- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
PBNU : Radikalisme sudah menjalar ke selebritas dan profesional


TS
pumm
PBNU : Radikalisme sudah menjalar ke selebritas dan profesional
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Adnan Anwar mensinyalir radikalisme sudah menjalar ke kalangan selebriti dan profesional.
"Ini berbahaya dan bisa dibilang mengerikan. Dari data-data yang ada, mereka sudah menyasar beberapa pihak yang punya banyak simpatisan atau penggemar seperti artis," kata Adnan di Jakarta, Rabu.
Menurut Adnan, gerakan pengusung radikalisme juga membidik kalangan menengah seperti pegawai negeri, aparat TNI, Polri, bahkan petugas Lembaga Pemasyarakat.
"Ini fakta yang tidak bisa dibantah, sehingga harus ada gerakan nyata untuk melawan mereka. Saya khawatir bila dibiarkan seperti ini, artinya pemerintah tidak menyiapkan instrumen hukum yang pasti, kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini bakal terancam," kata dia.
PBNU sendiri tidak pernah berhenti untuk membendung dan melawan gerakan radikalisme, namun diakui Adnan apa yang dilakukan PBNU tidak cukup bila tak didukung pemerintah dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain.
"Masalah ini sangat krusial, karena dipicu kondisi bangsa Indonesia yang belum stabil," katanya.
Adnan mengakui mobilisasi propaganda di kalangan menengah saat ini sangat kuat, termasuk melalui media sosial, sehingga agak sulit untuk membendung pergerakan mereka.
"Ada profesor, doktor, insinyur, bahkan jurnalis. Merekalah yang justru paling berbahaya. Kalau martir-martirnya mudah diatasi," kata dia.
Adnan berharap pemerintah segera membuat instrumen hukum pasti terkait gerakan radikalisme itu, apalagi ada kelompok yang ingin meruntuhkan NKRI dan mendirikan negara baru.
"Bayangkan, saat ini ada organisasi yang jelas-jelas ingin mendirikan negara sendiri masih bisa bebas menggelar kegiatannya," kata dia.
Sementara itu, mantan aktivis Jamaah Islamiyah (JI) Abdurrahman Ayub meminta pemerintah menerapkan cara-cara pemberantasan radikalisme dan terorisme seperti cara-cara yang digunakan pada zaman Orde Baru.
"Di zaman Orde Baru, pelaku terorisme, seperti saya waktu itu, tidak bisa hidup dan tidur nyenyak di Indonesia. Alhasil kami harus hijrah ke negara lain, seperti Malaysia, Pakistan, dan Afganistan. Bagaimana kami tidak pergi, saat itu, RT atau RW bisa menjadi intel sehingga tidak ada ruang bagi terorisme untuk menjalankan kegiatannya," kata dia.
Artinya, lanjut mantan pimpinan JI Australia ini, gerakan radikalisme tidak bisa diberi sedikit ruang untuk berkembang. Apalagi teknologi sekarang semakin canggih.
"Bayangkan, Aman Abdurrahman bisa dibaiat oleh pimpinan ISIS Abubakar Al Baghdadi hanya melalui kecanggihan alat telekomunikasi. Intinya, dibandingkan dulu, pemberantasan paham radikalisme harus lebih keras dan signifikan," katanya.(ant)
₪
intinya jangan di beri ruang.
------------------------------------
PBNU : Sebut Radikalisme Akibat Salah Tafsir Ajaran Agama
Katib Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Malik Madani mengatakan gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam adalah akibat kesalahan dalam menafsirkan ajaran agama yang terkandung dalam Al Quran dan Hadits.
"Sebenarnya niat mereka baik, ingin mengamalkan Al Quran dan Al Hadits secara kaffah, namun mereka salah jalan," kata Malik di Jakarta, Kamis.
Akibatnya, mereka berperilaku seperti orang-orang "khawarij" (kelompok garis keras yang muncul di era kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib) yang mengkafirkan orang-orang yang tidak segolongan.
"Tidak hanya itu, mereka pun menghalalkan darah orang-orang yang mereka kafirkan," tutur Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.
Untuk menangkal merebaknya ideologi Islam garis keras, kata Malik, pemahaman ajaran Islam ala Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang asli harus didakwahkan terus menerus di tengah-tengah masyarakat.
"Karena Aswaja yang asli adalah yang mengajarkan toleransi, keseimbangan, musyawarah, keadilan, dan persamaan derajat," tuturnya.
Pendapat senada dikemukakan Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Muhammad Cholil Nafis. Ia menyebut gerakan radikalis teroris yang mengatasnamakan Islam adalah akibat tidak paham dengan istilah negara Islam.
"Mereka menganggap Daulah Islamiyah kalau diberi nama Islam. Padahal, Islam tidak menentukan model negara," ucap Cholil yang juga Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Menurut dia, asal di dalam suatu negara itu ada kesatuan dan kemaslahatan bagi umat beragama, maka bisa disebut sebagai negara Islam.
"Al Quran mengatakan bahwa Islam adalah agama wasathi (moderat), yaitu menjadikan umat pilihan yang adil dan pertengahan dari ekstrem kanan dan ekstrem kiri," ujarnya.
Menurut Cholil, nilai-nilai Islam senantiasa humanistik dan toleran. Kalau ada gerakan Islam yang antikemanusiaan dan memaksakan kehendak dengan kekerasan destruktif, jelas bukan gerakan Islam.
"Karena itu jangan sampai diikuti," kata kiai muda lulusan Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Arab Saudi dan University of Malaya, Malaysia itu.(ant)
₪
------------------------------------
Tangkal Radikalisme, PBNU Desak Penerbitan Undang-undang Subversif
KBRN, Cilacap : Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mendesak penerbitan Undang-undang Subversif guna menangkal gerakan radikalisme seperti paham Islamic State of Irak and Syiria (ISIS), akhir-akhir ini.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Sekjen PBNU, Abdul Mun’im usai menjadi pembicara Seminar bertema “Bahaya Radikalisme ISIS Terhadap Keutuhan NKRI” di gedung PKK Kabupaten Cilacap, Kamis (23/4/2015) siang.
“Penerbitan Undang-undang Subversif yang lebih tegas cukup mendesak, karena hal ini terkait dengan keamanan Negara bukan soal kebebasan” tegas Mun’im.
Dijelaskan, salah satu poin yang diusulkan adalah, siapapun yang menentang Pancasila akan berhadap dengan Undang-undang ini karena sama saja menentang konstitusi.
Ia membenarkan pencabutan Undang-undang Subversif di awal era reformasi lalu, melemahkan aparat penegak hukum menindak siapapun yang berpotensi mengganggu keutuhan NKRI.
“Melalui usulan ini kami berharap Undang-undang yang lebih tegas sebagai landasan bagi pemerintah dan aparat Polri bertindak tegas terhadap setiap pelanggar.
Namun ia menyadari usulan ini akan berbenturan dengan kelompok lain yang tengah dalam masa euphoria demokrasi dan HAM.
“Ada sebagian kelompok yang trauma dan ketakutan akan kembali ke masa Orde Baru. Tapi saya perlu tegaskan bahwa pemberantasan radikalisme tidak akan bertentangan dengan HAM, jika Undang-undang itu sudah diterbitkan” ungkapnya.
Selain Abdul Mun’imm dua pembicara lain juga turut serta dalam seminar ini yakni Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari dan perwakilan dari Polres Cilacap.
Kegiatan dihadiri oleh sekitar 500 peserta terdiri dari massa dan simpatisan NU, sejumlah ormas Islam dan organisasi kemasyarakan, serta kalangan pelajar. (Sandy/AA).
₪
"Ini berbahaya dan bisa dibilang mengerikan. Dari data-data yang ada, mereka sudah menyasar beberapa pihak yang punya banyak simpatisan atau penggemar seperti artis," kata Adnan di Jakarta, Rabu.
Menurut Adnan, gerakan pengusung radikalisme juga membidik kalangan menengah seperti pegawai negeri, aparat TNI, Polri, bahkan petugas Lembaga Pemasyarakat.
"Ini fakta yang tidak bisa dibantah, sehingga harus ada gerakan nyata untuk melawan mereka. Saya khawatir bila dibiarkan seperti ini, artinya pemerintah tidak menyiapkan instrumen hukum yang pasti, kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini bakal terancam," kata dia.
PBNU sendiri tidak pernah berhenti untuk membendung dan melawan gerakan radikalisme, namun diakui Adnan apa yang dilakukan PBNU tidak cukup bila tak didukung pemerintah dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain.
"Masalah ini sangat krusial, karena dipicu kondisi bangsa Indonesia yang belum stabil," katanya.
Adnan mengakui mobilisasi propaganda di kalangan menengah saat ini sangat kuat, termasuk melalui media sosial, sehingga agak sulit untuk membendung pergerakan mereka.
"Ada profesor, doktor, insinyur, bahkan jurnalis. Merekalah yang justru paling berbahaya. Kalau martir-martirnya mudah diatasi," kata dia.
Adnan berharap pemerintah segera membuat instrumen hukum pasti terkait gerakan radikalisme itu, apalagi ada kelompok yang ingin meruntuhkan NKRI dan mendirikan negara baru.
"Bayangkan, saat ini ada organisasi yang jelas-jelas ingin mendirikan negara sendiri masih bisa bebas menggelar kegiatannya," kata dia.
Sementara itu, mantan aktivis Jamaah Islamiyah (JI) Abdurrahman Ayub meminta pemerintah menerapkan cara-cara pemberantasan radikalisme dan terorisme seperti cara-cara yang digunakan pada zaman Orde Baru.
"Di zaman Orde Baru, pelaku terorisme, seperti saya waktu itu, tidak bisa hidup dan tidur nyenyak di Indonesia. Alhasil kami harus hijrah ke negara lain, seperti Malaysia, Pakistan, dan Afganistan. Bagaimana kami tidak pergi, saat itu, RT atau RW bisa menjadi intel sehingga tidak ada ruang bagi terorisme untuk menjalankan kegiatannya," kata dia.
Artinya, lanjut mantan pimpinan JI Australia ini, gerakan radikalisme tidak bisa diberi sedikit ruang untuk berkembang. Apalagi teknologi sekarang semakin canggih.
"Bayangkan, Aman Abdurrahman bisa dibaiat oleh pimpinan ISIS Abubakar Al Baghdadi hanya melalui kecanggihan alat telekomunikasi. Intinya, dibandingkan dulu, pemberantasan paham radikalisme harus lebih keras dan signifikan," katanya.(ant)
₪
intinya jangan di beri ruang.
------------------------------------
PBNU : Sebut Radikalisme Akibat Salah Tafsir Ajaran Agama
Katib Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Malik Madani mengatakan gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam adalah akibat kesalahan dalam menafsirkan ajaran agama yang terkandung dalam Al Quran dan Hadits.
"Sebenarnya niat mereka baik, ingin mengamalkan Al Quran dan Al Hadits secara kaffah, namun mereka salah jalan," kata Malik di Jakarta, Kamis.
Akibatnya, mereka berperilaku seperti orang-orang "khawarij" (kelompok garis keras yang muncul di era kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib) yang mengkafirkan orang-orang yang tidak segolongan.
"Tidak hanya itu, mereka pun menghalalkan darah orang-orang yang mereka kafirkan," tutur Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.
Untuk menangkal merebaknya ideologi Islam garis keras, kata Malik, pemahaman ajaran Islam ala Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang asli harus didakwahkan terus menerus di tengah-tengah masyarakat.
"Karena Aswaja yang asli adalah yang mengajarkan toleransi, keseimbangan, musyawarah, keadilan, dan persamaan derajat," tuturnya.
Pendapat senada dikemukakan Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Muhammad Cholil Nafis. Ia menyebut gerakan radikalis teroris yang mengatasnamakan Islam adalah akibat tidak paham dengan istilah negara Islam.
"Mereka menganggap Daulah Islamiyah kalau diberi nama Islam. Padahal, Islam tidak menentukan model negara," ucap Cholil yang juga Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Menurut dia, asal di dalam suatu negara itu ada kesatuan dan kemaslahatan bagi umat beragama, maka bisa disebut sebagai negara Islam.
"Al Quran mengatakan bahwa Islam adalah agama wasathi (moderat), yaitu menjadikan umat pilihan yang adil dan pertengahan dari ekstrem kanan dan ekstrem kiri," ujarnya.
Menurut Cholil, nilai-nilai Islam senantiasa humanistik dan toleran. Kalau ada gerakan Islam yang antikemanusiaan dan memaksakan kehendak dengan kekerasan destruktif, jelas bukan gerakan Islam.
"Karena itu jangan sampai diikuti," kata kiai muda lulusan Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Arab Saudi dan University of Malaya, Malaysia itu.(ant)
₪
------------------------------------
Tangkal Radikalisme, PBNU Desak Penerbitan Undang-undang Subversif
KBRN, Cilacap : Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mendesak penerbitan Undang-undang Subversif guna menangkal gerakan radikalisme seperti paham Islamic State of Irak and Syiria (ISIS), akhir-akhir ini.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Sekjen PBNU, Abdul Mun’im usai menjadi pembicara Seminar bertema “Bahaya Radikalisme ISIS Terhadap Keutuhan NKRI” di gedung PKK Kabupaten Cilacap, Kamis (23/4/2015) siang.
“Penerbitan Undang-undang Subversif yang lebih tegas cukup mendesak, karena hal ini terkait dengan keamanan Negara bukan soal kebebasan” tegas Mun’im.
Dijelaskan, salah satu poin yang diusulkan adalah, siapapun yang menentang Pancasila akan berhadap dengan Undang-undang ini karena sama saja menentang konstitusi.
Ia membenarkan pencabutan Undang-undang Subversif di awal era reformasi lalu, melemahkan aparat penegak hukum menindak siapapun yang berpotensi mengganggu keutuhan NKRI.
“Melalui usulan ini kami berharap Undang-undang yang lebih tegas sebagai landasan bagi pemerintah dan aparat Polri bertindak tegas terhadap setiap pelanggar.
Namun ia menyadari usulan ini akan berbenturan dengan kelompok lain yang tengah dalam masa euphoria demokrasi dan HAM.
“Ada sebagian kelompok yang trauma dan ketakutan akan kembali ke masa Orde Baru. Tapi saya perlu tegaskan bahwa pemberantasan radikalisme tidak akan bertentangan dengan HAM, jika Undang-undang itu sudah diterbitkan” ungkapnya.
Selain Abdul Mun’imm dua pembicara lain juga turut serta dalam seminar ini yakni Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari dan perwakilan dari Polres Cilacap.
Kegiatan dihadiri oleh sekitar 500 peserta terdiri dari massa dan simpatisan NU, sejumlah ormas Islam dan organisasi kemasyarakan, serta kalangan pelajar. (Sandy/AA).
₪
Diubah oleh pumm 04-06-2015 02:38
0
13.8K
259


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan