- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Awal Perkara Korupsi Pajak Bank BCA


TS
aditiakhadafi
Awal Perkara Korupsi Pajak Bank BCA
Kasus pajak Bank BCA sejatinya terjadi di tahun 2003, Pangkal perkara ini dimulai pada tahun 2002, saat itu lembaga yang Hadi Poernomo pimpin tengah memeriksa laporan pajak Bank BCA tahun 1999. Pada laporan tersebut disebutkan bahwa Bank BCA membukukan laba fiscal sebesar Rp 174 miliar. Namun Direktorat Jenderal Pajak menemukan temuan lain, keuntungan laba fiskal BCA pada 1999 mencapai Rp 6,78 triliun. Pembengkakan laba fiskal ini bersumber dari transaksi pengalihan aset kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) Bank BCA ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp 5,7 triliun. Penghapusan utang bermasalah Rp 5,7 triliun itu dianggap sebagai pemasukan bagi BCA.
Jika menurut penjelasan pihak Bank BCA, angka Rp 5,7 triliun itu adalah transaksi jual beli piutang BCA terhadap BPPN yang dikonversi menjadi saham BCA. Sebagai penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), BCA memiliki utang kepada negara. Di bawah pengelolaan BPPN, BCA membayar utangnya itu dengan saham. Dengan kata lain, bagi BCA angka Rp 5,7 triliun bukan non performing loan(NPL), sedangkan sebaliknya, bagi Ditjen Pajak, angka Rp 5,7 triliun itu adalah bentuk penghapusan utang, sehingga tetap dikenakan pajak sebesar Rp 375 miliar. Bagi Ditjen pajak, penghapusan utang tetap dikenakan pajak.
Oleh sebab itu pada 12 Juli 2003, BCA mengajukan keberatan ke Direktorat Pajak Penghasilan (PPH) atas pengenaan pajak sebesar Rp 375 miliar pada NPL (Non Performing Loan/kredit macet) sebesar Rp 5,7 triliun.
Oleh PPH, surat permohonan keberatan pajak dikaji selama kurang lebih satu tahun, 1 tahun kemudian, tepatnya pada 13 Maret 2004, Direktur PPh memberikan surat pengantar risalah keberatan ke Direktorat Jenderal Pajak yang berisi hasil telaah pengajuan keberatan pajak BCA itu. Adapun hasil telaah itu berupa kesimpulan bahwa permohonan wajib pajak BCA ditolak.
Namun anehnya oleh Direktorat Jenderal Pajak, risalah hasil telaah Direktur PPh tidak diindahkan Hadi selaku Dirjen Pajak saat itu. Sehari sebelum jatuh tempo kepada BCA pada 15 Juli 2004, Hadi memerintahkan Direktur PPh dalam nota dinas untuk mengubah kesimpulan, yakni agar menerima seluruh keberatan wajib pajak BCA.
Selaku Dirjen Pajak, Hadi mengabaikan adanya fakta materi keberatan wajib pajak yang sama antara BCA dan bank-bank lain. Selain BCA, juga ada bank lain yang punya permasalahan sama namun ditolak oleh Dirjen Pajak. Akan tetapi dalam permasalahan BCA, keberatannya diterima. Dengan keputusan Hadi, BCA diuntungkan Karena tidak perlu membayarkan pajaknya, namun Negara dirugikan.
sumber :
1. http://finance.detik.com/read/2007/0...saian-blbi-bca
2. http://news.liputan6.com/read/203993...sangka-korupsi
3. http://www.rmol.co/read/2014/10/18/1...-Dirjen-Pajak-
Jika menurut penjelasan pihak Bank BCA, angka Rp 5,7 triliun itu adalah transaksi jual beli piutang BCA terhadap BPPN yang dikonversi menjadi saham BCA. Sebagai penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), BCA memiliki utang kepada negara. Di bawah pengelolaan BPPN, BCA membayar utangnya itu dengan saham. Dengan kata lain, bagi BCA angka Rp 5,7 triliun bukan non performing loan(NPL), sedangkan sebaliknya, bagi Ditjen Pajak, angka Rp 5,7 triliun itu adalah bentuk penghapusan utang, sehingga tetap dikenakan pajak sebesar Rp 375 miliar. Bagi Ditjen pajak, penghapusan utang tetap dikenakan pajak.
Oleh sebab itu pada 12 Juli 2003, BCA mengajukan keberatan ke Direktorat Pajak Penghasilan (PPH) atas pengenaan pajak sebesar Rp 375 miliar pada NPL (Non Performing Loan/kredit macet) sebesar Rp 5,7 triliun.
Oleh PPH, surat permohonan keberatan pajak dikaji selama kurang lebih satu tahun, 1 tahun kemudian, tepatnya pada 13 Maret 2004, Direktur PPh memberikan surat pengantar risalah keberatan ke Direktorat Jenderal Pajak yang berisi hasil telaah pengajuan keberatan pajak BCA itu. Adapun hasil telaah itu berupa kesimpulan bahwa permohonan wajib pajak BCA ditolak.
Namun anehnya oleh Direktorat Jenderal Pajak, risalah hasil telaah Direktur PPh tidak diindahkan Hadi selaku Dirjen Pajak saat itu. Sehari sebelum jatuh tempo kepada BCA pada 15 Juli 2004, Hadi memerintahkan Direktur PPh dalam nota dinas untuk mengubah kesimpulan, yakni agar menerima seluruh keberatan wajib pajak BCA.
Selaku Dirjen Pajak, Hadi mengabaikan adanya fakta materi keberatan wajib pajak yang sama antara BCA dan bank-bank lain. Selain BCA, juga ada bank lain yang punya permasalahan sama namun ditolak oleh Dirjen Pajak. Akan tetapi dalam permasalahan BCA, keberatannya diterima. Dengan keputusan Hadi, BCA diuntungkan Karena tidak perlu membayarkan pajaknya, namun Negara dirugikan.
sumber :
1. http://finance.detik.com/read/2007/0...saian-blbi-bca
2. http://news.liputan6.com/read/203993...sangka-korupsi
3. http://www.rmol.co/read/2014/10/18/1...-Dirjen-Pajak-
Diubah oleh aditiakhadafi 13-07-2015 13:32
0
1.7K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan