- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Polisi Akui Gamang Tangani Kasus Penebaran Kebencian


TS
Arya323
Polisi Akui Gamang Tangani Kasus Penebaran Kebencian
Quote:
Polisi Akui Gamang Tangani Kasus Penebaran Kebencian
Jakarta - Kombes Pol John Hendri mengakui, anggota polisi sering gamang dalam menangani kasus penebaran maupun siar kebencian (hate speech). Sebab, perlindungan terhadap anggota polisi sendiri minim ketika menindaklanjuti kasus-kasus yang bukan delik aduan itu.
Hal itu diungkapkan John, mewakili Kadivkum Mabes Polri M Iriawan dalam acara diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) bertajuk Ujaran Kebencian dan Penegakan Hukum yang diselanggarakan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina, di Hotel Ambhara, Jakarta, Jumat (3/7).
Turut hadir dalam acara diskusi tersebut sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti LBH Jakarta, CSIS, Koalisi Kebebasan Beragama/Kepercayaan, dan imparsial.
John mengakui, kesan yang muncul dari kegamangan tersebut adalah adanya pembiaran oleh aparat polisi terhadap ancaman-ancaman kepada kelompok minoritas. Namun, bukan berarti polisi tidak pernah mengungkap kasus-kasus kekerasan dengan dasar kebencian terhadap etnis maupun agama tertentu.
"Polisi yang melihat, mendengar, dan mengalami sebenarnya bisa membuat laporan informasi sendiri tetapi dia takut karena tidak ada 'reward' dan jaminan keamanan untuk dirinya, jadi benar ada rasa gamang," kata John.
Dengan demikian, pihaknya berupaya merampungkan peraturan kapolri (Perkap) tentang penebaran kebencian untuk menjamin perlindungan terhadap anggota polisi untuk menangani kasus-kasus tersebut.
"Adanya perkap ini semoga mereka tidak lagi takut. Karena, kalau hanya berpegang pada ketentuan dalam perundang-undangan butuh laporan dari masyarakat juga. Namun, tidak mungkin ada tokoh agama yang menghasut jemaat dan jemaatnya melaporkan kepada polisi," ujarnya.
Dirinya memastikan dalam waktu dekat draf perkap yang dimaksud bakal rampung. Sebab, sekarang ini sedang dalam tahap harmonisasi dengan satuan-satuan yang ada di Kepolisian. Lanjutan pembahasan rencananya bakal digelar 7 Juli 2015.
Kaprodi Studi S3 STIK Polri, Kombes Pol Chrysnanda Dwi Laksana mengatakan, nyali anggota polisi perlu didorong untuk menangani kasus penebaran kebencian yang nantinya bisa mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas. Namun ia mengimbau masyarakat untuk tidak selalu menyudutkan polisi.
"Nyali polisi perlu didorong tetapi kalau dia terus-terusan disudutkan, dia jadi ketakutan," kata Chrysnanda.
Chrysnanda menilai, tanpa perkap, polisi sebenarnya dapat menindak atau mencegah penebaran kebencian asalkan polisi memiliki rasa peka dan kepedulian yang tinggi.
Anggota Kompolnas Adrianus Meliala mengeluhkan kinerja Polri dalam menyusun perkap yang berlaku untuk internal. Sebab, sudah setahun perkap tersebut diwacanakan namun belum terealisasi.
"Sudah setahun tetapi tidak jelas, padahal perkap ini penting ketimbang menyusun undang-undang yang proses pembahasannya jauh lebih panjang," kata Adrianus.
Adrianus mengakui, permasalahan dalam kasus penebaran bukan hanya terkait kultur atau pelakunya sebagai subjek yang sulit untuk diimbau tetapi niat dari Kepolisian sendiri yang sejauh ini masih minim dalam mencegah adanya kekerasan terhadap kelompok minoritas. "Bukan subjeknya yang tidak bisa diatur atau hukumnya yang tidak lengkap dan tidak jelas, tetapi polisinya juga," ujarnya.
Jakarta - Kombes Pol John Hendri mengakui, anggota polisi sering gamang dalam menangani kasus penebaran maupun siar kebencian (hate speech). Sebab, perlindungan terhadap anggota polisi sendiri minim ketika menindaklanjuti kasus-kasus yang bukan delik aduan itu.
Hal itu diungkapkan John, mewakili Kadivkum Mabes Polri M Iriawan dalam acara diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) bertajuk Ujaran Kebencian dan Penegakan Hukum yang diselanggarakan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina, di Hotel Ambhara, Jakarta, Jumat (3/7).
Turut hadir dalam acara diskusi tersebut sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti LBH Jakarta, CSIS, Koalisi Kebebasan Beragama/Kepercayaan, dan imparsial.
John mengakui, kesan yang muncul dari kegamangan tersebut adalah adanya pembiaran oleh aparat polisi terhadap ancaman-ancaman kepada kelompok minoritas. Namun, bukan berarti polisi tidak pernah mengungkap kasus-kasus kekerasan dengan dasar kebencian terhadap etnis maupun agama tertentu.
"Polisi yang melihat, mendengar, dan mengalami sebenarnya bisa membuat laporan informasi sendiri tetapi dia takut karena tidak ada 'reward' dan jaminan keamanan untuk dirinya, jadi benar ada rasa gamang," kata John.
Dengan demikian, pihaknya berupaya merampungkan peraturan kapolri (Perkap) tentang penebaran kebencian untuk menjamin perlindungan terhadap anggota polisi untuk menangani kasus-kasus tersebut.
"Adanya perkap ini semoga mereka tidak lagi takut. Karena, kalau hanya berpegang pada ketentuan dalam perundang-undangan butuh laporan dari masyarakat juga. Namun, tidak mungkin ada tokoh agama yang menghasut jemaat dan jemaatnya melaporkan kepada polisi," ujarnya.
Dirinya memastikan dalam waktu dekat draf perkap yang dimaksud bakal rampung. Sebab, sekarang ini sedang dalam tahap harmonisasi dengan satuan-satuan yang ada di Kepolisian. Lanjutan pembahasan rencananya bakal digelar 7 Juli 2015.
Kaprodi Studi S3 STIK Polri, Kombes Pol Chrysnanda Dwi Laksana mengatakan, nyali anggota polisi perlu didorong untuk menangani kasus penebaran kebencian yang nantinya bisa mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas. Namun ia mengimbau masyarakat untuk tidak selalu menyudutkan polisi.
"Nyali polisi perlu didorong tetapi kalau dia terus-terusan disudutkan, dia jadi ketakutan," kata Chrysnanda.
Chrysnanda menilai, tanpa perkap, polisi sebenarnya dapat menindak atau mencegah penebaran kebencian asalkan polisi memiliki rasa peka dan kepedulian yang tinggi.
Anggota Kompolnas Adrianus Meliala mengeluhkan kinerja Polri dalam menyusun perkap yang berlaku untuk internal. Sebab, sudah setahun perkap tersebut diwacanakan namun belum terealisasi.
"Sudah setahun tetapi tidak jelas, padahal perkap ini penting ketimbang menyusun undang-undang yang proses pembahasannya jauh lebih panjang," kata Adrianus.
Adrianus mengakui, permasalahan dalam kasus penebaran bukan hanya terkait kultur atau pelakunya sebagai subjek yang sulit untuk diimbau tetapi niat dari Kepolisian sendiri yang sejauh ini masih minim dalam mencegah adanya kekerasan terhadap kelompok minoritas. "Bukan subjeknya yang tidak bisa diatur atau hukumnya yang tidak lengkap dan tidak jelas, tetapi polisinya juga," ujarnya.
http://www.beritasatu.com/hukum/2881...kebencian.html
Kalau polisi takut, apa lagi warga biasa. Kapan Indonesia bisa maju kalau penegakan hukum takut oleh kriminal?
0
2.3K
Kutip
30
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan