- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Aksi penyerangan terhadap umat Islam Tolikara: Siapa itu GIDI/Kingmi?


TS
pelita.kakidian
Aksi penyerangan terhadap umat Islam Tolikara: Siapa itu GIDI/Kingmi?
Quote:
Original Posted By comment TSSebelum mengambil kesimpulan prematur bahwa ini adalah konflik karena sentimen agama.Mari pahami dulu karakter masyarakat Papua saat ini itu seperti apa. Mereka merasa bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia karena kurang diperhatikan kesejahteraannya dari segala aspek.
Menurut TS aksi penyerangan oleh kelompok GIDI adalah bentuk primordialisme dan kecintaan rakyat Papua terhadap tanah mereka yang merasa di-anaktiri-kan oleh pemerintah, dimana pemerintah dirasakan lebih memperhatikan daerah-daerah lain, juga kasus-kasus pelanggaran HAM oleh militer terhadap rakyat Papua seperti gunung es dan tidak pernah diungkap pemerintah. Mereka menuntut untuk tanah Papua mereka MERDEKA tapi ditumpas. Akhirnya mereka menjadi intoleran dan sewenang-wenang terhadap warga pendatang, terhadap yang berbau Indonesia, terhadap yang tidak seiman bahkan terhadap yang seiman namun tidak sealiran dengan ideologi mereka.
Ingin diperhatikan seperti ACEH!
Saat ini TS merasa mereka berusaha mencari perhatian dari pemerintah yang baru dan dunia Internasional terlebih karena pernyataan pemerintah untuk melupakan segala kasus pelanggaran HAM oleh militer yang dianggap kurang ajar dan menyakiti hati rakyat Papua (sementara Desember tahun lalu 4 orang siswa ditembak mati di Paiai), namun sayangnya dengan cara yang tidak dapat dibenarkan.
Silahkan Kaskuser mengkaji informasi yang TS sajkan disini. Sekian dan terima kasih.
Menurut TS aksi penyerangan oleh kelompok GIDI adalah bentuk primordialisme dan kecintaan rakyat Papua terhadap tanah mereka yang merasa di-anaktiri-kan oleh pemerintah, dimana pemerintah dirasakan lebih memperhatikan daerah-daerah lain, juga kasus-kasus pelanggaran HAM oleh militer terhadap rakyat Papua seperti gunung es dan tidak pernah diungkap pemerintah. Mereka menuntut untuk tanah Papua mereka MERDEKA tapi ditumpas. Akhirnya mereka menjadi intoleran dan sewenang-wenang terhadap warga pendatang, terhadap yang berbau Indonesia, terhadap yang tidak seiman bahkan terhadap yang seiman namun tidak sealiran dengan ideologi mereka.
Ingin diperhatikan seperti ACEH!
Saat ini TS merasa mereka berusaha mencari perhatian dari pemerintah yang baru dan dunia Internasional terlebih karena pernyataan pemerintah untuk melupakan segala kasus pelanggaran HAM oleh militer yang dianggap kurang ajar dan menyakiti hati rakyat Papua (sementara Desember tahun lalu 4 orang siswa ditembak mati di Paiai), namun sayangnya dengan cara yang tidak dapat dibenarkan.
Silahkan Kaskuser mengkaji informasi yang TS sajkan disini. Sekian dan terima kasih.
Thread terkait: [Kasus Tolikara] Kapendam: Tidak Benar Masjid/Mushala Dibakar Warga
Quote:
Original Posted By Fakhrizal Leksa
Sebagai informasi tambahan, biar paham seperti apa agama lain juga banyak faksi2.
Termasuk faksi teroris, sama saja yg di Islam juga ada faksi teroris
smile emoticon
Jangan mau diprovokasi. Tracking isunya gampang kok.. Terlihat milestone arus politik dan tujuannya via media
Jd kalau ada pejabat, apalagi anggota DPR ikut memanasi suasana, tegur dan marahi saja dia sebagai teroris. Kalau perlu tangkap.



Sumur: https://www.facebook.com/fakhrizal/p...53141665313666
Sebagai informasi tambahan, biar paham seperti apa agama lain juga banyak faksi2.
Termasuk faksi teroris, sama saja yg di Islam juga ada faksi teroris
smile emoticon
Jangan mau diprovokasi. Tracking isunya gampang kok.. Terlihat milestone arus politik dan tujuannya via media
Jd kalau ada pejabat, apalagi anggota DPR ikut memanasi suasana, tegur dan marahi saja dia sebagai teroris. Kalau perlu tangkap.



Sumur: https://www.facebook.com/fakhrizal/p...53141665313666
Quote:
Original Posted By GIDI Tolikara intoleran terhadap denominasi gereja lainSelain itu, GIDI wilayah Toli juga melarang agama lain dan gereja denominasi lain untuk mendirikan tempat-tempat ibadah di kabupaten Tolikara. Selain pembakaran masjid, GIDI juga sudah menutup gereja Adven di Paido. Sehingga umat gereja Adven bergabung dengan GIDI.

Sumur: http://www.republika.co.id/berita/na...ed-di-tolikara

Sumur: http://www.republika.co.id/berita/na...ed-di-tolikara
Quote:
Original Posted By Aceh dan Papua MerdekaSabtu, 01 Februari 2014 02:59
GIDI Nyatakan Tolak Ancaman Hukuman Mati

JAYAPURA — President GIDI, Pdt. Dorman Wandikbo menegaskan pihaknya menolak ancaman hukuman mati yang akan diterapkan kepada para pelaku serangkaian aksi penembakan hingga dugaan pencurian delapan pucuk senjata di lokasi Jemaat GIDI Dodoboga, Kabupaten Puncak Jaya, Minggu (19/1).
Hal itu diungkapkannya kepada Bintang Papua di Sentani, Kamis (30/1). Ia menyatakan, GIDI menolak keras dan mengutuk bila pelaku penembakan diancam dihukuman mati, sebagaimana yang diungkapkan Wakapolda Papua sebelumnya. Katanya, persekutuan Gereja-gereja Papua telah menyerukan perlu ada Zona Damai, dimana tak boleh ada kekerasan dan tindakan-tindakan yang tak manusiawi.
“Di Papua tak boleh ada tembak mati, tapi perlu dibangun suatu pendekatan kemanusiaan,” tegas Pdt. Dorman.
Walaupun mereka melakukan hal tak manusiawi, tapi kepada manusianya itu perlu ada manusiawi,” tukas Pdt. Dorman.
Dikatakan, perlu dipahami bahwa perjuangan Papua Merdeka itu bukan teroris. Tapi mereka berbicara hak dasarnya yang selama ini belum terakomodir pemerintah pusat.
Ditambahkan, pihaknya percaya para pelaku masuk dan mengambil delapan pucuk senjata, jika mereka bukan manusia sebenarnya mereka mengambil senjata dan bunuh mereka habis. Tapi mereka tak bunuh manusianya, karena mereka punya hati nurani.
“Kecuali para pelaku mengambil delapan pucuk senjata dan melakukan aksi penembakan dan menewaskan delapan atau sepuluh orang, barulah Wakapolda menyampaikan pelakunya dihukum mati,” ungkap Pdt. Dorman.
Menurut Pdt. Dorman, pihaknya juga menyesalkan penyisiran yang dilakukan TNI/Polri di Kabupaten Puncak Jaya, karena persoalan Puncak Jaya bukan masalah baru. Tapi sudah terjadi puluhan tahun. Tokoh OPM di Tingginambut Goliat Tabuni dan lain-lain juga bukan masalah baru. Mengapa TNI/Polri tak ada strategi untuk bisa masuk mengamankan situasi.
Karena itu, ucap Pdt. Dorman, pihaknya menyerukan jika ada suatu peristiwa yang terjadi di daerah seperti di Puncak Jaya dan daerah-daerah yang berkonflik, maka TNI/Polri perlu menahan diri dan tak memberikan reaksi apapun. Tapi, terlebih dahulu membangun komunikasi dengan Pemda/DPRD setempat, tokoh gereja, tokoh adat.
“Jika delapan senjata diduga dicuri masyarakat, maka TNI/Polri bisa menyampaikan kepada Pemda/DPRD setempat, tokoh gereja, tokoh adat untuk diserahkan kembali,” tukas Pdt. Dorman. (Mdc/don/l03)
Sumur: [url]http://bintangpapua.com/~bintangp/index.php/lain-lain/k2-information/halaman-utama/item/12755-gidi-nyatakan-tolak-ancaman-hukuman-mati[/url]
GIDI Nyatakan Tolak Ancaman Hukuman Mati

JAYAPURA — President GIDI, Pdt. Dorman Wandikbo menegaskan pihaknya menolak ancaman hukuman mati yang akan diterapkan kepada para pelaku serangkaian aksi penembakan hingga dugaan pencurian delapan pucuk senjata di lokasi Jemaat GIDI Dodoboga, Kabupaten Puncak Jaya, Minggu (19/1).
Hal itu diungkapkannya kepada Bintang Papua di Sentani, Kamis (30/1). Ia menyatakan, GIDI menolak keras dan mengutuk bila pelaku penembakan diancam dihukuman mati, sebagaimana yang diungkapkan Wakapolda Papua sebelumnya. Katanya, persekutuan Gereja-gereja Papua telah menyerukan perlu ada Zona Damai, dimana tak boleh ada kekerasan dan tindakan-tindakan yang tak manusiawi.
“Di Papua tak boleh ada tembak mati, tapi perlu dibangun suatu pendekatan kemanusiaan,” tegas Pdt. Dorman.
Walaupun mereka melakukan hal tak manusiawi, tapi kepada manusianya itu perlu ada manusiawi,” tukas Pdt. Dorman.
Dikatakan, perlu dipahami bahwa perjuangan Papua Merdeka itu bukan teroris. Tapi mereka berbicara hak dasarnya yang selama ini belum terakomodir pemerintah pusat.
Ditambahkan, pihaknya percaya para pelaku masuk dan mengambil delapan pucuk senjata, jika mereka bukan manusia sebenarnya mereka mengambil senjata dan bunuh mereka habis. Tapi mereka tak bunuh manusianya, karena mereka punya hati nurani.
“Kecuali para pelaku mengambil delapan pucuk senjata dan melakukan aksi penembakan dan menewaskan delapan atau sepuluh orang, barulah Wakapolda menyampaikan pelakunya dihukum mati,” ungkap Pdt. Dorman.
Menurut Pdt. Dorman, pihaknya juga menyesalkan penyisiran yang dilakukan TNI/Polri di Kabupaten Puncak Jaya, karena persoalan Puncak Jaya bukan masalah baru. Tapi sudah terjadi puluhan tahun. Tokoh OPM di Tingginambut Goliat Tabuni dan lain-lain juga bukan masalah baru. Mengapa TNI/Polri tak ada strategi untuk bisa masuk mengamankan situasi.
Karena itu, ucap Pdt. Dorman, pihaknya menyerukan jika ada suatu peristiwa yang terjadi di daerah seperti di Puncak Jaya dan daerah-daerah yang berkonflik, maka TNI/Polri perlu menahan diri dan tak memberikan reaksi apapun. Tapi, terlebih dahulu membangun komunikasi dengan Pemda/DPRD setempat, tokoh gereja, tokoh adat.
“Jika delapan senjata diduga dicuri masyarakat, maka TNI/Polri bisa menyampaikan kepada Pemda/DPRD setempat, tokoh gereja, tokoh adat untuk diserahkan kembali,” tukas Pdt. Dorman. (Mdc/don/l03)
Sumur: [url]http://bintangpapua.com/~bintangp/index.php/lain-lain/k2-information/halaman-utama/item/12755-gidi-nyatakan-tolak-ancaman-hukuman-mati[/url]
Quote:
Jumat 03 Jul 2015, 17:08 WIB
Pendeta Benny Giay: Separatisme Adalah Nasionalisme Papua
PASTI LIBERTI MAPPAPA, KUSTIAH - detikNews

Jakarta- Selama kampanye pemilihan presiden 2014, Pendeta Benny Giay termasuk penyokong pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tapi, setelah pasangan itu terpilih, sikapnya berbalik. Ia seperti menjadi oposan dan menolak kehadiran Jokowi ke tanah Papua pada awal Mei lalu.
Penolakan itu antara lain dilandasi oleh kekecewaannya terhadap sikap sang presiden yang dianggap kurang serius menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di sana. Salah satunya adalah insiden penembakan empat siswa di Enarotali, Paniai, pada 8 Desember 2014. Benny meminta Presiden Jokowi membentuk tim investigasi independen, bukan cuma penyelidikan oleh polisi.
"Sudah kami sampaikan ke Presiden, harus Komnas HAM, bentuk KPP HAM (Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia) yang punya mandat bisa panggil TNI-Polri," kata Ketua Sinode Gereja-gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua ini sebelum menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di kantor Kontras, Jumat, 22 Mei 2015 lalu.
Benny berkeyakinan investigasi oleh kepolisian, apa pun hasilnya, tak akan pernah dipercayai masyarakat di sana. Sebab, mereka menganggap polisi sebagai salah satu sumber kekerasan di Papua.
Dalam kesempatan itu, Benny juga mengkritik kebijakan Presiden Jokowi yang memberikan grasi kepada lima tahanan di sana. Juga keputusan Presiden membebaskan jurnalis asing berkunjung dan meliput di Papua. Seperti apa paparannya, simak petikan perbincangannya berikut ini.
Dalam kunjungan kedua ke Papua awal Mei lalu, Presiden Jokowi memberikan grasi kepada lima tahanan....
Itu sebetulnya penuh paksaan oleh Istana. Kami tanggal 5 (Mei) kunjungi tapol-napol. Kami kaget di situ ada seorang perempuan bernama Judith. Katanya dia bawahan staf di lembaga Kepresidenan. Selama hampir satu jam dia bujuk tapol-napol untuk buat surat grasi, dan dijanjikan sesuatu. Dari lima orang itu tak semua bisa baca-tulis, ada satu yang kemudian mengaku menyesal (mengajukan grasi), dia mengaku ditipu.
Ini yang saya pikir rakyat Indonesia perlu dapat sedikit informasi. Tolong jangan ganggu orang dalam penjara lagi. Mereka akan menerima kalau amnesti, bebas tanpa syarat, kalau harus bikin surat, tidak mau sama sekali. Atas nama kemanusiaan, tolong Jakarta tidak usah ganggu mereka lagi. Sudah.
Presiden juga membuka akses ke jurnalis asing?
Itu juga masalah lagi, karena Kapolda bilang itu harus ikut prosedur. Jadi Presiden ini apakah ada komunikasi dengan anak buahnya, menteri-menteri dan lain-lain, ataukah Presiden dikasih biar jalan sendiri, menteri jalan sendiri.
Sejauh ini akses jurnalis ke sana bagaimana?
Kami berharap mungkin, kalau ada media asing, akan lebih bagus pergi untuk tes dulu. Apakah memang Presiden punya bahasa yang dilaksanakan di lapangan. Mungkin perlu ada wartawan asing yang perlu coba ke sana.
Aspirasi apa yang hendak disampaikan masyarakat Papua?
Terakhir itu ada penembakan terhadap empat orang siswa di Paniai pada siang hari, 8 Desember 2014. Masyarakat sudah minta, tolong ini diselesaikan. Tolong investigasi, tangkap pelakunya dan diproses. Pada Desember itu juga saya bertemu Presiden Jokowi dengan pimpinan gereja lain, saya sampaikan itu.
Saya bilang, “Bapak ini presiden hebat karena 80 persen orang Papua bisa memilih.” Tidak gampang selama ini. Artinya, sekurang-kurangnya Jokowi sudah merebut kepercayaan orang Papua. Itu tidak mudah. Saya sampaikan begitu.
Kami orang Papua menunggu kapan penyelesaian empat orang siswa kami yang dibunuh. Lalu Januari Presiden tunjuk Menko Politik, Hukum, dan Keamanan untuk investigasi kasus ini. Februari Menko Politik kasih tugaskan polisi untuk investigasi. Ah, tidak akan ada kepercayaan dari masyarakat kalau begitu.
Anda ingin ada tim investigasi khusus di luar polisi?
Sudah kami sampaikan ke Presiden, harus Komnas HAM, bentuk KPP HAM (Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia) yang punya mandat bisa panggil TNI-Polri. Kalau kemarin tanggal 9 atau 10 bilang Kapolda tolong pergi cek, bagaimana? Mereka ini kan pelaku.
Itu yang buat saya berpikir orang Papua ini di luar Indonesia. Orang Papua nonwarga negara Indonesia. Kami mengalami apa yang dinamakan secara sosial dikeluarkan. Bukan lagi di dalam, tapi di luar Indonesia. Itu ketidakadilan yang harus terus dilawan. Kalau memang Indonesia tidak bisa urus, kasih merdeka sendiri, to.
Sebagai tokoh gereja, menurut Anda, apa prioritas yang semestinya ditangani pemerintah di Papua?
Saya pikir kasus-kasus pelanggaran HAM inilah yang harus diselesaikan. Itu orang Papua mungkin akan percaya bahwa kita adalah bagian dari negara besar. Selama ini orang Papua merasa, (Jakarta) berdialog dengan Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) bisa, mengapa (dengan) kami tidak bisa.
Dulu Jusuf Kalla bikin (perdamaian) dengan Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), mengapa tidak bisa bikin dengan Papua. Sebaiknya kasus pelanggaran ini dituntaskan karena ini adalah rasa keadilan mereka sebagai warga negara. Ini yang harus diberikan dan dikembalikan. Sekarang ini tidak jalan.
Tapi Anda masih punya harapan kepada Presiden Jokowi?
Saya sampaikan sendiri (kepada) Jokowi, saya kasih kampanye agar orang ini terpilih, karena (Jokowi) orang hebat. Kita pikir dia akan menjadi presiden yang baik, tetapi setelah itu… he-he-he…. Sudahlah, kita tidak tahu bagaimana lagi, tapi kita harus tetap berbicara, berdinamika.
Papua menjadi isu internasional. Anda menjalin komunikasi dengan negara lain?
Tidak ada. Kami paling-paling datang ke sini (Jakarta) cari teman-teman jurnalis, cari ruang untuk menyuarakan dan komunikasi. Pernah Pangdam Cenderawasih datang ke kantor saya. Saya bilang, Pangdam ini orang nomor satu dalam bidang keamanan di tanah Papua. Saya untuk komunitas gereja juga nomor satu. Pangdam orang baik.
Semua orang baik ditaruh Tuhan di tempatnya untuk bersihkan sampah-sampah. Pangdam-pangdam sebelumnya sudah biarkan sampah-sampah ini. Kita punya tugas besar untuk bagaimana sampah-sampah ini dibersihkan satu demi satu. Itu yang saya bilang.
Anda pernah mengalami intimidasi?
Dua tahun ke bawah ada. Tetapi saya selalu coba untuk sedikit berhikmat supaya harus pergi pagi, sore sudah pulang. Jadi tidak kasih kesempatan.
Bentuk intimidasinya seperti apa?
Kalau HP saya pikir sudah disadap. Tiga-empat bulan terakhir saya didatangi Kopassus, Pangdam punya anak buah bawa ini-itu. Saya bilang, jangan bawa-bawa lagi. Sudah. Bawa Alkitab, saya bilang kami juga punya uang beli Alkitab. Bawa sembako.
Ada Kopassus sudah dua kali datang bawa undangan untuk kegiatan. Saya bilang itu tidak penting untuk saya. Jadi saya bilang begitu. Saya bilang lebih baik bikin surat terbuka agar kantor saya tidak didatangi orang seperti ini. Walaupun saya merasa bersalah betul, karena sebetulnya tidak boleh usir orang.
Kekerasan-kekerasan di luar yang terus terjadi ini selalu menyuburkan, kan di dalam diri kita manusia ada yang baik dan jahat. Berita tentang kekerasan ini selalu menumbuhkan yang negatif, itu kadang saya marah. Orang Papua terus-menerus terkondisikan untuk selalu berpikir yang jahat dan negatif, beli senjata. Saya sering bicara banyak, tidak boleh beli senjata, tidak boleh beli amunisi.
Jadi masih ada harapan untuk berdialog?
Kami harus berjuang. Kondisi-kondisi ini terus-menerus memaksa orang Papua menghindari kekerasan. Karena, kalau kita menggunakan kekerasan, itu menguntungkan mereka. Sebab, itulah yang mereka mau.
Dialog macam apa yang diinginkan?
Tadi ada diplomat asing datang ke diskusi di sini (Kontras), saya bilang, “Tolong paksa Indonesia untuk duduk bicara dengan orang Papua, bicara tentang separatisme.” Separatisme ini akar persoalannya. Ini lahir karena undang-undang yang tidak hadir.
Sama seperti saya bilang ke SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dulu, apa yang SBY bilang separatisme itu orang Papua bilang nasionalisme. Sama seperti Belanda menyebut pejuang Indonesia yang waktu itu mau merdeka.
Orang Belanda pikir mereka (para pejuang Indonesia) separatis, tapi apa yang bikin separatis? Karena Belanda yang bikin ketidakadilan. Kasih bunuh semua rakyat di bawah kan. Sukarno dan Hatta gila kalau tidak menyikapi ketidakadilan ini. Ini juga yang terjadi di Papua.
Jadi, kalau mau dialog, menurut saya, mari kita bicara separatis dulu. Karena ini yang selalu dipakai oleh (oknum aparat tertentu) untuk mencari uang, bikin operasi-operasi.
Separatis ini siapa yang bikin? Orang Papua? Tidak. Karena selama berpuluh tahun orang Papua dibunuh, tanahnya diambil. Orang Papua kemudian berpikir kami bukan bagian negara Indonesia, “Mari bikin negara sendiri.” Orang Papua bukan malaikat, mereka bisa marah. Yang orang Papua bikin ini, orang Jawa sudah lakukan saat berhadapan dengan Belanda.
Akhir April lalu, Kopassus mengundang para tokoh Aceh, Timor Leste, dan Papua ke Cijantung. Anda termasuk?
Orang paksa saya datang. Saya bilang siapa yang gila dengan ini hadiri Kopassus punya acara. Tidak penting buat saya.
Bukankah itu baik untuk menuju rekonsiliasi?
Bukan begitu. Kalau memang ada niat baik, ya dengan masyarakat di bawah. Kami ini tinggal tepuk tangan saja. Jangan ketemu kepalanya tapi di bawah main gunting, main gergaji. Itu yang saya pikir orang Indonesia sudah merdeka berpuluh tahun tapi tidak ada yang berpikir sedikit rasional. Bicara baik dengan pemimpinnya tapi di bawah bikin masalah, he-he-he….
***
Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 187, 29 Juni 2015).
Sumur: http://news.detik.com/wawancara/2959...onalisme-papua
Pendeta Benny Giay: Separatisme Adalah Nasionalisme Papua
PASTI LIBERTI MAPPAPA, KUSTIAH - detikNews

Jakarta- Selama kampanye pemilihan presiden 2014, Pendeta Benny Giay termasuk penyokong pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tapi, setelah pasangan itu terpilih, sikapnya berbalik. Ia seperti menjadi oposan dan menolak kehadiran Jokowi ke tanah Papua pada awal Mei lalu.
Penolakan itu antara lain dilandasi oleh kekecewaannya terhadap sikap sang presiden yang dianggap kurang serius menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di sana. Salah satunya adalah insiden penembakan empat siswa di Enarotali, Paniai, pada 8 Desember 2014. Benny meminta Presiden Jokowi membentuk tim investigasi independen, bukan cuma penyelidikan oleh polisi.
"Sudah kami sampaikan ke Presiden, harus Komnas HAM, bentuk KPP HAM (Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia) yang punya mandat bisa panggil TNI-Polri," kata Ketua Sinode Gereja-gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua ini sebelum menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di kantor Kontras, Jumat, 22 Mei 2015 lalu.
Benny berkeyakinan investigasi oleh kepolisian, apa pun hasilnya, tak akan pernah dipercayai masyarakat di sana. Sebab, mereka menganggap polisi sebagai salah satu sumber kekerasan di Papua.
Dalam kesempatan itu, Benny juga mengkritik kebijakan Presiden Jokowi yang memberikan grasi kepada lima tahanan di sana. Juga keputusan Presiden membebaskan jurnalis asing berkunjung dan meliput di Papua. Seperti apa paparannya, simak petikan perbincangannya berikut ini.
Dalam kunjungan kedua ke Papua awal Mei lalu, Presiden Jokowi memberikan grasi kepada lima tahanan....
Itu sebetulnya penuh paksaan oleh Istana. Kami tanggal 5 (Mei) kunjungi tapol-napol. Kami kaget di situ ada seorang perempuan bernama Judith. Katanya dia bawahan staf di lembaga Kepresidenan. Selama hampir satu jam dia bujuk tapol-napol untuk buat surat grasi, dan dijanjikan sesuatu. Dari lima orang itu tak semua bisa baca-tulis, ada satu yang kemudian mengaku menyesal (mengajukan grasi), dia mengaku ditipu.
Ini yang saya pikir rakyat Indonesia perlu dapat sedikit informasi. Tolong jangan ganggu orang dalam penjara lagi. Mereka akan menerima kalau amnesti, bebas tanpa syarat, kalau harus bikin surat, tidak mau sama sekali. Atas nama kemanusiaan, tolong Jakarta tidak usah ganggu mereka lagi. Sudah.
Presiden juga membuka akses ke jurnalis asing?
Itu juga masalah lagi, karena Kapolda bilang itu harus ikut prosedur. Jadi Presiden ini apakah ada komunikasi dengan anak buahnya, menteri-menteri dan lain-lain, ataukah Presiden dikasih biar jalan sendiri, menteri jalan sendiri.
Sejauh ini akses jurnalis ke sana bagaimana?
Kami berharap mungkin, kalau ada media asing, akan lebih bagus pergi untuk tes dulu. Apakah memang Presiden punya bahasa yang dilaksanakan di lapangan. Mungkin perlu ada wartawan asing yang perlu coba ke sana.
Aspirasi apa yang hendak disampaikan masyarakat Papua?
Terakhir itu ada penembakan terhadap empat orang siswa di Paniai pada siang hari, 8 Desember 2014. Masyarakat sudah minta, tolong ini diselesaikan. Tolong investigasi, tangkap pelakunya dan diproses. Pada Desember itu juga saya bertemu Presiden Jokowi dengan pimpinan gereja lain, saya sampaikan itu.
Saya bilang, “Bapak ini presiden hebat karena 80 persen orang Papua bisa memilih.” Tidak gampang selama ini. Artinya, sekurang-kurangnya Jokowi sudah merebut kepercayaan orang Papua. Itu tidak mudah. Saya sampaikan begitu.
Kami orang Papua menunggu kapan penyelesaian empat orang siswa kami yang dibunuh. Lalu Januari Presiden tunjuk Menko Politik, Hukum, dan Keamanan untuk investigasi kasus ini. Februari Menko Politik kasih tugaskan polisi untuk investigasi. Ah, tidak akan ada kepercayaan dari masyarakat kalau begitu.
Anda ingin ada tim investigasi khusus di luar polisi?
Sudah kami sampaikan ke Presiden, harus Komnas HAM, bentuk KPP HAM (Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia) yang punya mandat bisa panggil TNI-Polri. Kalau kemarin tanggal 9 atau 10 bilang Kapolda tolong pergi cek, bagaimana? Mereka ini kan pelaku.
Itu yang buat saya berpikir orang Papua ini di luar Indonesia. Orang Papua nonwarga negara Indonesia. Kami mengalami apa yang dinamakan secara sosial dikeluarkan. Bukan lagi di dalam, tapi di luar Indonesia. Itu ketidakadilan yang harus terus dilawan. Kalau memang Indonesia tidak bisa urus, kasih merdeka sendiri, to.
Sebagai tokoh gereja, menurut Anda, apa prioritas yang semestinya ditangani pemerintah di Papua?
Saya pikir kasus-kasus pelanggaran HAM inilah yang harus diselesaikan. Itu orang Papua mungkin akan percaya bahwa kita adalah bagian dari negara besar. Selama ini orang Papua merasa, (Jakarta) berdialog dengan Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) bisa, mengapa (dengan) kami tidak bisa.
Dulu Jusuf Kalla bikin (perdamaian) dengan Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), mengapa tidak bisa bikin dengan Papua. Sebaiknya kasus pelanggaran ini dituntaskan karena ini adalah rasa keadilan mereka sebagai warga negara. Ini yang harus diberikan dan dikembalikan. Sekarang ini tidak jalan.
Tapi Anda masih punya harapan kepada Presiden Jokowi?
Saya sampaikan sendiri (kepada) Jokowi, saya kasih kampanye agar orang ini terpilih, karena (Jokowi) orang hebat. Kita pikir dia akan menjadi presiden yang baik, tetapi setelah itu… he-he-he…. Sudahlah, kita tidak tahu bagaimana lagi, tapi kita harus tetap berbicara, berdinamika.
Papua menjadi isu internasional. Anda menjalin komunikasi dengan negara lain?
Tidak ada. Kami paling-paling datang ke sini (Jakarta) cari teman-teman jurnalis, cari ruang untuk menyuarakan dan komunikasi. Pernah Pangdam Cenderawasih datang ke kantor saya. Saya bilang, Pangdam ini orang nomor satu dalam bidang keamanan di tanah Papua. Saya untuk komunitas gereja juga nomor satu. Pangdam orang baik.
Semua orang baik ditaruh Tuhan di tempatnya untuk bersihkan sampah-sampah. Pangdam-pangdam sebelumnya sudah biarkan sampah-sampah ini. Kita punya tugas besar untuk bagaimana sampah-sampah ini dibersihkan satu demi satu. Itu yang saya bilang.
Anda pernah mengalami intimidasi?
Dua tahun ke bawah ada. Tetapi saya selalu coba untuk sedikit berhikmat supaya harus pergi pagi, sore sudah pulang. Jadi tidak kasih kesempatan.
Bentuk intimidasinya seperti apa?
Kalau HP saya pikir sudah disadap. Tiga-empat bulan terakhir saya didatangi Kopassus, Pangdam punya anak buah bawa ini-itu. Saya bilang, jangan bawa-bawa lagi. Sudah. Bawa Alkitab, saya bilang kami juga punya uang beli Alkitab. Bawa sembako.
Ada Kopassus sudah dua kali datang bawa undangan untuk kegiatan. Saya bilang itu tidak penting untuk saya. Jadi saya bilang begitu. Saya bilang lebih baik bikin surat terbuka agar kantor saya tidak didatangi orang seperti ini. Walaupun saya merasa bersalah betul, karena sebetulnya tidak boleh usir orang.
Kekerasan-kekerasan di luar yang terus terjadi ini selalu menyuburkan, kan di dalam diri kita manusia ada yang baik dan jahat. Berita tentang kekerasan ini selalu menumbuhkan yang negatif, itu kadang saya marah. Orang Papua terus-menerus terkondisikan untuk selalu berpikir yang jahat dan negatif, beli senjata. Saya sering bicara banyak, tidak boleh beli senjata, tidak boleh beli amunisi.
Jadi masih ada harapan untuk berdialog?
Kami harus berjuang. Kondisi-kondisi ini terus-menerus memaksa orang Papua menghindari kekerasan. Karena, kalau kita menggunakan kekerasan, itu menguntungkan mereka. Sebab, itulah yang mereka mau.
Dialog macam apa yang diinginkan?
Tadi ada diplomat asing datang ke diskusi di sini (Kontras), saya bilang, “Tolong paksa Indonesia untuk duduk bicara dengan orang Papua, bicara tentang separatisme.” Separatisme ini akar persoalannya. Ini lahir karena undang-undang yang tidak hadir.
Sama seperti saya bilang ke SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dulu, apa yang SBY bilang separatisme itu orang Papua bilang nasionalisme. Sama seperti Belanda menyebut pejuang Indonesia yang waktu itu mau merdeka.
Orang Belanda pikir mereka (para pejuang Indonesia) separatis, tapi apa yang bikin separatis? Karena Belanda yang bikin ketidakadilan. Kasih bunuh semua rakyat di bawah kan. Sukarno dan Hatta gila kalau tidak menyikapi ketidakadilan ini. Ini juga yang terjadi di Papua.
Jadi, kalau mau dialog, menurut saya, mari kita bicara separatis dulu. Karena ini yang selalu dipakai oleh (oknum aparat tertentu) untuk mencari uang, bikin operasi-operasi.
Separatis ini siapa yang bikin? Orang Papua? Tidak. Karena selama berpuluh tahun orang Papua dibunuh, tanahnya diambil. Orang Papua kemudian berpikir kami bukan bagian negara Indonesia, “Mari bikin negara sendiri.” Orang Papua bukan malaikat, mereka bisa marah. Yang orang Papua bikin ini, orang Jawa sudah lakukan saat berhadapan dengan Belanda.
Akhir April lalu, Kopassus mengundang para tokoh Aceh, Timor Leste, dan Papua ke Cijantung. Anda termasuk?
Orang paksa saya datang. Saya bilang siapa yang gila dengan ini hadiri Kopassus punya acara. Tidak penting buat saya.
Bukankah itu baik untuk menuju rekonsiliasi?
Bukan begitu. Kalau memang ada niat baik, ya dengan masyarakat di bawah. Kami ini tinggal tepuk tangan saja. Jangan ketemu kepalanya tapi di bawah main gunting, main gergaji. Itu yang saya pikir orang Indonesia sudah merdeka berpuluh tahun tapi tidak ada yang berpikir sedikit rasional. Bicara baik dengan pemimpinnya tapi di bawah bikin masalah, he-he-he….
***
Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 187, 29 Juni 2015).
Sumur: http://news.detik.com/wawancara/2959...onalisme-papua
Quote:
Benny Giay: Jokowi Kurang Ajar!
Benny Giay: Jokowi Kurang Ajar!
INAPOS Papua– Sejumlah aktivis Papua mengecam keras pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta semua pihak melupakan dugaan pelanggaran HAM di masa lalu di Papua.
“Itu (pernyataan yang) kurang ajar! Yang dilakukan Presiden Jokowi sekarang itu cuma menyentuh faktor akibat dari persoalan-persoalan Papua,” kata Benny Giay, ketua Sinode Gereja Kemah Injil Papua, kepada wartawan BBC Indonesia, Ging Ginanjar.
“Padahal yang seharusnya juga ditangani adalah faktor penyebabnya, yaitu (dugaan) kekerasan-kekerasan militer terhadap warga Papua selama ini… para pelaku harus dihukum. Pemerintah setidaknya meminta maaf kepada rakyat Papua,” tegas Benny.
Permintaan melupakan masa lalu dan menatap masa depan disampaikan Presiden Jokowi saat memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua yang terlibat kegiatan Organisasi Papua Merdeka (OPM), di penjara Abepura, hari Sabtu (09/05).
‘Pencitraan?’

Presiden Jokowi meminta semua pihak untuk ‘melupakan masa lalu dan membuka lembaran baru’ dalam masalah Papua.
“Sudah jangan mengungkit-ungkit masa lalu, (nanti) tidak akan ada rampungnya … jangan menyalah-nyalahkan yang dulu … kita ingin membuka lembaran yang baru,” kata Presiden Jokowi.
Beberapa pihak mengatakan para aktivis prokemerdekaan dijatuhi hukuman penjara dalam kurun yang lama karena menyampaikan pendapat mereka secara damai, menggelar unjuk rasa, atau mengibarkan bendera bintang kejora, simbol kemerdekaan Papua.
Saat ini jumlah tahanan politik di Papua sekitar 100, yang mendekam di penjara Papua dan Maluku.
Benny Giay secara khusus mempertanyakan pemberian amnesti atau grasi kepada tapol yang ia sebut sebagai pencitraan Presiden Jokowi sebelum melangsungkan lawatan ke Amerika Serikat. (BBC)
Sumur: http://inapos.com/benny-giay-jokowi-kurang-ajar/
Benny Giay: Jokowi Kurang Ajar!
INAPOS Papua– Sejumlah aktivis Papua mengecam keras pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta semua pihak melupakan dugaan pelanggaran HAM di masa lalu di Papua.
“Itu (pernyataan yang) kurang ajar! Yang dilakukan Presiden Jokowi sekarang itu cuma menyentuh faktor akibat dari persoalan-persoalan Papua,” kata Benny Giay, ketua Sinode Gereja Kemah Injil Papua, kepada wartawan BBC Indonesia, Ging Ginanjar.
“Padahal yang seharusnya juga ditangani adalah faktor penyebabnya, yaitu (dugaan) kekerasan-kekerasan militer terhadap warga Papua selama ini… para pelaku harus dihukum. Pemerintah setidaknya meminta maaf kepada rakyat Papua,” tegas Benny.
Permintaan melupakan masa lalu dan menatap masa depan disampaikan Presiden Jokowi saat memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua yang terlibat kegiatan Organisasi Papua Merdeka (OPM), di penjara Abepura, hari Sabtu (09/05).
‘Pencitraan?’

Presiden Jokowi meminta semua pihak untuk ‘melupakan masa lalu dan membuka lembaran baru’ dalam masalah Papua.
“Sudah jangan mengungkit-ungkit masa lalu, (nanti) tidak akan ada rampungnya … jangan menyalah-nyalahkan yang dulu … kita ingin membuka lembaran yang baru,” kata Presiden Jokowi.
Beberapa pihak mengatakan para aktivis prokemerdekaan dijatuhi hukuman penjara dalam kurun yang lama karena menyampaikan pendapat mereka secara damai, menggelar unjuk rasa, atau mengibarkan bendera bintang kejora, simbol kemerdekaan Papua.
Saat ini jumlah tahanan politik di Papua sekitar 100, yang mendekam di penjara Papua dan Maluku.
Benny Giay secara khusus mempertanyakan pemberian amnesti atau grasi kepada tapol yang ia sebut sebagai pencitraan Presiden Jokowi sebelum melangsungkan lawatan ke Amerika Serikat. (BBC)
Sumur: http://inapos.com/benny-giay-jokowi-kurang-ajar/
Diubah oleh pelita.kakidian 18-07-2015 23:23
0
37K
Kutip
260
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan