Quote:
Jakarta, GATRAnews - Undang Undang Sumber Daya Air telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan dicabutnya UU tersebut, pemerintah mengeluarkan surat edaran agar industri pengolahan dan pemanfaatan air masih bisa beroperasi. Saat ini, pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) menggantikan UU Nomor 7 Tahun 2004.
Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim), Triyono Prijosoesilo mengomentari RPP yang telah diajukan kepada Kementerian Hukum dan HAM tersebut berdampak negatif terhadap industri minuman ringan di Indonesia.
RPP tersebut dinilai menghalangi investasi asing di sektor air minum. Padahal, porsi investasi asing sudah masuk sejak lama dan nilainya sangat besar. "Kami khawatir bagaimana kelangsungan hidup usaha minuman ringan. Industrinya sudah berjalan lama dan mempekerjakan banyak orang," kata Triyono saat dijumpai dalam konferensi pers di Gedung Permata Kuningan, Kamis (18/6). "Porsi asing dan dalam negeri ekual. Asing itu seperti Aqua dan Coca-Cola. Kalau dalam negeri seperti Sosro, lalu ada juga yang di daerah seperti Medan punya Badak," jelas Triyono.
Triyono juga mengatakan dampak dari kekosongan payung hukum saat ini berdampak terhadap lemahnya landasan hukum kegiatan industri saat ini. "Sekarang industri berjalan apa adanya, hanya ada SE yang terkait perizinan dalam menggunakan air tanah dan air permukaan. Pembatalan ini menimbulkan keragu-raguan di tingkat Pemda, yang menahan pengajuan perpanjangan usaha," kata Triyono.
sumber
tambahan berita
Quote:
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah agar ada sinergitas dengan swasta terkait penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sumber Daya Air (RPP SDA) dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Penyediaan Air Minum (RPP SPAM). Sebab, dalam draf RPP tersebut banyak yang hal yang tidak singkron.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, pihak swasta daan pemerintah diharapkan bisa menemukan titik keseimbangan dalam penyelenggaraan sumber daya air oleh negara melalui BUMN/BUMD. Selain itu, pihak swasta juga perlu dilibatkan guna menjamin ketersediaan air bagi masyarakat dan kegiatan usaha di Indonesia.
"Merupakan hal bijak bagi pemerintah untuk dapat melakukan konsultasi dan mendapatkan masukan dari pelaku usaha dama penyusunan dua RPP tersebut," ujar Hariyadi dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/6).
Hariyadi mengatakan, investasi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air di Indonesia dalam kurun waktu 2015-2019 diproyeksikan mencapai Rp 274,8 triliun. Sementara, kemampuan pendanaan yang disediakan oleh APBN untuk periode tersebut hanya sekitar Rp 89 triliun.
Dengan demikian, menurut Hariyadi, Indonesia membutuhkan pendanaan yang lebih dalam menjamin ketersediaan air bagi masyarakat.
"Untuk itu, keterlibatan swasta diperlukan, salah satunya dengan memanfaatkan keahlian dan infrastruktur yang dimiliki oleh sektor swasta," kata Hariyadi.
Hariyadi menjelaskan, kedua rancangan peraturan tersebut akan diposisikan sebagai aturan pelaksanaan dari ketentuan UU 11/1974 yang dinilai sudah tidak relevan lagi dalam menjawab tantangan pengusahaan sumber daya air pada masa sekarang.
Secara teknis, RPP SDA pada prinsipnya mengarur mengenai pola penyelenggaraan pengusahaan sumber daya air dari aspek hulu. Sedangkan RPP SPAM mencakup ketentuan mengenai sistem penyediaan air minum kepada masyarakat.
Hariyadi menjelaskan, jika RPP SDA tetap diundangkan seperti saat ini maka akan memberikan sentimen negatif terhadap perkembangan perekonomian nasional. RPP SDA tersebut melakukan diskriminasi dengan menutup kesempatan bagi investor asing, agar dapat memperoleh izin pengusahaan sumber daya air guna menunjang kegiatan usahanya.
Hal ini sudah mulai terlihat dari sejumlah investor asing yang mulai ragu untuk menanamkan investasinya di Indonesia. "Contohnya Coca Cola udah investasi 500 juta dolar AS dan dengan adanya kabar tersebut mereka jadi khawatir, pemerintah harus memikirkan multiplier effect yang terjadi akibat RPP tersebut," kata Hariyadi.
Hariyadi berharap ada kesiapan negara untuk mempersiapkan BUMN/BUMD yang memiliki kapasitas setara dengan kemampuan sektor privat. Dengan demikian RPP SDA dan RPP SPAM dapat segera disahkan dengan melibatkan sektor privat demi mengisi kekosongan hukum terkait pengusahaan sumber daya air di Indonesia.
Beberapa bulan lalu MK mengetok palu bahwa UU Sumber Daya Air dikembalikan ke UU lama yg tidak mengakomodasi keterlibatan swasta dalam pengelolaan air.
Parahnya lagi oleh pemerintah diikutin blek bikin peraturan yg tidak mengakomodasi swasta (nasionalisme sempit) diserahkan ke BUMN atau BUMD.
Pertanyaannya sekarang " Sudah Siapkah BUMN dan BUMD kita mengelola seluruh sumber daya air di tanah air?"
kalau yg ane baca-baca kalau semua diserahkan ke pemerintah paling maksimal bisa dikelola cuma 20% dari total seluruh sumber daya air.
kalau udah begitu masyarakat bakal kena 3 dampak negatif dari dicabutnya UU ini,
1. Kelangkaan Air bersih untuk minum
2. Matinya Industri makanan dan minumam karena mereka mesti minta air dari BUMN atau BUMD (tau sendiri BUMN dan BUMD di Indonesia itu rata-rata bobrok)
3. PHK di Industri Mamin
tambahan lagi, di BP ini kan banyak yg curiga sama pemerintah
apa gak curiga kalau semua pengelolaan air dimainin pemerintah?
Kenapa hal-hal seperti itu tidak dikaji dulu oleh MK sebagai pembuat keputusan?
atau mungkin itu bukan domainnya MK?
dan terakhir untuk pemerintah, sebaiknya buatlah aturan yang mengakomodasi swasta dengan pertimbangan kemampuan BUMN dan BUMD kita.
Cukup listrik aja yg suka seret, jangan air juga mati.
Buat BP-ers, bersiap-siaplah kembali ke era minum air keran yg direbus
