- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Miss Tjitjih, Dulu Berjaya Kini Merana


TS
infonitascom
Miss Tjitjih, Dulu Berjaya Kini Merana

JAKARTA - Di halaman sebuah gedung, di kawasan Cempaka Baru, Jakarta Pusat, anak-anak bermain riang. Satu baliho berukuran sedang, terpajang di atas pintu gerbang berpagar besi. Gambarnya cukup menyeramkan, hantu pocong. Wajar, sebab pada malamnya, memang akan digelar pertunjukan drama panggung dengan judul ‘Setan Minta Cerai’.
Gedung itu dikenal dengan sebutan Miss Tjitjih. Nama ini diberikan untuk menghormati salah satu primadona panggung dari grup teater tradisi yang sering pentas di gedung itu. Nama Miss Tjitjih memang melegenda dalam seni pertunjukan di negeri ini, terutama di Jakarta dan Jawa Barat.
Orang-orang teater selalu meletakkan grup teater yang dibintangi Miss Tjitjih ini sebagai salah satu tonggak teater modern di tanah air. Grup ini pastilah megah dan selalu meriah pada masanya. Kemegahannya kini masih tersisa pada gedungnya, yang nampak angkuh bertembok beton.
Namun bagaimana keadaannya sekaran? “Sudah sepi. Kalau dulu rame. Bangku bisa penuh. Sekarang mah, ada yang nonton aja sudah syukur. Uang tiketnya, palingan cukup beli rokok pemain aja. Bisa dihitung yang nontonnya," kata Rohidin (47), satu di antara pengelola Gedung Kesenian Miss Tjitjih kepada Infonitas belum lama ini.
Ruang pertunjukan di gedung ini memang cukup besar, tak kalah dengan ruang bioskop kelas mewah. Luas panggungnya saja mencapai 15 x 8 meter.
Gedung Kesenian Miss Tjitjih hanya menyajikan drama panggung, terutama budaya dan khasanah tradisi Sunda. Musik yang mengalun selama pertunjukan, sampai dialog pertunjukan, semua bernuansa Sunda. Kesundaan itu memang tak lekang dari tokoh Miss Tjitjih yang berasal dari Sumedang, Jawa Barat.
Komunitas Miss Tjitjih kini masih bertahan walau seni tradisi sedang digusur zaman. Para awak panggung tetap bermain dengan profesional. Mereka tak kecil hati, walau jumlah penonton yang hanya hitungan jari.
Pun para awak panggung, tetap girang dengan pekerjaannya. Penata panggung setia memindahkan background sesuai dengan alur cerita. Ada yang sibuk menaik-turunkan tirai. Penata lampu, penata rias, bekerja pada bidangnya masing-masing.
“Seperti ini situasinya. Kami tetap semangat. Karena sudah teturunan. Penonton sedikit, kami tetap tampil serius,” ungkap Rohidin.
Dekade 80-an sampai 90-an, gedung ini masih selalu riuh dengan penonton. Pertunjukan jadi sering digelar. Sehari bisa dua kali pementasan. Sekarang, tentu sudah tidak sesering dulu. Kian sepi, seminggu hanya sekali pementasan. Memasuki periode 2000-an, penonton makin surut. Pementasan akhirnya hanya sebulan dua kali, tiap minggu pertama dan keempat.
Nama Miss Tjitjih memang terukir dalam sejarah seni pertunjukan di Nusantara. Perempuan ini lahir di Sumedang pada 1908. Usia 15 tahun, ia sudah berkesenian, dan dikenal dengan panggilan Nyi Tjitjih.
Tahun 1926 ia bertemu Aboe Bakar Bafaqih, orang Arab keturunan Bangil, Jawa Timur, yang membawakan Opera Valencia. Nyi Tjitjih pun bergabung. Dua tahun kemudian, mereka merambah Batavia. Witing tresno jalaran suko kulino (sering bertemu melahirkan perasaan cinta) kata pepatah Jawa. Akhirnya, Miss Tjitjih jadi isteri kedua Aboe Bakar.
Sepertinya Aboe Bakar terbakar asmara. Istri pertamanya yang bernama Nuriah diceraikannya. Nama perkumpulan kesenian mereka pun diganti menjadi Miss Tjitjih Tonell Gezelschap pada tahun 1928.
Pada 1931, kelompok inilah yang kali pertama mengadakan pertunjukan sandiwara di Istana Bogor. Dan hampir seluruh pendopo kabupaten di Tatar Sunda, mengorder Miss Tjitjih untuk manggung. Bahkan mereka punya jadwal tetap di Pasar Gambir Batavia, hingga tempat itu ditutup pada 1936.
Begitu tenarnya Miss Tjitjih, panggung akan terasa sunyi bila ia tak pentas. Ia bahkan tak pernah absen manggung, walau penyakit TBC menggerogoti tubuhnya. Pada usia 28, Miss Tjitjih tutup usia saat mentas di Cikampek untuk lakon berjudul Gagak Solo dengan peran sebagai Tandak. Pertunjukan pun dihentikan di pertengahan cerita.
Miss Tjitjih mangkat. Sepeninggalnya, Aboe Bakar tetap menebarkan nama istri keduanya itu. Sayangnya, perkimpoian Miss Tjitjih dengan Aboe Bakar tidak dikaruniai anak. Untuk mengenangnya, nama besar Miss Tjitjih terus didengungkan, dan para penerusnya, mengabadikan gedung kesenian tempat mereka manggung dengan nama Gedung Kesenian Miss Tjitjih.
“Tapi itu kan hanya nama besar. Sedangkan kami yang masih bertahan dari jaman ke jaman, tetap saja terancam tak sanggup melangsungkan hidup,” ujar Sarde Gumilar, satu di antara personel Miss Tjitjih.
Sarde menuturkan, kelangsungan komunitas Miss Tjitjih berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Rumah-rumah peninggalan Aboe Bakar di Matraman, dijualnya. Kemudian mereka bermarkas di Jalan Angke, dekat stasiun kereta api Tanah Abang. Tanah untuk bikin gedung pertunjukan disewa dari pihak stasiun. Gedungnya terbuat dari papan dan kayu, dan tripleks sebagai dindingnya. Atapnya terbuat dari seng.
Masa itu, tahun 1970-an, penonton selalu penuh. Pada gedung berkapasitas 400 orang, tak pernah terlihat satu bangku kosong pun. Drama yang paling seru dan diminati berjudul Jembatan Shirotul Mustaqim.
“Drama itu, sampai kita mainkan sehari dua kali selama sebulan penuh. Nggak pernah sepi. Pasti rame terus. Penonton sampai berimpitan,” ujar Sarde.
Tahun 1987-an, kelompok ini tergusur. Untuk bertahan hidup, akhirnya bernaung atas nama lembaga Yayasan Miss Tjitjih yang turut ditangani pemerintah DKI Jakarta. Komunitas Miss Tjitjih diberikan lahan di kawasan Cempaka Baru, Jakarta Pusat. Itulah gedung yang sekarang mereka gunakan.
Perpindahan itu ternyata tak membawa berkah. Kelompok Miss Tjitjih mulai sepi penonton. Apalagi memasuki awal 1990-an, ketika televisi swasta mulai tayang di negeri ini, penonton tambah jarang.
“Kita tetap berteguh pada keinginan orang tua, khususnya Miss Tjitjih, untuk tetap mempertahankan budaya dan kesenian Sunda di mana saja. Tapi sampai kapan kami bisa pertahankan?” ungkap Sarde.
Di tempat baru itu, mereka menempati kamar-kamar petak yang dijadikan mes Yayasan Miss Tjitjih, yang berada di belakang gedung pertunjukan. Mereka tak bisa bertumpu dari pementasan. Masing-masing akhirnya mengembangkan keahlian sendiri. Ada yang sering mendapat orderan perhelatan bermusik Sunda, sampai jadi dekor untuk acara pernikahan bergaya Sunda.
“Tidak ada sama sekali bantuan dari pemerintah Jawa Barat. Padahal, kita mengupayakan melestarikan budaya dan kesenian Sunda. Kami, mungkin hanya menanti waktu tergusur kembali,” Keluh Sarde.
Keagungan Miss Tjitjih kini pada gedung yang terlihat angkuh, namun sebenarnya rapuh di dalamnya. Tapi benarkah detik-detik kepunahan yang sedang mereka nantikan? Mereka hanya menanti waktu.
SUMUR : http://www.infonitas.com/megapolitan...8#.VUSEl_ntmko
0
6.1K
19


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan