Konon kabarnya, ada seorang putri bernama Siti Fatimah yang ingin disunting oleh saudagar beretnis tiong hoa. Demi mendapatkan hati sang putri, berkendi-kendi hadiah pun disuguhkan dengan penuh harapan dibalas dengan cinta. Sayang, saat sang putri menyibak tutup-tutup kendi, yang dilihatnya hanya sayur sawi yang rasanya asin. Kendi-kendi pun ditepis hingga berjatuhan ke sungai. Mungkin sang putri menganggap pemberian tersebut laksana mendapat "ZONK" yang nihil tak berharga. Tapi, saudagar tahu ada benda bernilai tak tehingga di kendi terakhir, yang turut terhempas ke sungai.

BYUR! dia pun terjun diikuti seorang pengawalnya. Sang putri gelisah karena mereka tak kunjung menyembul ke permukaan, hingga akhirnya turut menceburkan diri. Sayang, aksi penceburan diri untuk menyelamatkan hadiah tak berujung bahagia. Ketiganya lenyap diseret arus sungai yang ganas dan tidak muncul kembali. Misterius...itulah yang membuat para wisatawan tertarik berkunjung ke pulau dimana tragedi itu terjadi.



Saya salah satu traveller yang penasaran dengan kisah tragis antara Putri Fatimah dan Saudagar Tan Bun An tersebut. Bertolak hampir dua jam dari Jakarta, saya pun tiba di Tanah Sriwijaya dan langsung bergegas ke landmark utama kota ini yaitu Jembatan Ampera! Dari jembatan yang endah dilihat saat malam, saya tinggal menumpaki perahu nelayan untuk sampai ke Pulau Kemero.
Tipsnya: naik perahu RESMI yang disediakan JANGAN CALO karena lebih mahal 2X lipat!
Btw, saya terlanjur "terjebak" salah satu calo, makanya tips ini tercantum

Yang berlalu biarlah berlalu, yang penting saya bisa sampai ke pulau Kemero, salah satu tempat wisata terkemuka di Endonesia! Cuzzz mang calo !



Saya ngga tau gimana kenyamanan naik perahu yang resmi, yang jelas supir perahu versi calo kayanya terobsesi nge-drift kaya film Fast & Furious! Ngebut banget, sampai air sungai menciprati para penumpang di dalamnya, berasa ada di wahana taman bermain. Makin penumpang berteriak, sepertinya si supir makin gemas buat nge-gas! Akhirnya, 25 menit perjalanan yang mendebarkan berakhir di dermaga cinta (eh...)



Setelah "dimanjakan" pemandangan banyak kapal selama perjalanan, kaki ini menginjak satu pulau kecil dengan banyak pepohonan dan warung-warung makan yang seadanya. Di siang itu, masih banyak warung-warung yang tutup. Tidak banyak juga turis-turis terlihat berseliweran di sekeliling pulau. Yang jelas, tidak perlu mengeluarkan biaya apapun untuk masuk ke wilayah ini. Lalu apa objek utama di pulau yang dihuni para nelayan ini? Yang paling menonjol dan menarik adalah pagoda sembilan tingkat yang caem buat jadi latar selfie



Sayang, saya tidak diperbolehkan masuk ke dalam pagoda tersebut, juga kelenteng yang ada di sana. Alhasil saya hanya bisa berfoto ria di beberapa spot yang pastinya tidak kalah memesona. Since, pengaruh tiong hoa memang kuat di Palembang, tidak heran begitu banyak peninggalan sejarah yang "aroma"nya sangat tiong hoa. Begitu juga warganya yang kebanyakan bermata sipit dan berwarna kulit putih. Saya cukup amaze dengan pulau ini, karena memang jarang berada di tempat yang dekat dengan perairan.



Jika liburan ke luar pulau dirasa menguras dompet, bisa coba liburan "panas" tapi hemat ke PUNCAK DARAJAT GARUT atau CANDI GEDONG SONGO SEMARANG