- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Fahri: Alasan Penolakan Dana Aspirasi Kurang Tepat


TS
anshasoank
Fahri: Alasan Penolakan Dana Aspirasi Kurang Tepat
Fahri: Alasan Penolakan Dana Aspirasi Kurang Tepat

Quote:
Jakarta - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, menyatakan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang kini dikenal dengan sebutan Dana Aspirasi, sesungguhnya merupakan salah satu solusi atas mampetnya pelaksanaan pembangunan nasional yang selama ini dinilai kurang merata.
Di mata Fahri, berbagai alasan yang dimunculkan belakangan ini untuk menolak Dana Aspirasi sebenarnya kurang tepat dan tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, UP2DP dituding akan memperlebar jarak pembangunan antara Pulau Jawa yang sudah lumayan derap pembangunannya dengan Pulau Papua yang lebih membutuhkan butuh pembangunan. Alasannya, jumlah legislator di Jawa lebih banyak dibanding Papua. Sementara pagu anggaran UP2DP per anggota dewan merata senilai Rp 20 miliar per tahunnya.
Kata Fahri, kenyataannya, dana-dana yang banyak digulirkan untuk wilayah seperti Papua, melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus maupun Dana Alokasi Umum, juga tak jelas juntrungannya.
"Jadi, aneh bila ada argumen ketimpangan itu. Karena, selama ini, dana yang telah ada, justru tidak diketahui alasan alokasinya. Sementara, UP2DP ini jelas dan terang, karena alur bahwa dia berasal dari aspirasi masyarakat itu jelas," kata Fahri, Rabu (17/6).
Ada juga tudingan bahwa anggota DPR potensial mendapat 'persenan' dari tiap proyek UP2DP yang nantinya dilaksanakan. Menurut Fahri, "persenan" itu bisanya muncul saat jumlah nilai proyeknya besar.
"Kayak proyek Hambalang yang nilainya Rp 2,5 triliun oleh satu orang saja. Bayangkan kalau anggaran UP2DP yang hanya Rp 20 Miliar untuk 10 sampai 20 proyek. Persenannya mau berapa?" tukas Fahri.
Lagipula, lanjutnya, pengawasan UP2DP akan jauh lebih mudah dibanding pengawasan untuk proyek yang melalui mekanisme pemerintahan yang biasa. Sebab, perencanaan UP2DP muncul oleh usulan rakyat yang jelas. Hal ini berbeda dengan proposal siluman yang selama ini ada di pemerintahan, yang tak jelas siapa pengusulnya.
"Kita semua pasti ingat usulan proyek pembangunan rumah sakit di banyak universitas negeri itu, kan? Itu tak pernah diusulkan, tapi muncul bangunannya," kata Fahri mengingatkan proyek yang diduga melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M.Nazaruddin, tersebut.
Fahri melanjutkan, UP2DP adalah wujud dari pelaksanaan tugas konstitusional DPR yang sudah diatur dalam UU maupun sumpah jabatan anggota DPR. Penolakan terhadapnya sama saja dengan penolakan atas substansi konstitusi dan melanggar sumpah jabatan DPR yang mengamanatkan anggota memperjuangkan konstituennya.
“Kalau kita bandingkan DPR di era Orde Baru yang memang diatur untuk tidak berhubungan dengan konstituen dan hanya pulang lima tahun sekali ke dapilnya menjelang pemilu, DPR di era reformasi ini diatur agar kembali ke dapilnya sesering mungkin. Ini demi menyerap aspirasi masyarakat," jelasnya.
"Ketika saat pulang inilah masyarakat dapat menagih janji-janji anggota DPR demi memperjuangkan kepentingan masyarakatnya," pungkas Fahri.
Markus Junianto Sihaloho/ED
Di mata Fahri, berbagai alasan yang dimunculkan belakangan ini untuk menolak Dana Aspirasi sebenarnya kurang tepat dan tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, UP2DP dituding akan memperlebar jarak pembangunan antara Pulau Jawa yang sudah lumayan derap pembangunannya dengan Pulau Papua yang lebih membutuhkan butuh pembangunan. Alasannya, jumlah legislator di Jawa lebih banyak dibanding Papua. Sementara pagu anggaran UP2DP per anggota dewan merata senilai Rp 20 miliar per tahunnya.
Kata Fahri, kenyataannya, dana-dana yang banyak digulirkan untuk wilayah seperti Papua, melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus maupun Dana Alokasi Umum, juga tak jelas juntrungannya.
"Jadi, aneh bila ada argumen ketimpangan itu. Karena, selama ini, dana yang telah ada, justru tidak diketahui alasan alokasinya. Sementara, UP2DP ini jelas dan terang, karena alur bahwa dia berasal dari aspirasi masyarakat itu jelas," kata Fahri, Rabu (17/6).
Ada juga tudingan bahwa anggota DPR potensial mendapat 'persenan' dari tiap proyek UP2DP yang nantinya dilaksanakan. Menurut Fahri, "persenan" itu bisanya muncul saat jumlah nilai proyeknya besar.
"Kayak proyek Hambalang yang nilainya Rp 2,5 triliun oleh satu orang saja. Bayangkan kalau anggaran UP2DP yang hanya Rp 20 Miliar untuk 10 sampai 20 proyek. Persenannya mau berapa?" tukas Fahri.
Lagipula, lanjutnya, pengawasan UP2DP akan jauh lebih mudah dibanding pengawasan untuk proyek yang melalui mekanisme pemerintahan yang biasa. Sebab, perencanaan UP2DP muncul oleh usulan rakyat yang jelas. Hal ini berbeda dengan proposal siluman yang selama ini ada di pemerintahan, yang tak jelas siapa pengusulnya.
"Kita semua pasti ingat usulan proyek pembangunan rumah sakit di banyak universitas negeri itu, kan? Itu tak pernah diusulkan, tapi muncul bangunannya," kata Fahri mengingatkan proyek yang diduga melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M.Nazaruddin, tersebut.
Fahri melanjutkan, UP2DP adalah wujud dari pelaksanaan tugas konstitusional DPR yang sudah diatur dalam UU maupun sumpah jabatan anggota DPR. Penolakan terhadapnya sama saja dengan penolakan atas substansi konstitusi dan melanggar sumpah jabatan DPR yang mengamanatkan anggota memperjuangkan konstituennya.
“Kalau kita bandingkan DPR di era Orde Baru yang memang diatur untuk tidak berhubungan dengan konstituen dan hanya pulang lima tahun sekali ke dapilnya menjelang pemilu, DPR di era reformasi ini diatur agar kembali ke dapilnya sesering mungkin. Ini demi menyerap aspirasi masyarakat," jelasnya.
"Ketika saat pulang inilah masyarakat dapat menagih janji-janji anggota DPR demi memperjuangkan kepentingan masyarakatnya," pungkas Fahri.
Markus Junianto Sihaloho/ED
BeritaSatu
5 x 20 M = 100 M

Diubah oleh anshasoank 17-06-2015 16:20
0
1.8K
Kutip
33
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan