Kaskus

News

haschiramaAvatar border
TS
haschirama
okowi Mengusik Freeport, Papua Bergejolak, Mulai dari Tolikara
JOKOWI MENGUSIK FREEPORT, PAPUA BERGEJOLAK, DIMULAI DARI TOLIKARA


Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Den Haag, 27 Desember 1949, karena tekanan Amerika. Indonesia tidak boleh lupa itu. Siapapun Presiden Indonesia harus ingat betul Amerika. Demkian juga soal Papua. Indonesia tidak boleh memandang remeh Amerika, sang negara Adidaya itu. Bahwa rakyat Indonesia ingin berdiri sendiri, berdiri di kaki sendiri atau bebas dari intervensi asing, mau sejajar dengan bangsa lain, boleh-boleh saja berkata dan bermimpi seperti itu.

Akan tetapi menantang Amerika, berkepala batu dan mengusik kepentingan mereka di negeri ini, perlu dulu berpikir dua kali. Apalagi kalau kita hanya mengandalkan senjata semacam pesawat F-16 bekas, buatan Amerika pula plus setengah lusin Sukhoi tanpa senjata itu, lalu mulai berkoar-koar menantang Amerika di udara, maka tentu saja sama dengan bunuh diri. Amerika tentu saja akan tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Indonesia.

Masyarakat yang belum tahu sepak terjang Amerika sejak perang dunia ke- II berakhir dan bagaimana intervensi, dukungan sekaligus deal-deal dengan pemerintah Indonesia sebelumnya, dimohon sekali lagi untuk menggali berbagai peristiwa, fakta dan informasi tersembunyi lebih dulu. Bila sudah paham betul sepak terjang Amerika, maka mungkin kata-kata terlalu sombong, tong kosong dan bersifat menantang, akan pelan-pelan berkurang. Bagaikamana sebenarnya intervensi, dukungan dan peranan Amerika atas Indonesia sampai sekarang?

Sejak merdeka 17 Agustus 1945, Belanda terus menerus melakukan agresi militer kepada Indonesia. Lalu para pejabat Amerika atas persetujuan Presiden Amerika Harry S. Truman waktu itu, bertemu dengan Presiden Soekarno. Deal dengan Amerika pun tercapai. Indonesia akan didukung kemerdekaannya. Lewat PBB Amerika menekan negara sekutunya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia kala itu.

Puncaknya, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Imbalannya, Soekarno harus mengijinkan perusahan-perusahaan tambang emas, batu bara dan minyak dari Amerika untuk membuka usaha di Indonesia. Maka bercokolah perusahaan-perusahan Amerika seperti Newmont, Exxon Mobil, Chevron di bumi nusantara.

Sejak pengakuan kedaulatan 1949, Belanda masih mencekram Papua (pada waktu itu namanya masih Irian). Padahal dalam perjanjian KMB (Konfrensi Meja Bundar), Belanda harus berunding dengan Indonesia setelah satu tahun. Berbagai usaha yang dilakukan Indonesia untuk merebut Papua, namun selalu gagal termasuk menggalang dukungan militer dari Uni Soviet berupa bantuan persenjataan kala itu.

Soekarno yang melihat Amerika enggan membantu Indonesia dengan senjata, terpaksa berpaling kepada Uni Soviet demi merebut kembali Papua. Amerika tidak mau menjual persenjataan kepada Indonesia pada saat itu jika dalam bentuk utang. Bahkan Amerika secara diam-diam menggiring Indonesia agar berpaling kepada Uni Soviet untuk mendapatkan senjata.

Namun sebetulnya hal itu hanyalah trik Amerika untuk melemahkan Uni Soviet. Lho begitu? Pada saat merebut Papua, angkatan bersenjata Indonesia tidak ada apa-apanya. Namun berkat bantuan senjata tak terbatas dari Uni Soviet, maka angkatan bersenjata Indonesia kala itu dengan segera menjelma mnejadi kekuatan angkatan bersenjata terdahsyat di Asia Selatan.

Akan tetapi semua bantuan dari Uni Soviet dalam bentuk utang. Pada tahun 1959-1961, mengalirlah bantuan persenjataan Uni Soviet kepada Indonesia. Celakanya Indonesia terus bangga atas angkatan bersenjatanya yang begitu hebat kala itu hinga saat ini. Padahal sebenarnya pembelian senjata-senjata itu, semuanya dalam bentuk utang kepada Soviet.

Indonesia yang saat itu tidak mampu membayar utang karena masih terbelit dengan kemiskinan, maka otomatis modal Uni Sovietl yang telah dikeluarkan untuk membangun kapal perang, pesawat tempur, rudal dan bom tidak bisa kembali alis rugi alias bangkrut. Itulah cikal bakal kebangkrutan Uni Soviet di kemudian hari. Karena Indonesia tidak mendapat pinjaman baru dari Uni Soveit pasca peristiwa G 30 S/PKI, jadilah kapal-kapal perang Soviet berkarat dan teronggok rusak di Indonesia. Tidak ada duit untuk memeliharanya atau sekedar mengoperasikannya.

Kembali kepada usaha Indonesia merebut Papua. Selama 10 tahu pasca pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia, Belanda masih tidak mau melepas Papua kembali kepada Indonesia. Kendati Indonesia kala itu mengancam Belanda lewat kekuatan militer dan dibantu oleh Uni Soviet, Belanda sama sekali tidak takut atau bergeming. Di belakang Belanda, ada Amerika dan Inggris. Lagi-lagi atas persetujuan Presiden Amerika Dwight Eisenhower, para pejabat Amerika menemui Presiden Soekarno pada tahun 1961.

Deal-deal pun kembali tercapai dengan gilang-gemilang. Amerika pun kembali menekan Belanda agar mengembalikan Papua kepada Indonesia. Tentu saja Belanda takut dan tunduk kepada Amerika. Pada tahun 1963, Papua bergabung dengan Indonesia. Lewat sebuah referendum yang dikenal ‘New York Agreement’ skenario Amerika pada tahun 1969, rakyat Papua setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia. Imbalannya, Soekarno mengijinkan perusahan-perusahaan Amerika membuka usaha tambang emas di Papua.

Maka perusahaan Amerika semacam Freeport bercokol menguras habis emas bumi Papua. Berton-ton emas Papua mengalir dari Papua ke Amerika lewat laut setiap tahun. Indonesia dapat apa? hanya royalty sebesar 1 persen untuk emas dan 3,5 persen masing-masing untuk tembaga dan perak ditambah pajak dan para pekerja buruh tentunya. Inilah yang terus direnegoisasi oleh Presiden-presiden Indonesia sesudahnya. Soekarno kala itu demi rasa nasionalisme dan ingin menyatukan Indonesia, rela menerima tawaran dan syarat Amerika itu demi kembalinya Papua. Sebuah pengorbanan yang sangat besar.

Sejarah kemudian berlanjut. Soekarno yang sudah tua dan mulai lupa-lupa ingatan kepada Amerika, membuat Amerika menginginkan sebuah regenerasi. Amerika pun mendukung dan mengorbitkan Soeharto yang berlatar belakang militer untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno dengan imbalan menumpas habis PKI, berhenti berpaling dari Uni Soviet dan menjamin keamananan perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia termasuk di Papua. Begitulah selama 32 tahun, Soeharto aman tentram dari kekuasaannya berkat dukungan diam-diam dan luar biasa Amerika.

Namun pada tahun 1995, Soeharto yang merasa telah berhasil membangun Indonesia dan digadang-gadang sebagai ‘Macan Asia’ mulai percaya diri dan mulai menantang Amerika. Pada tahun 1996,Soeharto membatalkan pembelian 12 pesawat tempur Amerika F-16 yang sudah disepakati sebelumnya. Malah Soeharto membelot ke Rusia dengan melakukan pemesanan 12 Sukhoi KI (SUKI).

Amerika pun marah kepada Soeharto yang berujung kepada penggulingan Soeharto oleh sebuah kekacaun politik hasil rekayasa Amerika. Amerika kala itu mengucurkan dana begitu deras kepada lembaga-lembaga masyarakat pro demokrasi untuk melakukan berbagai demonstrasi bersama mahasiswa. Jadilah Soeharto turun dan berturut-turut naik Habibie, Gusdur dan Megawati , SBY dan terakhir Jokowi.

Kembali kepada Papua, Amerika sengaja menciptakan dan memelihara OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Tujuannya sederhana. Jika Indonesia berkeras mengusir perusahaan Amerika di Papua atau sekedar mengusiknya, maka Amerika semakin keras merongrong Papua untuk merdeka. Tentu saja dengan dana yang mengalir pula kepada OPM. Jika Indonesia masih mengijinkan perusahaan Amerika di Papua aman dan tanpa diusik, maka dukungan Amerika Serikat kepada kaum separatis Papua otomatis berkurang namun tidak dihilangkan, tetap dibiarkan hidup sebagai daya tawar.

Maka ketika negosiasi perpanjangan kontrak Freeport yang berlarut-larut dan semakin tidak jelas saat Jokowi naik menjadi Presiden, maka Amerika mulai merongrong OPM untuk membuat Papua kembali panas yang dimulai dengan insiden Tolikara. Jika Jokowi terlalu percaya diri dan mau menantang Amerika ke depan, maka Papua semakin bergejolak hingga puncaknya perang berkepanjangan yang bisa berakhir pada kemerdekaan Papua yang akan didukung Amerika. Maka benarlah isu yang mengatakan bahwa ada intelijen tingkat tinggi, ada intevensi asing, ada aktor intelektual yang ikut bermain di Tolikara. Lalu siapa lagi kalau bukan Amerika. Mengapa malu mengatakan bahwa Amerika ikut bermain di Tolikara? Bukankah Amerika bisa mendukung pensiunan Jenderal untuk merongrong pemerintahan Jokowi?

Maka siapapun Presiden Indonesia, tidak boleh mengusik kepentingan Amerika. Renegoisasi kontrak Freeport yang ngotot dilakukan Jokowi, membuat marah Amerika. Apa boleh buat Indonesia di hadapan Amerika masih seperti anak kecil yang kerdil yang terus merengek minta renegoisasi Freeport. Namun tidak cukup kuat untuk menantang Amerika yang super power. Mengapa Indonesia tetap kecil dan kerdil? Apalagi kalau bukan karena para pemimpinnya dan rakyatnya juga terus korup, mau kaya sendiri dan tidak mau berjuang keras menguasai teknologi seperti Korea Selatan dan Jepang. Selain itu rakyat dan pemimpin Indonesia gampang emosi dan sangat mudah diprovokasi untuk kemudian berkonflik, saling bermusuhan, bakar-membakar rumah ibadat, bahkan bunuh membunuh atas alasan agama, ras dan suku.

Jadi selama bangsa kita masih berbudaya korup, terus saling bermusuhan dan setengah hati menguasai teknologi dan terus memperbanyak anak yang tidak berkualitas tanpa KB, maka kita terus menjadi bangsa budak, miskin, tak berdaya, bangsa yang sangat sensitif dan mudah berkonflik, dan menjadi ajang ‘permainan catur’ bangsa lain.

http://www.kompasiana.com/lahagu/jok...b0bd4d2bd22a4f
Diubah oleh haschirama 24-07-2015 06:09
0
1.9K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan