- Beranda
- Komunitas
- KASKUS Ramadan
Ini dia Kesalahan kesalahan Seputar Puasa Ramadhan


TS
smknuungaran
Ini dia Kesalahan kesalahan Seputar Puasa Ramadhan

Spoiler for Cek Repost:

Quote:


Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi terakhir beserta keluarga dan para sahabatnya.
Orang sering menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syariat Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala . Berikut beberapa kesalahan yang terjadi dan menyebar di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasihat dan bekal kita membetulkan kekeliruan yang selama ini terjadi. Kita memohon kepada Allah ta’ala agar menjadikan tulisan ini bermanfaat. Maha suci Allah, sebaik dan seagung Dzat yang dimintai dan ditujukan harapan
Berikut beberapa kesalahan tersebut :
Orang sering menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syariat Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala . Berikut beberapa kesalahan yang terjadi dan menyebar di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasihat dan bekal kita membetulkan kekeliruan yang selama ini terjadi. Kita memohon kepada Allah ta’ala agar menjadikan tulisan ini bermanfaat. Maha suci Allah, sebaik dan seagung Dzat yang dimintai dan ditujukan harapan
Berikut beberapa kesalahan tersebut :
Quote:
1. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَقَدمَن أَحَدٌ الشهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلا أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الذِي يُشَك فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ
”Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/239, “Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga).”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160), “… karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan- ….”
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 ( Tuhfatul Ahwadzy ), “ Para ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan ….”
Berkata Imam An-Nawawy, “Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah.” Lihat Syarh Shahîh Muslim 7/158.
Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath. Adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.
2. Meninggalkan Makan Sahur
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan serta menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan kesepakatan para ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat Syarh Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.
Dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali, di antaranya hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
تَسَحرُوْا فَإِن فِي السحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah.”
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupun perkara-perkara akhirat, dan berkah tersebut bermacam-macam, di antaranya:
-Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.
-Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab, sebagaimana dalam Shahîh Muslim , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السحُوْرِ
“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur.”
-Menambah kekuatan dan semangat, khususnya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.
-Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdoa dan meminta rahmat, sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat doa yang makbul.
-Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.
3. Mempercepat Makan Sahur dan mengakhirkan berbuka puasa
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa selang waktu antara selesainya beliau makan sahur dengan permulaan shalat subuh adalah (selama bacaan) 50 ayat yang sedang (tidak panjang dan tidak pendek). Hal ini dapat dipahami dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Bukhary-Muslim,
تَسَحرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلمَ ثُم قُمْنَا إِلَى الصلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ
“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata, ‘ Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan) ?’ Ia (Zaid bin Tsabit) menjawab, ‘ Lima puluh ayat. ’ .”
Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shahîh Muslim (7/169), “Hadits ini menunjukkan sunnahnya mengakhirkan sahur.”
Lihat Ihkamul Ahkam 3/334 karya Ibnu Daqiqil ‘Ied, Al-I’lam 5/192-193 karya Ibnul Mulaqqin dan Fathul Bary 4/128 karya Ibnu Hajar.
Sebagian orang ada yang meninggalkan sahur dan makan ditengah malam, yang seperti ini terluput dari sunnah. Dari Abi Said al-Khudri Radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
السحُورُ كُلهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِن اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلوْنَ عَلَى الْمُتَسَحرِيْنَ.
Sahur itu penuh dengan barakah dan janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya dengan seteguk air, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para malaikatnya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur. (HR. Ahmad dengan sanad hasan)
memperlambat berbuka puasa jelas tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, bahkan yang disunnahkan adalah mempercepat buka puasa ketika telah yakin waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada dalam kebaikan selama ia mempercepat buka puasa, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim,
لاَ يَزَالُ الناسُ بِخَيْرٍ مَا عَجلُوْا الْفِطْرَ
“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka.”
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjadikan mempercepat buka puasa sebagai sebab nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menegaskan,
لاَ يَزَالُ الديْنُ ظَاهِرًا مَا عَجلَ الناسُ الْفِطْرَ لَأَن الْيَهُوْدَ وَالنصَارَى يُؤَخرُوْنَ
“Agama ini akan terus-menerus nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” Hadits hasan, dikeluarkan oleh Abu Daud no. 2353, An-Nasa`i dalam Al-Kubra` 2/253 no. 2313, Ahmad 2/450, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 3503 dan 3509, Hakim 1/596, Al-Baihaqy 4/237 dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tamhîd 20/23.
4. Menjadikan Imsak Sebagai Batasan Sahur
Sering kita mendengar tanda-tanda imsak, seperti suara sirine, ayam berkokok, beduk, yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah (perkara baru) sesat yang sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang mulia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. [ Al-Baqarah: 187 ]
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِن بِلاَلاً يُؤَذنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُم مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada dua kali: adzan pertama dan adzan kedua. Pada adzan pertama, seseorang masih boleh makan sahur dan batasan terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat subuh.
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata,”Berapa lama jarak antara iqomah dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata,”Sekitar 50 ayat”. (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan iqomah? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit).
Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya adalah pada adzan kedua yaitu adzan untuk shalat subuh, dan dari hal ini pula dapat dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang sisa ketika sudah masuk adzan subuh, karena kata hatta (sampai) dalam ayat Al-Qur`an bermakna ghayah, yakni akhir batasan waktu.
5. Tidak Berniat Sejak Malam Hari
Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syariat bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum yang mempunyai hukum marfu’ (seperti ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) dengan sanad yang shahih,
مَنْ لَمْ يُبَيتِ الصيَامَ مِنَ الليْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya.” Lihat jalan-jalan hadits ini dalam Irwa`ul Ghalil no. 914 karya Syaikh Al-Albany.
Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa Arab berarti waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.
6. Tidak Mengerjakan Shalat Kecuali Di Bulan Ramadhan.
Ini merupakan kesalahan paling fatal dan dosa paling buruk. Barangsiapa yang meninggalkan shalat setelah bulan Ramadhan berarti telah menghancurkan bangunannya dan menguraikan benang yang sudah dipintal dengan kuat. Allah ta’ala berifrman:
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. (QS. an-Nahl: 92)
Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَ الرجُلِ وَبَيْنَ الشرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصلاَةِ.
(Batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)
Beliau Shallalahu 'alaihi wa Sallam juga bersabda:
الْعَهْدُ الذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
Perjanjian antara kami (kaum muslimin) dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir. (HR. at-Tirmidzi, an-Nasa`i dan Ibnu Majah)
Yang sungguh mengherankan, ada yang berpuasa tapi tidak shalat….!! Padahal orang yang tidak shalat tidak ada kewajiban puasa baginya, karena dia kafir, sebagaimana dalam hadits yang lalu dan syarat seluruh ibadah adalah islam sebagaimana yang sudah maklum.
7. Memperbanyak makanan dan minuman serta berlebih-lebihan dengan beraneka ragam jenis makanan,
Hal ini dapat menyebabkan seseorang menjadi kurang baik pencernaannya sehingga merasa berat untuk beribadah dan malas shalat dan membaca al-Qur`an. Ada yang mengatakan barangsiapa yang makan, minum dan tidurnya banyak dia luput dari berbagai macam kebaikan. Nabi n bersabda:
مَا مَلأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرا مِنْ بَطْنٍ بِحَسَبِ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ فَاعِلاً فَثُلُثُ لِطَعَامِهِ وَثُلُثُ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ.
Tidak ada tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia kecuali perutnya, karena sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya, kalaupun dia ingin makan, maka hendaknya ia atur dengan cara sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya. (HR. Ahmad, an-Nasa`i dan at-Tirmidzi)
Sebagian salaf berkata: Allah menggabungkan tentang seluruh kesehatan pada separuh ayat yaitu firman Allah ta’ala :
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31)
Barangsiapa yang berlebih-lebihan dalam makan dan minum dia telah lalai dari salah satu hikmah puasa yaitu menghindarkan tubuh dari pengaruh makanan dan minuman yang bisa memberatkan tubuh.
8. Merasa Ragu Mencicipi Makanan
Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya.
Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ), yang lafazhnya,
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَل أَوِ الشيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa.” Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/304 no. 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no. 8042 dan disebutkan oleh Imam Bukhary dalam Shahîh -nya 4/132 ( Fathul Bary ) secara mu’allaq dengan shighah jazm dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil 4/85-86.
Berkata Imam Ahmad, “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya, maka tidak ada masalah baginya.” Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Ibnu Aqaîl Al-Hambaly, “Hal tersebut dibenci bila tak ada keperluan, namun bila diperlukan, tidaklah mengapa. Akan tetapi, bila ia mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, hal itu dapat membatalkan puasanya, dan bila tidak masuk, tidaklah membatalkan puasa.” Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 108, “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air.”
Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/479-481 bersama ta’liq-nya.
9. Meninggalkan Berkumur-Kumur dan Menghirup Air ke Dalam Hidung Ketika Berwudhu
Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyariatkan pada setiap keadaan, baik saat berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa pembolehan berkumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqîth bin Saburah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa allihi wa sallam bersabda,
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلا أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (kedalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.” Hadits shahih.
Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga di dalam berwudhu yakni tidak membatalkan puasa bila disentuh dengan air, bahkan tidak terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama air tersebut tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke hidung sama dengan berkumur-kumur.
Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath Ar-Rabbany 10/38-39, Syarhul Mumti’ 6/406 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Fatawa Ramadhan 2/536-538.
10. Menghabiskan Waktu dengan Perbuatan dan Perkataan Sia-Sia
Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan lainnya,
مَنْ لَمْ يَدْعُ قَوْلَ الزوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada hajat (pada amalannya) ia meninggalkan makan dan minumannya.”
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,
لَيْسَ الصيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشرْبِ إِنمَا الصيَامُ مِنَ اللغْوِ وَالرفَثِ
“Bukanlah puasa itu (menahan) dari makan dan minumannya (semata), puasa itu adalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
Hadits ini menunjukkan larangan untuk berkata sia-sia, dusta, serta beramal dengan pekerjaan yang sia-sia.
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,
إِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ سَابهُ فَلْيَقُلْ إِنيْ صَائِمٌ
“Apabila ada orang yang mencelanya, hendaklah ia berkata, ‘ Sesungguhnya saya ini berpuasa .’ .”
11, Sikat Gigi Saat Berpuasa
Sedangkan untuk menyikat gigi menggunakan pasta gigi, Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz mengatakan diperbolehkan bagi orang yang berpuasa menyikat gigi, dengan syarat tidak tertelan ke kerongkongan. Ketentuan memperbolehkan menyikat gigi sama halnya dengan memperbolehkan bersiwak di pagi atau sore hari.
Membersihkan mulut dianjurkan dilakukan pada pagi hingga sore hari. Alasannya karena mumumnya saat berpuasa aroma mulut yang kurang sedap kerap muncul setelah siang hari. Setelah memasuki waktu dzuhur hingga maghrib makrum hukumnya menyikat gigi.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga memperbolehkan penggunaan pasta gigi bagi orang yang berpuasa, selama pasta gigi tersebut tidak masuk ke dalam tubuh (tidak sampai tertelan) dan memilki rasa yang sangat kuat hingga tanpa sadar masuk ke dalam perut.
Meski diperbolehkan, ada baiknya saat berpuasa menyikat gigi tanpa menggunakan pasta gigi. Hal ini dikhawatirkan rasa pasta gigi masuk ke dalam mulut dan kerongkongan hingga hukumnya menjadi makruh. Makruh adalah bila ditinggalkan mendapatkan pahala, namun jika dilakukan tidak mendapat dosa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَقَدمَن أَحَدٌ الشهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلا أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الذِي يُشَك فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ
”Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/239, “Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga).”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160), “… karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan- ….”
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 ( Tuhfatul Ahwadzy ), “ Para ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan ….”
Berkata Imam An-Nawawy, “Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah.” Lihat Syarh Shahîh Muslim 7/158.
Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath. Adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.
2. Meninggalkan Makan Sahur
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan serta menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan kesepakatan para ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat Syarh Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.
Dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali, di antaranya hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
تَسَحرُوْا فَإِن فِي السحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah.”
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupun perkara-perkara akhirat, dan berkah tersebut bermacam-macam, di antaranya:
-Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.
-Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab, sebagaimana dalam Shahîh Muslim , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السحُوْرِ
“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur.”
-Menambah kekuatan dan semangat, khususnya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.
-Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdoa dan meminta rahmat, sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat doa yang makbul.
-Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.
3. Mempercepat Makan Sahur dan mengakhirkan berbuka puasa
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa selang waktu antara selesainya beliau makan sahur dengan permulaan shalat subuh adalah (selama bacaan) 50 ayat yang sedang (tidak panjang dan tidak pendek). Hal ini dapat dipahami dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Bukhary-Muslim,
تَسَحرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلمَ ثُم قُمْنَا إِلَى الصلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ
“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata, ‘ Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan) ?’ Ia (Zaid bin Tsabit) menjawab, ‘ Lima puluh ayat. ’ .”
Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shahîh Muslim (7/169), “Hadits ini menunjukkan sunnahnya mengakhirkan sahur.”
Lihat Ihkamul Ahkam 3/334 karya Ibnu Daqiqil ‘Ied, Al-I’lam 5/192-193 karya Ibnul Mulaqqin dan Fathul Bary 4/128 karya Ibnu Hajar.
Sebagian orang ada yang meninggalkan sahur dan makan ditengah malam, yang seperti ini terluput dari sunnah. Dari Abi Said al-Khudri Radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
السحُورُ كُلهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِن اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلوْنَ عَلَى الْمُتَسَحرِيْنَ.
Sahur itu penuh dengan barakah dan janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya dengan seteguk air, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para malaikatnya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur. (HR. Ahmad dengan sanad hasan)
memperlambat berbuka puasa jelas tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, bahkan yang disunnahkan adalah mempercepat buka puasa ketika telah yakin waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada dalam kebaikan selama ia mempercepat buka puasa, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim,
لاَ يَزَالُ الناسُ بِخَيْرٍ مَا عَجلُوْا الْفِطْرَ
“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka.”
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjadikan mempercepat buka puasa sebagai sebab nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menegaskan,
لاَ يَزَالُ الديْنُ ظَاهِرًا مَا عَجلَ الناسُ الْفِطْرَ لَأَن الْيَهُوْدَ وَالنصَارَى يُؤَخرُوْنَ
“Agama ini akan terus-menerus nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” Hadits hasan, dikeluarkan oleh Abu Daud no. 2353, An-Nasa`i dalam Al-Kubra` 2/253 no. 2313, Ahmad 2/450, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 3503 dan 3509, Hakim 1/596, Al-Baihaqy 4/237 dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tamhîd 20/23.
4. Menjadikan Imsak Sebagai Batasan Sahur
Sering kita mendengar tanda-tanda imsak, seperti suara sirine, ayam berkokok, beduk, yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah (perkara baru) sesat yang sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang mulia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. [ Al-Baqarah: 187 ]
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِن بِلاَلاً يُؤَذنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُم مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada dua kali: adzan pertama dan adzan kedua. Pada adzan pertama, seseorang masih boleh makan sahur dan batasan terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat subuh.
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata,”Berapa lama jarak antara iqomah dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata,”Sekitar 50 ayat”. (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan iqomah? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit).
Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya adalah pada adzan kedua yaitu adzan untuk shalat subuh, dan dari hal ini pula dapat dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang sisa ketika sudah masuk adzan subuh, karena kata hatta (sampai) dalam ayat Al-Qur`an bermakna ghayah, yakni akhir batasan waktu.
5. Tidak Berniat Sejak Malam Hari
Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syariat bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum yang mempunyai hukum marfu’ (seperti ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) dengan sanad yang shahih,
مَنْ لَمْ يُبَيتِ الصيَامَ مِنَ الليْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya.” Lihat jalan-jalan hadits ini dalam Irwa`ul Ghalil no. 914 karya Syaikh Al-Albany.
Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa Arab berarti waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.
6. Tidak Mengerjakan Shalat Kecuali Di Bulan Ramadhan.
Ini merupakan kesalahan paling fatal dan dosa paling buruk. Barangsiapa yang meninggalkan shalat setelah bulan Ramadhan berarti telah menghancurkan bangunannya dan menguraikan benang yang sudah dipintal dengan kuat. Allah ta’ala berifrman:
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. (QS. an-Nahl: 92)
Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَ الرجُلِ وَبَيْنَ الشرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصلاَةِ.
(Batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)
Beliau Shallalahu 'alaihi wa Sallam juga bersabda:
الْعَهْدُ الذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
Perjanjian antara kami (kaum muslimin) dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir. (HR. at-Tirmidzi, an-Nasa`i dan Ibnu Majah)
Yang sungguh mengherankan, ada yang berpuasa tapi tidak shalat….!! Padahal orang yang tidak shalat tidak ada kewajiban puasa baginya, karena dia kafir, sebagaimana dalam hadits yang lalu dan syarat seluruh ibadah adalah islam sebagaimana yang sudah maklum.
7. Memperbanyak makanan dan minuman serta berlebih-lebihan dengan beraneka ragam jenis makanan,
Hal ini dapat menyebabkan seseorang menjadi kurang baik pencernaannya sehingga merasa berat untuk beribadah dan malas shalat dan membaca al-Qur`an. Ada yang mengatakan barangsiapa yang makan, minum dan tidurnya banyak dia luput dari berbagai macam kebaikan. Nabi n bersabda:
مَا مَلأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرا مِنْ بَطْنٍ بِحَسَبِ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ فَاعِلاً فَثُلُثُ لِطَعَامِهِ وَثُلُثُ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ.
Tidak ada tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia kecuali perutnya, karena sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya, kalaupun dia ingin makan, maka hendaknya ia atur dengan cara sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya. (HR. Ahmad, an-Nasa`i dan at-Tirmidzi)
Sebagian salaf berkata: Allah menggabungkan tentang seluruh kesehatan pada separuh ayat yaitu firman Allah ta’ala :
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31)
Barangsiapa yang berlebih-lebihan dalam makan dan minum dia telah lalai dari salah satu hikmah puasa yaitu menghindarkan tubuh dari pengaruh makanan dan minuman yang bisa memberatkan tubuh.
8. Merasa Ragu Mencicipi Makanan
Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya.
Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ), yang lafazhnya,
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَل أَوِ الشيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa.” Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/304 no. 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no. 8042 dan disebutkan oleh Imam Bukhary dalam Shahîh -nya 4/132 ( Fathul Bary ) secara mu’allaq dengan shighah jazm dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil 4/85-86.
Berkata Imam Ahmad, “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya, maka tidak ada masalah baginya.” Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Ibnu Aqaîl Al-Hambaly, “Hal tersebut dibenci bila tak ada keperluan, namun bila diperlukan, tidaklah mengapa. Akan tetapi, bila ia mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, hal itu dapat membatalkan puasanya, dan bila tidak masuk, tidaklah membatalkan puasa.” Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 108, “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air.”
Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/479-481 bersama ta’liq-nya.
9. Meninggalkan Berkumur-Kumur dan Menghirup Air ke Dalam Hidung Ketika Berwudhu
Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyariatkan pada setiap keadaan, baik saat berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa pembolehan berkumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqîth bin Saburah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa allihi wa sallam bersabda,
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلا أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (kedalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.” Hadits shahih.
Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga di dalam berwudhu yakni tidak membatalkan puasa bila disentuh dengan air, bahkan tidak terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama air tersebut tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke hidung sama dengan berkumur-kumur.
Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath Ar-Rabbany 10/38-39, Syarhul Mumti’ 6/406 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Fatawa Ramadhan 2/536-538.
10. Menghabiskan Waktu dengan Perbuatan dan Perkataan Sia-Sia
Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan lainnya,
مَنْ لَمْ يَدْعُ قَوْلَ الزوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada hajat (pada amalannya) ia meninggalkan makan dan minumannya.”
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,
لَيْسَ الصيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشرْبِ إِنمَا الصيَامُ مِنَ اللغْوِ وَالرفَثِ
“Bukanlah puasa itu (menahan) dari makan dan minumannya (semata), puasa itu adalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
Hadits ini menunjukkan larangan untuk berkata sia-sia, dusta, serta beramal dengan pekerjaan yang sia-sia.
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,
إِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ سَابهُ فَلْيَقُلْ إِنيْ صَائِمٌ
“Apabila ada orang yang mencelanya, hendaklah ia berkata, ‘ Sesungguhnya saya ini berpuasa .’ .”
11, Sikat Gigi Saat Berpuasa
Sedangkan untuk menyikat gigi menggunakan pasta gigi, Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz mengatakan diperbolehkan bagi orang yang berpuasa menyikat gigi, dengan syarat tidak tertelan ke kerongkongan. Ketentuan memperbolehkan menyikat gigi sama halnya dengan memperbolehkan bersiwak di pagi atau sore hari.
Membersihkan mulut dianjurkan dilakukan pada pagi hingga sore hari. Alasannya karena mumumnya saat berpuasa aroma mulut yang kurang sedap kerap muncul setelah siang hari. Setelah memasuki waktu dzuhur hingga maghrib makrum hukumnya menyikat gigi.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga memperbolehkan penggunaan pasta gigi bagi orang yang berpuasa, selama pasta gigi tersebut tidak masuk ke dalam tubuh (tidak sampai tertelan) dan memilki rasa yang sangat kuat hingga tanpa sadar masuk ke dalam perut.
Meski diperbolehkan, ada baiknya saat berpuasa menyikat gigi tanpa menggunakan pasta gigi. Hal ini dikhawatirkan rasa pasta gigi masuk ke dalam mulut dan kerongkongan hingga hukumnya menjadi makruh. Makruh adalah bila ditinggalkan mendapatkan pahala, namun jika dilakukan tidak mendapat dosa.
Quote:








Spoiler for Sumber Referensi:
Quote:



Polling
Poll ini sudah ditutup. - 7 suara
Apakah thread saya bermutu ?
Jawab Ya
86%
Jawab Tidak
14%
Diubah oleh smknuungaran 19-06-2015 13:26
0
9.3K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan