, Jawa Tengah, Indonesia. Perayaan seperti kemudian dicampur klenik dan mistik. Termasuk pelepasan kerbau "Kiai Slamet"

BELUM lama ini KH A Mustofa Bisri menyampaikan makalahnya di acara Diskusi Panel bertema “Indonesia’s Role in Addressing Global Islamist Extremism” yang diadakan oleh Jakarta Foreign Correspondents Club (JFCC) di Jakarta, Kamis (28/05/2015), menyatakan bahwa Indonesia dapat memainkan peran penting dalam upaya menciptakan perdamaian dunia dengan menawarkan nilai-nilai “Islam Nusantara” sebagai model untuk umat Islam di seluruh dunia.

“Pemerintah perlu juga kokohnya sistem nilai Islam Nusantara, mengingat mayoritas warganya beragama Islam dan wajib dijaga dari ancaman propaganda ekstremisme,” jelasnya. [Rais Aam PBNU: Islam Nusantara, Solusi Peradaban Dunia, [url=http://www.nu.or.id,]www.nu.or.id,[/url] 30/05/2015]

Pernyataan dan kenyataan di atas mengisyaratkan bahwa “Islam Nusantara” – yang merupakan kelanjutan dari ‘pribumisasi Islam’ – sedang dan akan terus bergulir layaknya bola salju yang terus menerus menggelinding, yang mana semakin lama semakin besar ukurannya yang berakibat semakin membahayakan agama dan umat Islam.

JIN dan Neo Liberalisasi Agama

“Islam Nusantara” atau JIN, menurut penulis adalah gerakan Neo-liberalisasi agama. Penyebutan JIN ini meminjam istilah yang dipakai pendiri Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab saat ceramah dalam tabligh akbar menyambut bulan suci Ramadhan bertema “Bahaya Liberal”, Selasa, 2 Juni 2015 di Masjid Raya Al-Ittihaad Jalan Tebet Mas Indah 1, Jakarta Selatan. Kala itu ia mengatakan, “Untuk itu, Jemaat Islam Nusantara ini saya kasih julukan JIN.”

Sedang yang dimaksud Neo-liberalisasi agama di sini adalah gerakan baru dengan metode baru pengikut paham Islam liberal dan para simpatisannya di Indonesia dalam upaya untuk lebih mengefektifkan dan mengintensifkan proyek mereka yaitu liberalisasi ajaran Islam dan meliberalkan umat Islam Indonesia.

Gerakan baru ini diciptakan dan digunakan setelah mereka menemui kenyataan di lapangan proyek mereka menemui halangan dan tantangan berupa perlawanan dari para pejuang Islam yang secara ikhlas melawan gerakan, pemikiran dan paham sekular dan liberal yang sangat gencar, tepat sasaran, cerdas dan efektif.

Gerakan yang lama adalah “akal menundukkan sumber ajaran Islam”. Dengan meminjam metodologi dari para filsuf, kaum Mu’tazilah dan Ahlu Kalam, kelompok ini mempunyai dan menyebarkan ajaran dan keyakinan bahwa akal adalah segalanya.

Menurut mereka, jika sumber ajaran Islam tidak masuk akal atau bertentangan dengan akal, maka tidak dipergunakan atau dita’wilkan menurut kemauan akal mereka dengan bertumpu pada debat dan logika, atau teks-teks sumber ajaran Islam dipotong-potong untuk memuaskan sikap pragmatis mereka.

Sedangkan gerakan yang baru adalah “kearifan lokal (wisdom local) menundukkan sumber ajaran Islam.

Tentang bentuk-bentuk kearifan lokal, Sartini, dosen Filsafat Kebudayaan Fakultas Filsafat UGM dalam makalahnya “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati” pada halaman 2 menjelaskannya dengan mengutip pendapat Prof. Nyoman Sirtha. Dalam artikelnya berjudul “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam [url]http://www.balipos.co.id,[/url] Sirtha menyebutkan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.

Ungkapan Jawa othak athik mathuk atau gathuk (diotak-atik agar sesuai) pas untuk menggambarkan keduanya, dimana ajaran Islam diotak-atik oleh otak (baca: hawa nafsu) agar sesuai dan untuk disesuaikan dengan akal dan kearifan lokal (baca: keinginan hawa nafsu).

Deklarasi Agama “Islam Nusantara”

SALAH satu “pengamalan” dan “syi’ar” dari agama “Islam Nusantara” yang paling fenomenal adalah pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa pada pada acara Peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara baru-baru ini dan dilanjutkan pada acara “Ngaji Qur’an Langgam Jawa & Pribumisasi Islam” yang digelar oleh Majlis Sholawat GUSDURian di Pendopo Hijau Yayasan LKiS di Sorowajan (Rabu, 27/05/2015).

Agama baru kelompok “Jemaaat Islam Nusantara” atau JIN adalah hasil dari pemikiran dan gerakan liberalisasi agama dan sekularisasi di Indonesia. Maka pasti “Jemaat Islam Nusantara” atau JIN diciptakan dan disebarluaskan dengan tujuan untuk meliberalisasi ajaran Islam dan meliberalkan umat Islam Indonesia. (Baca Satu Agama Islam Harga Mati)

Seorang wakil dari “Muslim” liberal bernama Rony Subayus dalam artikelnya berjudul “Merayakan Pluralisme Islam” yang dimuat di website resmi Jaringan Islam Liberal membenarkan (pernyataan penulis di atas) dengan menulis:

“Meminjam sudut pandang Hermeneutika Gadamerian, Islam adalah sebuah ”teks” yang terbuka untuk selalu direproduksi sesuai horison pembaca. Umat Islam Indonesia dengan warna-warni budayanya berada pada posisi sebagai pembaca ”teks Islam” sehingga memiliki otoritas penuh untuk menerjemahkan Islam secara berlainan dengan Islam masa awal atau corak Islam di kawasan dunia manapun. Umat Islam Indonesia berhak mereproduksi Islam dalam semangat keindonesiaan.”(http://islamlib.com/?site=1&aid=430&...nt&title=kolom)

Menurut hemat penulis, pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan langgam Jawa di kedua acara tersebut adalah deklarasi dari agama “Jemaat Islam Nusantara” atau JIN.

Selain deklarasi, aksi nyeleneh tersebut adalah starting point, awal dan pemanasan dari aksi-aksi yang lebih nyleneh dan berbahaya yang bisa saja akan dilakukan pada masa-masa mendatang.

Sinkretisme Agama

Bola salju agama “Jemaat Islam Nusantara” alias JIN bukan sekadar membuat umat Islam semakin liberal dalam beragama, tapi lebih dari itu. Agama baru “Jemaat Islam Nusantara” merupakan sinkretisme antara Islam dengan ajaran “Islam” liberal, dengan kearifan lokal dan (akan bisa pula) dengan agama-agama impor yang dianggap lebih sesuai untuk Nusantara, dengan kata lain yang lebih sesuai dengan kearifan lokal.

Semakin liberalnya umat Islam Indonesia dalam beragama di masa-masa mendatang bisa berupa pemakaian kemben (kain batik yang dililitkan badan perempuan Jawa untuk penutup badan tapi kelihatan dada dan lengan) oleh para Muslimah Jawa – dalam berbagai kesempatan, bahkan ketika menjalankan shalat -. Bisa berupa penerbitan dan pendistibusian Al-Qur’an berbahasa Jawa bahkan Sansekerta (bukan Al-Qur’an dengan terjemah dalam bahasa-bahasa tersebut). Bisa berupa meluasnya penerimaan dan pelaksanaan oleh umat Islam akan shalat dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal.

Sinkretisme agama Islam dengan “Islam” Liberal, kearifan lokal dan agama-agama tersebut di atas bisa menyentuh segi aqidah, syari’ah dan ibadah dalam Islam. Sinkrestisme ajaran Islam dengan “Islam” Liberal telah terjadi. Sehingga agama “Islam Nusantara” mengajarkan tawassuth (moderat), tasaamuh (toleran), tawaazun (berimbang/obyektif) dan i’tidal (adil) – dalam perspektif “Islam” liberal.

Sinkretisme dengan kearifan lokal juga sudah terjadi berupa pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Sinkretisme dengan kearifan lokal yang lebih berbahaya dari pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa adalah berupa pemakaian kemben oleh para Muslimah Jawa, Al-Qur’an dan shalat dengan bahasa-bahasa lokal yang bisa saja terjadi di kemudian hari.

Di masa-masa yang akan datang bisa saja akan muncul aksi-aksi yang lebih berbahaya. Dengan alasan pribumisasi Islam, bisa saja kela ada patung Nabi Muhammad Shallallahu “alaihi Wassallam, pemujaan terhadap patungnya dan pemasangan patungnya di masjid-masjid dan rumah-rumah kaum Muslim di Indonesia, dan didirikannya shalat dengan menghadap ke patungnya sebagai hasil dari sinkretisme agama Islam dengan agama-agama yang dianggap lebih melokal dan mempribumi.

Memadamkan Api

Meminjam pernyataan Muhammad Natsir, jika mau memadamkan api, maka padamkanlah api sewaktu kecil. Jangan nunggu api semakin membesar, maka melihat betapa bahayanya agama baru hasil dari sinkretisme agama tersebut maka wajib bagi umat Islam Indonesia memadamkannya sedini mungkin dengan segala cara – yang dibenarkan agama dan negara – termasuk melakukan gugatan massal atas kaum munafiq kontemporer ke pengadilan dengan delik penistaan agama Islam.

Pemadaman ini penting untuk dilakukan agar agama sinkretisme baru tersebut mati sebelum berkembang, agar tidak berkembang seperti berkembangnya agama Kristen yang merupakan agama sinkritisme, yang mengasimilasi konsep Judaistis, Hellenistis dan Gnostik, sebagaimana digambarkan Gunkel, Harnadc dan Bultmann yang disebutkan dalam “Sinkretisme Dalam Pandangan Alkitab” (Jurnal Pelita Zaman, Volume 1 No. 1 Tahun 1986, http://alkitab.sabda.org/resource.php?res=jpz). Wallahu a’alam bish showab.
http://www.hidayatullah.com/artikel/...eralisasi.html
http://www.hidayatullah.com/artikel/...alisasi-2.html


Habis Jaringan Islam Liberal (JIL), Terbitlah Jamaat Islam Nusantara (JIN)
8 JULI 2015

Jika Anda ingin terkenal di medsos, buatlah postingan tentang dua tema paling sensitif yang lebih bikin deg-degan daripada Alat Tes Kehamilan: masalah agama dan Jokowi. Tak perlulah Anda pintar beneran, waton njeplak saja tetap bakal beken.

Makin ke sini, subhanallah, makin banyak yang yang waton jeplak.

Setelah Jaringan Islam Liberal (JIL), yang diperangi oleh Indonesia Tanpa JIL (ITJ—ada singkatan dalam singkatan) dan disepiliskan sepanjang waktu (sepilis merujuk ke tiga ideologi haram versi Majelis Ulama Indon: sekularisme, pluralisme dan liberalisme), Islam Nusantara (IN) yang diusung sebagai tema utama Muktamar Nahdlatul Ulama juga dibabak-belurin dengan akronom JIN (Jamaat Islam Nusantara). Maka, jangankan “hanya” Kak Ulil Abshar Abdalla, Kak Akhmad Sahal, dkk, wong para panglima NU yang notabene kyai-kyai sepuh juga dihajar di medsos. Soal tampang-tampang penggebuk itu kayak apa, Wallahu a’lam bis-shawab. Toh PP, Ava, dan DP mereka memang gak jelas.

Mari blejeti IN yang dikatain JIN itu satu-persatu:

Habis JIL terbitlah JIN

Bermula dari twet Ulil bahwa, “Yang ngerti Islam takkan meributkan Islam Nusantara”, media-media online penghasut umat lalu beramai-ramai mengumumkan bahwa IN adalah anak kandung JIL.

Penyimpulan ini tentu mudah dinalar: relasi Ulil dan JIL tak terpisahkan. Ulil juga NU. Ulil itu NU, Ulil itu JIL, sehingga dengan nalar paling SD pun akan mudah didapatkan kesimpulan: NU adalah JIL, maka Islam Nusantara yang produk NU adalah produk JIL pula. Kuncinya ya Ulil.

“JIN adalah anak kandung JIL”, begitu fatwa mereka kemudian.

Di sini, saya agak mengerutkan kening. Logika saya bergerak begini: Ulil memang bagian dari NU, Ulil panglima JIL, dan JIL bukanlah representasi NU. Maka nalar normal seharusnya bisa mencerna bahwa IN bukanlah anak JIL, melainkan anak NU. Soal Ulil mendukung IN, ini wajar belaka lantaran IN—yang bersemangatkan Islam kontekstual dan transformatif dalam memandang teks-teks Al-Quran dan Hadits—memang senapas dengan pemikiran Ulil.

Nggak paham, ya?

Kok ya naif banget membayangkan para kyai sesepuh NU mengekor pada JIL dalam menggagas IN.

Gimana, masih nggak paham juga? Pekok tenan.

Sekalian aja gabungin Hindu dan Budha biar Nusantara Banget

Sik, sik, agama digabung-gabungin itu gimana? Islam pasti emoh, yang Hindu dan Budha juga pasti ogah. Semua agama pasti tak sudi digado-gadoin, disinkretiskan. Saya menduga komentar begitu akibat mual sama John Hick saja. Itu pun kalau Anda tahu nama itu.

Istilah “Nusantara” pada IN sejatinya sekadar distingsi dari beragam “ortodoksi global” yang menjadi karakter-karakter utama Islam kekinian. Ada ortodoksi Arab, Afrika, Eropa, Asia, dll. Di masa nabi ya jelas ndak ada.

Istilah ortodoksi di sini jangan pahami sebagai “kolotan” lho ya. Bukan! Ia semata lazim disebut sebagai pembeda antara Islam di wilayah Arab, Eropa, dan Asia—sebagai misal. Ambil contoh Arab Saudi. Ortodoksinya adalah berteologi Wahabi, fiqhnya menganut Hanbali, dan tasawufnya ditiadakan. Di kita, yang bagian dari wilayah “Nusantara”, ortodoksinya adalah berteologi Asy’ariyah, fiqh-nya Syafi’i, dan tasawufnya Ghazali.

Jadi, dengan argumen itu, mestinya cukup jelas bahwa inisiasi Nusantara pada kata Islam sama sekali bukanlah sebuah masalah. Wong itu cuma karakter ortodoksi mainstream kita kok.

Tapi, bagi akun-akun medsos yang cinta masalah ya tentu ada seribu jalan menuju masalah. Mereka lantas menilik IN dari kacamata ortodoksi Arab, ya jelas ndak nyambung, lalu muncullah klaim “ndak Islami”. Padahal tepatnya ya “ndak ngarab” saja. Si Arab-centris, sebagai tanda awamnya akan peta ortodoksi Islam global ini, wajar jadi mencak-mencak, lalu ngelulu seringan meludah: “Udah, sekalian gabungin aja Islamnya sama Hindu dan Budha biar menusantara banget.”

Jika ucapannya dibalik, jadinya begini: “Udah, sana ke Arab saja biar Islamnya sesuai sama ortodoksi Arab.”

Marah digituin? Makanya, sisiran dulu sebelum meludah agar ludahnya Islami.

Ngeributin Barang Lama

FYI, Islam Nusantara bukanlah isu baru dalam khazanah panjang Islamic studies di dalam maupun luar negeri. Jika Anda anak kuliahan studi Islam, niscaya Anda familiar sama Fazlur Rahman, Abed al-Jabiri, hingga Hasby Ash-Shiddiqy, Nurcholis Madjid, dan Abdurrahman Wahid (untuk sekadar menyebut beberapa nama).

Dengan gerakan “double movement”, Fazlur Rahman mengusung metode tafsir berdasar realitas masa kini, lalu masuk ke masa lalu (untuk menalar asbabul wurud dan asbabun nuzul), lalu kembali ke masa kini dengan menimba “moral ethic” sebuah ayat atau hadits. Ada dialog intensif antara teks di masa awal diturunkannya dengan khazanah kekinian.

Abed al-Jabiri, dengan metode bayani, burhani, dan ‘irfani, menandaskan pentingya kritik nalar Arab (naqdul ‘aql al-araby dan naqdul khitab al-araby) agar kita tahu historisitas sebuah teks suci untuk dikail dalam konteks masa kini.

Hasby Ash-Shiddiqy mencetuskan “Fiqh Indonesia”, sebagai upaya untuk menyelamatkan wajah hukum Islam agar tidak taklid buta pada karakter konteks Madinah, Irak, atau Mesir yang notabene memiliki banyak perbedaan sosio-kultural dengan kita.

Nurcholish Madjid mengusung sekularisas (bukan sekularisme lhoh, ya) dan Islam kontekstual sebagai metode untuk mendinamisasikan hukum Islam agar sesuai realitas hidup kita.

Dan, jika Anda bertanya apakah metode dinamis-dinamis beginian hanya ulah generasi muslim kontemporer, utamanya JIL, saya ajak Anda untuk kenalan sama Imam Syafi’i yang mewariskan qaul qadim dan qaul jadid seiring dengan merantaunya beliau dari Irak ke Mesir. Perubahan konteks sosio-kultural yang melingkari kehidupan Imam Syafi’I, ternyata membuahkan perubahan ijtihad hukum Islamnya.

Perbedaan konteks sosio-kultural meniscayakan perubahan wajah ijtihad itu sendiri. Begitu sunnatullah-nya.

Hayo, berani berani mengkafirkan Imam Syafi’i?

Lalu kenapa meributkan IN? Andai Anda tidak hanya tahu ortodoksi Arab sebagai Islam yang shiratal mustaqim, saya yakin Anda akan nyantai saja kayak di pantai. Dan andai Anda pernah salat di Masjidil Haram, dan melihat aneka ragam baju muslim dan macam-macam cara salat umat Islam dari seluruh penjuru dunia.

Oh ya, satu lagi ding, andai Ulil tidak pernah ngetwit mendukung Islam Nusantara.
http://mojok.co/2015/07/habis-jaring...nusantara-jin/

----------------------------

Indonesia modern, wajah pertarungan berbagai ideologi, aliran dan bahkan aliran agama. Liberal vs Komunis, Sunny vs Syiah, Paham Wahabi vs Islam Nusantara, lalu akan bagaimana ada akhirnya nanti?
0
6.2K
71
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan