- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Jangan Seret TNI Keluar dari Barak


TS
faisaleffendi
Jangan Seret TNI Keluar dari Barak
Wacana untuk melibatkan Tentara Nasional Indonesia ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mencuat. Dua tahun lalu muncul wacana KPK merekrut penyidik dari TNI.
Kala itu, KPK resmi membuka lowongan penyidik untuk kalangan TNI dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang merupakan bagian dari pengadaan 286 pegawai KPK melalui program Indonesia Memanggil. Kini pelibatan TNI di KPK kembali menyeruak, bahkan muncul pemikiran agar prajurit TNI mengisi jabatan struktural di KPK.
Kabar menghebohkan itu datang dari Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Moeldoko mengaku dimintai KPK agar prajuritnya mengisi jabatan sekretaris jenderal.
Syahdan, muncullah berbagai penolakan. Rencana itu dianggap mengkhianati agenda reformasi, menabrak Undang-Undang TNI, memundurkan demokrasi, bahkan dipandang akan membuat agenda pemberantasan korupsi karut-marut.
Amanat reformasi memerintahkan TNI untuk profesional dengan kembali ke barak dan fokus pada tugas pertahanan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bangsa ini telah sepakat TNI menjadi garda terdepan alat pertahanan negara, bukan penegak hukum seperti KPK, Polri, dan kejaksaan.
Kerja sama TNI dan KPK sebaiknya cukup dalam penggunaan Rumah Tahanan Guntur untuk menahan koruptor, tak perlu lebih jauh lagi dengan meminta pelibatan TNI aktif di struktural.
Manuver-manuver menyeret TNI ke ranah sipil harusnya dipandang sebagai kebijakan usang sejarah Republik ini. Apalagi, reformasi keamanan masih mengalami kendala serius dengan belum dilakukannya revisi UU Peradilan Militer. Celakanya, TNI malah diwacanakan untuk dilibatkan dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, KPK sendiri tidak pernah memproses kasus korupsi di TNI.
Tak hanya di sektor penegakan hukum, di sejumlah lembaga pemerintah telah terjadi pelibatan TNI. Menurut catatan Imparsial, setidaknya ada 21 MoU TNI dengan lembaga ataupun kementerian, di antaranya MoU TNI dengan Kementerian Pertanian pada 2014 dalam konteks mewujudkan ketahanan pangan nasional dan dengan KONI.
Patut ada evaluasi berbagai kerja sama tersebut karena dianggap melanggar Pasal 7 ayat (3) UU TNI. Pasal itu menyebutkan untuk menjalankan operasi militer selain perang, TNI hanya bisa melakukan tugasnya jika ada keputusan politik negara, dalam hal ini presiden. Tak elok jika nantinya rencana melibatkan TNI ke dalam KPK memunculkan kekhawatiran pemerintahan secara perlahan kembali ke militerisme.
Bangsa ini harus sepakat, sebagai alat pertahanan negara, TNI bertugas pokok menjaga wilayah pertahanan Indonesia.
Lebih baik negara ini mendukung TNI untuk melaksanakan tugas pokoknya, bukan menyeretnya keluar dari barak.
TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang profesional. Dengan beban tugas yang berat dan suci itu, wajar apabila profesionalisme TNI ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit. Kenaikan 60% tunjangan TNI yang dijanjikan Presiden Jokowi harusnya cepat terealisasi.
Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan prajurit TNI masih minim. Dalam beberapa kasus, masalah kesejahteraan anggota TNI telah membuat mereka mencari sumber pendapatan lain di luar gaji mereka.
Selain penguatan alutsista merupakan suatu kebutuhan, memberikan jaminan kesejahteraan bagi prajurit merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi negara. Menyelesaikan reformasi TNI sudah selayaknya menjadi agenda utama pemerintahan Jokowi-JK karena agenda itu merupakan mandat dari UU TNI. dengan kembali ke barak dan fokus pada tugas pertahanan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bangsa ini telah sepakat TNI menjadi garda terdepan alat pertahanan negara, bukan penegak hukum seperti KPK, Polri, dan kejaksaan.
Kerja sama TNI dan KPK sebaiknya cukup dalam penggunaan Rumah Tahanan Guntur untuk menahan koruptor, tak perlu lebih jauh lagi dengan meminta pelibatan TNI aktif di struktural.
Manuver-manuver menye ret TNI ke ranah sipil harusnya dipandang sebagai kebijakan usang sejarah Republik ini. Apalagi, reformasi keamanan masih mengalami kendala serius dengan belum dilakukannya revisi UU Peradilan Militer. Celakanya, TNI malah diwacanakan untuk dilibatkan dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, KPK sendiri tidak pernah memproses kasus korupsi di TNI.
Tak hanya di sektor penegakan hukum, di sejumlah lembaga pemerintah telah terjadi pelibatan TNI. Menurut catatan Imparsial, setidaknya ada 21 MoU TNI dengan lembaga ataupun kementerian, di antaranya MoU TNI dengan Kementerian Pertanian pada 2014 dalam konteks mewujudkan ketahanan pangan nasional dan dengan KONI.
Patut ada evaluasi berbagai kerja sama tersebut karena dianggap melanggar Pasal 7 ayat (3) UU TNI. Pasal itu menyebutkan untuk menjalankan operasi militer selain perang, TNI hanya bisa melakukan tugasnya jika ada keputusan politik negara, dalam hal ini presiden. Tak elok jika nantinya rencana melibatkan TNI ke dalam KPK memunculkan kekhawatiran pemerintahan secara perlahan kembali ke militerisme.
Bangsa ini harus sepakat, sebagai alat pertahanan negara, TNI bertugas pokok menjaga wilayah pertahanan Indonesia. Lebih baik negara ini mendukung TNI untuk melaksanakan tugas pokoknya, bukan menyeretnya keluar dari barak.
TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang profesional. Dengan beban tugas yang berat dan suci itu, wajar apabila profesionalisme TNI ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit. Kenaikan 60% tunjangan TNI yang dijanjikan Presiden Jokowi harusnya cepat terealisasi.
Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan prajurit TNI masih minim. Dalam beberapa kasus, masalah kesejahteraan anggota TNI telah membuat mereka mencari sumber pendapatan lain di luar gaji mereka.
Selain penguatan alutsista merupakan suatu kebutuhan, memberikan jaminan kesejahteraan bagi prajurit merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi negara. Menyelesaikan reformasi TNI sudah selayaknya menjadi agenda utama pemerintahan Jokowi-JK karena agenda itu merupakan mandat dari UU TNI.
Kala itu, KPK resmi membuka lowongan penyidik untuk kalangan TNI dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang merupakan bagian dari pengadaan 286 pegawai KPK melalui program Indonesia Memanggil. Kini pelibatan TNI di KPK kembali menyeruak, bahkan muncul pemikiran agar prajurit TNI mengisi jabatan struktural di KPK.
Kabar menghebohkan itu datang dari Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Moeldoko mengaku dimintai KPK agar prajuritnya mengisi jabatan sekretaris jenderal.
Syahdan, muncullah berbagai penolakan. Rencana itu dianggap mengkhianati agenda reformasi, menabrak Undang-Undang TNI, memundurkan demokrasi, bahkan dipandang akan membuat agenda pemberantasan korupsi karut-marut.
Amanat reformasi memerintahkan TNI untuk profesional dengan kembali ke barak dan fokus pada tugas pertahanan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bangsa ini telah sepakat TNI menjadi garda terdepan alat pertahanan negara, bukan penegak hukum seperti KPK, Polri, dan kejaksaan.
Kerja sama TNI dan KPK sebaiknya cukup dalam penggunaan Rumah Tahanan Guntur untuk menahan koruptor, tak perlu lebih jauh lagi dengan meminta pelibatan TNI aktif di struktural.
Manuver-manuver menyeret TNI ke ranah sipil harusnya dipandang sebagai kebijakan usang sejarah Republik ini. Apalagi, reformasi keamanan masih mengalami kendala serius dengan belum dilakukannya revisi UU Peradilan Militer. Celakanya, TNI malah diwacanakan untuk dilibatkan dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, KPK sendiri tidak pernah memproses kasus korupsi di TNI.
Tak hanya di sektor penegakan hukum, di sejumlah lembaga pemerintah telah terjadi pelibatan TNI. Menurut catatan Imparsial, setidaknya ada 21 MoU TNI dengan lembaga ataupun kementerian, di antaranya MoU TNI dengan Kementerian Pertanian pada 2014 dalam konteks mewujudkan ketahanan pangan nasional dan dengan KONI.
Patut ada evaluasi berbagai kerja sama tersebut karena dianggap melanggar Pasal 7 ayat (3) UU TNI. Pasal itu menyebutkan untuk menjalankan operasi militer selain perang, TNI hanya bisa melakukan tugasnya jika ada keputusan politik negara, dalam hal ini presiden. Tak elok jika nantinya rencana melibatkan TNI ke dalam KPK memunculkan kekhawatiran pemerintahan secara perlahan kembali ke militerisme.
Bangsa ini harus sepakat, sebagai alat pertahanan negara, TNI bertugas pokok menjaga wilayah pertahanan Indonesia.
Lebih baik negara ini mendukung TNI untuk melaksanakan tugas pokoknya, bukan menyeretnya keluar dari barak.
TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang profesional. Dengan beban tugas yang berat dan suci itu, wajar apabila profesionalisme TNI ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit. Kenaikan 60% tunjangan TNI yang dijanjikan Presiden Jokowi harusnya cepat terealisasi.
Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan prajurit TNI masih minim. Dalam beberapa kasus, masalah kesejahteraan anggota TNI telah membuat mereka mencari sumber pendapatan lain di luar gaji mereka.
Selain penguatan alutsista merupakan suatu kebutuhan, memberikan jaminan kesejahteraan bagi prajurit merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi negara. Menyelesaikan reformasi TNI sudah selayaknya menjadi agenda utama pemerintahan Jokowi-JK karena agenda itu merupakan mandat dari UU TNI. dengan kembali ke barak dan fokus pada tugas pertahanan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bangsa ini telah sepakat TNI menjadi garda terdepan alat pertahanan negara, bukan penegak hukum seperti KPK, Polri, dan kejaksaan.
Kerja sama TNI dan KPK sebaiknya cukup dalam penggunaan Rumah Tahanan Guntur untuk menahan koruptor, tak perlu lebih jauh lagi dengan meminta pelibatan TNI aktif di struktural.
Manuver-manuver menye ret TNI ke ranah sipil harusnya dipandang sebagai kebijakan usang sejarah Republik ini. Apalagi, reformasi keamanan masih mengalami kendala serius dengan belum dilakukannya revisi UU Peradilan Militer. Celakanya, TNI malah diwacanakan untuk dilibatkan dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, KPK sendiri tidak pernah memproses kasus korupsi di TNI.
Tak hanya di sektor penegakan hukum, di sejumlah lembaga pemerintah telah terjadi pelibatan TNI. Menurut catatan Imparsial, setidaknya ada 21 MoU TNI dengan lembaga ataupun kementerian, di antaranya MoU TNI dengan Kementerian Pertanian pada 2014 dalam konteks mewujudkan ketahanan pangan nasional dan dengan KONI.
Patut ada evaluasi berbagai kerja sama tersebut karena dianggap melanggar Pasal 7 ayat (3) UU TNI. Pasal itu menyebutkan untuk menjalankan operasi militer selain perang, TNI hanya bisa melakukan tugasnya jika ada keputusan politik negara, dalam hal ini presiden. Tak elok jika nantinya rencana melibatkan TNI ke dalam KPK memunculkan kekhawatiran pemerintahan secara perlahan kembali ke militerisme.
Bangsa ini harus sepakat, sebagai alat pertahanan negara, TNI bertugas pokok menjaga wilayah pertahanan Indonesia. Lebih baik negara ini mendukung TNI untuk melaksanakan tugas pokoknya, bukan menyeretnya keluar dari barak.
TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang profesional. Dengan beban tugas yang berat dan suci itu, wajar apabila profesionalisme TNI ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit. Kenaikan 60% tunjangan TNI yang dijanjikan Presiden Jokowi harusnya cepat terealisasi.
Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan prajurit TNI masih minim. Dalam beberapa kasus, masalah kesejahteraan anggota TNI telah membuat mereka mencari sumber pendapatan lain di luar gaji mereka.
Selain penguatan alutsista merupakan suatu kebutuhan, memberikan jaminan kesejahteraan bagi prajurit merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi negara. Menyelesaikan reformasi TNI sudah selayaknya menjadi agenda utama pemerintahan Jokowi-JK karena agenda itu merupakan mandat dari UU TNI.
0
1.8K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan