- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tahun 2015: Bencana kelaparan di Papua. Orang Indonesia tau ga sih anda ttg hal ini?


TS
pelita.kakidian
Tahun 2015: Bencana kelaparan di Papua. Orang Indonesia tau ga sih anda ttg hal ini?
Quote:
Original Posted By comment TSSekarang 'kan udah tahu. Peduli ga sih anda dengan mereka?
Quote:
Tragedi Kelaparan di Papua
Oleh: Indra J Piliang
Apa lagi yang harus dikatakan tentang politik ketika kelaparan mengancam warga negara?
Sampai kapan politik tidak hanya sekadar parade kekosongan, kesombongan, dan kerongkongan apabila kelaparan yang mematikan saja tidak membuat mata orang terbuka. Idealnya, dengan demokrasi, kelaparan akan hilang atau berkurang dari muka bumi. Kenyataannya tidaklah demikian. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tetap tergelincir sembari indeks pendapatan wakil rakyat dan petinggi pemerintah tergerek naik.
Papua menjadi contoh dari semua ketidakpedulian atas manusia ketika politik bangkit sebagai idiom paling banyak disebut. Tragedi kelaparan di Papua kembali terulang setelah sebelumnya juga terjadi pada pertengahan tahun 1990-an. Pelbagai pihak pun marah, mulai dari presiden, ketua MPR, ketua DPR, sampai semua kekuatan politik di Jakarta. Pemerintahan daerah langsung mendapatkan tudingan sebagai biang keladi kelaparan di Yahukimo.
Padahal, laporan Kabupaten Yahukimo dan Yahukimo Hanya Punya Nama, Belum ada Bentuk (Kompas, 1/6/2004) menunjukkan betapa kabupaten baru hasil pemekaran ini masihlah berupa hutan dan semak belukar, bahkan di ibu kota kabupaten, Sumohai, kualitas hidup masyarakat masih memprihatinkan, misalnya banyak yang berperut buncit, konsumsi protein rendah, ditambah masih banyak kasus malaria. Padahal, hutan Yahukimo menghasilkan komoditas kelapa hutan, buah merah (Pandanus sp), pohon kasuari, kulit kayu lawang, gaharu, dan rotan. Komoditas ini sangatlah mahal untuk ukuran Jakarta. Dengan kondisi yang masih perawan dan eksotis itu, kenapa kelaparan singgah menyapa?
Pusat-periferal
Hal ini, secara garis besar, bisa dilihat dari sejumlah hal. Pertama, mandulnya mata batin politikus Jakarta. Hampir keseluruhan pertarungan politik harian berlangsung di Jakarta. Akibatnya adalah Jakarta merasa jauh lebih penting dari daerah lainnya. Jangankan Papua, kondisi sebagian besar Provinsi Banten saja masih terkebelakang.
Kedua, masih adanya kecenderungan untuk membagi dua zona politik, yakni pusat dan periferal. Dengan cara seperti ini, keseluruhan daerah di luar Jakarta adalah halaman belakang dari Republik Indonesia. Kalau kita perhatikan daerah-daerah perbatasan dengan 10 negara tetangga, hampir semuanya masuk daerah tertinggal, terkebelakang dan miskin. Tidak heran kalau daerah-daerah itu begitu mudah dilintasi oleh kegiatan ilegal, mulai dari penyeludupan bahan bakar minyak, senjata ringan, kayu ilegal, ikan ilegal, sampai kaum teroris dan pendatang haram.
Ketiga, tingginya perhatian atas situasi pelembagaan politik di Papua menyebabkan rendah- nya perhatian kepada masyarakat Papua. Masalah Papua yang menjadi beban di pundak Jakarta adalah seputar status otonomi khusus, pemekaran, separatisme, pembentukan Majelis Rakyat Papua, pemilihan langsung kepala daerah, sampai kasus pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay, pembunuhan atas warga negara Amerika Serikat, sampai kepada hubungan militer Indonesia-AS. Agenda Papua nyaris hadir setiap hari dalam rilis lembaga-lembaga pemantau internasional atas pelanggaran hak asasi manusia, militerisme, dan pengabaian hak- hak masyarakat tribal.
Laporan penelitian Pokja Papua seputar hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Papua menunjukkan situasi yang mengenaskan. Rendahnya perhatian lembaga-lembaga pemerintahan daerah menyebabkan banyak daerah yang sesungguhnya mengandung bom waktu kemiskinan dan kelaparan. Padahal, anggaran yang (semula) ditujukan kepada masyarakat relatif besar.
Bagi mayoritas masyarakat Papua sendiri, isu-isu politik tinggi, seperti otonomi khusus, kurang mendapatkan perhatian. Yang penting adalah bagaimana penduduk bisa makan, mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan yang layak, sampai kepada lapangan bekerja. Tetapi, akibat demokrasi dibajak oleh kekuatan oligarkis, termasuk demokrasi lokal yang jatuh ke dalam kelompok oligarkis lokal, maka perhatian kepada kehendak mayoritas rakyat ini sangatlah minim.
Pusat hanya perhatikan elite
Kalau mau jujur, sebetulnya Jakarta lebih banyak melihat kepada realitas elite Papua ketimbang realitas masyarakat Papua sendiri. Muncul sejumlah persepsi negatif, betapa rakyat Papua bisa dikendalikan apabila diberikan uang untuk membeli minuman dan hiburan. Elite-elite partai politik paling sering merasakan betapa sulitnya untuk berurusan dengan fungsionaris partai politik di Papua yang hampir selalu kehilangan tiket, uang, dan lain-lainnya, padahal mereka akan kembali ke Papua. Bukti paling akhir adalah amblasnya dana otonomi khusus yang sebagian juga akibat kelambanan Jakarta dalam proses pencairan dan kelalaian pengawasan.
Untuk mengantisipasi masalah-masalah yang serupa untuk tidak terulang di masa datang, persepsi Jakarta harus diubah. Jakarta tidak bisa hanya sekadar menunggu laporan dari daerah, melainkan harus langsung terjun ke daerah tersebut secara periodik. Bukan hanya Papua, tetapi juga Nusa Tenggara Timur dan daerah lain yang secara alamiah hanya mengandalkan hujan untuk menumbuhkan tanaman musiman di tanah gersang.
Jakarta juga harus membuka telinganya agar tidak tuli dari aspirasi masyarakat bawah. Sudah bukan zamannya lagi hanya mendengar kelompok elite daerah, karena apa yang terhidang selama ini sebagian besar sudah dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan mereka.
Kelaparan di Yahukimo sekali lagi menunjukkan betapa lemahnya fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dapat digunakan secara cepat dalam keadaan darurat. Jangan sampai ada lagi pernyataan dari Jakarta bahwa bencana alam atau kelaparan adalah urusan daerah. Ini bencana darurat, bung, jangan hanya mempersoalkan ini urusan siapa! Dengan asas desentralisasi dan dekonsentrasi, persoalan bencana sudah menjadi urusan pusat.
Kalau tsunami bisa dikatakan sebagai kehendak alam, lalu apakah kelaparan di daerah yang sebagian besar masih hutan rimba, penduduk sedikit, dan jarang dikunjungi orang luar itu sebagai kehendak alam juga? Untuk kelaparan, hukum rimba tidak berlaku. Yang patut diuji adalah hukum manusia yang katanya sedang beranjak mengejar dan sejajar dengan bangsa-bangsa beradab lainnya.
Indra J Piliang Analis Politik CSIS dan Anggota Pokja Papua, Jakarta
Sumur: http://www.unisosdem.org/article_det...3&caid=3&gid=1
Oleh: Indra J Piliang
Apa lagi yang harus dikatakan tentang politik ketika kelaparan mengancam warga negara?
Sampai kapan politik tidak hanya sekadar parade kekosongan, kesombongan, dan kerongkongan apabila kelaparan yang mematikan saja tidak membuat mata orang terbuka. Idealnya, dengan demokrasi, kelaparan akan hilang atau berkurang dari muka bumi. Kenyataannya tidaklah demikian. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tetap tergelincir sembari indeks pendapatan wakil rakyat dan petinggi pemerintah tergerek naik.
Papua menjadi contoh dari semua ketidakpedulian atas manusia ketika politik bangkit sebagai idiom paling banyak disebut. Tragedi kelaparan di Papua kembali terulang setelah sebelumnya juga terjadi pada pertengahan tahun 1990-an. Pelbagai pihak pun marah, mulai dari presiden, ketua MPR, ketua DPR, sampai semua kekuatan politik di Jakarta. Pemerintahan daerah langsung mendapatkan tudingan sebagai biang keladi kelaparan di Yahukimo.
Padahal, laporan Kabupaten Yahukimo dan Yahukimo Hanya Punya Nama, Belum ada Bentuk (Kompas, 1/6/2004) menunjukkan betapa kabupaten baru hasil pemekaran ini masihlah berupa hutan dan semak belukar, bahkan di ibu kota kabupaten, Sumohai, kualitas hidup masyarakat masih memprihatinkan, misalnya banyak yang berperut buncit, konsumsi protein rendah, ditambah masih banyak kasus malaria. Padahal, hutan Yahukimo menghasilkan komoditas kelapa hutan, buah merah (Pandanus sp), pohon kasuari, kulit kayu lawang, gaharu, dan rotan. Komoditas ini sangatlah mahal untuk ukuran Jakarta. Dengan kondisi yang masih perawan dan eksotis itu, kenapa kelaparan singgah menyapa?
Pusat-periferal
Hal ini, secara garis besar, bisa dilihat dari sejumlah hal. Pertama, mandulnya mata batin politikus Jakarta. Hampir keseluruhan pertarungan politik harian berlangsung di Jakarta. Akibatnya adalah Jakarta merasa jauh lebih penting dari daerah lainnya. Jangankan Papua, kondisi sebagian besar Provinsi Banten saja masih terkebelakang.
Kedua, masih adanya kecenderungan untuk membagi dua zona politik, yakni pusat dan periferal. Dengan cara seperti ini, keseluruhan daerah di luar Jakarta adalah halaman belakang dari Republik Indonesia. Kalau kita perhatikan daerah-daerah perbatasan dengan 10 negara tetangga, hampir semuanya masuk daerah tertinggal, terkebelakang dan miskin. Tidak heran kalau daerah-daerah itu begitu mudah dilintasi oleh kegiatan ilegal, mulai dari penyeludupan bahan bakar minyak, senjata ringan, kayu ilegal, ikan ilegal, sampai kaum teroris dan pendatang haram.
Ketiga, tingginya perhatian atas situasi pelembagaan politik di Papua menyebabkan rendah- nya perhatian kepada masyarakat Papua. Masalah Papua yang menjadi beban di pundak Jakarta adalah seputar status otonomi khusus, pemekaran, separatisme, pembentukan Majelis Rakyat Papua, pemilihan langsung kepala daerah, sampai kasus pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay, pembunuhan atas warga negara Amerika Serikat, sampai kepada hubungan militer Indonesia-AS. Agenda Papua nyaris hadir setiap hari dalam rilis lembaga-lembaga pemantau internasional atas pelanggaran hak asasi manusia, militerisme, dan pengabaian hak- hak masyarakat tribal.
Laporan penelitian Pokja Papua seputar hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Papua menunjukkan situasi yang mengenaskan. Rendahnya perhatian lembaga-lembaga pemerintahan daerah menyebabkan banyak daerah yang sesungguhnya mengandung bom waktu kemiskinan dan kelaparan. Padahal, anggaran yang (semula) ditujukan kepada masyarakat relatif besar.
Bagi mayoritas masyarakat Papua sendiri, isu-isu politik tinggi, seperti otonomi khusus, kurang mendapatkan perhatian. Yang penting adalah bagaimana penduduk bisa makan, mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan yang layak, sampai kepada lapangan bekerja. Tetapi, akibat demokrasi dibajak oleh kekuatan oligarkis, termasuk demokrasi lokal yang jatuh ke dalam kelompok oligarkis lokal, maka perhatian kepada kehendak mayoritas rakyat ini sangatlah minim.
Pusat hanya perhatikan elite
Kalau mau jujur, sebetulnya Jakarta lebih banyak melihat kepada realitas elite Papua ketimbang realitas masyarakat Papua sendiri. Muncul sejumlah persepsi negatif, betapa rakyat Papua bisa dikendalikan apabila diberikan uang untuk membeli minuman dan hiburan. Elite-elite partai politik paling sering merasakan betapa sulitnya untuk berurusan dengan fungsionaris partai politik di Papua yang hampir selalu kehilangan tiket, uang, dan lain-lainnya, padahal mereka akan kembali ke Papua. Bukti paling akhir adalah amblasnya dana otonomi khusus yang sebagian juga akibat kelambanan Jakarta dalam proses pencairan dan kelalaian pengawasan.
Untuk mengantisipasi masalah-masalah yang serupa untuk tidak terulang di masa datang, persepsi Jakarta harus diubah. Jakarta tidak bisa hanya sekadar menunggu laporan dari daerah, melainkan harus langsung terjun ke daerah tersebut secara periodik. Bukan hanya Papua, tetapi juga Nusa Tenggara Timur dan daerah lain yang secara alamiah hanya mengandalkan hujan untuk menumbuhkan tanaman musiman di tanah gersang.
Jakarta juga harus membuka telinganya agar tidak tuli dari aspirasi masyarakat bawah. Sudah bukan zamannya lagi hanya mendengar kelompok elite daerah, karena apa yang terhidang selama ini sebagian besar sudah dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan mereka.
Kelaparan di Yahukimo sekali lagi menunjukkan betapa lemahnya fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dapat digunakan secara cepat dalam keadaan darurat. Jangan sampai ada lagi pernyataan dari Jakarta bahwa bencana alam atau kelaparan adalah urusan daerah. Ini bencana darurat, bung, jangan hanya mempersoalkan ini urusan siapa! Dengan asas desentralisasi dan dekonsentrasi, persoalan bencana sudah menjadi urusan pusat.
Kalau tsunami bisa dikatakan sebagai kehendak alam, lalu apakah kelaparan di daerah yang sebagian besar masih hutan rimba, penduduk sedikit, dan jarang dikunjungi orang luar itu sebagai kehendak alam juga? Untuk kelaparan, hukum rimba tidak berlaku. Yang patut diuji adalah hukum manusia yang katanya sedang beranjak mengejar dan sejajar dengan bangsa-bangsa beradab lainnya.
Indra J Piliang Analis Politik CSIS dan Anggota Pokja Papua, Jakarta
Sumur: http://www.unisosdem.org/article_det...3&caid=3&gid=1
Tahun 2015
Quote:
Kelaparan Papua, Freeport Kucurkan 3,3 Ton Bantuan Makanan
Sabtu, 18 Juli 2015 | 12:45 WIB

Seorang wanita membawa sekarung beras di Port-au-Prince, Haiti (26/1). Rakyat antre untuk mendapatkan beras bantuan dari lembaga internasional yang dijaga oleh pasukan PBB asal Uruguay. AP/Ramon Espinosa
TEMPO.CO, Jakarta- PT Freeport Indonesia mengirim bahan makanan sebanyak 3,3 ton ke Distrik Agandugume, Kabupaten Puncak, Papua.
Distrik itu tengah dilanda bencana kelaparan akibar fenomena embun beku yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
Superintendent, Media Relations, & Engagement PT Freeport Indonesia Ledy Simarmata mengungkapkan, bantuan berupa 3,3 ton bahan makanan dan air mineral itu diterbangkan menggunakan dua unit helikopter Airfast pada Jumat, 17 Juli 2015.
Dalam pengiriman itu, lanjutnya, selain personel perwakilan dari Freeport, juga ada yang berasal dari Kementerian Sosial.
"Bantuan ini merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial Freeport Indonesia bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Papua, di samping program pengembangan masyarakat yang komprehensif dan telah berlangsung di Kabupaten Mimika yang merupakan lokasi wilayah kerja PTFI," katanya dalam rilis resminya, Jumat, 17 Juli 2015.
Dia berharap penyaluran bantuan kemanusiaan tersebut diharapkan dapat membantu meringankan beban masyarakat Distrik Agandugume, Kabupaten Puncak, yang tertimpa bencana.
Bisnis.com mencatat selain Kabupaten Puncak, tercatat Kabupaten Lanny Jaya juga tengah dilanda bencana serupa yang menyebabkan sebelas warga di Distrik Kuyawage tewas akibat kedinginan pascahujan es.
Sumur: http://bisnis.tempo.co/read/news/201...antuan-makanan
Sabtu, 18 Juli 2015 | 12:45 WIB

Seorang wanita membawa sekarung beras di Port-au-Prince, Haiti (26/1). Rakyat antre untuk mendapatkan beras bantuan dari lembaga internasional yang dijaga oleh pasukan PBB asal Uruguay. AP/Ramon Espinosa
TEMPO.CO, Jakarta- PT Freeport Indonesia mengirim bahan makanan sebanyak 3,3 ton ke Distrik Agandugume, Kabupaten Puncak, Papua.
Distrik itu tengah dilanda bencana kelaparan akibar fenomena embun beku yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
Superintendent, Media Relations, & Engagement PT Freeport Indonesia Ledy Simarmata mengungkapkan, bantuan berupa 3,3 ton bahan makanan dan air mineral itu diterbangkan menggunakan dua unit helikopter Airfast pada Jumat, 17 Juli 2015.
Dalam pengiriman itu, lanjutnya, selain personel perwakilan dari Freeport, juga ada yang berasal dari Kementerian Sosial.
"Bantuan ini merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial Freeport Indonesia bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Papua, di samping program pengembangan masyarakat yang komprehensif dan telah berlangsung di Kabupaten Mimika yang merupakan lokasi wilayah kerja PTFI," katanya dalam rilis resminya, Jumat, 17 Juli 2015.
Dia berharap penyaluran bantuan kemanusiaan tersebut diharapkan dapat membantu meringankan beban masyarakat Distrik Agandugume, Kabupaten Puncak, yang tertimpa bencana.
Bisnis.com mencatat selain Kabupaten Puncak, tercatat Kabupaten Lanny Jaya juga tengah dilanda bencana serupa yang menyebabkan sebelas warga di Distrik Kuyawage tewas akibat kedinginan pascahujan es.
Sumur: http://bisnis.tempo.co/read/news/201...antuan-makanan
Tahun 2014
Quote:
Kasus Kelaparan Di Papua Memprihatinkan
Selasa, 13 Mei 2014 | 10:07

[TIMIKA] Tokoh masyarakat Suku Amungme di Kabupaten Mimika, Papua, Thomas Wanmang menyatakan prihatin terjadinya kasus kelaparan atau krisis pangan di Kampung Jewa, Aroanop, Distrik Tembagapura yang sudah berlangsung beberapa bulan terakhir.
Thomas kepada Antara di Timika, Selasa (13/5), mengatakan, kasus kelaparan yang terjadi di Kampung Jewa semestinya tidak perlu terjadi jika Pemkab Mimika, PT Freeport Indonesia, Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) serius memperhatikan masyarakat.
"Ini situasi yang aneh, masa kita punya perusahaan tambang kelas dunia tapi rakyatnya mati kelaparan di atas kekayaan alam yang mereka miliki. Kami minta masalah ini harus secepatnya diatasi," kata Thomas.
Menurut dia, situasi yang terjadi di Kampung Jewa itu bisa jadi juga dialami masyarakat Papua di kampung-kampung pedalaman dan terpencil lainnya di Kabupaten Mimika mengingat selama ini masyarakat kurang mendapat sentuhan dan perhatian dari pemerintah daerah maupun pihak-pihak yang lain.
"Kalau di Jewa, Aroanop saja masyarakat bisa kelaparan, bagaimana di kampung-kampung lain yang jauh dari area perusahaan Freeport," ujar Thomas dengan nada prihatin.
Terkait kasus kelaparan di Kampung Jewa tersebut, LPMAK merencanakan untuk segera mengirim paket bantuan bahan kebutuhan pokok untuk membantu masyarakat yang mengalami krisis pangan.
Staf LPMAK, Petrus Mitakda mengatakan bantuan berupa beras, mie instan , minyak goreng dan lainnya akan segera dikirim ke Jewa menggunakan penerbangan helikopter dalam waktu satu dua hari ke depan.
"Paling lambat hari ini (Selasa, 13 Mei 2014) kami sudah distribusikan bantuan ke Jewa menggunakan dua kali penerbangan helikopter Airfast," jelas Petrus.
Sesuai laporan yang diterima LPMAK, sebanyak belasan kepala keluarga di Kampung Jewa, Aroanop mengalami krisis pangan dalam beberapa bulan terakhir.
Krisis pangan terjadi lantaran curah hujan yang sangat tinggi di Kampung Jewa sejak Januari. Kebun-kebun milik warga yang ditanami keladi dan berbagai jenis umbi-umbian dilaporkan mengalami longsor mengakibatkan warga kesulitan mendapatkan bahan kebutuhan pokok.
Warga setempat akhirnya mencari bantuan ke sejumlah kampung tetangga seperti Aroanop hingga ke Banti Tembagapura untuk bisa bertahan hidup dari kelaparan.
Tokoh masyarakat setempat, Yulius Miagonis mengakui kondisi krisis pangan yang terjadi di Jewa sudah berlangsung cukup lama sehingga membutuhkan adanya perhatian dari berbagai pihak termasuk PT Freeport Indonesia dan Pemkab Mimika.
"Berdasarkan informasi yang kami terima dari masyarakat, sejauh ini belum ada laporan ada warga yang sampai meninggal dunia karena kasus kelaparan di Jewa. Kami minta perhatian dari semua pihak terutama PT Freeport maupun Pemkab Mimika mengingat Kampung Jewa berada dalam wilayah Kabupaten Mimika," tutur Yulius. [Ant/L-8]
Selasa, 13 Mei 2014 | 10:07

[TIMIKA] Tokoh masyarakat Suku Amungme di Kabupaten Mimika, Papua, Thomas Wanmang menyatakan prihatin terjadinya kasus kelaparan atau krisis pangan di Kampung Jewa, Aroanop, Distrik Tembagapura yang sudah berlangsung beberapa bulan terakhir.
Thomas kepada Antara di Timika, Selasa (13/5), mengatakan, kasus kelaparan yang terjadi di Kampung Jewa semestinya tidak perlu terjadi jika Pemkab Mimika, PT Freeport Indonesia, Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) serius memperhatikan masyarakat.
"Ini situasi yang aneh, masa kita punya perusahaan tambang kelas dunia tapi rakyatnya mati kelaparan di atas kekayaan alam yang mereka miliki. Kami minta masalah ini harus secepatnya diatasi," kata Thomas.
Menurut dia, situasi yang terjadi di Kampung Jewa itu bisa jadi juga dialami masyarakat Papua di kampung-kampung pedalaman dan terpencil lainnya di Kabupaten Mimika mengingat selama ini masyarakat kurang mendapat sentuhan dan perhatian dari pemerintah daerah maupun pihak-pihak yang lain.
"Kalau di Jewa, Aroanop saja masyarakat bisa kelaparan, bagaimana di kampung-kampung lain yang jauh dari area perusahaan Freeport," ujar Thomas dengan nada prihatin.
Terkait kasus kelaparan di Kampung Jewa tersebut, LPMAK merencanakan untuk segera mengirim paket bantuan bahan kebutuhan pokok untuk membantu masyarakat yang mengalami krisis pangan.
Staf LPMAK, Petrus Mitakda mengatakan bantuan berupa beras, mie instan , minyak goreng dan lainnya akan segera dikirim ke Jewa menggunakan penerbangan helikopter dalam waktu satu dua hari ke depan.
"Paling lambat hari ini (Selasa, 13 Mei 2014) kami sudah distribusikan bantuan ke Jewa menggunakan dua kali penerbangan helikopter Airfast," jelas Petrus.
Sesuai laporan yang diterima LPMAK, sebanyak belasan kepala keluarga di Kampung Jewa, Aroanop mengalami krisis pangan dalam beberapa bulan terakhir.
Krisis pangan terjadi lantaran curah hujan yang sangat tinggi di Kampung Jewa sejak Januari. Kebun-kebun milik warga yang ditanami keladi dan berbagai jenis umbi-umbian dilaporkan mengalami longsor mengakibatkan warga kesulitan mendapatkan bahan kebutuhan pokok.
Warga setempat akhirnya mencari bantuan ke sejumlah kampung tetangga seperti Aroanop hingga ke Banti Tembagapura untuk bisa bertahan hidup dari kelaparan.
Tokoh masyarakat setempat, Yulius Miagonis mengakui kondisi krisis pangan yang terjadi di Jewa sudah berlangsung cukup lama sehingga membutuhkan adanya perhatian dari berbagai pihak termasuk PT Freeport Indonesia dan Pemkab Mimika.
"Berdasarkan informasi yang kami terima dari masyarakat, sejauh ini belum ada laporan ada warga yang sampai meninggal dunia karena kasus kelaparan di Jewa. Kami minta perhatian dari semua pihak terutama PT Freeport maupun Pemkab Mimika mengingat Kampung Jewa berada dalam wilayah Kabupaten Mimika," tutur Yulius. [Ant/L-8]
Tahun 2007-2013
Quote:
Kelaparan Di Tanah Papua
Rabu, 3 April 2013 | 1:40 WIB 1 Komentar | 2348 Views

Kabar memilukan kembali datang dari saudara-saudara kita di Papua. Sekitar 95 orang warga—sebagian besar anak-anak—di Distrik Kwoor Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, meninggal dunia akibat busung lapar dan wabah penyakit.
Wabah mengamuk di tiga kampung, yakni Baddei, Jokjoker dan Kasyefo. LSM Belantara Provinsi Papua Barat, yang sudah mengecek langsung kejadian itu di lapangan, menyatakan bahwa kematian akibat busung lapar dan wabah penyakit itu sudah terjadi sejak Oktober 2012 lalu.
Kejadian semacam itu bukan pertama kalinya di bumi Papua. Tahun 2009 lalu, kelaparan juga menyebabkan 113 orang rakyat Papua di Yahukimo meninggal dunia. Sebelumnya, pada tahun 2007, kelaparan juga merenggut nyawa 16 orang rakyat Papua di Kabupaten Paniai. Baru-baru ini, karena bencana banjir dan gagal panen, rakyat di Kabupaten Nduga juga terancam kelaparan.
Ironisnya, ketika rakyat di Papua sudah meregang nyawa, pejabat dari daerah hingga pusat sibuk mengeluarkan bantahan. Kementerian Kesehatan sendiri mengeluarkan bantahan resmi atas kejadian itu. “Tidak ada KLB (Kejadian Luar Biasa) dan kematian massal di sana, seperti yang telah dikabarkan sebelumnya,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenkes, Murti Utami, kepada Metro TV, Selasa (2/4).
Sementara Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Agung Laksono, masih meragukan kebenaran kabar tersebut. Menurutnya, kondisi cuaca yang tidak menentu di Papua sering menjadi biang munculnya berbagai penyakit. “Jadi bukan kronis tapi memang keadaan cuaca,” tegasnya.
Pernyataan kedua Kementerian terkait ini patut disesalkan. Kedua Kementerian itu tidak responsif dan tidak punya empati terhadap penderitaan rakyat. Seharusnya mereka segera terjun ke lapangan, bukan bersandar pada laporan anak buahnya di daerah. Maklum, sudah menjadi penyakit birokrasi di Indonesia: sebagian besar pelaporan disusun sesuai juklak “Asal Bapak Senang (ABS)”.
Kelaparan di Papua bukanlah faktor alam. Bagi kami, kejadian itu sepenuhnya disebabkan oleh kebijakan ekonomi-politik. Kekayaan sumber daya alam Papua melimpah ruah. Tidak ada yang menyangkal fakta tersebut. Sayang, karena praktek neokolonialisme, limpahan kekayaan alam itu tidak dinikmati oleh rakyat Papua.
Sejak 1967 hingga sekarang, PT Freeport telah mengeruk 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas dari bumi Papua. Kekayaan emas Papua merupakan penyumbang terbesar bagi keuntungan Freeport. Menurut catatan Indonesia Resources Studies, cadangan emas Papua mencapai 32,2 juta ons atau sekitar 961,046 kilogram. Sementara produksi tembaga di Papua mencapai 31,6 juta pon atau sekitar 54,3 miliar kilogram—ketiga terbesar setelah Amerika Selatan dan Amerika Utara.
Menurut catatan Human Right For Social Justice, keuntungan PT. Freeport di Papua per hari adalah sebesar 114 miliar rupiah. Artinya, dalam sebulan Freeport bisa mendapatkan keuntungan sebesar 589 juta dollar AS atau 3,534 triliun rupiah. Tak heran, berkat merampok Papua, Freeport menempati rangking 140 perusahaan terkaya di dunia.
Ladang gas tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, hanya dibagi-bagi oleh tiga perusahaan asing, yakni British Petroleum (BP/Inggris), CNOOC (China), dan Mitsubishi Corporation. Jutaan hektar tanah Papua juga sudah dibagi-bagi oleh perusahaan HTI, HPH, dan sawit.
Pada kenyataannya, sekalipun kekayaan alam Papua melimpah, sebagian besar rakyat Papua hidup miskin. Data Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2007 menyebutkan, Papua memiliki indeks kedalaman kemiskinan mencapai 10,56 dan indeks keparahan kemiskinan 5,01. Termasuk yang terburuk di Indonesia. Tak hanya itu, mayoritas rakyat Papua juga tidak bisa mengakses layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pangan, air bersih, perumahan dan lain-lain. Angka Partisipasi Sekolah di Papua termasuk terendah di Indonesia. Infrastruktur kesehatan di Papua juga masih sangat terbatas.
Inilah yang ironis: hampir seluruh kekayaan Papua mengalir keluar melalui kantong-kantong korporasi asing. Sementara cecerannya, berupa pajak dan royalti, sepenuhnya masuk ke kantong pemerintah pusat. Lebih ironis lagi, ketika rakyat Papua mempertanyakan ketidakadilan itu, mereka segera dituding “separatis” dan ditumpas dengan sangat kejam.
Kejadian di Distrik Kwoor Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, seharusnya membuka mata kita akan ketidakadilan yang terus berlangsung di tanah Papua. Sudah saatnya kita mempertanyakan eksploitasi kekayaan alam Papua yang hanya dinikmati oleh segelintir korporasi dan segelintir elit berkuasa di Jakarta.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/edito...#ixzz3gM8Hh0si
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Rabu, 3 April 2013 | 1:40 WIB 1 Komentar | 2348 Views

Kabar memilukan kembali datang dari saudara-saudara kita di Papua. Sekitar 95 orang warga—sebagian besar anak-anak—di Distrik Kwoor Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, meninggal dunia akibat busung lapar dan wabah penyakit.
Wabah mengamuk di tiga kampung, yakni Baddei, Jokjoker dan Kasyefo. LSM Belantara Provinsi Papua Barat, yang sudah mengecek langsung kejadian itu di lapangan, menyatakan bahwa kematian akibat busung lapar dan wabah penyakit itu sudah terjadi sejak Oktober 2012 lalu.
Kejadian semacam itu bukan pertama kalinya di bumi Papua. Tahun 2009 lalu, kelaparan juga menyebabkan 113 orang rakyat Papua di Yahukimo meninggal dunia. Sebelumnya, pada tahun 2007, kelaparan juga merenggut nyawa 16 orang rakyat Papua di Kabupaten Paniai. Baru-baru ini, karena bencana banjir dan gagal panen, rakyat di Kabupaten Nduga juga terancam kelaparan.
Ironisnya, ketika rakyat di Papua sudah meregang nyawa, pejabat dari daerah hingga pusat sibuk mengeluarkan bantahan. Kementerian Kesehatan sendiri mengeluarkan bantahan resmi atas kejadian itu. “Tidak ada KLB (Kejadian Luar Biasa) dan kematian massal di sana, seperti yang telah dikabarkan sebelumnya,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenkes, Murti Utami, kepada Metro TV, Selasa (2/4).
Sementara Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Agung Laksono, masih meragukan kebenaran kabar tersebut. Menurutnya, kondisi cuaca yang tidak menentu di Papua sering menjadi biang munculnya berbagai penyakit. “Jadi bukan kronis tapi memang keadaan cuaca,” tegasnya.
Pernyataan kedua Kementerian terkait ini patut disesalkan. Kedua Kementerian itu tidak responsif dan tidak punya empati terhadap penderitaan rakyat. Seharusnya mereka segera terjun ke lapangan, bukan bersandar pada laporan anak buahnya di daerah. Maklum, sudah menjadi penyakit birokrasi di Indonesia: sebagian besar pelaporan disusun sesuai juklak “Asal Bapak Senang (ABS)”.
Kelaparan di Papua bukanlah faktor alam. Bagi kami, kejadian itu sepenuhnya disebabkan oleh kebijakan ekonomi-politik. Kekayaan sumber daya alam Papua melimpah ruah. Tidak ada yang menyangkal fakta tersebut. Sayang, karena praktek neokolonialisme, limpahan kekayaan alam itu tidak dinikmati oleh rakyat Papua.
Sejak 1967 hingga sekarang, PT Freeport telah mengeruk 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas dari bumi Papua. Kekayaan emas Papua merupakan penyumbang terbesar bagi keuntungan Freeport. Menurut catatan Indonesia Resources Studies, cadangan emas Papua mencapai 32,2 juta ons atau sekitar 961,046 kilogram. Sementara produksi tembaga di Papua mencapai 31,6 juta pon atau sekitar 54,3 miliar kilogram—ketiga terbesar setelah Amerika Selatan dan Amerika Utara.
Menurut catatan Human Right For Social Justice, keuntungan PT. Freeport di Papua per hari adalah sebesar 114 miliar rupiah. Artinya, dalam sebulan Freeport bisa mendapatkan keuntungan sebesar 589 juta dollar AS atau 3,534 triliun rupiah. Tak heran, berkat merampok Papua, Freeport menempati rangking 140 perusahaan terkaya di dunia.
Ladang gas tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, hanya dibagi-bagi oleh tiga perusahaan asing, yakni British Petroleum (BP/Inggris), CNOOC (China), dan Mitsubishi Corporation. Jutaan hektar tanah Papua juga sudah dibagi-bagi oleh perusahaan HTI, HPH, dan sawit.
Pada kenyataannya, sekalipun kekayaan alam Papua melimpah, sebagian besar rakyat Papua hidup miskin. Data Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2007 menyebutkan, Papua memiliki indeks kedalaman kemiskinan mencapai 10,56 dan indeks keparahan kemiskinan 5,01. Termasuk yang terburuk di Indonesia. Tak hanya itu, mayoritas rakyat Papua juga tidak bisa mengakses layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pangan, air bersih, perumahan dan lain-lain. Angka Partisipasi Sekolah di Papua termasuk terendah di Indonesia. Infrastruktur kesehatan di Papua juga masih sangat terbatas.
Inilah yang ironis: hampir seluruh kekayaan Papua mengalir keluar melalui kantong-kantong korporasi asing. Sementara cecerannya, berupa pajak dan royalti, sepenuhnya masuk ke kantong pemerintah pusat. Lebih ironis lagi, ketika rakyat Papua mempertanyakan ketidakadilan itu, mereka segera dituding “separatis” dan ditumpas dengan sangat kejam.
Kejadian di Distrik Kwoor Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, seharusnya membuka mata kita akan ketidakadilan yang terus berlangsung di tanah Papua. Sudah saatnya kita mempertanyakan eksploitasi kekayaan alam Papua yang hanya dinikmati oleh segelintir korporasi dan segelintir elit berkuasa di Jakarta.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/edito...#ixzz3gM8Hh0si
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 7 suara
Orang Indonesia, tau ga sih anda sebelumnya kalo Papua lagi bencana kelaparan?
Tau, dong... dan gue peduli.
43%
Ga tau tapi setelah tau gue peduli.
29%
Tau tapi gue ga peduli.
14%
Ga tau dan ga pernah peduli juga...
14%
Diubah oleh pelita.kakidian 19-07-2015 23:36
0
4.7K
Kutip
21
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan