- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Hidup di Jakarta, Tua di Jalan?


TS
budimanibnu
Hidup di Jakarta, Tua di Jalan?

Jarak yang semakin jauh antara rumah dan pekerjaan, parahnya kemacetan, hingga fenomena alam yang seringkali terjadi seperti banjir pada saat ini tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan di Jakarta. Hal-hal tersebut sudah terasa sangat normal bagi warga Jakarta sehingga warga Jakarta memiliki persepsi yang unik mengenai waktu dan ruang di ibukota. Namun, apakah benar bahwa banyaknya waktu yang rata-rata dihabiskan di luar rumah bagi warga Jakarta telah menciptakan gaya hidup yang berbeda?
Menurut sebuah penelitian sebelumnya dari Departemen Sosiologi National University of Singapore (NUS),
Quote:
Saat ini, saya ingin mengembangkan lebih lanjut hasil dari penelitian di atas. Melalui artikel ini, saya ingin mengajak para pembaca yang pernah di Jabodetabek untuk turut berkomentar terkait fenomena ini.
Berbeda dengan istilah provisional, lawannya yaitu istilah permanen didefinisikan sebagai sebuah struktur yang diciptakan oleh sejumlah proses yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi formal (World Bank, 2014). Melalui kegiatan mereka, sesuatu kemudian dianggap dapat menjadi ‘permanen’ atau memiliki prospek jangka panjang yang lebih lama, seperti contohnya adalah keberadaan sejumlah gedung tinggi perkantoran, lalu lintas jalan raya, dan juga termasuk hal-hal abstrak seperti beberapa aturan yang mengatur hubungan antar individu atau perorangan, contohnya seperti norma sosial tentang penentuan kapan waktu yang tepat untuk menikah.
Provisional, di sisi lain dipahami sebagai struktur yang dianggap tidak akan bisa jadi permanen, seperti contohnya yaitu para pedagang kaki lima, perubahan tata kota yang memunculkan konstruksi baru jalan raya, dan juga kembali termasuk hal-hal abstrak seperti penggunaan sementara dari anjuran atau himbauan tertentu untuk memperbaiki kualitas interaksi antar warga atau dalam sebuah pasangan keluarga, contohnya seperti penentuan waktu yang tepat untuk memiliki anak.
Dalam penelitian ini, kami bertujuan ingin melihat istilah provisional sebagai sebuah fenomena yang tidak memposisikan diri mereka untuk melawan arus utama dari kegiatan-kegiatan social, politik, atau pun tindakan filosofis, yang mana agenda-agenda tersebut memiliki tujuan yang lebih oportunis, pragmatis, strategis, dan optimis (Kedan, 2009).
Keadaan ini umumnya terlihat jelas pada sector ekonomi informal (pedagang kaki lima). Pedagang kaki lima merupakan unit usaha yang tidak permanen dalam hal ruang, yang menyediakan serangkaian produk dan jasa seperti makanan, minuman, pulsa, reparasi kendaraan, bahkan MCK. Pedagang kaki lima juga kerap menjadi sarana atau tempat untuk bersantai menunggu jam buka kantor atau menunggu macet reda. Lingkungan yang temporer seperti ini dapat dikatakan seperti ‘rumah’ kedua bagi sejumlah besar komuter di ibukota.
Ruang provisional di Jakarta umumnya terdiri dari struktur atau bangunan yang sifatnya ringan, bongkar-pasang, dan dapat diangkut. Karena sifat-sifat tersebut serta dapat ditemukannya unit-unit usaha tersebut setiap hari, setiap minggu, atau setiap musim, dan karena kemampuan struktur tersebut untuk bercampur dengan suasana perkotaan, lingkungan provisional biasanya tidak muncul dalam pemetaan pemerintah kota. Dan uniknya lagi, karena keberadaan lingkungan provisional tersebut di satu tempat selama jangka waktu yang cukup panjang, lingkungan tersebut lambat laun menjadi permanen di lokasinya. Fenomena provisional tersebut tidak hanya timbul di dalam ruang kota Jakarta; fenomena tersebut juga hadir dalam keseharian hidup para komuter di Jakarta.
Menurut para peneliti di National University of Singapore, banyaknya waktu yang dihabiskan diluar rumah atau komunitas memungkinan para komuter memiliki gaya hidup provisional. Karena profesi atau pekerjaan yang menuntut para komuter menghabiskan banyak waktu untuk bekerja atau di perjalanan, maka banyak pilihan yang dibuat para komuter seperti menunda tuntutan social (contohnya, menikah) atau menghindari terlibat kegiatan social di komunitas (contohnya, arisan atau kerja bakti). Penundaan atau penghindaran seperti ini tentunya merupakan akibat dari cara hidup para komuter yang harus terus menerus transit dari rumah ke pekerjaan dan sebaliknya. Sama halnya seperti fenomena ruang di Jakarta, cara hidup tersebut merupakan akibat dari pilihan yang dibuat komuter. Bedanya, komuter hidup bermigrasi per jam dan bukan per hari seperti halnya para pedagang kaki lima yang bermigrasi ke pusat kota selama sehari penuh hingga dapat membuat ruang hidup permanen.
Dengan demikian, menurut penelitian NUS, gaya hidup provisional dapat menjadi respons strategis para penduduk yang berkomuter dari pinggiran kota (Jabodetabek) ke pusat kota. Singkatnya, dengan gaya hidup provisional tersebut para komuter mampu melepaskan diri dari kewajiban sosial dan keluarga untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.,
Apakah benar kehidupan Jakarta yang terkenal sibuk itu telah mendorong para komuter untuk memiliki gaya hidup provisional? Apakah hal ini terjadi pada Anda? Apa pendapat Anda?
Disusun Bareng Tim Peneliti dari National University of Singapore, Universitas Indonesia, dan Universitas Atmajaya
Polling
0 suara
komen ya gan
Diubah oleh budimanibnu 05-02-2015 07:36
0
3.8K
55


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan