Bantul - Kisah Slamet sungguh mengharukan. Dia ditinggal orangtua, tak punya rumah, dan akhirnya tinggal di sekolah. Bagaimana ceritanya?

Slamet lahir di Magelang, 20 Oktober 1998. Dia adalah siswa kelas 7 SMPN Sewon. Sejak kelas III hingga lulus SD, ia dititipkan di SD Yaketunis di Danunegaran, Mantrijeron, Kota Yogyakarta.

Keluarga Slamet berpindah-pindah tempat, pernah di Muntilan, Magelang, hingga Klaten.

Tahun 2013 adalah tahun kelabu bagi Slamet. Ia tidak lagi menerima uang dari orangtuanya. Lebih menyedihkan lagi, ayah kandung dan ibu tirinya tak berada di rumah kontrakan. Hingga kini, keberadaan mereka tak diketahui.

Slamet pontang-panting. Ia tak kuat membayar kos. Ia menceritakan masalah yang dihadapi kepada salah satu gurunya. Setelah disampaikan ke pihak sekolah, Kepala Sekolah Asnawi mengizinkan dia menempati salah satu ruangan di sekolah.

Saat ini, Slamet tinggal di Ruang Pramuka SMPN Sewon. Ruang itu biasanya digunakan untuk dapur sekolah membuat minuman. Kini disekat almari kayu agar sebagian bisa digunakan untuk kamar tidur Slamet.

"Saya pindah kos dari Dusun Pandes Desa Panggungharjo, karena tidak kuat bayar sewa," tutur Slamet kepada detikcom, Rabu (13/5/2015).

Sebagai siswa inklusi, Slamet mendapatkan uang saku sebesar Rp 500 ribu per bulan. Uang itulah yang dia gunakan untuk biaya hidup sehari-hari.

Slamet juga mengandalkan tabungan dari beberapa prestasi yang pernah diraihnya. Remaja berkulit cokelat itu tercatat sebagai juara tenis meja khusus difabel tingkat DIY dan nasional. Saat ini, dia tengah mempersiapkan diri mengikuti paralympics di Bandung yang rencananya digelar bulan Juni 2015 mendatang.

Selain itu, Slamet juga juara lomba catur tingkat DIY pada 2011 dan lomba cerdas cermat mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tingkat DIY. Sayang, hidup Slamet tak secerah prestasinya.
Detik
Juara Lomba Catur