- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengenal lebih jauh Kisruh Titah Sultan Keraton Yogyakarta !


TS
AdidBunbun
Mengenal lebih jauh Kisruh Titah Sultan Keraton Yogyakarta !

Quote:

~Welcome To My Thread~
Semoga thread ini berguna dan bermanfaat untuk pengetahuan masyarakat Indonesia
Terimakasih Mimin,Momod,Officer,dan Enthusiast yang telah menjadikan Hot Thread pada 14 Mei 2015. Semoga thread yang menjadi Hot Thread merupakan thread yang berkualitas dan berguna bagi orang banyak

Quote:
Beberapa waktu yang lalu, publik digegerkan dengan konflik yang mencuat di kalangan keluarga dalam keraton mataram yogyakarta. Hal tersebut bermula setelah sultan HBX mengeluarkan sabda raja serta perubahan gelar yang melakat di dalamnya. Konon kabarnya keluarga adik-adik sultan yang laki-laki tidak terima apabila tahta sultan berikutnya jatuh ke tangan anak sultan sendiri yang notabene adalah wanita?. Mau tau lebih jauh? Yuk kita bahas satu persatu di bawah ini.



Quote:
Original Posted By PROLOG
Bendara Raden Mas Herjuno Darpitoatau Sri Sultan Hamengkubawana X
(Baca Bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengku Bawono X,lahir di Yogyakarta, 2 April 1946; umur 69 tahun)
adalah raja Kasultanan Yogyakarta sejak tahun 1989 dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1998.
Hamengkubawono X lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito. Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram. Hamengkubawono X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM. Pada 27 Desember 2011, ia menerima gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Gelar tersebut karena kiprahnya dalam seni dan budaya, terutama seni pertunjukan tradisi dan kontemporer sejak 1989.
Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, akhirnya pada 1998 beliau ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubawono X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 ia ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali ini ia didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.
Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April 2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah periode jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam pisowanan agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di kancah nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.


Bendara Raden Mas Herjuno Darpitoatau Sri Sultan Hamengkubawana X
(Baca Bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengku Bawono X,lahir di Yogyakarta, 2 April 1946; umur 69 tahun)
adalah raja Kasultanan Yogyakarta sejak tahun 1989 dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1998.
Hamengkubawono X lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito. Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram. Hamengkubawono X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM. Pada 27 Desember 2011, ia menerima gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Gelar tersebut karena kiprahnya dalam seni dan budaya, terutama seni pertunjukan tradisi dan kontemporer sejak 1989.
Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, akhirnya pada 1998 beliau ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubawono X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 ia ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali ini ia didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.
Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April 2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah periode jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam pisowanan agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di kancah nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.


Quote:
Original Posted By Kegiatan Organisasi
Hamengkubawono X aktif dalam berbagai organisasi dan pernah memegang berbagai jabatan diantaranya adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1996 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY. Pada 2010, bersama dengan Surya Paloh, Sri Sultan Hamengkubawono X mencetuskan pendirian ormas Nasional Demokrat.

Hamengkubawono X aktif dalam berbagai organisasi dan pernah memegang berbagai jabatan diantaranya adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1996 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY. Pada 2010, bersama dengan Surya Paloh, Sri Sultan Hamengkubawono X mencetuskan pendirian ormas Nasional Demokrat.

Quote:
Original Posted By Penerus & masalahnya
Sri Sultan Hamengku Bawono X Menikah dengan Tatiek Drajad Suprihastuti/BRA Mangkubumi/GKR Hemas, putri dari Kolonel Radin Subanadigda Sastrapranata, pada tahun 1968.Kedua pasangan tersebut dianugerahi lima orang putri:
Sri Sultan Hamengkubawono menghadapi persoalan terkait penerusnya karena tidak memiliki putra. Masalah ini mengemuka ketika terjadi pembahasan Raperda Istimewa tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sampai Sultan HB X secara mendadak mengeluarkan Sabdatama pertama pada 6 Maret 2015. Dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi gubernur DIY adalah "menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak;" yang dianggap hanya memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk menjadi kandidat Sultan Hamengkubawana XI.
Pada akhirnya, Sultan memutuskan mengeluarkan Sabdaraja pertamayang diucapkan pada tanggal 30 April 2015 dan kedua pada tanggal 5 Mei 2015. Sabdaraja tersebut menghasilkan keputusan mengangkat GKR Pembayun sebagai Putri Mahkota, serta perubahan gelar menjadi Hamengkubawana.

Sri Sultan Hamengku Bawono X Menikah dengan Tatiek Drajad Suprihastuti/BRA Mangkubumi/GKR Hemas, putri dari Kolonel Radin Subanadigda Sastrapranata, pada tahun 1968.Kedua pasangan tersebut dianugerahi lima orang putri:
Quote:
- GRA Nurmalita Sari/GKR Pembayun (menikah dengan KPH Wironegoro)
- GRA Nurmagupita/GKR Condrokirono (menikah dan bercerai dengan [KRT] Suryokusumo)
- GRA Nurkamnari Dewi/GKR Maduretno (menikah dengan KPH Purbodiningrat)
- GRA Nurabra Juwita/GKR Hayu (menikah dengan KPH Notonegoro)
- GRA Nurastuti Wijareni/GKR Bendoro (menikah dengan KPH Yudanegara)
Sri Sultan Hamengkubawono menghadapi persoalan terkait penerusnya karena tidak memiliki putra. Masalah ini mengemuka ketika terjadi pembahasan Raperda Istimewa tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sampai Sultan HB X secara mendadak mengeluarkan Sabdatama pertama pada 6 Maret 2015. Dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi gubernur DIY adalah "menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak;" yang dianggap hanya memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk menjadi kandidat Sultan Hamengkubawana XI.
Pada akhirnya, Sultan memutuskan mengeluarkan Sabdaraja pertamayang diucapkan pada tanggal 30 April 2015 dan kedua pada tanggal 5 Mei 2015. Sabdaraja tersebut menghasilkan keputusan mengangkat GKR Pembayun sebagai Putri Mahkota, serta perubahan gelar menjadi Hamengkubawana.
Quote:
Original Posted By Penobatan
Penobatan Hamengkubawono X sebagai raja (yang pertama kali) dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi
Papan pengumuman mengumumkan penobatan Hamengkubuwana X tanggal 7 Maret 1989 sebagai raja Kasultanan Yogyakarta yang baru. Setelah Sabdaraja pertama yang diucapkan pada tanggal 30 April 2015, gelarnya Sultan kemudian berubah menjadi

Penobatan Hamengkubawono X sebagai raja (yang pertama kali) dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi
Quote:
Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku BuwanaSenapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Papan pengumuman mengumumkan penobatan Hamengkubuwana X tanggal 7 Maret 1989 sebagai raja Kasultanan Yogyakarta yang baru. Setelah Sabdaraja pertama yang diucapkan pada tanggal 30 April 2015, gelarnya Sultan kemudian berubah menjadi
Quote:
Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawonoingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama.

Quote:
Original Posted By Konflik Perubahan Gelar
Asal Usul Gelar Khalifatullah (yang sekarang hilang) di Kesultanan Yogyakarta
Setelah hampir tiga abad melekat pada sultan-sultan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X melepaskan gelar khalifatullah. Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda Raja pada 30 April 2015 yang menghilangkan gelar khalifatullah dan mengubah Buwana menjadi Bawana. Berbagai kalangan mengomentari penghilangan gelar tersebut. Namun, yang terpenting adalah sabda ini menyangkut suksesi di Kesultanan Yogyakarta, di mana sultan diduga hendak mengangkat putrinya sebagai penggantinya karena tak memiliki putra mahkota. Adik-adik sultan pun menentangnya.
Bagaimana sejarah gelar khalifatullah melekat pada sultan-sultan Yogyakarta?

Perdebatan Hukum, Perubahan Gelar Ancam Legitimasi Sultan
Perdebatan hukum mewarnai keluarnya sabdaraja dan dawuhraja Sultan Hamengku Buwono X (HB X).
Beberapa kalangan menilai perubahan gelar dan pengangkatan putri mahkota Keraton Jogja dengan gelar GKR Mangkubumi berdampak pada Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta (UUK DIJ).
Guru besar ilmu pemerintahan UGM Prof Dr Purwo Santoso mengungkapkan, pengubahan nama dan gelar dalam sabdaraja oleh HB X merupakan masalah serius. Sebab, hal itu berimplikasi pada Undang-Undang Keistimewaan DIJ.
"Bermasalah serius karena ada UU di level nasional yang diterapkan di level lokal. Perubahan di level lokal itu pun mendiktekan perubahan di level atas. Itu sangat tidak lazim," jelasnya.
Menurut dia, penggantian nama Sultan dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono serta penghapusan gelar khalifatullah berimplikasi berat terhadap hukum. Sebab, nama saat ini tidak cocok dengan yang dicanangkan dalam UUK DIJ.
"Nama gelar yang dicanangkan dalam UU tidak cocok lagi. Sebab, disebutkan, yang berhak menjadi gubernur DIJ adalah sultan yang bertakhta dan bergelar seperti yang disebutkan dalam UU. Jika diubah sepihak, implikasi hukumnya, yang bertakhta saat ini tidak legitimate," tegasnya.
Mengenai kemungkinan adanya perubahan UUK, Purwo menyatakan hal itu bisa saja terjadi. Jika kemudian pemerintah dan DPR bisa didikte oleh perubahan di keraton, kata dia, bukan tidak mungkin UUK direvisi.
"Tetapi, kalau ternyata yang dilakukan tidak sama dengan yang dibayangkan pembuat undang-undang, tindakan itu menyulitkan implementasi UUK di lapangan," terangnya.
Sebab, lanjut dia, saat ini mulai ada yang mempermasalahkan legitimasi gubernur. Sebab, faktanya, gelarnya tidak cocok dengan yang dicanangkan dalam UU. Berdasar UU, yang berhak menjadi gubernur DIJ adalah bertakhta dan sesuai dengan gelar. "Jika gelarnya diubah, jelas memunculkan kontroversi," ujarnya.
Soal jabatan gubernur, jelas Purwo, menurut bahasa undang-undang, yang berhak menjadi gubernur adalah yang saat ini menyandang gelar. Apabila gelarnya diganti, secara hukum gubernur tidak lagi legitimate. "Sejumlah orang yang tidak sepakat mulai mempersoalkan legitimasi gubernur yang menjabat sekarang," ungkapnya.
Namun, penilaian para pangeran dan pengamat tersebut langsung direspons Raja Keraton Jogjakarta Sultan Hamengku Buwono X. Dia menegaskan, perubahan nama dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono dan ditanggalkannya gelar khalifatullah tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun.
Karena itu, tegas dia, tidak perlu ada kekhawatiran tidak cairnya dana keistimewaan (danais) karena perubahan gelar tersebut. "Tidak ada pengaruhnya pada dana keistimewaan," ujarnya.
Pernyataan Sultan tersebut merespons komentar adiknya, GBPH Yudhaningrat, saat menghadiri pemberian honorarium bagi para abdi dalem Kasunanan Surakarta di Pendapa Kabupaten Juru Kunci Pasareyan Agung Imogiri Bagian Surakarta, Rabu (6/5).
Di depan 71 abdi dalem kasunanan, Gusti Yudha mewanti-wanti agar mereka tidak lagi menerima danais jika dana tersebut diteken Sultan dengan gelar barunya. Sebab, perubahan gelar tersebut memiliki dampak hukum. Salah satunya terhadap danais.
Soal polemik pasca-sabdaraja yang kini meruncing di tengah masyarakat, Sultan menegaskan siap menjelaskan. "Sebenarnya (sabdaraja) tidak ada masalah. Saya tidak akan bicara itu. Saya minggu depan mengundang (rakyat) tersendiri. Tapi, mulai besok memang ada masyarakat yang ingin minta penjelasan," kata Sultan di sela kunjungan ke Resor Polisi Hutan (RPH) Gubug Rubuh, Playen, kemarin.

Penggantian Gelar Sultan Yogya Berefek ke Tradisi
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra menilai Sabda Raja mengenai penggantian gelar Sultan Kraton Yogyakarta bisa berdampak luas. Menurut Heddy, penghapusan istilah "Sayidin Panatagama" dan "Khalifatullah" melenyapkan dasar konsep manunggaling kawulo gusti. "Ini menghilangkan sebagian keistimewaan Yogyakarta," kata dia saat dihubungi Tempo, Senin, 4 Mei 2015.

Tak terima Pembayun jadi ratu, 10 adik Sultan rapat bahas Sabda Raja
Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan mengangkat GKR Pembayun jadi ratu membuat kegaduhan di keluarga keraton. Malam ini (6/5)adik-adik Sultan akan menggelar rapat untuk membahas Sabda Raja yang mereka nilai telah melanggar tradisi Keraton Yogyakarta itu.
Setelah hampir tiga abad melekat pada sultan-sultan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X melepaskan gelar khalifatullah. Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda Raja pada 30 April 2015 yang menghilangkan gelar khalifatullah dan mengubah Buwana menjadi Bawana. Berbagai kalangan mengomentari penghilangan gelar tersebut. Namun, yang terpenting adalah sabda ini menyangkut suksesi di Kesultanan Yogyakarta, di mana sultan diduga hendak mengangkat putrinya sebagai penggantinya karena tak memiliki putra mahkota. Adik-adik sultan pun menentangnya.
Bagaimana sejarah gelar khalifatullah melekat pada sultan-sultan Yogyakarta?
Spoiler for asal-usul gelar:
Pada awalnya, raja-raja Mataram memakai gelar panembahan, sultan, dan sunan. Raja terbesar Mataram, Sultan Agung menggunakan gelar sultan. Untuk melegitimasi kekuasaanya, dia mengirim utusan ke Mekah untuk meminta gelar sultan pada 1641. Dia mengikuti jejak Sultan Banten, Pangeran Ratu yang menjadi raja Jawa pertama yang mendapatkan gelar sultan dari Mekah, sehingga namanya menjadi Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir.
Raja-raja Martaram berikutnya, Amangkurat I sampai III menggunakan gelar sunan. Sedangkan Amangkurat IV (1719-1724) menjadi yang pertama menggunakan gelar khalifatullah. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3, gelar baru ini, khalifatullah (dari kata khalifah artinya wakil) menegaskan perubahan konsep lama raja Jawa, dari perwujudan dewa menjadi wakil Allah di dunia.
Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755 yang memecah Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, gelar khalifatullah digunakan oleh sultan-sultan Yogyakarta sedangkan raja-raja Surakarta memakai gelar sunan.
“Oleh karena itu, di dalam literatur atau kesempatan resmi, sebutan untuk raja-raja Surakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama. Sementara sebutan untuk raja keraton Yogyakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah,” tulis Djoko Marihandono dalam disertasinya tentang Herman Willem Daendels, di Universitas Indonesia tahun 2005.
Anehnya, menurut Lombard, Sunan Surakarta tidak pernah menuntut gelar khalifatullah, barangkali karena mereka merasakan bahwa gelar baru itu secara tersirat membatasi kekuasaan mereka; fungsi raja disandingi ciri-ciri moral tertentu berdasarkan Islam.
Dalam Islam dan Khazanah Budaya Kraton Yogyakarta, Teuku Ibrahim Alfian menguraikan arti gelar itu: Senopati berarti sultanlah penguasa yang sah di dunia fana ini. Ing Alogo artinya raja mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian dan peperangan, atau sebagai panglima tertinggi saat perang. Abdur Rahman Sayyidin Panatagama, berarti sultan dianggap sebagai penata, pemuka dan pelindung agama. Dan khalifatullah sebagai wakil Allah di dunia.
Menurut Abdul Munir Mulkan dalam Reinventing Indonesia, meskipun raja-raja Jawa memakai gelar Sayyidin Panatagama Khalifatullah, namun dipandang oleh sementara pihak sebagai pusat tradisi kejawen (mistisisme Jawa) yang tidak mencerminkan tradisi Islam. Sementara yang lain memandang bahwa tradisi kejawen dengan pusat kehidupan kerajaan di Jawa adalah Islam dalam perspektif Jawa.
Sementara itu, menurut Alfian, gelar yang disandang oleh Sultan Yogyakarta mengungkapkan konsep keselarasan. “Keraton Yogyakarta seperti kerajaan-kerajaan Jawa dan kerajaan yang bersifat ketimuran pada umumnya menganut konsep keselarasan antara urusan politik, sosial dan agama,” pungkas Alfian.
Raja-raja Martaram berikutnya, Amangkurat I sampai III menggunakan gelar sunan. Sedangkan Amangkurat IV (1719-1724) menjadi yang pertama menggunakan gelar khalifatullah. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3, gelar baru ini, khalifatullah (dari kata khalifah artinya wakil) menegaskan perubahan konsep lama raja Jawa, dari perwujudan dewa menjadi wakil Allah di dunia.
Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755 yang memecah Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, gelar khalifatullah digunakan oleh sultan-sultan Yogyakarta sedangkan raja-raja Surakarta memakai gelar sunan.
“Oleh karena itu, di dalam literatur atau kesempatan resmi, sebutan untuk raja-raja Surakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama. Sementara sebutan untuk raja keraton Yogyakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah,” tulis Djoko Marihandono dalam disertasinya tentang Herman Willem Daendels, di Universitas Indonesia tahun 2005.
Anehnya, menurut Lombard, Sunan Surakarta tidak pernah menuntut gelar khalifatullah, barangkali karena mereka merasakan bahwa gelar baru itu secara tersirat membatasi kekuasaan mereka; fungsi raja disandingi ciri-ciri moral tertentu berdasarkan Islam.
Dalam Islam dan Khazanah Budaya Kraton Yogyakarta, Teuku Ibrahim Alfian menguraikan arti gelar itu: Senopati berarti sultanlah penguasa yang sah di dunia fana ini. Ing Alogo artinya raja mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian dan peperangan, atau sebagai panglima tertinggi saat perang. Abdur Rahman Sayyidin Panatagama, berarti sultan dianggap sebagai penata, pemuka dan pelindung agama. Dan khalifatullah sebagai wakil Allah di dunia.
Menurut Abdul Munir Mulkan dalam Reinventing Indonesia, meskipun raja-raja Jawa memakai gelar Sayyidin Panatagama Khalifatullah, namun dipandang oleh sementara pihak sebagai pusat tradisi kejawen (mistisisme Jawa) yang tidak mencerminkan tradisi Islam. Sementara yang lain memandang bahwa tradisi kejawen dengan pusat kehidupan kerajaan di Jawa adalah Islam dalam perspektif Jawa.
Sementara itu, menurut Alfian, gelar yang disandang oleh Sultan Yogyakarta mengungkapkan konsep keselarasan. “Keraton Yogyakarta seperti kerajaan-kerajaan Jawa dan kerajaan yang bersifat ketimuran pada umumnya menganut konsep keselarasan antara urusan politik, sosial dan agama,” pungkas Alfian.

Perdebatan Hukum, Perubahan Gelar Ancam Legitimasi Sultan
Perdebatan hukum mewarnai keluarnya sabdaraja dan dawuhraja Sultan Hamengku Buwono X (HB X).
Beberapa kalangan menilai perubahan gelar dan pengangkatan putri mahkota Keraton Jogja dengan gelar GKR Mangkubumi berdampak pada Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta (UUK DIJ).
Spoiler for Lalu?:
Guru besar ilmu pemerintahan UGM Prof Dr Purwo Santoso mengungkapkan, pengubahan nama dan gelar dalam sabdaraja oleh HB X merupakan masalah serius. Sebab, hal itu berimplikasi pada Undang-Undang Keistimewaan DIJ.
"Bermasalah serius karena ada UU di level nasional yang diterapkan di level lokal. Perubahan di level lokal itu pun mendiktekan perubahan di level atas. Itu sangat tidak lazim," jelasnya.
Menurut dia, penggantian nama Sultan dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono serta penghapusan gelar khalifatullah berimplikasi berat terhadap hukum. Sebab, nama saat ini tidak cocok dengan yang dicanangkan dalam UUK DIJ.
"Nama gelar yang dicanangkan dalam UU tidak cocok lagi. Sebab, disebutkan, yang berhak menjadi gubernur DIJ adalah sultan yang bertakhta dan bergelar seperti yang disebutkan dalam UU. Jika diubah sepihak, implikasi hukumnya, yang bertakhta saat ini tidak legitimate," tegasnya.
Mengenai kemungkinan adanya perubahan UUK, Purwo menyatakan hal itu bisa saja terjadi. Jika kemudian pemerintah dan DPR bisa didikte oleh perubahan di keraton, kata dia, bukan tidak mungkin UUK direvisi.
"Tetapi, kalau ternyata yang dilakukan tidak sama dengan yang dibayangkan pembuat undang-undang, tindakan itu menyulitkan implementasi UUK di lapangan," terangnya.
Sebab, lanjut dia, saat ini mulai ada yang mempermasalahkan legitimasi gubernur. Sebab, faktanya, gelarnya tidak cocok dengan yang dicanangkan dalam UU. Berdasar UU, yang berhak menjadi gubernur DIJ adalah bertakhta dan sesuai dengan gelar. "Jika gelarnya diubah, jelas memunculkan kontroversi," ujarnya.
Soal jabatan gubernur, jelas Purwo, menurut bahasa undang-undang, yang berhak menjadi gubernur adalah yang saat ini menyandang gelar. Apabila gelarnya diganti, secara hukum gubernur tidak lagi legitimate. "Sejumlah orang yang tidak sepakat mulai mempersoalkan legitimasi gubernur yang menjabat sekarang," ungkapnya.
Namun, penilaian para pangeran dan pengamat tersebut langsung direspons Raja Keraton Jogjakarta Sultan Hamengku Buwono X. Dia menegaskan, perubahan nama dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono dan ditanggalkannya gelar khalifatullah tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun.
Karena itu, tegas dia, tidak perlu ada kekhawatiran tidak cairnya dana keistimewaan (danais) karena perubahan gelar tersebut. "Tidak ada pengaruhnya pada dana keistimewaan," ujarnya.
Pernyataan Sultan tersebut merespons komentar adiknya, GBPH Yudhaningrat, saat menghadiri pemberian honorarium bagi para abdi dalem Kasunanan Surakarta di Pendapa Kabupaten Juru Kunci Pasareyan Agung Imogiri Bagian Surakarta, Rabu (6/5).
Di depan 71 abdi dalem kasunanan, Gusti Yudha mewanti-wanti agar mereka tidak lagi menerima danais jika dana tersebut diteken Sultan dengan gelar barunya. Sebab, perubahan gelar tersebut memiliki dampak hukum. Salah satunya terhadap danais.
Soal polemik pasca-sabdaraja yang kini meruncing di tengah masyarakat, Sultan menegaskan siap menjelaskan. "Sebenarnya (sabdaraja) tidak ada masalah. Saya tidak akan bicara itu. Saya minggu depan mengundang (rakyat) tersendiri. Tapi, mulai besok memang ada masyarakat yang ingin minta penjelasan," kata Sultan di sela kunjungan ke Resor Polisi Hutan (RPH) Gubug Rubuh, Playen, kemarin.

Penggantian Gelar Sultan Yogya Berefek ke Tradisi
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra menilai Sabda Raja mengenai penggantian gelar Sultan Kraton Yogyakarta bisa berdampak luas. Menurut Heddy, penghapusan istilah "Sayidin Panatagama" dan "Khalifatullah" melenyapkan dasar konsep manunggaling kawulo gusti. "Ini menghilangkan sebagian keistimewaan Yogyakarta," kata dia saat dihubungi Tempo, Senin, 4 Mei 2015.
Spoiler for Lalu?:
Dia menjelaskan konsep Manunggaling Kawula Gusti, atau menyatunya raja dengan rakyat, selama ini muncul karena figur Sultan merupakan wakil tuhan yang menjadi pemimpin di bumi. Konsep ini memunculkan keterikatan spiritual yang menyatukan antara rakyat dengan Raja. "Kalau hilang, kewibawaan raja hilang, dan Sultan sendiri yang mencopotnya," kata Heddy.
Karena itu, dia mengimbuhkan, perubahan gelar Sultan itu bisa memunculkan perubahan drastis di tradisi ageng atau bangunan budaya di Keraton Yogyakarta. Banyak ritual dan simbol kebudayaan keraton bisa ikut berubah. "Hubungan Sultan dengan Masjid Agung Kauman akan tidak memiliki landasan lagi," kata Heddy mencontohkan.
Makanya, Heddy berpendapat wacana penggantian gelar ini berpeluang memunculkan friksi idelogis dan nilai di internal Keraton Yogyakarta. Dia mengaku tidak bisa memprediksi bentuk friksi paling nyata akibat perdebatan soal nilai tradisi ini. Tapi, dia beranggapan, penggantian nama gelar Sultan akan menjadi fase perubahan penting dalam sejarah Kraton Yogyakarta.
Heddy menduga Sultan sedang mendorong adanya perubahan baru di tradisi Kraton dengan meninggalkan sebagian nilai-nilai tradisi Mataram Islam. Namun, menurut Heddy, implikasi dari perubahan ini sungguh rumit mengingat menyangkut perubahan bangunan keseluruhan budaya Kraton Yogyakarta dalam jangka panjang. "Bisa jadi, Sultan memang menganggap Kraton sudah waktunya berubah," kata dia.
Kalau ini memang benar menjadi pemicunya, Heddy menyimpulkan perubahan besar kali ini merupakan imbas dari pertentangan antara nilai-nilai modern sistem politik dan tradisi yang selama ini mempengaruhi perkembangan Keraton Yogyakarta
Karena itu, dia mengimbuhkan, perubahan gelar Sultan itu bisa memunculkan perubahan drastis di tradisi ageng atau bangunan budaya di Keraton Yogyakarta. Banyak ritual dan simbol kebudayaan keraton bisa ikut berubah. "Hubungan Sultan dengan Masjid Agung Kauman akan tidak memiliki landasan lagi," kata Heddy mencontohkan.
Makanya, Heddy berpendapat wacana penggantian gelar ini berpeluang memunculkan friksi idelogis dan nilai di internal Keraton Yogyakarta. Dia mengaku tidak bisa memprediksi bentuk friksi paling nyata akibat perdebatan soal nilai tradisi ini. Tapi, dia beranggapan, penggantian nama gelar Sultan akan menjadi fase perubahan penting dalam sejarah Kraton Yogyakarta.
Heddy menduga Sultan sedang mendorong adanya perubahan baru di tradisi Kraton dengan meninggalkan sebagian nilai-nilai tradisi Mataram Islam. Namun, menurut Heddy, implikasi dari perubahan ini sungguh rumit mengingat menyangkut perubahan bangunan keseluruhan budaya Kraton Yogyakarta dalam jangka panjang. "Bisa jadi, Sultan memang menganggap Kraton sudah waktunya berubah," kata dia.
Kalau ini memang benar menjadi pemicunya, Heddy menyimpulkan perubahan besar kali ini merupakan imbas dari pertentangan antara nilai-nilai modern sistem politik dan tradisi yang selama ini mempengaruhi perkembangan Keraton Yogyakarta

Tak terima Pembayun jadi ratu, 10 adik Sultan rapat bahas Sabda Raja
Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan mengangkat GKR Pembayun jadi ratu membuat kegaduhan di keluarga keraton. Malam ini (6/5)adik-adik Sultan akan menggelar rapat untuk membahas Sabda Raja yang mereka nilai telah melanggar tradisi Keraton Yogyakarta itu.
Spoiler for Bagaimana Rapatnya?:
Rapat akan dilakukan di kediaman GBPH Prabukusumo, Rabu (6/5) malam. Rapat tersebut juga rencananya akan dihadiri oleh sepuluh adik Sultan.
"Ada sebelas, tapi satu tidak bisa hadir karena sakit, besok GBPH Hadisuryo akan operasi di Jakarta," katanya Prabukusumo pada wartawan usai ziarah di makam Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Rabu (6/5).
Dia menerangkan rapat keluarga tersebut nantinya akan berlangsung secara tertutup dan hasilnya akan disampaikan ke masyarakat keesokan harinya, Kamis (7/5). Selain menggelar rapat internal, mereka juga menerima sejumlah perwakilan rakyat Yogyakarta untuk menyampaikan aspirasinya.
"Besok di rumah Mas Yudoningrat jam 10.00 WIB kita akan menerima perwakilan rakyat Yogyakarta, silakan datang kalau mau menyampaikan aspirasi," terangnya.
Rencananya hasil rapat dan aspirasi rakyat Yogyakarta tersebut nantinya akan diserahkan ke Sri Sultan Hamengku Buwono X. Meski demikian pihaknya masih akan mencari waktu yang tepat.
"Rencananya begitu, tapi lihat nanti saja," tandasnya.
"Ada sebelas, tapi satu tidak bisa hadir karena sakit, besok GBPH Hadisuryo akan operasi di Jakarta," katanya Prabukusumo pada wartawan usai ziarah di makam Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Rabu (6/5).
Dia menerangkan rapat keluarga tersebut nantinya akan berlangsung secara tertutup dan hasilnya akan disampaikan ke masyarakat keesokan harinya, Kamis (7/5). Selain menggelar rapat internal, mereka juga menerima sejumlah perwakilan rakyat Yogyakarta untuk menyampaikan aspirasinya.
"Besok di rumah Mas Yudoningrat jam 10.00 WIB kita akan menerima perwakilan rakyat Yogyakarta, silakan datang kalau mau menyampaikan aspirasi," terangnya.
Rencananya hasil rapat dan aspirasi rakyat Yogyakarta tersebut nantinya akan diserahkan ke Sri Sultan Hamengku Buwono X. Meski demikian pihaknya masih akan mencari waktu yang tepat.
"Rencananya begitu, tapi lihat nanti saja," tandasnya.

Quote:

Nah apapun yang terjadi, semoga tidak menimbulkan gesekan yang kuat di masyarakat.
Mari wujudkan kebali Jogja Berhati Nyaman. Semoga konflik ini tidak menjadi kegaduhan politik yang menimbulkan perpecah belahan kekuasaan
yg pada akhirnya merugikan masyarkat.




Quote:
Original Posted By sumber
- http://historia.id/kuno/asal-usul-gelar-khalifatullah-di-kesultanan-yogyakarta
- http://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubawana_X
- http://www.jpnn.com/read/2015/05/08/302685/Perdebatan-Hukum,-Perubahan-Gelar-Ancam-Legitimasi-Sultan
- http://www.tempo.co/read/news/2015/05/04/058663434/Penggantian-Gelar-Sultan-Yogya-Berefek-ke-Tradisi
- http://news.okezone.com/read/2015/05/08/340/1146909/alasan-sultan-hb-x-hilangkan-gelar-khalifatullah
- http://www.merdeka.com/peristiwa/tak-terima-pembayun-jadi-ratu-10-adik-sultan-rapat-bahas-sabda-raja.html

Quote:

JOGA MEMANG ISTIMEWA

Quote:
Kunjungi Thread Ane Yang Lain
17 Mei, Selamat Hari Buku Nasional
17 Mei, Selamat Hari Buku Nasional


Bersambung ke post #2 karena keterbatasan halaman
Diubah oleh AdidBunbun 17-05-2015 10:34
0
103.1K
Kutip
650
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan