- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Catatan Perjalanan OANC
Merbabu Via Chuntel - Selo 12-16 Juni 2015 : Sebuah Coret-coretan


TS
dul94
Merbabu Via Chuntel - Selo 12-16 Juni 2015 : Sebuah Coret-coretan

"maka raga tak boleh manja, demi jiwa tak terpenjara" - Vitorio M.
Quote:
"4 Hari, 3 Malam, Melewati 2 Jalur Pendakian, 1 Gunung, Berjuta Keindahan, Merbabu." - Aryo
Tulisan perjalanan : Vito ( temen ane gan
)
Foto perjalanan : Zaidan ( ane gan
)
Tulisan perjalanan : Vito ( temen ane gan

Foto perjalanan : Zaidan ( ane gan

Quote:
I. MEMORI

mengintip sindoro-sumbing
Aku rindu pada Merbabu. Tiga musim kemarau yang lalu, aku pernah menyambanginya kendati hanya menjadi kutu kaki. Ya, dulu aku pernah menyinggahi Kota Magelang, awal aku jatuh cinta pada gunung dan Merbabu adalah cinta pertamaku, selain adik-adiknya yang tak kalah anggun: Gunung Andong dan Telomoyo serta sungging senyum penghuni-penghuninya. Empat hari tiga malam yang kuhabiskan ketika itu ternyata menanam bibit-bibit rindu, pada Merbabu yang kuintip dan kukagumi secara diam-diam tanpa ia tahu.
Lepas ujian semester kuliahku di Depok, bibit rindu itu rupanya telah membuah. Bersama enam belas manusia sejawat, ide mencumbu Merbabu pun muncul. Namun bukan cinta namanya bila tanpa rintang; beberapa momen nyaris mengiris mimpi dan gebu langkah kaki yang begitu tak sabar menyapa Merbabu, mulai dari jadwal ujian yang tetiba bentrok sampai balada nasi rames Stasiun Pasar Senen. Beruntung, waktu masih mengizinkan Raden dan Eby untuk tiba di stasiun lima menit lebih awal dari keberangkatan KA Brantas dengan sekantong plastik penuh nasi bungkus. Kini tinggal izin Tuhan yang belum kami kantongi agar tiba di peraduan Merbabu sesuai perencanaan.

mengintip sindoro-sumbing
Aku rindu pada Merbabu. Tiga musim kemarau yang lalu, aku pernah menyambanginya kendati hanya menjadi kutu kaki. Ya, dulu aku pernah menyinggahi Kota Magelang, awal aku jatuh cinta pada gunung dan Merbabu adalah cinta pertamaku, selain adik-adiknya yang tak kalah anggun: Gunung Andong dan Telomoyo serta sungging senyum penghuni-penghuninya. Empat hari tiga malam yang kuhabiskan ketika itu ternyata menanam bibit-bibit rindu, pada Merbabu yang kuintip dan kukagumi secara diam-diam tanpa ia tahu.
Lepas ujian semester kuliahku di Depok, bibit rindu itu rupanya telah membuah. Bersama enam belas manusia sejawat, ide mencumbu Merbabu pun muncul. Namun bukan cinta namanya bila tanpa rintang; beberapa momen nyaris mengiris mimpi dan gebu langkah kaki yang begitu tak sabar menyapa Merbabu, mulai dari jadwal ujian yang tetiba bentrok sampai balada nasi rames Stasiun Pasar Senen. Beruntung, waktu masih mengizinkan Raden dan Eby untuk tiba di stasiun lima menit lebih awal dari keberangkatan KA Brantas dengan sekantong plastik penuh nasi bungkus. Kini tinggal izin Tuhan yang belum kami kantongi agar tiba di peraduan Merbabu sesuai perencanaan.

Polay Fisip UI
Quote:
Awalnya kami berencana singgah di Stasiun Jebres, Solo, sebelum memulai pendakian. Rencana tersebut urung, menyusul KA Brantas ternyata singgah di Stasiun Tawang, Semarang. Aku turun dari KA Brantas dengan wajah puas bercampur kusam; puas karena aku semakin dekat dengan kenangan masa lalu dan kusam karena KA Brantas gagal membuatku terbuai dalam lelap sepanjang perjalanan. Aku dan teman-teman bergegas menuju Mushala Stasiun Tawang, menyiapkan peralatan tidur dan mulai mencoba mengistirahatkan punggung dan mata di tengah gempuran nyamuk-nyamuk monster. Aku beruntung bisa tidur anteng, sedangkan beberapa teman justru sibuk berperang dengan pasukan nyamuk Semarang bahkan hingga kumandang adzan subuh.
Terbangun dari tidur nyenyak dalam sempitnya waktu, aku segera mencari warung. Aku merupakan pencinta damai pagi yang ditandai seruput minuman hangat. Beberapa waktu berlalu dan aku sadar harus bergegas; bus sebentar lagi tiba sementara tubuhku merengek minta mandi. Dengan kamar mandi alakadarnya, akhirnya aku mandi untuk terakhir kalinya sebelum bus tiba dan mengantarkan aku serta teman-teman menuju empat hari yang aku yakin akan sangat menguras waktu.
Terbangun dari tidur nyenyak dalam sempitnya waktu, aku segera mencari warung. Aku merupakan pencinta damai pagi yang ditandai seruput minuman hangat. Beberapa waktu berlalu dan aku sadar harus bergegas; bus sebentar lagi tiba sementara tubuhku merengek minta mandi. Dengan kamar mandi alakadarnya, akhirnya aku mandi untuk terakhir kalinya sebelum bus tiba dan mengantarkan aku serta teman-teman menuju empat hari yang aku yakin akan sangat menguras waktu.
Quote:
II. MALAM PERTAMA

Bus tiba lalu sontak suasana ricuh. Beberapa dari enam belas temanku belum siap betul, sementara bus kami tengah membuat macet jalan sekitar Stasiun Tawang. Lima menit berselang, aku dan teman-teman berhasil diangkut kemudian sibuk membereskan keril yang memenuhi bus. Kantuk tampak masih mengerat di mata teman-teman; jalanan yang sepi berpadu dengan embusan sejuk angin sisa semalam pun menjadi bius. Sementara itu, aku amat giat bernostalgia, menikmati tiap tamparan angin dan menangkap setiap memori melalui kedua mata. Merbabu adalah kenyataan yang paling kutunggu-tunggu.
Beberapa jam yang sunyi menjadi masa lalu, kami tiba di Kopeng beberapa saat tuk mengisi perut keroncongan serta membungkus bekal pendakian. Tiba-tiba Zaidan menciptakan peristiwa, “Dompet gua gak ada, gan!?” Cetusan tersebut sontak mengubah pagi yang tadinya tentram. Kira-kira butuh waktu sepuluh menit, hingga aku secara tak sengaja menemukan dompetnya di tas Pak Sopir, sekaligus menelanjangi sandiwara Pak Sopir dengan kernetnya. Hmm, ada-ada saja. Upacara makan pagi toh tetap berlangsung begitu saja, walaupun kekhusukannya terusik sedikit oleh kegelisahan kami yang belum buang air sejak kemarin.

Bus tiba lalu sontak suasana ricuh. Beberapa dari enam belas temanku belum siap betul, sementara bus kami tengah membuat macet jalan sekitar Stasiun Tawang. Lima menit berselang, aku dan teman-teman berhasil diangkut kemudian sibuk membereskan keril yang memenuhi bus. Kantuk tampak masih mengerat di mata teman-teman; jalanan yang sepi berpadu dengan embusan sejuk angin sisa semalam pun menjadi bius. Sementara itu, aku amat giat bernostalgia, menikmati tiap tamparan angin dan menangkap setiap memori melalui kedua mata. Merbabu adalah kenyataan yang paling kutunggu-tunggu.
Beberapa jam yang sunyi menjadi masa lalu, kami tiba di Kopeng beberapa saat tuk mengisi perut keroncongan serta membungkus bekal pendakian. Tiba-tiba Zaidan menciptakan peristiwa, “Dompet gua gak ada, gan!?” Cetusan tersebut sontak mengubah pagi yang tadinya tentram. Kira-kira butuh waktu sepuluh menit, hingga aku secara tak sengaja menemukan dompetnya di tas Pak Sopir, sekaligus menelanjangi sandiwara Pak Sopir dengan kernetnya. Hmm, ada-ada saja. Upacara makan pagi toh tetap berlangsung begitu saja, walaupun kekhusukannya terusik sedikit oleh kegelisahan kami yang belum buang air sejak kemarin.

jalur chuntel
Quote:
Merbabu dan adik-adiknya telah menunggu mematung di peraduannya masing-masing dan inilah saat yang paling kunanti. Nostalgia dan gebu-gebu adalah hal yang paling lumrah, saat bus yang kami tumpangi mulai membelah lembah menuju basecamp Cunthel, lokasi start pendakian kami pagi ini. Butuh waktu enam puluh menitan untuk mempersiapkan diri dan keril di basecamp, plus mengabadikan momen sebelum pendakian dimana wajah kami tampak semringah sekali – belum ada raut-raut letih. Oh ya, arti Cunthel itu sendiri yakni “pojok”, menggambarkan wilayah Cunthel yang paling dekat dengan tubuh Merbabu ketimbang tiga jalur pendakian lain (Thekelan, Wekas, dan Selo). Maka tak heran, cerah wajah sesaat sebelum mendaki adalah kemustahilan ketika aku dan teman-teman mulai melangkah bersama keril masing-masing

full team
Quote:
Bagaimana tidak, trek dengan kemiringan yang cukup aduhai tiba-tiba menyapa, seperti seorang tuan rumah yang mempersilakan tamunya masuk dan membiarkannya terperangah. Rencana “mendaki 15 menit istirahat 5 menit” berubah menjadi lelucon, hingga akhirnya tim berjumlah tujuh belas pasang kaki terbagi tiga: leader, tengah (aku lupa nama istilahnya), dan sweeper. Istilahnya cukup keren, ya.

Istirahat sejenak

Bawa kulkas

Quote:
Ini adalah pendakian pertamaku bersama Raden dan Abe, yang kebetulan berada di posisi depan. Letih sekali, pikir kami. Kami merasa telah menapak jauuuuuuuhhh dengan memaksa betis, paha, dan bokong untuk “kerja rodi”, tetapi pos satu dan dua saja belum terlewati, boro-boro pos empat (Puncak Pemancar), tempat kami berencana bermalam. Akan tetapi, Tuan Rumah Alam memang Maha Adil. Setiap perjuangan meletihkan yang dipertandakan oleh napas yang putus-putus pasti ditukar dengan “bonus” yang membayar lebih keringat-keringat yang tak sempat basah. Mulai dari cantik perdu dan pohon, dingin dan terik yang berpadu menyelimut, dan tentu saja permadani putih berbahan mega yang tak mungkin aku dapat dalam apitan beton-beton. Saat itu, warna hijau adalah warna yang paling akrab selain biru langit yang menuntun kami mengalami sendiri mahakarya Ilahi.

terus berjalan

Pemandangan sepanjang perjalanan
Quote:
Kami mulai terpencar akibat napas yang semakin sengal. Apalagi, bahan bakar tubuh berupa air putih tersimpan rapat di tumpukan bekal dalam keril. Aku tak mungkin mengobok-obok keril setiap lima menit; maka pemandangan mewujud bahan bakar alternatif yang dapat aku nikmati setiap rehat. Aku, yang begitu rindu pada Merbabu, memilih mengobok-obok saku celana selama mendaki dan melintasi bukit-bukit: mengambil dan menaruh handphone yang menjelma menjadi alat perekam momen.
Pos tiga rupanya benar-benar indah seketika kami menapakinya. Ia menyajikan hidangan-hidangan penambah tenaga: lautan kapas putih dan siluet Sumbing dan Sindoro yang tengah bertatapan di bawah restu matahari. Meskipun tanpa atap, aku dan teman-teman sejenak berjemur merebahkan tubuh, menikmati tiap desah sejuk napas bunga-bunga edelweiss. Menatap ke selatan, aku terkulai lagi. Mataku saja rasanya sulit menggapai menara pemancar yang menjadi tujuan kami, bagaimana dengan sepasang tungkai? Aku dan teman-teman masih harus menjejak jalan setapak yang semakin aduhai dalam naungan matahari yang menyengat tanpa penghalang.
Pos tiga rupanya benar-benar indah seketika kami menapakinya. Ia menyajikan hidangan-hidangan penambah tenaga: lautan kapas putih dan siluet Sumbing dan Sindoro yang tengah bertatapan di bawah restu matahari. Meskipun tanpa atap, aku dan teman-teman sejenak berjemur merebahkan tubuh, menikmati tiap desah sejuk napas bunga-bunga edelweiss. Menatap ke selatan, aku terkulai lagi. Mataku saja rasanya sulit menggapai menara pemancar yang menjadi tujuan kami, bagaimana dengan sepasang tungkai? Aku dan teman-teman masih harus menjejak jalan setapak yang semakin aduhai dalam naungan matahari yang menyengat tanpa penghalang.

jauhnya pos pemancar

View dari track pos 3 menuju pos pemancar

Quote:
Sepatu semakin berdebu dan medan semakin kering, kadang tiupan angin terlalu kencang menerbangkan debu-debu sisa letusan Merbabu yang entah berapa ratus tahun yang lalu. Aku dan teman-teman memaksakan diri menikmatinya, tak terkecuali dahaga yang tak pernah sisa. Aku mungkin ambi sekali; aku bertekad menjadi penjejak pertama puncak pemancar di antara teman-temanku. Sedikit tenaga menjadi modal awal, namun tekad itu sendiri yang berhasil menuntunku menyusul dua senior, Mas Bayu dan Bang Bin. Yay, aku berada di urutan pertama menjelang menara pemancar yang semakin tampak raksasa. Aku dan teman-teman berperang melawan rasa ngilu yang mulai mencengkeram betis dan bokong selain mencoba meredam sengal napas yang mengencang.
Tanah pos pemancar berhasil memperoleh jejak sepatuku sebelum pukul lima dan takjub adalah setangkup hadiah yang dititipkan alam. Kemudian aku bingung hendak menulis apa, sebab takjub tak berwujud. Ia adalah segumpal perasaan yang melupakan kedip mata dan rapat mulut. Aku tak pernah “muncak” sebelumnya, sedangkan Tuhan adalah pencipta yang gila. Aku merasa percuma memotret-motret, karena aku percaya hasil foto hari ini tak bisa mewakili apa yang alam sajikan di hadapan hidungku. Aku memandang dengan semua indra yang kupunya: aroma mistik lembah hijau, samudera mega-mega, kegagahan tebing dan selimut padang rumput, serta keanggunan cinta Sumbing pada Sindoro dan Andong pada Telomoyo.
Tanah pos pemancar berhasil memperoleh jejak sepatuku sebelum pukul lima dan takjub adalah setangkup hadiah yang dititipkan alam. Kemudian aku bingung hendak menulis apa, sebab takjub tak berwujud. Ia adalah segumpal perasaan yang melupakan kedip mata dan rapat mulut. Aku tak pernah “muncak” sebelumnya, sedangkan Tuhan adalah pencipta yang gila. Aku merasa percuma memotret-motret, karena aku percaya hasil foto hari ini tak bisa mewakili apa yang alam sajikan di hadapan hidungku. Aku memandang dengan semua indra yang kupunya: aroma mistik lembah hijau, samudera mega-mega, kegagahan tebing dan selimut padang rumput, serta keanggunan cinta Sumbing pada Sindoro dan Andong pada Telomoyo.

matahari terbenam bersama gemulainya angin yang berhembus

Indah, begitu indah..

Quote:
Satu jam lebih mempersiapkan tenda, empat-lima dari rombongan kami belum tiba jua padahal sore telah usai. Lantas, aku dan Raden ditugaskan menjemput. Berjalanlah kami menembus hawa dingin, menuruni batuan terjal, untuk menjemput teman-teman yang masih dalam perjalanan. Gelap, dingin, dan sedikit gelisah. Ternyata tubuh teman-teman yang masih dalam perjalanan memberontak, mogok, dan memaksa empunya beristirahat, salah satunya Abe. Aku dan Raden bergantian menggendong keril Abe lalu bergegas memanjat lagi, kali ini berbekal waspada. Sisi sebelah kanan adalah jurang, yang batasnya dibawa pergi oleh malam.

mulai berganti warna
Quote:
Aku dan teman-teman tak bosan menikmati setiap gelas minuman seduh yang dibagi-bagi, bercanda tawa di sekitaran tenda, dengan tangan dan tubuh berdansa; dansa getar-getar ala Merbabu. Malam pertamaku dengan Merbabu penuh kisah, sebab aku jejaka yang tak pernah mencumbui Merbabu dalam kamarnya yang terlalu dingin dan beratap kabut bimasakti. Bersamaan dengan itu, aku menyadari kalau kota bukan empu segalanya: ia tak punya semua ini. Ia hanya anak-anak alam yang angkuh, maka aku harus mengembara agar tak terpenjara, seperti hari itu. Usai bercumbu dengan kecantikan Merbabu yang tak pernah tua, aku dan teman-teman langsung merangkak ke dalam tenda, membungkus tubuh dalam kantong tidur, lalu pergi ke dimensi lain bernama mimpi tak lebih dari lima menit sesudahnya.
Quote:
III. MENJADI PENAKLUK

sunrise

Gunung Andong

Gunung Sindoro - Sumbing

Terhipnotis

Jiwa tubuh-tubuh pendaki tengah lelap dalam selimut malam yang berbintik gemintang, lalu kesadaranku dan teman-teman melupakan dingin angin lembah sampai siluet kemerahan berdiri dari balik cakrawala. Waktu itu lampu desa dan kota masih kerlip, persis seperti mata kami. Hanya mengenakan jaket windbreaker, aku beranjak dari tenda lalu segera menyantap sarapan pertama pagi ini: sunrise! Aku tak pernah menikmati keelokan pagi semanis ini: dataran di sebelah barat terlindungi cantik oleh bayangan Merbabu yang terlalu gagah, sedangkan lembah menguning akibat siluet pagi. Sungguh, aku hanya pernah mengalaminya lewat foto orang lain dan televisi. Pagi ini menegurku melalui realita kalau alam adalah raksasa berkharisma. Lagi, aku dan teman-teman mulai berdansa ala Merbabu dengan segelas cokelat dan susu seduh pada genggaman. Mengambil foto adalah kewajiban dan paksaan alam yang menyenangkan.

sunrise

Gunung Andong

Gunung Sindoro - Sumbing

Terhipnotis

Jiwa tubuh-tubuh pendaki tengah lelap dalam selimut malam yang berbintik gemintang, lalu kesadaranku dan teman-teman melupakan dingin angin lembah sampai siluet kemerahan berdiri dari balik cakrawala. Waktu itu lampu desa dan kota masih kerlip, persis seperti mata kami. Hanya mengenakan jaket windbreaker, aku beranjak dari tenda lalu segera menyantap sarapan pertama pagi ini: sunrise! Aku tak pernah menikmati keelokan pagi semanis ini: dataran di sebelah barat terlindungi cantik oleh bayangan Merbabu yang terlalu gagah, sedangkan lembah menguning akibat siluet pagi. Sungguh, aku hanya pernah mengalaminya lewat foto orang lain dan televisi. Pagi ini menegurku melalui realita kalau alam adalah raksasa berkharisma. Lagi, aku dan teman-teman mulai berdansa ala Merbabu dengan segelas cokelat dan susu seduh pada genggaman. Mengambil foto adalah kewajiban dan paksaan alam yang menyenangkan.



kewajiban
Quote:
Kemudian kami mempersiapkan menu sarapan: lagi-lagi sarden, sop, telur, dan nugget sebagai bahan bakar pertama sebelum muncak. Awalnya, kami berencana berangkat menuju Puncak Kentheng Songo pukul delapan pagi. Apa daya, nyawa kami terlalu kerasan menikmati panorama pos pemancar. Rencana pun molor dua jam-an.

suguhan perdana
Quote:
Pukul 10.30 kami melayangkan perpisahan pada pos pemancar dengan “tos” yang tolol. Semalam ada tragedi buang angin: perut kami berkontraksi dan alhasil tembak-tembakan angin menjadi perlombaan. Bahkan, angin tembakan Raden sanggup tembus dua tenda! Makanya, tos pagi ini menjadi tolol. Kami berkumpul di tengah, melayangkan tangan seraya melakukan tos, tetapi kata-kata yang terlontar “aneh-aneh”; ada yang teriak “belerang”, “kentut”, “UI”, yaaahh pokoknya sama sekali gak kompak.
Panorama selepas pos pemancar masih terlalu menggoda. Namun godaan tersebut seakan sirna pada saat aku mulai menanjak, menapaki batu demi batu aroma belerang setinggi hampir satu meter. Terbersit sediki-sedikit niatan untuk berhenti, tetapi Puncak Kentheng Songo telah menunggu sejak pagi. Maka terus memanjat menjadi pilihan yang paling tepat, sembari mengenyot-ngenyot madurasa dan gula merah sebagai suplemen tubuh lunglai.
Panorama selepas pos pemancar masih terlalu menggoda. Namun godaan tersebut seakan sirna pada saat aku mulai menanjak, menapaki batu demi batu aroma belerang setinggi hampir satu meter. Terbersit sediki-sedikit niatan untuk berhenti, tetapi Puncak Kentheng Songo telah menunggu sejak pagi. Maka terus memanjat menjadi pilihan yang paling tepat, sembari mengenyot-ngenyot madurasa dan gula merah sebagai suplemen tubuh lunglai.

pos pemancar dari jauh

Suguhan perjalanan
Quote:
Aku dan beberapa teman singgah di pertigaan macan. Ada dua jalur yang dapat ditempuh: mendaki membelah bukit & menguliti sisi kiri bukit melalui jalan setapak yang dibatasi jurang di sisi kiri. Mas Bayu yang sebelumnya sudah pernah bertamu ke Merbabu menuntun kami menguliti bukit. Lalu aku menggumam, kalau sisi kiriku bukan jurang tetapi lembah hijau yang ingin sekali aku tiduri. Menguliti sisi kiri bukit ternyata tak semencekam video-video di internet, bahkan jalur ini lebih aman dan pendek ketimbang membelah bukit. Tumben, cadangan tenaga kami masih cukup tersisa sebelum tebing terakhir mengadang dengan kekarnya. Yup, kami tiba di pemberhentian terakhir sebelum trek paling aduhai.
360 derajat tubuhku berputar, yang kusaksikan hanyalah kebisuan. Ukiran alam terpahat sempurna. Andai kota seperti ini, mungkin tak ada makhluk-makhluk kota yang mengidap penyakit mental. Tetapi aku berterima kasih juga pada kota yang telah memenjarakan jiwa, sehingga jiwa bisa se-mengembara ini. Aku dan teman-teman duduk termangu, bercanda tawa berniat mengecas tubuh sebelum menaklukkan tebing-tebing bertingkat yang menjaga Merapi dari penglihatan kami. Tapi yang terjadi, istirahat kami kelamaan… Tubuh terlanjur dingin dan malas untuk mendaki lagi, seakan sudah puas mengagumi Merbabu.
360 derajat tubuhku berputar, yang kusaksikan hanyalah kebisuan. Ukiran alam terpahat sempurna. Andai kota seperti ini, mungkin tak ada makhluk-makhluk kota yang mengidap penyakit mental. Tetapi aku berterima kasih juga pada kota yang telah memenjarakan jiwa, sehingga jiwa bisa se-mengembara ini. Aku dan teman-teman duduk termangu, bercanda tawa berniat mengecas tubuh sebelum menaklukkan tebing-tebing bertingkat yang menjaga Merapi dari penglihatan kami. Tapi yang terjadi, istirahat kami kelamaan… Tubuh terlanjur dingin dan malas untuk mendaki lagi, seakan sudah puas mengagumi Merbabu.


Melipir

istirahat kelamaan sebelum menuju Kenteng Songo
Quote:
Tebing-tebing menonjolkan otot-ototnya, sehingga manusia pendaki tak boleh kalah begitu saja. Aku menyeret langkah kaki dan kemudian sadar, bahwa kakiku tak bisa hanya diseret. Tebing terlalu kekar, pikirku. Maka, aku dan teman-teman mulai memanjat (benar-benar memanjat) dan sisi-sisi kami adalah dataran rendah yang jaraknya dengan mata kami cukup menggetarkan niat. Kami bukan menjelma penakluk tebing saat itu, tapi penakluk diri sendiri. Atas keberhasilan itu, Merbabu mengizinkan Puncak Kentheng Songo menjadi milik kami untuk sesaat sekaligus menelanjangi Merapi yang saat itu menutupi auratnya dengan pakaian awan. Aku senang sekali, menjadi tamu paling depan di antara rombongan teman-teman Depok yang bersua dengan empat cangkir raksasa di Kentheng Songo. Di ubun-ubun Merbabu itu, aku dan teman-teman seolah lupa pernah belajar berbicara.
Aku menjelajah dan menghampiri tiap sudut Kentheng Songo dengan menggenggam kamera. Foto beragam pose dan duduk-duduk menikmati setiap derajat panorama. Lalu rumput-rumput menjadi kasur instan, sebagai alas mencumbui alam sebebasnya. Aku tak mungkin kesini setiap hari.
Aku menjelajah dan menghampiri tiap sudut Kentheng Songo dengan menggenggam kamera. Foto beragam pose dan duduk-duduk menikmati setiap derajat panorama. Lalu rumput-rumput menjadi kasur instan, sebagai alas mencumbui alam sebebasnya. Aku tak mungkin kesini setiap hari.

full team di puncak tertinggi merbabu

Welfie dulu gans

Quote:
Menghadap sisi selatan, Merbabu memperlihatkan punggungnya yang aduhai: jalur Selo. Jalur Selo akan jadi jalur yang kami lalui selepas menghirup tentramnya Kentheng Songo. Padang sabana yang dulu hanya aku tahu dari buku-buku pelajaran, saat ini ada di hadapan. Oh ya, di Puncak Kentheng Songo, aku belajar menghafal nama-nama teman akrab Merbabu, mulai dari Merapi, sahabatnya; Sindoro-Sumbing, Prau, Andong, Telomoyo, Ungaran, sampai Lawu nun jauh di Madiun yang terpampang keningnya. Butuh waktu satu jam setidaknya, untuk mengumpulkan tak semua momen dan pesona Puncak Merbabu. Waktu tak mau berhenti dan menunggu sedetik pun, maka aku berpamitan pada Kentheng Songo lantas menghidupkan lagi kedua tungkai untuk menyusuri sabana Selo.

sabana selo

Quote:
Ternyata jalur turun tak sedamai yang hidup di pikiran. Meskipun tanpa jurang, tetapi trek licin berpasir tanpa rintang menjadi suguhan tersendiri. Gigi sepatuku tak begitu kuat menggigit medan, maka merosot menjadi pilihan paling bijak. Merbabu mengeluarkan aroma tubuhnya yang khas saat aku merosot, butiran pasir yang mengepul merasuki sela-sela pencium dan penglihat, sesekali menghambat perjalanan. Dari perjalanan turun, aku kerap menengadah. Terperangah, memandang jalur yang baru saja aku dan teman-teman lalui: terjal juga, ya. Sedangkan ubun-ubun Merbabu tampak tinggi sekali.

Merapi berdiri kokoh

Merapi berdiri kokoh
Diubah oleh dul94 21-06-2015 03:41
0
6.8K
Kutip
34
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan