comANDREAvatar border
TS
comANDRE
Empat kisah perjuangan WNI saat terjebak di Gunung Everest


Merdeka.com - Kisah pilu gempa Nepal yang melanda pada Sabtu, (26/4), menangkap beberapa fenomena Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang berada di wilayah tersebut.

Di antaranya adalah reuni empat dokter pencinta alam dari Semarang, Pertolongan pertama dengan menggunakan Kuda, hingga pengakuan kejadian ini tidak akan menjadi suatu traumatis.

Hingga saat ini data dari Kementrian Republik Indonesia mencatat sebanyak 98 orang WNI berada di Nepal, dengan 81 orang telah teridentifikasi dan 17 lainnya masih dalam tahap pencarian.

Berikut empat fenomena WNI yang dihimpun Merdeka.com melalui pantauan langsung dari Nepal.



1.Reuni di Everest, empat dokter ini malah terjebak longsor salju
Merdeka.com - Mereka bekerja di lokasi yang berbeda-beda. Ada yang di RS Hasan Basri, Kalimantan Selatan. Ada lagi bekerja di RS Bekasi, dan RS Kalimantan Tengah. Walau berbeda-beda lokasi kerja, kesamaan Meinard Mastoer, Prabudi, Eko Prasetyo, dan Achmad Novel satu jua, sehingga mereka berada ribuan kilometer dari Tanah Air.

"Passion kami memang ada di gunung," kata Meinard setelah tiba di Posko Evakuasi WNI, Kathmandu Guest House, Jumat (1/5).

Mereka adalah empat dokter alumni Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, yang kemarin sempat terjebak di Pos Lobuche, Puncak Everest, Nepal. Gempa 7,8 skala richter pada 25 April lalu membuat rencana reuni rekan satu angkatan pendaki Mapadok Unissula untuk mendaki puncak tertinggi dunia itu gagal total.

Lebih apes lagi, empat dokter ini baru pertama ke Everest. Tapi mereka tidak pernah menyesal harus tertahan berhari-hari di tenda, akibat dingin dan transportasi yang terbatas, di ketinggian 4.930 meter dari permukaan laut.

"Kita ingin membantu korban tapi peralatan di atas terbatas," kata Prabudi.

Kini, empat dokter ini akan bertahan di Nepal untuk membantu korban gempa. Meinard dan kawan-kawan siap bergabung dengan tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPN) yang dikirim pemerintah Indonesia pada 29 April lalu.

"Kita akan stay. Kita bantu apa yang bisa dibantu," kata Prabudi.



2.Setelah longsor di Everest, ada WNI cedera terpaksa diangkut kuda
Merdeka.com - Dibanding pendaki, justru pembawa barang alias porter jadi korban tewas paling banyak akibat longsor di Puncak Everest seusai gempa 7,8 skala richter di Nepal pada 25 April lalu.

Para pemandu lokal itu berada di wilayah lebih atas dibanding base camp Gorak Shep, saat insiden nahas itu terjadi. "Karena satu pendaki dua porter. Dan biasanya porter kan duluan jalan," kata Cecilia Yashita Aprianti, WNI yang selamat dari longsor Everest saat ditemui di Khatmandu, Jumat (1/5).

Dari kesaksian wanita akrab disapa Vita ini, korban tewas rata-rata akibat tergulung salju tebal. Sebelum dievakuasi ke Khatmandu, mereka melihat korban tewas sebetulnya tak sampai 20 orang di lereng Everest. "Tapi yang patah tulang banyak sekali," tuturnya.

Rumah-rumah penduduk, dari kesaksian Vita, masih berdiri. Namun di dalamnya sudah penuh batu.

Vita mendaki bersama empat dokter asal Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Pada hari nahas itu, mereka sedang berada di Pos Lobuche. Mereka beruntung tidak menuruti ajakan untuk naik ke Kala Pattar, bukit di daerah Pumori yang jadi favorit pendaki.

"Kalau tim kita ikut ke Kala Pattar kami mungkin kegulung," kata Vita.

Vita dan empat dokter asal Indonesia itu sempat bertemu beberapa WNI lain saat berjalan ke Lukhla selama empat hari terakhir. Di antaranya adalah Virgo Dirgantara, Handri Ramdhani, dan Nicko Ronny.

Nicko, kata Vita, sempat mengalami cedera sehingga terpaksa diangkut hewan untuk turun ke titik aman. "Mereka ke Lukhla coba naik kuda. Tapi sekarang Mas Nico sudah baik-baik saja, hanya lututnya sempat sakit."

Ada lagi dua WNI Olive dan Fami yang ditemui tim Vita di Pos Periche. Tapi sampai sekarang dua orang itu belum terdengar kabarnya, walau Vita yakin mereka baik-baik saja.

Sayangnya, untuk tiga pendaki dari Taruna Hiking Club Bandung, Rombongan Vita tak sekalipun bertemu sejak tiba di Nepal pada 16 April lalu. Soalnya, para WNI kebanyakan ke Puncak Everest dari jalur Lobuche, sementara Jereon Hehuwat, Kadek Andana, dan Alma Parahita yang belum bisa dihubungi sampai sekarang, mendaki dari Langtang.

"Kami beda jalur. (Tim THC) naik dari Annapurna," akunya.



3.WNI selamat mengaku tidak kapok mendaki Everest
Merdeka.com - Cecilia Enny Yashita Aprianti selamat dari maut ketika gempa 25 April lalu di Nepal memicu longsor salju raksasa di lereng Puncak Everest. Wanita 45 tahun ini sebelumnya sudah dua kali mendaki gunung tertinggi sedunia itu.

Pada hari nahas tersebut, dia menemani empat dokter dari tim pecinta alam Universitas Islam Sultan Agung Semarang, yaitu Meinard Mastoer, Prabudi, Eko Prasetyo, dan Achmad Novel. Ketika berangkat mendaki pada 18 April, sempat ada firasat jelek. "Cuaca sangat jelek, tapi tiba-tiba agen kami bilang naik helikopter saja," ujarnya kepada media di Posko Evakuasi WNI di Khatmandu Guest House, Jumat, (1/5).

Sebagai satu-satunya anggota yang berpengalaman mendaki pegunungan Himalaya, perempuan akrab disapa Vita ini jadi andalan empat rekan pria yang lainnya. Tapi mereka pun tidak bisa turun karena bandara Lukhla mengalami penumpukan.

"Setelah longsor itu, pesawat Lukhla diutamakan untuk evakuasi jenazah."

Empat dokter yang bersama Vita sempat ingin membantu korban cedera di Gorak Shep, base camp pertama Everest. Tapi kendala bahasa membuat mereka memutuskan turun saja ke Khatmandu, membantu warga yang nahas di wilayah Ibu Kota Nepal dan sekitarnya.

"Kami sudah ingin membantu, tapi sepertinya tim Nepal malah terganggu kalau dari orang lain. Juga bahasanya kan lain," kata Vita.

Setelah bertahan dari dingin yang bikin beku selama lima hari, akhirnya Vita dan empat rekan dokter itu bisa turun ke Khatmandu.

Walau sempat mengalami suasana nahas, Vita mengaku tak akan pernah kapok mendaki Everest dan pegunungan di sekitarnya. Sebagai pecinta alam, suasana Himalaya sangat menyenangkan. Fasilitas pun sebetulnya lengkap, yang mana di setiap pos ada restoran atau tempat beristirahat.

"Mau secapek apapun, pemandangan di Himalaya itu sangat indah. Bisa dibilang, ini memang surganya pendaki," ujarnya sambil tersenyum.

Lebih dari itu, Vita pun yakin warga Nepal akan bangkit dari bencana tempo hari. "Gempa ini tidak akan membuat Nepal jadi jelek."




4.Kesaksian WNI selamat di Everest: Kalau mati saya ingin dalam tidur
Merdeka.com - Cecilia Enny Yashita Aprianti sedang makan siang ketika goncangan besar dirasakan para pendaki di hotel kawasan Lobuche, ketinggian 4.930 meter dari permukaan laut. Wilayah itu tinggal satu tahap lagi sebelum sampai di Gorak Shep, base pertama Gunung Everest, puncak tertinggi dunia.

"Saat itu kami sedang break makan siang. Kami berusaha menyelamatkan diri. Sempat ragu apakah perlu ke luar ruangan atau bertahan di meja, karena katanya kan kalau gempa sebaiknya bertahan di meja. Akhirnya kami memutuskan keluar ruangan," tuturnya saat ditemui media, Jumat (1/5), di Posko Evakuasi WNI oleh tim pemerintah di Kathmandu Guest Hotel, kawasan Thamel, Kathmandu.

Perempuan bernama Vita itu mendaki bersama tiga WNI berprofesi sebagai dokter lain dari tim Mapadoks Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, yakni Meinard Mastoer, Prabudi, Eko Prasetyo, dan Achmad Novel. Di rombongan ini, cuma Vita yang sudah dua kali mendaki Everest.

Akibat gempa pertama, muncul longsoran di Everest Base Camp. Di Lobuche, orang-orang tak bisa lagi tinggal di hotel lantaran muncul gempa susulan. Vita dan empat dokter asal Indonesia itu terpaksa tinggal di tenda.

Ruangan hotel penuh pendaki, lagipula pemanas dimatikan karena berbahaya selama masih ada gempa susulan. "Kami survive itu dari kedinginan."

Selama di tenda itulah, Vita mengaku mendengar suara-suara longsor salju. Selama terjebak 25 April sampai 30 April lalu di Lobuche, perempuan kelahiran Jakarta, 12 April 1970 ini mendengar gemuruh pada tengah malam atau dini hari. Tapi rasa lelah dan kedinginan membuatnya tak mampu lagi bergerak.

"Saya memutuskan tidak keluar tenda. Ketika terdengar bunyi semua orang sudah keluar ruangan, peluit juga sudah bunyi. Saya lihat itu semua. Tapi kalau harus mati mending saya mati dalam tidur," kata Vita.

Sejak dini hari tadi waktu setempat, Vita dan empat kawan dokternya sudah tiba dengan selamat di Khatmandu. Mereka belum ingin pulang, untuk membantu korban gempa di Ibu Kota Nepal.

sumber

======

mantab betul ! emoticon-Recommended Seller
0
4K
22
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan