Mungkin kita pernah menyaksikan sebagian orang ketika shalat dalam keadaan penutup kepala atau tidak. Apakah seperti ini bermasalah, artinya tidak afdhol atau bahkan tidak dibolehkan sama sekali ketika shalat? , kita telah tahu budaya mengenakan kopiah ini telah digunakan oleh pendahulu kita yang merupakan bagian dari tatacara adat budaya . Untuk itu Mari Membahas bersama . Ane ingin CMIIW agan dalam Xkonten tulisan ini sangat amat sensitif
oleh Al Lajnah Ad Daimah menjawab,
Pertama, pakaian termasuk dalam perkara adat dan bukanlah perkara ibadah, sehingga ada kelapangan dalam hal ini. Pakaian apa saja tidaklah terlarang kecuali yang dilarang oleh syari'at seperti mengenakan kain sutera untuk pria, mengenakan pakaian tipis yang menampakkan aurat, mengenakan pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh yang termasuk aurat, atau pakaian tersebut termasuk tasyabbuh (menyerupai) pakaian wanita atau pakaian yang menjadi kekhususan orang kafir.
Kedua, perlu diketahui bahwa kepala pria bukanlah aurat dan tidak disunnahkan untuk ditutup baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Boleh saja seorang pria mengenakan 'imamah atau peci dan boleh juga ia membiarkan kepalanya tanpa penutup kepala dalam shalat atau pun dalam kondisi lainnya. Dan perlu diperhatikan bahwa tidak perlu sampai seseorang menjelek-jelekkan orang lain atau melecehkannya dalam hal ini.
Namun daripada dari itu ,
Allah berfirman,yang artinya, "Wahai anak keturunan Adam kenakanlah pakaian perhiasan kalian setiap kali kalian mengerjakan shalat" [QS al A'raf:31].
Syaikh Abdurrahman as Sa'di menjelaskan ayat di atas dengan mengatakan, "Maknanya tutupilah aurat kalian ketika kalian mengerjakan shalat baik shalat yang wajib maupun shalat sunah karena tertutupnya aurat itu menyebabkan indahnya badan sebagaimana terbukanya aurat itu menyebabkan badan nampak jelek dan tidak sedap dipandang.
Zinah [perhiasan] dalam ayat di atas bisa juga bermakna pakaian yang lebih dari sekedar menutup aurat itulah pakaian yang bersih dan rapi.
Jadi dalam ayat di atas terdapat perintah untuk menutupi aurat ketika ketika hendak mengerjakan shalat dan mema
kai pakaian yang menyebabkan orang yang memakainya nampak sedap dipandang mata serta memakai pakaian yang bersih dari kotoran dan najis" [Taisir Karim ar Rahman hal 311, terbitan Dar Ibnul Jauzi , cet kedua 1426 H].
Berdasarkan makna yang kedua yang disampaikan oleh Ibnu Sa'di di atas maka ketika kita mengerjakan shalat kita dianjurkan untuk memakai pakaian perhiasan. Itulah pakaian yang menyebabkan kita sedap dipandang jika kita memakainya. Tolak ukur pakaian perhiasan adalah kebiasaan masyarakat sehingga berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain, satu zaman dengan zaman yang lain.
Sehingga jika di suatu daerah memakai peci adalah bagian dari berpakaian rapi dan menarik ketika shalat maka memakai peci adalah suatu hal yang dianjurkan sehingga tidak memakai peci dalam kondisi tersebut berarti melakukan hal yang kurang afdhol.
Tetapi hukum memakai peci menjadi berbeda manakala kita
berdomisili di suatu yang tidak menilai berpeci sebagai bagian dari kerapian berpakaian dalam shalat. Namun dari pmbahasan ini menjadikan kita bersemangat untuk meneruskan budaya nenek moyang kita yang tak akan hilang ditelan zaman dengan tetap mengajarkan anak cucu kita agar tidak malu/lupa tentang budaya ini.