AzkaskusAvatar border
TS
Azkaskus
[SHARE CERPEN] Femme Fatale
Halo agan dan sista. Ini pertama kalinya gw share cerpen di sini. Feel free to comment and criticize. Gw berharap banget masukan dari agan dan sista soal kekurangan-kekurangannya. Anyway, enjoy!emoticon-Blue Guy Cendol (S)

FEMME FATALE

Dengan sopan aku menyilakan pelayan yang membawakan double espresso pesananku untuk menaruhnya di meja teras penginapan. Kantung matanya sedikit hitam. Mungkin ia belum terbiasa dengan shift malam.

Dia lebih membutuhkan kopi ini, kataku. Aku mengulang nametag di kemejanya. Sambil mendekap nampan di dadanya, ia tersenyum. Dengan sopan aku menyalaminya sambil menyisipkan tip di genggaman. Ia pamit mohon diri.

Apresiasi mungkin merupakan bentuk paling mudah untuk memberikan rasa bahagia, kataku pada diri sendiri.

Aku mengedarkan pandangan. Pagi masih belum sepenuhnya menjadi. Pukul lima dan matahari masih malu-malu keluar dari balik kamarnya. Di depanku menghampar sebuah lansekap laut keabu-abuan. Suara deburan ombak menerpa karang dan deru angin musim hujan saling bersusulan, seumpama notasi nada yang gemas menggelitiki telinga. Samar-samar suara burung elang dada-putih cumiik ikut serta bernyanyi dari ketinggian sana. Satu pagi yang sempurna. Kucampurkan vodka sebanyak seperempat tutup botol ke dalam kopi lalu mengaduknya tujuh kali.

Aku masuk kedalam kamar untuk mengambil kretek. Kulihat ia masih nyenyak.

Sejenak aku terhenyak. Seringkali aku masih tidak percaya dengan skenario hidup, yang orang-orang kerap menyebutnya sebagai takdir. Apakah pertemuanku dengannya juga merupakan takdir? Terlalu rumit untuk dijelaskan dengan logika. Terlalu tidak masuk akal. Terlalu tidak mungkin jika ditakar dengan nalar. Tapi akalku juga tidak mau terima jika kami hanya dirangkum sesederhana: biarkan semesta membimbingmu dengan kuasanya yang misterius.

Aku tidak mau begitu saja mengikuti aliran sebab kemungkinan haruslah diupayakan. Tidak akan tahu hasilnya jika tidak dicoba. Hanya saja seringkali aku harus sabar menunggu dalam dera, sebab mungkin belum waktuku untuk mengerti apa maksud semesta. Aku mesti berpuas hati. Melihatnya tertidur merupakan nikmat yang paling kusyukuri kini. Selalu ada alasan untuk setiap kejadian. Pasti. Aku meyakininya dengan segenap hati.

Tidurnya sehening bayi. Seteduh embun pagi. Aku duduk di samping tempat tidur. Kuusap rambutnya perlahan. Bertanya-tanya dalam hati kira-kira sedang mimpi apa ia. Aku setuju. Tidak ada momen yang lebih membahagiakan daripada melihat orang yang dikasihi sedang lelap tertidur.

Kucium keningnya lembut. Dalam keadaan masih tertidur, ia berbalik membelakangiku. Selimutnya sedikit tersingkap. Punggungnya terlihat jelas hingga tulang ekor. Tato kecil bertuliskan fana di sayap kirinya semakin membuat lekuk itu terlihat indah.

Kenapa fana? Aku pernah bertanya.

Mencari-mendapati-kehilangan. Bukankah selalu begitu prosesnya? Ia balik menukar tanya.


Dan seumpama kematian adalah awal, tanda-tanda kehidupan mulai menghampiri tubuhnya. Aku seakan bisa melihat rohnya pulang setelah berkelana entah darimana.Tubuh molek itu sedikit menggeliat. Kelopak matanya membuka. Tajam dan menggairahkan, seperti biasa. Ia bangun dengan kesadaran sempurna seperti tidak tidur sama sekali.

“5:15.” Jawabku. “Belum terlambat untuk melihat matahari terbit. Pakailah dulu.” Aku memberikan piyama tidur miliknya yang semalam ditanggalkannya begitu saja.

Ia tak menggubris. Dengan setengah berdiri ia melingkarkan tangannya ke leherku kemudian bergelayut manja sembari bersenandung. Aku tersenyum gemas. Kuletakkan kedua telapak tanganku di pipinya. Bibir kami pun bertemu.

Beberapa lalu kemudian, aku meloloskan diri dari rengkuhannya. “Oke, cukup. Kita bakal benar-benar terlambat.”

Aku tertawa. Ia pun sama. Jemarinya mencubitku keras sebelum menyambar piyama dari tanganku lalu mengusirku keluar kamar.

Aku mengambil shot yang sudah mendingin di meja teras dan menghabiskannya dalam satu tegukan. Tajam, seperti dirinya.

O Iron Maiden, siapa saja bakal berharap untuk cepat mati ketika berada dalam pelukanmu.

***

Matahari sudah mulai genit. Rona merahnya mulai tampak dari balik laut. Kami berjalan menyusuri pantai.

Aku mengagumi caranya memungut sampah dari tanah, mengumpulkannya dalam kantung plastik. Aku mengagumi caranya merapikan rambut yang tersibak angin laut. Aku mengagumi matanya yang seringkali tajam menyudutkan namun juga bisa jadi begitu kosong tanpa makna. Ia dapat menjadi begitu manis dan menyegarkan sekaligus membuat siapapun akan segan. Aku tidak ingat mulai dari kapan aku mengaguminya.

Yang jelas, ia tahu. Ia bisa sedemikian mudah dicintai. Pun karena itu ia dapat dengan mudah mematahkan hati. Ia pun tahu bahwa kami tak seharusnya tetap sedekat ini. Dua kekuatan gravitasi yang sama besar hanya akan saling melukai.

Aku mengajaknya duduk di undakan karang yang kering. Kami menikmati terbitnya matahari dalam sunyi bersama tiga ekor kepiting yang besar-besar.

“Aku telah memantapkan hati,” katanya kemudian sambil bangkit berdiri. Menatap laut.

Aku mengernyitkan dahi.

“Kuputuskan untuk berhenti menyukaimu.”

“Memangnya tidak cukup jika perasaan yang kita punya ini menjadi alasan kita tetap bersama?” Aku bertanya dengan nada kecewa. Aku tahu kalau saat-saat seperti ini akan datang juga. Percuma aku meminta ia menarik ucapannya. Tidak ada yang bisa menghalanginya maju kala ia telah memutuskan sesuatu. Termasuk dunia sekalipun.

Ia menoleh kearahku. Tersenyum, dan menggeleng. “Tidak ada pilihan untuk masa depan kita. Dan ketidakmungkinan pun merupakan bagian dari sebuah kemungkinan. You taught me those words.”

Kuhembuskan nafas. Berharap sesak dalam dada ini ikut amblas.

“Aku benci Tuhan-Tuhan kita itu.” Sahutku sekenanya.

“Tapi keluarga kita amat mencintai-Nya, Sayang.” Ia kembali duduk di sampingku. Lebih rapat. Jemariku digenggamnya erat.

Aku melempar kerikil ke dalam debur ombak. “…Segala yang hidup kapanpun bisa mati. Well, cinta juga makhluk.”

“Setidaknya…” Lanjutku. Aku menatap matanya lekat-lekat. “Bolehkah aku menciummu sekali lagi?”

“Tolol.” Senyumnya mengembang seperti roti yang sedang dipanggang. Aku tertawa. Ia tertawa. Kami tergelak bersama.

“Curilah aku kapanpun kau mau.” Jawabnya dengan mata yang berkilauan.

Sekali lagi. Satu kali lagi. Bibir kami resah. Pipi kami basah.
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.2K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan