- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
saat terakhir di stasiun (HOROR)


TS
99dgift
saat terakhir di stasiun (HOROR)
selamat sore agan agan, dari pada badmood, suntuk sama kerjaan di kantor, di omelin bos, dan lain lain, mari kita ngaskus dulu nyok, kali ini ane akan ngepost thread yang menurut ane sih horor, tapi di bilang ga horor juga iya.. ahh entahlah..
langsung aja yukkkk simak thread di bawah ini
maaf kalo repost yaaa,, tapi boleh lah kasih cendol nya 
Ismail Irawan, cowok berusia tujuh belas tahun yang suka nongkrong di stasiun itu, lagi-lagi melihat seorang gadis cantik berbaju putih di seberang rel kereta. Sambil menunggu kereta yang mengantarnya pulang, Isa (panggilan akrabnya) berusaha menemui gadis sebayanya itu untuk sekedar mengobrol demi menyingirkan rasa bosan. Namun sayangnya kereta melintas di hadapannya dan setelah itu, gadis itu sudah tidak ada di bangkunya.
Sudah tujuh kali Isa melihat gadis itu. Ia tidak memperhatikan terlalu detail baju apa yang dikenakannya. Namun, setiap kali ia melihatnya, gadis itu selalu mengenakan rok terusan putih dengan bordiran mawar biru di bagian lehernya. Agak ganjil, sih. Tapi bagi Isa, gadis itu sangat cantik, kalem dan tampak sangat pemalu. Jika ia bukan pemalu, pastinya gadis itu tidak mungkin selalu menghilang (atau kabur) dari hadapan Isa.
Terkadang Isa membayangkan gadis cantik itu adalah adiknya, atau pacarnya yang kalem tapi perhatian, atau mungkin istrinya kelak yang sangat setia dan mau mengerti segala kebutuhan dan pekerjaannya. Setiap hari ia tidak pernah tidak memikirkan gadis itu. Membayangkan kulitnya yang putih mulus, hidungnya yang kecil, matanya yang kalem dan rambutnya yang terurai hingga sepinggang, adalah rutinitas wajibnya. Meski hanya semenit dua menit sehari, bayang-bayang gadis itu tidak muncul ketika Isa memikirkannya saja. Wajah cantiknya yang sepucat bulan kesepian itu selalu ada di ingatan Isa seperti bulan yang selalu ada menemani langit malam.
Hari itu seperti biasanya Isa menunggu kereta datang untuk mengantarnya pulang. Pikirannya kosong meskipun bayang-bayang gadis itu masih melintas di pikirannya. Ia betul-betul tidak memikirkan apa-apa. Lalu ketika gadis itu muncul di antara kerumunan orang yang telah menuruni kereta, Isa tersadar dari lamunannya.
Mata mereka saling bertemu. Tatapan kaget Isa yang sedikit datar beradu dengan tatapan kosong gadis itu. Kali ini gadis itu tidak menghindar darinya. Ia hanya berdiri di tempatnya tanpa ekspresi. Isa juga demikian. Setelah sekian lama mereka saling berpandang-pandangan, Isa akhirnya menghampiri gadis itu.
“Hei,” sapa Isa. “Gua sering ngeliat lu di sini tapi… kita nggak pernah ketemu kayak gini. Lu naik kereta jurusan apa?”
Gadis itu menoleh rel tanpa kereta, memandang sekitar yang telah sepi, lalu kembali menatap Isa dengan tatapan sedih. “Nggak tau…”
“Lho, lu tersesat? Rumah lu di mana?”
Gadis itu menggeleng.
“Ya, ampun… Uda gede, kok, nyasar? Kayak ade gua aja lu… Uda kelas tiga SMP masih aja nyasar gara-gara salah angkot.”
“Aku beneran nggak tau kemana aku harus pergi. Aku masih nunggu seseorang, baru habis itu aku pergi.”
“Hoo… Janji ketemuan, ya?” Isa sedikit kecewa. “Pacar lu?”
Tatapan kosong gadis itu membuat bulu kuduk Isa berdiri. “Aku juga nggak tau…”
“O-oke.” Cewek aneh atau cewek autis, nih?
Mereka kembali diam memandang rel kereta yang kosong. Suasana juga sangat sepi seperti sudah tengah malam. Para penjual minuman masih buka, tapi tidak ada yang membeli minuman. Tergerak oleh rasa haus, Isa membeli dua botol teh dingin untuknya dan gadis itu.
“Makasih.”
“Sama-sama.”
“Tapi aku nggak haus… Nggak apa-apa kalau aku nggak minum?”
“Santai aja! Itu kan uda jadi minuman lu. Jadi terserah lu mau minum atau nggak. Nggak perlu nggak enak ke gua.”
“Makasih.”
“Sama-sama.”
Mereka diam lagi.
Setengah jam lebih berlalu dan tidak ada kereta yang melintas. Rel betul-betul kosong dan stasiun pun semakin sepi penumpang. Sangat ganjil.
“Lu nggak pegel?” tanya Isa.
Gadis itu menggeleng.
Yah… Nggak bisa duduk, deh…
“Kamu pegel?” tanya gadis itu. Isa garuk-garuk kepala. “Mau duduk?”
“Nggak, nggak… Bentar lagi keretanya juga dateng, kok.”
“Keretanya nggak akan dateng secepet yang kamu kira.”
Isa tutup mulut. Ada yang nggak beres, nih…
“Mau duduk?”
“Em… Boleh, deh. Tapi lu duduk juga ya.”
Mereka berdua duduk di bangku tunggu, hanya berdua, di stasiun kereta api yang mulai menciptakan suasana horror. Untungnya Isa adalah orang yang cuek bebek. Biarpun tsunami menghadang, yang penting stay cool dan berkepala dingin. Biarpun saat itu sangat ganjil, Isa tidak deg-degan dan berkeringat dingin. Pokoknya stay cool in front of the girl.
“Boleh gua nanya nama lu?”
“Apa aku boleh mengenal nama kamu?”
“Boleh, dong! Tapi nama lu dulu ya.”
Gadis itu tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk. “Nama aku dimulai dari huruf M. Nama kamu?”
“M? Habis M ada huruf apa lagi?”
“Pokoknya inisialku ‘M’. Kita kan belum sama-sama kenal sebelumnya.”
“Jadi, gua orang jahat nih? Gitu maksudnya?”
“Orang yang belum dikenal kan belum tentu orang jahat.”
“Trus? Kenapa lu nggak mau ngasih tau?”
Si cantik diam lagi. Karena ini adalah janjiku pada orang itu…
“Hei…,” Isa melambai-lambaikan telapak tangannya di depan mata si gadis, “Jangan bengong! Uda sepi, ketemu cewek pendiem, gelap lagi… Berasa film horror aja. Udah gitu baju lu warnanya putih lagi! Hiih…”
Tatapan kosong kembali diberikan. Isa melipat tangannya dan buang muka. “Tuh, kan… Horror lagi deh… Ya, udah kalau nggak mau ngasih tau. Gua juga nggak bakal ngasih tau nama asli gua. Panggil gua ‘Mail’. Seperti ‘e-mail’ yang menjadi jendela hati para insani yang jauh.”
“Mail, ya?”
“Yup… Mau nama asli gua? Kasih tau nama asli lu dulu!”
Gadis itu tersenyum. Isa bengong. Baru kali ini ia melihat gadis itu tersenyum.
“Inisial kamu juga ‘M’ kayak aku. Kamu sengaja, ya?”
Mendadak Isa salting. Ia berdeham keras-keras, tersadar akan kebetulan yang mengungkap isi hatinya secara tidak sengaja. Nggak apa-apa, deh… Yang penting bisa liat lu senyum.
“Gitu, dong… Jangan kasih gua mata horror terus. Bosen, tau! Haaah… Nggak nyangka, ya, kita bisa ngobrol kayak gini. Setiap kali gua ngeliat lu, gua selalu mikir: ini penampakan atau bukan, ya? Habis lu di mata gua itu sesosok gadis tanpa ekspresi dan perasaan. Bukan berarti lu nggak punya hati ya… (aduh keceplosan) Lu tuh… kayak… cewek polos yang kehilangan arah. Tapi, lu di telinga gua… kayak bulan.”
“Bulan? Bulan, kan, nggak bisa bicara.”
“Bulan itu bisu, ya kan? Nah makanya gua sebut lu itu bulan. Lu itu nggak pernah bicara, nggak pernah ngeluh, nggak pernah ngomel-ngomel nggak penting karena lu nggak bisa ngelakuin tugas lu. Apakah bulan pernah nanya kenapa dia harus menyinari bumi saat malam tiba? Apa pernah bulan itu, bicara? Kayak lu banget. Lu nggak pernah nanya kenapa lu harus pergi, kenapa lu harus nunggu ‘orang itu’, atau ke mana lu harus pergi. Lu selalu ngejalanin semuanya tanpa banyak tanya.”
Senyuman itu mulai memudar. Wajahnya kini bersedih. Apa yang diucapkan Isa benar adanya. Keyakinannya tidak pernah goyah walaupun ia tidak tahu tujuan hidupnya. Kesetiaannya sungguh besar sehingga ia selalu setia menunggu walaupun ia tidak tahu siapa yang harus ditunggunya. Hatinya juga begitu polos, mengikuti segalanya sesuai instruksi seperti anak baik.
“Kalau gitu, gua panggil ‘Moona’ ya. Boleh?”
Wajahnya masih sedih meskipu senyuman kecil itu masih terpampang di wajahnya. “Makasih, ya. Tapi kamu nggak boleh terus-terusan mengingat nama itu.”
“Lho, kenapa?”
“Karena kalau kamu mengingat nama aku atau wajah aku, aku nggak bakalan bisa pergi bareng ‘orang itu’. Kamu harus ngelupain aku setelah kamu nyampe rumah.”
“Moona, gua nggak ngerti. Hei, jelasin tentang ‘orang itu’. Dia itu siapanya lu?”
Moona menggeleng. Mereka diam lagi. Kini Isa menjadi iba dengannya. Moona seperti bulan yang tertekan. Apa yang sebenarnya terjadi pada Moona?
Tiba-tiba terdengar suara kereta dari kejauhan. Rupanya itu adalah kereta yang mengantarnya pulang. Begitu kereta itu berhenti di depannya, para penumpang yang jumlahnya sangat sedikit dari biasanya turun dari kereta dalam hening. Lagi-lagi yang ditimbulkan adalah suasana hening. Setelah kereta kosong, Isa bersiap untuk pergi.
“Mail, lupain aku ya.”
Dahi Isa mengerut. Segera ia menggenggam erat tangan Moona yang sangat dingin seperti es. “Selamanya gua nggak bakalan ngerti siapa lu dan kenapa lu kayak gini. Tapi gua bukan orang yang cepet nyerah. Gua akan terus inget sama lu sampe gua ngerti apa yang sebenernya terjadi. Gua minta maaf. Gua nggak bisa ngelupain lu. Inget, Moona! Lu adalah bulan yang selalu bersinar di malam hari. Lu nggak akan pernah mati di ingatan gua karena lu… selalu ada di hati gua, Moona.”
Moona membelalak. Matanya berkaca-kaca. Isa melepas tangannya dan pergi menaiki kereta. Ketika pilr-pilar stasiun bergerak mundur, itulah saat yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal. Isa melambaikan tangannya sambil tersenyum penuh semangat, berusaha menghibur si bulan yang kesepian itu. Wajah Moona menghilang jauh di belakangnya. Isa kecewa karena ia harus berpisah dengannya lagi.
Sementara itu Moona masih menatap kepergian Isa dengan mata berair. Ia menggenggam bekas genggaman tangan Isa yang hangat. Ia juga tidak ingin berpisah dengan Isa.
“Maya?”
Moona menoleh. Di sampingnya berdiri seorang pria jangkung, bermantel putih panjang, berkemeja abu-abu gelap, dan mengenakan lencana emas berbentuk sabit bersayap. “Namamu Maya Safira, kan? Maaf aku terlambat.”
“Nggak apa-apa. Penantianku selama satu tahun ini pada akhirnya nggak sia-sia. Makasih udah dateng.”
“Maya, kau tidak melanggar peraturan, kan? Sebelum kau dijemput, kau tidak boleh bicara dengan manusia, mengenalnya, atau mengingatnya. Kau tidak akan bisa pergi jika kau masih memiliki ingatan di dunia ini. Kau mengerti?”
Moona nyaris menangis. Hatinya teriris. Ia harus melupakan seseorang yang baru ditemuinya setelah sekian lama terisolasi dari manusia.
Ketika kereta bercahaya emas datang, pria itu menggandeng tangan Moona setelah Moona meletakkan botol teh dingin dari Isa. Air matanya ia tahan agar tidak menetes di bangku tunggu atau ia tidak akan bisa pergi dari dunia manusia. Pintu terbuka dan Moona melangkah masuk. Di ambang pintu, Moona berkata kepada pria itu:
“Ketika kita meninggal, apakah kita harus terhapus dari ingatan yang ditinggalkan? Dengan begitu kita bisa pergi dengan tenang? Gimana dengan hati mereka? Apakah kita terhapus dari hati mereka? Apa Om bisa ngehancurin hati Om sendiri?”
Pria itu terdiam. Ia melirik botol teh dingin dan menyipitkan matanya. “Dia tidak tahu nama aslimu dan kau tidak tahu nama aslinya?” Moona mengangguk. “Bagiku itu cukup. Ayo, berangkat!”
Kereta pun berangkat meninggalkan stasiun, meninggalkan sisa-sisa kenangan, emosi dan getar-getar perasaan di antara mereka berdua. Moona tersenyum penuh kedamaian sambil mengulang perasaan cinta yang tumbuh di hatinya. Seperti yang dikatakan Isa bahwa ia akan selalu ada di hati Isa, Moona mengulang hal serupa.
Kamu akan selalu ada di hatiku meski sekarang berbeda dimensi. Selama bulan masih bersinar di langit malam, aku selalu ada di hatimu…
langsung aja yukkkk simak thread di bawah ini


Spoiler for :
Ismail Irawan, cowok berusia tujuh belas tahun yang suka nongkrong di stasiun itu, lagi-lagi melihat seorang gadis cantik berbaju putih di seberang rel kereta. Sambil menunggu kereta yang mengantarnya pulang, Isa (panggilan akrabnya) berusaha menemui gadis sebayanya itu untuk sekedar mengobrol demi menyingirkan rasa bosan. Namun sayangnya kereta melintas di hadapannya dan setelah itu, gadis itu sudah tidak ada di bangkunya.
Sudah tujuh kali Isa melihat gadis itu. Ia tidak memperhatikan terlalu detail baju apa yang dikenakannya. Namun, setiap kali ia melihatnya, gadis itu selalu mengenakan rok terusan putih dengan bordiran mawar biru di bagian lehernya. Agak ganjil, sih. Tapi bagi Isa, gadis itu sangat cantik, kalem dan tampak sangat pemalu. Jika ia bukan pemalu, pastinya gadis itu tidak mungkin selalu menghilang (atau kabur) dari hadapan Isa.
Terkadang Isa membayangkan gadis cantik itu adalah adiknya, atau pacarnya yang kalem tapi perhatian, atau mungkin istrinya kelak yang sangat setia dan mau mengerti segala kebutuhan dan pekerjaannya. Setiap hari ia tidak pernah tidak memikirkan gadis itu. Membayangkan kulitnya yang putih mulus, hidungnya yang kecil, matanya yang kalem dan rambutnya yang terurai hingga sepinggang, adalah rutinitas wajibnya. Meski hanya semenit dua menit sehari, bayang-bayang gadis itu tidak muncul ketika Isa memikirkannya saja. Wajah cantiknya yang sepucat bulan kesepian itu selalu ada di ingatan Isa seperti bulan yang selalu ada menemani langit malam.
Hari itu seperti biasanya Isa menunggu kereta datang untuk mengantarnya pulang. Pikirannya kosong meskipun bayang-bayang gadis itu masih melintas di pikirannya. Ia betul-betul tidak memikirkan apa-apa. Lalu ketika gadis itu muncul di antara kerumunan orang yang telah menuruni kereta, Isa tersadar dari lamunannya.
Mata mereka saling bertemu. Tatapan kaget Isa yang sedikit datar beradu dengan tatapan kosong gadis itu. Kali ini gadis itu tidak menghindar darinya. Ia hanya berdiri di tempatnya tanpa ekspresi. Isa juga demikian. Setelah sekian lama mereka saling berpandang-pandangan, Isa akhirnya menghampiri gadis itu.
“Hei,” sapa Isa. “Gua sering ngeliat lu di sini tapi… kita nggak pernah ketemu kayak gini. Lu naik kereta jurusan apa?”
Gadis itu menoleh rel tanpa kereta, memandang sekitar yang telah sepi, lalu kembali menatap Isa dengan tatapan sedih. “Nggak tau…”
“Lho, lu tersesat? Rumah lu di mana?”
Gadis itu menggeleng.
“Ya, ampun… Uda gede, kok, nyasar? Kayak ade gua aja lu… Uda kelas tiga SMP masih aja nyasar gara-gara salah angkot.”
“Aku beneran nggak tau kemana aku harus pergi. Aku masih nunggu seseorang, baru habis itu aku pergi.”
“Hoo… Janji ketemuan, ya?” Isa sedikit kecewa. “Pacar lu?”
Tatapan kosong gadis itu membuat bulu kuduk Isa berdiri. “Aku juga nggak tau…”
“O-oke.” Cewek aneh atau cewek autis, nih?
Mereka kembali diam memandang rel kereta yang kosong. Suasana juga sangat sepi seperti sudah tengah malam. Para penjual minuman masih buka, tapi tidak ada yang membeli minuman. Tergerak oleh rasa haus, Isa membeli dua botol teh dingin untuknya dan gadis itu.
“Makasih.”
“Sama-sama.”
“Tapi aku nggak haus… Nggak apa-apa kalau aku nggak minum?”
“Santai aja! Itu kan uda jadi minuman lu. Jadi terserah lu mau minum atau nggak. Nggak perlu nggak enak ke gua.”
“Makasih.”
“Sama-sama.”
Mereka diam lagi.
Setengah jam lebih berlalu dan tidak ada kereta yang melintas. Rel betul-betul kosong dan stasiun pun semakin sepi penumpang. Sangat ganjil.
“Lu nggak pegel?” tanya Isa.
Gadis itu menggeleng.
Yah… Nggak bisa duduk, deh…
“Kamu pegel?” tanya gadis itu. Isa garuk-garuk kepala. “Mau duduk?”
“Nggak, nggak… Bentar lagi keretanya juga dateng, kok.”
“Keretanya nggak akan dateng secepet yang kamu kira.”
Isa tutup mulut. Ada yang nggak beres, nih…
“Mau duduk?”
“Em… Boleh, deh. Tapi lu duduk juga ya.”
Mereka berdua duduk di bangku tunggu, hanya berdua, di stasiun kereta api yang mulai menciptakan suasana horror. Untungnya Isa adalah orang yang cuek bebek. Biarpun tsunami menghadang, yang penting stay cool dan berkepala dingin. Biarpun saat itu sangat ganjil, Isa tidak deg-degan dan berkeringat dingin. Pokoknya stay cool in front of the girl.
“Boleh gua nanya nama lu?”
“Apa aku boleh mengenal nama kamu?”
“Boleh, dong! Tapi nama lu dulu ya.”
Gadis itu tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk. “Nama aku dimulai dari huruf M. Nama kamu?”
“M? Habis M ada huruf apa lagi?”
“Pokoknya inisialku ‘M’. Kita kan belum sama-sama kenal sebelumnya.”
“Jadi, gua orang jahat nih? Gitu maksudnya?”
“Orang yang belum dikenal kan belum tentu orang jahat.”
“Trus? Kenapa lu nggak mau ngasih tau?”
Si cantik diam lagi. Karena ini adalah janjiku pada orang itu…
“Hei…,” Isa melambai-lambaikan telapak tangannya di depan mata si gadis, “Jangan bengong! Uda sepi, ketemu cewek pendiem, gelap lagi… Berasa film horror aja. Udah gitu baju lu warnanya putih lagi! Hiih…”
Tatapan kosong kembali diberikan. Isa melipat tangannya dan buang muka. “Tuh, kan… Horror lagi deh… Ya, udah kalau nggak mau ngasih tau. Gua juga nggak bakal ngasih tau nama asli gua. Panggil gua ‘Mail’. Seperti ‘e-mail’ yang menjadi jendela hati para insani yang jauh.”
“Mail, ya?”
“Yup… Mau nama asli gua? Kasih tau nama asli lu dulu!”
Gadis itu tersenyum. Isa bengong. Baru kali ini ia melihat gadis itu tersenyum.
“Inisial kamu juga ‘M’ kayak aku. Kamu sengaja, ya?”
Mendadak Isa salting. Ia berdeham keras-keras, tersadar akan kebetulan yang mengungkap isi hatinya secara tidak sengaja. Nggak apa-apa, deh… Yang penting bisa liat lu senyum.
“Gitu, dong… Jangan kasih gua mata horror terus. Bosen, tau! Haaah… Nggak nyangka, ya, kita bisa ngobrol kayak gini. Setiap kali gua ngeliat lu, gua selalu mikir: ini penampakan atau bukan, ya? Habis lu di mata gua itu sesosok gadis tanpa ekspresi dan perasaan. Bukan berarti lu nggak punya hati ya… (aduh keceplosan) Lu tuh… kayak… cewek polos yang kehilangan arah. Tapi, lu di telinga gua… kayak bulan.”
“Bulan? Bulan, kan, nggak bisa bicara.”
“Bulan itu bisu, ya kan? Nah makanya gua sebut lu itu bulan. Lu itu nggak pernah bicara, nggak pernah ngeluh, nggak pernah ngomel-ngomel nggak penting karena lu nggak bisa ngelakuin tugas lu. Apakah bulan pernah nanya kenapa dia harus menyinari bumi saat malam tiba? Apa pernah bulan itu, bicara? Kayak lu banget. Lu nggak pernah nanya kenapa lu harus pergi, kenapa lu harus nunggu ‘orang itu’, atau ke mana lu harus pergi. Lu selalu ngejalanin semuanya tanpa banyak tanya.”
Senyuman itu mulai memudar. Wajahnya kini bersedih. Apa yang diucapkan Isa benar adanya. Keyakinannya tidak pernah goyah walaupun ia tidak tahu tujuan hidupnya. Kesetiaannya sungguh besar sehingga ia selalu setia menunggu walaupun ia tidak tahu siapa yang harus ditunggunya. Hatinya juga begitu polos, mengikuti segalanya sesuai instruksi seperti anak baik.
“Kalau gitu, gua panggil ‘Moona’ ya. Boleh?”
Wajahnya masih sedih meskipu senyuman kecil itu masih terpampang di wajahnya. “Makasih, ya. Tapi kamu nggak boleh terus-terusan mengingat nama itu.”
“Lho, kenapa?”
“Karena kalau kamu mengingat nama aku atau wajah aku, aku nggak bakalan bisa pergi bareng ‘orang itu’. Kamu harus ngelupain aku setelah kamu nyampe rumah.”
“Moona, gua nggak ngerti. Hei, jelasin tentang ‘orang itu’. Dia itu siapanya lu?”
Moona menggeleng. Mereka diam lagi. Kini Isa menjadi iba dengannya. Moona seperti bulan yang tertekan. Apa yang sebenarnya terjadi pada Moona?
Tiba-tiba terdengar suara kereta dari kejauhan. Rupanya itu adalah kereta yang mengantarnya pulang. Begitu kereta itu berhenti di depannya, para penumpang yang jumlahnya sangat sedikit dari biasanya turun dari kereta dalam hening. Lagi-lagi yang ditimbulkan adalah suasana hening. Setelah kereta kosong, Isa bersiap untuk pergi.
“Mail, lupain aku ya.”
Dahi Isa mengerut. Segera ia menggenggam erat tangan Moona yang sangat dingin seperti es. “Selamanya gua nggak bakalan ngerti siapa lu dan kenapa lu kayak gini. Tapi gua bukan orang yang cepet nyerah. Gua akan terus inget sama lu sampe gua ngerti apa yang sebenernya terjadi. Gua minta maaf. Gua nggak bisa ngelupain lu. Inget, Moona! Lu adalah bulan yang selalu bersinar di malam hari. Lu nggak akan pernah mati di ingatan gua karena lu… selalu ada di hati gua, Moona.”
Moona membelalak. Matanya berkaca-kaca. Isa melepas tangannya dan pergi menaiki kereta. Ketika pilr-pilar stasiun bergerak mundur, itulah saat yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal. Isa melambaikan tangannya sambil tersenyum penuh semangat, berusaha menghibur si bulan yang kesepian itu. Wajah Moona menghilang jauh di belakangnya. Isa kecewa karena ia harus berpisah dengannya lagi.
Sementara itu Moona masih menatap kepergian Isa dengan mata berair. Ia menggenggam bekas genggaman tangan Isa yang hangat. Ia juga tidak ingin berpisah dengan Isa.
“Maya?”
Moona menoleh. Di sampingnya berdiri seorang pria jangkung, bermantel putih panjang, berkemeja abu-abu gelap, dan mengenakan lencana emas berbentuk sabit bersayap. “Namamu Maya Safira, kan? Maaf aku terlambat.”
“Nggak apa-apa. Penantianku selama satu tahun ini pada akhirnya nggak sia-sia. Makasih udah dateng.”
“Maya, kau tidak melanggar peraturan, kan? Sebelum kau dijemput, kau tidak boleh bicara dengan manusia, mengenalnya, atau mengingatnya. Kau tidak akan bisa pergi jika kau masih memiliki ingatan di dunia ini. Kau mengerti?”
Moona nyaris menangis. Hatinya teriris. Ia harus melupakan seseorang yang baru ditemuinya setelah sekian lama terisolasi dari manusia.
Ketika kereta bercahaya emas datang, pria itu menggandeng tangan Moona setelah Moona meletakkan botol teh dingin dari Isa. Air matanya ia tahan agar tidak menetes di bangku tunggu atau ia tidak akan bisa pergi dari dunia manusia. Pintu terbuka dan Moona melangkah masuk. Di ambang pintu, Moona berkata kepada pria itu:
“Ketika kita meninggal, apakah kita harus terhapus dari ingatan yang ditinggalkan? Dengan begitu kita bisa pergi dengan tenang? Gimana dengan hati mereka? Apakah kita terhapus dari hati mereka? Apa Om bisa ngehancurin hati Om sendiri?”
Pria itu terdiam. Ia melirik botol teh dingin dan menyipitkan matanya. “Dia tidak tahu nama aslimu dan kau tidak tahu nama aslinya?” Moona mengangguk. “Bagiku itu cukup. Ayo, berangkat!”
Kereta pun berangkat meninggalkan stasiun, meninggalkan sisa-sisa kenangan, emosi dan getar-getar perasaan di antara mereka berdua. Moona tersenyum penuh kedamaian sambil mengulang perasaan cinta yang tumbuh di hatinya. Seperti yang dikatakan Isa bahwa ia akan selalu ada di hati Isa, Moona mengulang hal serupa.
Kamu akan selalu ada di hatiku meski sekarang berbeda dimensi. Selama bulan masih bersinar di langit malam, aku selalu ada di hatimu…
0
5.4K
Kutip
26
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan