- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Komen Agan Tentang Pak Menpora.


TS
actus
Komen Agan Tentang Pak Menpora.
Quote:
Untuk kali kedua kompetisi sepakbola Indonesia terpaksa dihentikan dengan menggunakan dalih force majeure. Penghentian pertama terjadi pada musim 1997/98, dan terbaru adalah 2015.
Dasar yang menjadi keluarnya pernyataan force majeure dari PSSI di dua musim berbeda itu hanya satu: keamanan. Di musim 1997/98, saat itu kompetisi di seluruh divisi terpaksa dihentikan pada 25 Mei akibat kondisi politik yang tak kondusif.
Kerusuhan Mei yang terjadi di hampir sebagian besar wilayah Indonesia membuat kompetisi sepakbola dianggap tidak aman untuk diselenggarakan. Aksi anarkis menjadi ancaman serius bila pertandingan sepakbola tetap digelar, sehingga terpaksa dihentikan.
Keamanan juga menjadi faktor penyebab Indonesia Super League (ISL) dan Divisi Utama Liga Indonesia 2015 dihentikan. Bedanya, bila musim 1997/98 akibat kerusuhan Mei, tahun ini disebabkan 'kerusuhan' antara kementerian pemuda dan olahraga (Kemenpora) dan PSSI.
Akibat 'kerusuhan' itu, sejumlah pertandingan di ISL maupun Divisi Utama tidak bisa digelar, karena tak mendapat izin keramaian dari kepolisian berdasarkan keputusan Menpora Imam Nahrawi yang membekukan PSSI dengan dalih ingin memajukan persepakbolaan di Indonesia.
Buntut ego kedua lembaga tersebut, banyak pihak yang menjadi korbannya, mulai dari klub, pemain, pelatih, dan ofisial. Di luar itu, pihak yang tidak berada di lingkaran langsung pun ikut merasakannya, mulai dari perusahaan transportasi, hotel, hingga pedagang asongan yang kerap muncul saat pertandingan.
Dua lembaga yang bergerak di bidang olahraga tersebut justru sudah melupakan tujuan dan prinsip dari olahraga itu sendiri, diantaranya sportivitas dan menciptakan perdamaian. Masing-masing pihak merasa paling benar dalam menjalankan keputusannya.
Kemenpora berusaha membentuk kepengurusan baru, serta menggelar kompetisi yang diikuti klub-klub anggota PSSI. Dengan dalih apa pun, kepengurusan versi Kemenpora ini tidak akan diakui FIFA, seperti halnya yang dialami Brunei Darussalam ketika mendapatkan sanksi. Pemerintah membentuk kepengurusan versi mereka, dan berulang kali ditolak FIFA.
Dengan mengajak klub berkompetisi, secara tidak langsung Kemenpora telah menjebloskan mereka untuk mendapatkan sanksi, karena berkompetisi tidak di bawah federasi yang diakui FIFA. Keputusan Werder Bremen membatalkan kunjungan ke Indonesia bisa dijadikan contoh. Klub Bundesliga Jerman itu mengkhawatirkan adanya sanksi FIFA terhadap Indonesia akibat campur tangan pemerintah. Pasalnya, negara yang mendapat sanksi tidak bisa melakukan hubungan internasional, baik dengan timnas maupun klub, yang menjadi anggota FIFA.
Selain itu, bila Kemenpora bersikeras menggelar kompetisi, mereka pun telah melanggar keputusan yang dibuat sendiri, mengingat perangkat pertandingan berada di bawah naungan PSSI yang telah dibekukan.
Sebaliknya, PSSI juga tidak bisa mengabaikan pemerintah. Mereka wajib mengikuti aturan yang berlaku di negara ini. Walau stadion yang digunakan bertanding disewa, mereka tetap membutuhkan keputusan pemerintah untuk izin penggunaannya.
Di samping itu, keterbatasan dana juga membuat PSSI tidak bisa sepenuhnya menjalankan pembinaan di level amatir. Dengan jumlah klub amatir yang sangat besar, belum termasuk sekolah sepakbola, uluran tangan pemerintah sangat dibutuhkan.
Karena itu, dibutuhkan sinergi antara kedua belah pihak dalam membangun sepakbola. Presiden FIFA Sepp Blatter dalam sambutannya dalam kongres konfederasi sepakbola Asia (AFC) di Manama, Bahrain, pada akhir April lalu juga menegaskan perlunya sinergi antara federasi dan pemerintah dalam mengembangkan sepakbola, tanpa harus menabrak aturan yang berlaku.
“Kita punya beberapa program tentang bagaimana mengelola organisasi, finansial, dan bekerja sama dengan pihak yang ada di sekitar sepakbola, sponsor, rekanan, termasuk pemerintah. Kita harus bisa bekerja sama dengan pemerintah setempat. Kita butuh mereka,” tegas Blatter.
“Tapi kita juga harus konsisten dengan aturan kita. Jika sudah berkaitan dengan organisasi sepakbola, kami minta supaya pemerintah membiarkan kami bekerja dengan otonomi kami. Perlu diingat, bukan independen penuh, melainkan otonomi.”
“Ini semua tercantum di Statuta FIFA, Olympic Charter, dan Resolusi PBB [Persatuan Bangsa-Bangsa]. Biarkan olahraga, dalam hal ini sepakbola, berada dalam damai, diorganisir dengan peraturan yang berbeda.”
Dasar yang menjadi keluarnya pernyataan force majeure dari PSSI di dua musim berbeda itu hanya satu: keamanan. Di musim 1997/98, saat itu kompetisi di seluruh divisi terpaksa dihentikan pada 25 Mei akibat kondisi politik yang tak kondusif.
Kerusuhan Mei yang terjadi di hampir sebagian besar wilayah Indonesia membuat kompetisi sepakbola dianggap tidak aman untuk diselenggarakan. Aksi anarkis menjadi ancaman serius bila pertandingan sepakbola tetap digelar, sehingga terpaksa dihentikan.
Keamanan juga menjadi faktor penyebab Indonesia Super League (ISL) dan Divisi Utama Liga Indonesia 2015 dihentikan. Bedanya, bila musim 1997/98 akibat kerusuhan Mei, tahun ini disebabkan 'kerusuhan' antara kementerian pemuda dan olahraga (Kemenpora) dan PSSI.
Akibat 'kerusuhan' itu, sejumlah pertandingan di ISL maupun Divisi Utama tidak bisa digelar, karena tak mendapat izin keramaian dari kepolisian berdasarkan keputusan Menpora Imam Nahrawi yang membekukan PSSI dengan dalih ingin memajukan persepakbolaan di Indonesia.
Buntut ego kedua lembaga tersebut, banyak pihak yang menjadi korbannya, mulai dari klub, pemain, pelatih, dan ofisial. Di luar itu, pihak yang tidak berada di lingkaran langsung pun ikut merasakannya, mulai dari perusahaan transportasi, hotel, hingga pedagang asongan yang kerap muncul saat pertandingan.
Dua lembaga yang bergerak di bidang olahraga tersebut justru sudah melupakan tujuan dan prinsip dari olahraga itu sendiri, diantaranya sportivitas dan menciptakan perdamaian. Masing-masing pihak merasa paling benar dalam menjalankan keputusannya.
Kemenpora berusaha membentuk kepengurusan baru, serta menggelar kompetisi yang diikuti klub-klub anggota PSSI. Dengan dalih apa pun, kepengurusan versi Kemenpora ini tidak akan diakui FIFA, seperti halnya yang dialami Brunei Darussalam ketika mendapatkan sanksi. Pemerintah membentuk kepengurusan versi mereka, dan berulang kali ditolak FIFA.
Dengan mengajak klub berkompetisi, secara tidak langsung Kemenpora telah menjebloskan mereka untuk mendapatkan sanksi, karena berkompetisi tidak di bawah federasi yang diakui FIFA. Keputusan Werder Bremen membatalkan kunjungan ke Indonesia bisa dijadikan contoh. Klub Bundesliga Jerman itu mengkhawatirkan adanya sanksi FIFA terhadap Indonesia akibat campur tangan pemerintah. Pasalnya, negara yang mendapat sanksi tidak bisa melakukan hubungan internasional, baik dengan timnas maupun klub, yang menjadi anggota FIFA.
Selain itu, bila Kemenpora bersikeras menggelar kompetisi, mereka pun telah melanggar keputusan yang dibuat sendiri, mengingat perangkat pertandingan berada di bawah naungan PSSI yang telah dibekukan.
Sebaliknya, PSSI juga tidak bisa mengabaikan pemerintah. Mereka wajib mengikuti aturan yang berlaku di negara ini. Walau stadion yang digunakan bertanding disewa, mereka tetap membutuhkan keputusan pemerintah untuk izin penggunaannya.
Di samping itu, keterbatasan dana juga membuat PSSI tidak bisa sepenuhnya menjalankan pembinaan di level amatir. Dengan jumlah klub amatir yang sangat besar, belum termasuk sekolah sepakbola, uluran tangan pemerintah sangat dibutuhkan.
Karena itu, dibutuhkan sinergi antara kedua belah pihak dalam membangun sepakbola. Presiden FIFA Sepp Blatter dalam sambutannya dalam kongres konfederasi sepakbola Asia (AFC) di Manama, Bahrain, pada akhir April lalu juga menegaskan perlunya sinergi antara federasi dan pemerintah dalam mengembangkan sepakbola, tanpa harus menabrak aturan yang berlaku.
“Kita punya beberapa program tentang bagaimana mengelola organisasi, finansial, dan bekerja sama dengan pihak yang ada di sekitar sepakbola, sponsor, rekanan, termasuk pemerintah. Kita harus bisa bekerja sama dengan pemerintah setempat. Kita butuh mereka,” tegas Blatter.
“Tapi kita juga harus konsisten dengan aturan kita. Jika sudah berkaitan dengan organisasi sepakbola, kami minta supaya pemerintah membiarkan kami bekerja dengan otonomi kami. Perlu diingat, bukan independen penuh, melainkan otonomi.”
“Ini semua tercantum di Statuta FIFA, Olympic Charter, dan Resolusi PBB [Persatuan Bangsa-Bangsa]. Biarkan olahraga, dalam hal ini sepakbola, berada dalam damai, diorganisir dengan peraturan yang berbeda.”
Sumur
0
2.9K
Kutip
70
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan