- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Anak Pertama dengan Anak Pertama atau Anak Terakhir dengan Anak Terakhir : Tidak Bole


TS
nauranida
Anak Pertama dengan Anak Pertama atau Anak Terakhir dengan Anak Terakhir : Tidak Bole









WARNING !
Spoiler for warning:
Ane sekedar share dimari...banyak agan" yg bilang kalo Hal itu hanya "mitos"....mungkin benar...
Tapi tidak ada salahnya untuk mengetahui hal seperti ini kan...???
Semua tergantung pribadi masing2ya gan
Masalah jodoh...Wallahu 'alam bish shawab...

Tapi tidak ada salahnya untuk mengetahui hal seperti ini kan...???

Semua tergantung pribadi masing2ya gan

Masalah jodoh...Wallahu 'alam bish shawab...

Hanya Tuhanlah yang Tahu 


Quote:
Ini dia satu lagi hal yang aku tentang yaitu sebuah adat dan kepercayaan bahwa pantang menikahkan anak pertama (mbarep) dengan anak pertama juga, Atau juga sebaliknya anak terakhir (bungsu) tidak boleh menikah dengan anak bungsu juga. Mungkin bagi sebagian orang hal ini ekstrim dan tidak menghargai adat istiadat, tetapi silahkan dibaca dengan lengkap tulisan ini, Anda akan mengerti dan berubah pikiran.
Dalam adat sebagaian orang jawa dan mungkin juga suku lain, ada sebuah adat yang melarang bahwa seorang anak pertama tidak boleh menikah dengan yang sama-sama anak pertama. Anak pertama paling cocok menikah dengan anak bungsu. Atau kalau tidak, anak kedua dan seterusnya, yang penting jangan sampai sulung dengan sulung atau mbarep dengan mbarep. Demikian juga untuk anak terakhir tidak boleh dengan anak terakhir atau bontot dengan bontot atau ragil dengan ragil.
Adat ini telah mendarah daging bagi banyak orang. Dan seperti sudah menjadi keharusan untuk dilaksanakan dan diterapkan pada keluarganya, jika tidak maka mereka yang percaya meyakini jika dilanggar akan terjadi bencana, pernikahan tidak bahagia, dan hal-hal jelek lainnya.
Mari kita bahas tentang asal muasal larangan ini !
Dari hasil bertanya, berdebat dan survey yang aku lakukan, adat yang berupa larangan ini sebenarnya memiliki maksud yang baik, yaitu dalam rangka mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia. Dasar penilaiannya adalah dari faktor psikologi anak yang akan menikah tersebut. Yaitu :
Anak pertama atau anak sulung atau anak mbarep memiliki kecenderungan sifat psikologi :
-Memimpin dan melindungi
-Memiliki keputusan sendiri
-Mandiri dan merasa bisa sendiri tanpa orang lain
-Suka mengatur dan tidak mau diatur
-Tidak mudah menerima pendapat orang lain.
Anak terakhir atau anal bontot atau anak ragil memiliki kecenderungan sifat psikologi :
-Manja dan suka ketergantungan kepada kakak atau orang tua
-Cenderung penurut pada kakak dan orang tuanya
Nah coba bayangkan jika anak pertama ketemu dengan anak pertama !
Hasilnya adalah cenderung mereka akan selalu bertengkar, kekeh pada pendapat dan pikiran sendiri, susah untuk mengerti satu sama lain. Inilah yang dikhawatirkan oleh orang jawa atau suku lain terhadap pernikahan antara anak pertama dengan anak pertama
Kemudian bayangkan jika anak terakhir menikah dengan anak terakhir !
Hasilnya adalah keluarga yang tidak mandiri, masih menggantungkan pada orang tua atau saudara. Kepala keluarga yang tidak tegas, hal ini tentunya tidak baik bagi masa depan keluarga nantinya.
Dan kemudian bayangkan jika anak pertama menikah dengan anak terakhir !
Inilah kondisi ideal yang diharapkan atau dicari oleh orang jawa dalam mencarikan atau menyetujui jodoh untuk anaknya. Kedua kecenderungan psikologi akan saling melengkapi. Apa lagi kalau yang anak pertama adalah laki-lakinya, yang anak terakhir adalah wanitanya. Cocok sekali untuk menjadi suami istri.
Tetapi apakah itu betul ? mari kita lihat dari tinjauan agama !
Inilah dasar pemikiranku yang menentang adat itu yang dulu pernah aku disuruh untuk menaatinya. Bagaimana islam memberikan solusi pencapaian sebuah keluarga yang bahagia tanpa memandang latar belakang yang menikah itu anak nomor berapa.
Lha terus apakah adat itu salah ? kan tujuannya baik yaitu dalam rangka mewujudkan keluarga yang bahagia !
Ada tiga kesalahan yang ada dalam adat ini jika diterapkan dan dijadikan pedoman hidup yaitu :
Tidak mengadopsi kondisi jika yang mau menikah adanya cuma anak pertama dengan anak pertama atau tinggal anak terakhir dengan anak terakhir.
Di suatu daerah jangakauan sudah tidak ada lagi calon yang memenuhi adat ini, maka bisa-bisa nggak jadi menikah sampe tua. Bukankah ini sebuah pelanggaran baik dari sisi kemanusiaan maupun sisi kemasyarakatan. Artinya ada kondisi adat membelenggu seseorang sehingga tidak jadi menikah.
Belum lagi masalah cinta. Apa bila menikahkan seseorang tidak berlandaskan cinta, maka ini sudah pasti kelihatan dari awal bahwa keluarga yang terbentuk tidak bahagia. Bagaimana seorang suami akan sayang kepada istrinya dalam kondisi tidak cinta atau sebaliknya. Demikian juga untuk cinta yang tidak kesampaian. Seseorang lelaki yang sudah terlanjur cinta pada seorang gadis atau sebaliknya, ketika ternyata yang menjadi istrinya adalah orang yang tidak dicintai, maka kasus yang sering terjadi adalah perselingkuhan.
Penilaian hanya didasarkan pada keumuman kecenderungan psikologi.
Memang benar anak pertama cenderung keras sifatnya dan akan terakhir cenderung manja. Tetapi bagaimana jika yang terjadi adalah kondisi keluarga yang menjadikan anak-anaknya manja semua. Walaupun anak pertama bisa saja manja karena dari kecil didampingi oleh pengasuh, apapun dipenuhi dan dituruti sehingga tak ubahnya seperti anak terakhir. Atau anak terakhir menjadi lebih dewasa karena pola asuh orang tuanya.
Mendahuli Ketetapan Tuhan dan menjadi percaya ada sesuatu yang bisa menandingi kuasa Tuhan
Yaitu seperti sudah mengetahui dan memastikan apa yang akan terjadi esok waktu yaitu bencana dan ketidak bahagiaan sebuah rumah tangga yang jika melanggar adat ini. Bukankah hari esok hanya Tuhan yang tau. Disamping itu dengan mempercayai akibat dari pelanggaran adat ini adalah sama saja percaya bahwa pelanggaran ini bisa meimbulkan perkara yang menjadi urusan Tuhan. Artinya percaya ada kekuatan yang sama-sama bisa melakukan sesuatu sebagai mana Tuhan berkehendak walaupun sebagian hal saja, yaitu dalam urusan menentukan kebahagiaan, becana dan nasib sebuah rumah tangga.
Secara akal sehatpun mempercayai adanya tandingan Tuhan dalam menentukan perkara kehidupan adalah sama saja percaya bahwa Tuhan itu lemah dan bisa diintervensi. Bukankah ini sebuah hal yang sangat berdosa.
Lalu bagaimana prinsip yang paling memenuhi untuk dijadikan pedoman dalam mengambil jalan menuju pernikahan baik oleh orang tua mapupun oleh calon yang mau menuju jenjang pernikahan ?
Bahwa prinsip hidup yang baik adalah yang bisa menjangaku seluruh sisi kondisi kehidupan tanpa kecuali. Apapun kondisinya, prinsip hidup yang bagus dan baik tidak ada kelebihan yang menimbulkan kekurangan atau masalah di lain hari. Semua akan baik-baik saja jika prinsip itu dijalankan.
Ada satu hal yang bisa menjawab hal bahwa apapun kondisinya pernikahan itu akan bahagia yaitu niat “bahwa pernikahan adalah ibadah”. Untuk mencapai niat seperti ini tentunya orang tersebut sudah memiliki bekal ilmu agama yang cukup sehingga sudah bisa menempatkan posisi dirinya ketika hidup dan bermuamalah dengan orang lain.
Dalam agama kita, Nabi s.a.w telah memberitahukan bahwa jika pernikahan itu dibangun bukan atas dasar niat agama (ibadah) maka pernikahan itu tidak akan bahagia. Karena pedoman hidup yang paling sempurna adalah agama. Mungkin aku bukan orang pandai menyampaikan hal-hal keagamaan, tetapi aku percaya bahwa yang diajarkan oleh agama itu bisa menjawab seluruh sisi kehidupan.
Tetapi sayangnya yang terjadi adalah orang lebih cenderung untuk menjalankan agama separo-separo dan masih mencampurkan dengan adat dan nafsu yang seringnya adat dan nafsu ini bertentangan dengan ajaran agama.[
SUMBER
Spoiler for finally:
Sory kalo
ane tapi jangan 
kasih ane
kagak nolak gan


kasih ane

Diubah oleh nauranida 01-11-2013 10:53
0
79.1K
Kutip
46
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan