- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Romli Atmasasmita: Ada Skandal Penyadapan di KPK, Berita di Tempo Ilegal!


TS
selamat.cadas
Romli Atmasasmita: Ada Skandal Penyadapan di KPK, Berita di Tempo Ilegal!
PRIBUMINEWS – Bakal calon Wali Kota Bandarlampung dari PDIP, Maruly Hendra, melaporkan pengelola majalah Tempo ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri pada Sabtu (11/7). Maruly menilai laporan utama Tempo edisi 13-19 Juli 2015 tentang “Kriminalisasi KPK” berisi fitnah, melanggar Pasal 311 KUHP.
Dia juga menuding pengelola majalah tersebut melakukan penistaan sebagaimana disebut Pasal 310 ayat 2 KUHP dan membuat berita bohong sebagaimana diatur Pasal 390 KUHP. Maruly mengaku merasa dirugikan atas laporan tersebut.
Dalam laporan utama majalah itu dituliskan dugaan kriminalisasi yang dilakukan politikus PDIP kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan utama tersebut membeberkan sejumlah transkrip percakapan orang yang diduga Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dengan orang yang diduga anggota Divisi Hukum PDIP, Arteria Dahlan. Juga ada pembicaraan Hasto dengan Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Yogyakarta Komisaris Besar Karyoto dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara Abdullah Makhmud Hendropriyono. Dalam versi online Tempo, Hendro mengaku tidak masalah dengan penulisan berita tersebut.
Di media itu juga diungkapkan, Dewan Pers dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti mengatakan hal yang sama: Maruly mestinya melapor ke Dewan Pers karena terkait produk jurnalistik, bukan ke kepolisian. Hal senada juga dikatakan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli di media yang sama.
Ia mengatakan pihaknya menghargai tindakan Maruly. Namun kasus yang berkaitan dengan laporan media, katanya, seharusnya dapat diselesaikan melalui mediasi dengan Dewan Pers. “Sesuai dengan nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri tahun 2012, sengketa pers harus diselesaikan dulu di Dewan Pers,” ujar Arif.
Namun, ahli hukum pidana yang juga konseptor Undang-Undang KPK, Romli Atmasasmita, melihat perkara ini dari sudut pandangan yang lain, yang ia ungkapkan lewat akun Twitter-nya sejak Kamis (8/7) sampai Sabtu ini (11/7).
“Majalah Tempo 13-19 Juli 2015 halaman 28 alinea 3-4 di bawah judul ‘Jejak Kriminalisasi yang Terekam’. Surat KPK kepada MKRI butir 3: ‘… dilakukan perorangan’. Butir ketiga merupakan bukti kuat dari surat KPK bahwa ada oknum KPK yang menyadap secara melawan hukum pasca BG [Budi Gunawan] jadi tersangka tanggal 13 Januari 2015. Sedangkan pada Laporan Pemeriksaan BPK RI 2013 atas KPK ada temuan, penyadapan KPK tidak diaudit sejak 2011. Intinya, baik secara institusi maupun perorangan, penyadapan KPK sejak 2011 tidak memenuhi syarat akuntabilitas kinerja.
Jika ada oknum KPK yang melakukan sadapan di luar perintah atau tidak diketahui pimpinan KPK, oknum yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana. Tugas Bareskrim mengusut tuntas skandal penyadapan di KPK!” demikian ditulis Romli dalam beberapa kali twit-nya.
Diungkapkan Romli, jika ahli hukum yang benar, bukan outcome, tapi prosedur yang menentukan hasilnya halal atau haram. “Prosedur ilegal, outcome cacat hukum = tindakan ilegal. Terkait skandal penyadapan oleh oknum di KPK, yang dilanggar adalah Undang-Undang ITE dan setiap orang menyebarluaskan hasil sadapan ilegal dapat diancam pidana, baik sebaga dader maupun mede dader, karena sadapan dilaksanakan berlawanan dengan undang-undang yang berlaku, termasuk Undang-Undang KPK. Nama-nama dalam majalah Tempo Juli 2015 dapat somasi Tempo karena konten berita diperoleh secara ilegal, sesuai surat pimpinan KPK Nomor B-5245/01/06/2015 butir ketiga.
Menurut dia, pada kasus Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjajanto (BW) tampaknya sikap pemerintah cenderung mengikuti sikap pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Bibit dan Chandra Hamzah. “Ada apa ya? Sedangkan surat pimpinan KPK tegas mengatakan di majalah Tempo 13-19 Juli halaman 28 tidak ada rekaman alias penyadapan. Yang terurai di Tempo diperoleh secara ilegal,” ungkap Romli.
Untuk memengaruhi publik dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam uji materil Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK, tambahnya, dengan sengaja hasil rekanan ilegal dibocorkan. “Jika kasus AS dn BW dihentikan dengan rujukan kasus BG, sudah jelas negeri ini bukan negara hukum versi UUD 1945, tapi negeri opini!” kata Romli.
Butir ketiga surat Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki dkk di majalah Tempo, lanjutnya, merupakan bukti skandal penyalahgunaan wewenang penyadapan telah terjadi di KPK. “Kok, skandal penyalahgunaan wewenang penyadapan masih dibenarkan? Jangan-jangan kasus saya lawan ICW juga ada tekanan dan pengaruh kekuasaan untuk SP3?” tuturnya.
Menurut Romli lagi, berita majalah Tempo edisi 13-19 Juli 2015 itu merupakan informasi publik untuk mengalihkan isu penetapan AS, BW, dan NB sebagai tersangka dengan harapan kasusnya dihentikan dengan diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Asas persamaan di muka hukum berlaku sama untuk setiap orang, lanjutnya, terlepas dari status sosial dan ekonominya, termasuk terhadap jajaran kepemimpinan KPK.
“Bukti terpenting bahwa AS, BW, dan NB tidak bersalah/bersalah hanya dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Isu kriminalisasi sudah jadi jargon dalam ‘protap’ [prosedur tetap] komunitas antikorupsi ketika pimpinan KPK menjadi tersangka. Jika orang lain tersangka, jargonnya ‘kenapa harus takut?’” tuturnya.
Romli pun berharap, jajaran kepemimpinan KPK jilid IV punya nyali, bukan pengecundang, kesatria, serta berani ambil risiko apa pun dan paham Undang-Undang KPK, khususnya tentang syarat diberhentikan sementara. “Kepada semua calpim KPK yang lolos 8 besar agar pahami Undang-Undang KPK dan risiko apa pun selama menjadi pimpinan KPK. Lebih baik mundur dari sekarang daripada diberhentkn sementara,” kata Romli. Ia juga memandang perlu ada forum pemantau KPK dan koalisi antikorupsi agar tidak ada korupsi dalam aktivitas mereka. (Pur)
sumber: http://pribuminews.com/11/07/2015/ro...-tempo-ilegal/
Wuih....makin seru tawurannya kayaknya nih
Dia juga menuding pengelola majalah tersebut melakukan penistaan sebagaimana disebut Pasal 310 ayat 2 KUHP dan membuat berita bohong sebagaimana diatur Pasal 390 KUHP. Maruly mengaku merasa dirugikan atas laporan tersebut.
Dalam laporan utama majalah itu dituliskan dugaan kriminalisasi yang dilakukan politikus PDIP kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan utama tersebut membeberkan sejumlah transkrip percakapan orang yang diduga Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dengan orang yang diduga anggota Divisi Hukum PDIP, Arteria Dahlan. Juga ada pembicaraan Hasto dengan Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Yogyakarta Komisaris Besar Karyoto dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara Abdullah Makhmud Hendropriyono. Dalam versi online Tempo, Hendro mengaku tidak masalah dengan penulisan berita tersebut.
Di media itu juga diungkapkan, Dewan Pers dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti mengatakan hal yang sama: Maruly mestinya melapor ke Dewan Pers karena terkait produk jurnalistik, bukan ke kepolisian. Hal senada juga dikatakan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli di media yang sama.
Ia mengatakan pihaknya menghargai tindakan Maruly. Namun kasus yang berkaitan dengan laporan media, katanya, seharusnya dapat diselesaikan melalui mediasi dengan Dewan Pers. “Sesuai dengan nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri tahun 2012, sengketa pers harus diselesaikan dulu di Dewan Pers,” ujar Arif.
Namun, ahli hukum pidana yang juga konseptor Undang-Undang KPK, Romli Atmasasmita, melihat perkara ini dari sudut pandangan yang lain, yang ia ungkapkan lewat akun Twitter-nya sejak Kamis (8/7) sampai Sabtu ini (11/7).
“Majalah Tempo 13-19 Juli 2015 halaman 28 alinea 3-4 di bawah judul ‘Jejak Kriminalisasi yang Terekam’. Surat KPK kepada MKRI butir 3: ‘… dilakukan perorangan’. Butir ketiga merupakan bukti kuat dari surat KPK bahwa ada oknum KPK yang menyadap secara melawan hukum pasca BG [Budi Gunawan] jadi tersangka tanggal 13 Januari 2015. Sedangkan pada Laporan Pemeriksaan BPK RI 2013 atas KPK ada temuan, penyadapan KPK tidak diaudit sejak 2011. Intinya, baik secara institusi maupun perorangan, penyadapan KPK sejak 2011 tidak memenuhi syarat akuntabilitas kinerja.
Jika ada oknum KPK yang melakukan sadapan di luar perintah atau tidak diketahui pimpinan KPK, oknum yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana. Tugas Bareskrim mengusut tuntas skandal penyadapan di KPK!” demikian ditulis Romli dalam beberapa kali twit-nya.
Diungkapkan Romli, jika ahli hukum yang benar, bukan outcome, tapi prosedur yang menentukan hasilnya halal atau haram. “Prosedur ilegal, outcome cacat hukum = tindakan ilegal. Terkait skandal penyadapan oleh oknum di KPK, yang dilanggar adalah Undang-Undang ITE dan setiap orang menyebarluaskan hasil sadapan ilegal dapat diancam pidana, baik sebaga dader maupun mede dader, karena sadapan dilaksanakan berlawanan dengan undang-undang yang berlaku, termasuk Undang-Undang KPK. Nama-nama dalam majalah Tempo Juli 2015 dapat somasi Tempo karena konten berita diperoleh secara ilegal, sesuai surat pimpinan KPK Nomor B-5245/01/06/2015 butir ketiga.
Menurut dia, pada kasus Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjajanto (BW) tampaknya sikap pemerintah cenderung mengikuti sikap pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Bibit dan Chandra Hamzah. “Ada apa ya? Sedangkan surat pimpinan KPK tegas mengatakan di majalah Tempo 13-19 Juli halaman 28 tidak ada rekaman alias penyadapan. Yang terurai di Tempo diperoleh secara ilegal,” ungkap Romli.
Untuk memengaruhi publik dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam uji materil Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK, tambahnya, dengan sengaja hasil rekanan ilegal dibocorkan. “Jika kasus AS dn BW dihentikan dengan rujukan kasus BG, sudah jelas negeri ini bukan negara hukum versi UUD 1945, tapi negeri opini!” kata Romli.
Butir ketiga surat Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki dkk di majalah Tempo, lanjutnya, merupakan bukti skandal penyalahgunaan wewenang penyadapan telah terjadi di KPK. “Kok, skandal penyalahgunaan wewenang penyadapan masih dibenarkan? Jangan-jangan kasus saya lawan ICW juga ada tekanan dan pengaruh kekuasaan untuk SP3?” tuturnya.
Menurut Romli lagi, berita majalah Tempo edisi 13-19 Juli 2015 itu merupakan informasi publik untuk mengalihkan isu penetapan AS, BW, dan NB sebagai tersangka dengan harapan kasusnya dihentikan dengan diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Asas persamaan di muka hukum berlaku sama untuk setiap orang, lanjutnya, terlepas dari status sosial dan ekonominya, termasuk terhadap jajaran kepemimpinan KPK.
“Bukti terpenting bahwa AS, BW, dan NB tidak bersalah/bersalah hanya dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Isu kriminalisasi sudah jadi jargon dalam ‘protap’ [prosedur tetap] komunitas antikorupsi ketika pimpinan KPK menjadi tersangka. Jika orang lain tersangka, jargonnya ‘kenapa harus takut?’” tuturnya.
Romli pun berharap, jajaran kepemimpinan KPK jilid IV punya nyali, bukan pengecundang, kesatria, serta berani ambil risiko apa pun dan paham Undang-Undang KPK, khususnya tentang syarat diberhentikan sementara. “Kepada semua calpim KPK yang lolos 8 besar agar pahami Undang-Undang KPK dan risiko apa pun selama menjadi pimpinan KPK. Lebih baik mundur dari sekarang daripada diberhentkn sementara,” kata Romli. Ia juga memandang perlu ada forum pemantau KPK dan koalisi antikorupsi agar tidak ada korupsi dalam aktivitas mereka. (Pur)
sumber: http://pribuminews.com/11/07/2015/ro...-tempo-ilegal/
Wuih....makin seru tawurannya kayaknya nih
0
9.7K
131


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan