- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ramadhan Toleran


TS
faisaleffendi
Ramadhan Toleran
Setelah tiga tahun, umat muslim di Tanah Air akhirnya kembali memulai Ramadan bersamaan. Pemerintah bersama dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, serta organisasi lain sepakat menapaki bulan suci 1436 H pada tahun ini.
Yang membesarkan hati, keseragaman itu tidak dipaksakan. Ia datang dari argumentasi yang kuat, apakah itu berdasarkab hisab ataupun rukyat. Keseragaman ataupun keberagaman yang hadir dengn pijakan argumentasi kuat haruslah kita hargai. Sebaliknya, keseragaman dan perbedaan yang dipaksakan haruslah kita tolak.
Karena kebersamaan mengawali Ramadan bukanlah keseragaman yang dipaksakan, tepatlah bila Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan hal itu merupakan berkah. Kebersamaan itu pula yang mestinya jadi cermin kita untuk berbangsa. Ketika golongan yang mayoritas itu makin bersatu, ia semestinya sudah bisa saling menguatkan dengan sendirinya, bukan lantas malah menjadi intoleran dengan umat yang berbeda.
Namun, sayang, kebersamaan kerap diwujudkan dalam wajah yang menyeramkan beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama. Salah satu wujudnya ialah tiap Ramadan mereka menyisir kegiatan atau usaha masyarakat yang dianggap tidak menghormati orang yang sedang berpuasa.
Di Jakarta, kita mengapresiasi komitmen Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Kepala Kepolisian Daerah DKI Jakarta Inspektur Jenderal Tito Karnavian untuk bertindak tegas terhadap para pelaku penyisiran. Peringatan itu pun sepatutnya ditaati siapa saja dan sepenuhnya.
Namun, tanpa peringatan itu pun semestinya masyarakat menunjukkan kedewasaan dan kematangan mereka. Pasalnya, sudah sejak zaman Nabi, toleransi dan kasih sayang telah diajarkan menjadi jati diri agama dan para penganutnya.
Mereka yang tidak toleran dan mempromosikan kekerasan sesungguhnya orang-orang yang tak mampu menahan diri. Padahal, mereka tahu, salah satu hakikat berpuasa pada Ramadan ialah menahan diri dari segala nafsu.
Kita merindukan Ramadan tanpa kekerasan dan ketakutan. Kita menginginkan Ramadan yang toleran dan penuh persaudaraan. Persaudaraan yang hakiki pula yang akan berdampak pada segala sektor kehidupan masyarakat, bukan saja dalam menjalankan ibadah ritual, melainkan juga dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Persaudaraan yang seperti itulah yang semestinya bisa jadi modal bangsa karena rakyat bersama bangkit dan saling menyejahterakan.
Akhirnya, meski kita merayakan keseragaman dalam memulai awal Ramadan, kita harus tetap menoleransi dan mencintai perbedaan dan keberagaman.
Bukankah perbedaan dan keberagaman ialah rahmat? Itu artinya yang terpenting ialah bagaimana melalui keseragaman dan keberagaman itu kita sanggup menghadirkan rahmat bagi semesta alam.
Yang membesarkan hati, keseragaman itu tidak dipaksakan. Ia datang dari argumentasi yang kuat, apakah itu berdasarkab hisab ataupun rukyat. Keseragaman ataupun keberagaman yang hadir dengn pijakan argumentasi kuat haruslah kita hargai. Sebaliknya, keseragaman dan perbedaan yang dipaksakan haruslah kita tolak.
Karena kebersamaan mengawali Ramadan bukanlah keseragaman yang dipaksakan, tepatlah bila Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan hal itu merupakan berkah. Kebersamaan itu pula yang mestinya jadi cermin kita untuk berbangsa. Ketika golongan yang mayoritas itu makin bersatu, ia semestinya sudah bisa saling menguatkan dengan sendirinya, bukan lantas malah menjadi intoleran dengan umat yang berbeda.
Namun, sayang, kebersamaan kerap diwujudkan dalam wajah yang menyeramkan beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama. Salah satu wujudnya ialah tiap Ramadan mereka menyisir kegiatan atau usaha masyarakat yang dianggap tidak menghormati orang yang sedang berpuasa.
Di Jakarta, kita mengapresiasi komitmen Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Kepala Kepolisian Daerah DKI Jakarta Inspektur Jenderal Tito Karnavian untuk bertindak tegas terhadap para pelaku penyisiran. Peringatan itu pun sepatutnya ditaati siapa saja dan sepenuhnya.
Namun, tanpa peringatan itu pun semestinya masyarakat menunjukkan kedewasaan dan kematangan mereka. Pasalnya, sudah sejak zaman Nabi, toleransi dan kasih sayang telah diajarkan menjadi jati diri agama dan para penganutnya.
Mereka yang tidak toleran dan mempromosikan kekerasan sesungguhnya orang-orang yang tak mampu menahan diri. Padahal, mereka tahu, salah satu hakikat berpuasa pada Ramadan ialah menahan diri dari segala nafsu.
Kita merindukan Ramadan tanpa kekerasan dan ketakutan. Kita menginginkan Ramadan yang toleran dan penuh persaudaraan. Persaudaraan yang hakiki pula yang akan berdampak pada segala sektor kehidupan masyarakat, bukan saja dalam menjalankan ibadah ritual, melainkan juga dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Persaudaraan yang seperti itulah yang semestinya bisa jadi modal bangsa karena rakyat bersama bangkit dan saling menyejahterakan.
Akhirnya, meski kita merayakan keseragaman dalam memulai awal Ramadan, kita harus tetap menoleransi dan mencintai perbedaan dan keberagaman.
Bukankah perbedaan dan keberagaman ialah rahmat? Itu artinya yang terpenting ialah bagaimana melalui keseragaman dan keberagaman itu kita sanggup menghadirkan rahmat bagi semesta alam.
0
954
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan