- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Budaya Tanam: Budaya Mengetam [Minta Vote Tulisan & Share]


TS
User telah dihapus
Budaya Tanam: Budaya Mengetam [Minta Vote Tulisan & Share]
![Budaya Tanam: Budaya Mengetam [Minta Vote Tulisan & Share]](https://s.kaskus.id/images/2015/04/23/5039739_20150423063735.png)
WELCOME TO MY THREAD
Quote:
Kali ini, Masih dalam rangka "EARTH DAY 2015" Kakak ane membuat tulisan tentang Lingkungan hidup 
Sebenarnya artikel ini ada dua, disini ane hanya akan menampilkan satu artikel saja
Sebelum nya ane minta maaf karena Thread ini tidak Rapih
Mohon dimaklumi yaa gan. ane membuat Thread ini di The Lounge karena tentu saja The Lounge adalah jantung nya kaskus, jadi semua member pasti pada kumpul dimarih..






![Budaya Tanam: Budaya Mengetam [Minta Vote Tulisan & Share]](https://s.kaskus.id/images/2015/04/23/5039739_20150423064417.jpg)
Quote:
Barang siapa menanam,
Ia akan mengetam
(Epigram)
SYAHDAN, ada sebuah alegori bagus mengenai keadaan krisis lingkungan dan energi: “setelah ikan terakhir ditangkap, sumber air tercemar, udara kotor, hewan terakhir disembelih dan pohon terakhir ditebang, manusia baru akan sadar bahwa uang tak bisa dimakan.” Benar bahwa sekarang ini bisa dikatakan bahwa nyaris pada setiap sendi kehidupan manusia, uang menempati peran sentral yang sulit untuk ditawar-tawar. Tak ada yang keliru memang dan tak musti pula ada yang dipersalahkan. Jikapun ada yang musti diperkarakan adalah bahwa seharusnya orientasi kita, orang Indonesia pada khususnya, mustinya tak semata-mata uang. Kita sedang mengidap krisis dan harus mulai mengembangkan kesadaran. Kiranya untuk menghadapai krisis energi dan lingkungan sekarang ini kita harus berangkat dari hal-hal remeh dan hal ihwal sehari-hari yang biasanya luput.
Jargon dari beberapa firma dan pemerintah di Indonesia saya kira sudah tepat dengan mengusung “hemat energi secara total”. Tapi untuk sampai ke “total”, memerlukan aksi dan bukan semata konsepsi. Di titik ini saya akan berangkat dari perkara air. Sudah diketahui oleh umum bahwa air adalah sumber kehidupan awal, bahkan paling awal dan komponen paling fundamental untuk menyokong kehidupan organis. Sayangnya kesadaran penggunaannya tak sebanding dengan cara menjaganya, terutama di Indonesia.
Berapa persen penggunaan air dengan cara bertanggung jawab dilakukan di Indonesia? Tebakan saya sangat sedikit: kebanyakan malah sebaliknya. Politik air di satu sisi semakin dilakukan, baik yang dijadikan sebagai sarana dagang, jual beli, atau pun digunakan untuk keperluan sehari-hari biasa, tapi di satu pihak sedikit sekali usaha untuk menjaganya. Asumsinya yang paling konyol dan tak terpikirkan adalah bahwa seakan tak ada hubungan erat antara menanam pohon dan sumber air bersih. Berapa banyak orang Indonesia yang menyadari eratnya rantai kesinambungan ini?
Menanam pohon, sejatinya adalah menjaga pasokan air tetap ada dan berkualitas. Lahan serapan dan lahan hijau sangat menunjang ekosistem ini. Jika tidak, maka air sebagai salah satu sumber energi yang vital, sukar dipertahankan dan akan kian menjadi langka. Dalam keadaan langka dan krisis biasanya orang saling tuding, saling menuduh, tak jarang saling jarah dan membunuh.
Biasanya ada apologi: di wilayah perkotaan yang padat tak ada lagi lahan untuk bertele-tele menanam. Jawabannya bisa menjadi cemooh pada orang dengan pandangan sempit seperti itu. Sejatinya tak ada lagi alasan untuk tak berusaha menanam. Titik tekannya adalah kesaran menanam yang berujung pada gerakan menanam. Tidakkah juga terpikirkan bahwa penduduk perkotaan—jika tidak mulai menanam tetumbuhan—kehilangan dua elemen penting sumber kehidupan (dalam hal ini energi tak tergantikan). Pertama, air dan kedua adalah udara yang baik. Udara diperlukan (maksudnya adalah pasokan oksigen) untuk menjunjang kehidupan. Adakah orang tergerak dari udara panas perkotaan ke kesadaran menanam pohon? Dari penggunaan air dengan cara serampangan ke kesadaran menanam pohon dan menyediakan ruang hijau serapan air? Saya kira tidak terlalu naif jika saya menjawab nyaris tak ada.
Menanam pohon itu sangat sedernaha. Yang diperlukan hanyalah waktu. Sialnya, dengan dalih kehabisan waktu kita jadi tak menanam pohon, tak mencintai lingkungan, tak menyimpan cadangan energi untuk kehidupan di masa yang akan datang. Bagaimana bisa, sedangkan di satu sisi manusia juga mendambakan visi kehidupan sejahtera? Tanpa rantai sistem yang terjaga—yang padahal bisa dimulai dengan cara menanam pohon—saya kira semua tabungan kita untuk masa depan selain hanya profit oriented, juga akan menyisakan PR panjang beban krisis ekologis bagi anak-cucu mendatang. Adakah kita tergerak berpikir holistik (menyeluruh) dan memulai dengan hal yang paling kecil tersebut?
Jika semua agenda kecil ini, yang sudah dirancang oleh banyak orang dan sejak jauh hari ini dimulai, menggejala, maka pada saat yang sama orientasi menanam bisa diperluas. Yang penting ada dulu kesadaran menanam, selanjutnya saya mengaharapkan sambutan baik dari firma dan pemerintah bersekala besar untuk mengeksekusi kesadaran ini ke sekala yang lebih masif.
Titik tolaknya adalah, proyek akbar yang berkesinambungan itu meniscayakan gerak bersama, kesadaran bersama. Izinkan saya sedikit teoritik untuk meminjam Adam Smith: “hasil terbaik datang dari semua orang dalam kelompok yang melakukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri.” Yang selanjutnya dikembangkan oleh Nobelis ekonom John Nash bahwa: “hasil terbaik akan datang dari semua orang dalam kelompok, melakukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri dan kelompoknya.”
Adalah jelas bahwa harus ada kesinambungan, tanpa itu, proyek akbar ini akan macet. Proyek menanam dengan sekala besar membutuhkan sirkulasi dan keterjagaan tenaga kerja yang berkesadaran akan kebutuhan. Jika ditanyakan proyeknya untuk apa, saya hendak menjawab: masih ingat dengan bioetanol? Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan energi, dan seiring waktu diharapkan dapat mengganti ketergantungan kita dalam menggunakan energi fosil. Memang sedikit utopis jika hanya dibayangkan. Tapi lain hal jika ini mulai dioperasikan dalam sekala 99 banding 1 persen. Karena tak mungkin sesuatu terjadi, dan perubahan dimungkinkan tanpa adanya gerakan memulai dari firma dan pemerintah.
Kenapa firma? Saya kira untuk mencapai satu persen yang sebagaimana disinggung di atas, kurang efektif jika dijalankan oleh usaha mikro dan menengah. Kita harus juga menghitung regulasi pasar, jika terlalu banyak cabang dan tidak terfokus maka hasilnya berceceran dan dampaknya bahkan tak bisa memenuhi yang satu persen tadi. Sedangkan kebutuhan energi terbarukan ini sifatnya mendesak. Dan bukan saja itu, kita juga membutuhkan lahan hutan yang dikelola dengan tanggung jawab dan berkelanjutan, butuh oksigen, butuh pula pasokan sumber air yang memadai.
Karena itu, sudah lagi bukan saatnya bergaya hidup abai, meski kenyataannya Indonesia tak henti-hentinya dirundung perkara kemanusiaan yang juga krisis, yakni korupsi. Tak ada salahnya berharap, bukan hanya pada manusia, tapi juga pada pepohonan seraya memimpikan ketercukupan energi di masa depan. Jika tidak, nasib kita tak akan jauh dari ramalan alegori di muka.
Ia akan mengetam
(Epigram)
SYAHDAN, ada sebuah alegori bagus mengenai keadaan krisis lingkungan dan energi: “setelah ikan terakhir ditangkap, sumber air tercemar, udara kotor, hewan terakhir disembelih dan pohon terakhir ditebang, manusia baru akan sadar bahwa uang tak bisa dimakan.” Benar bahwa sekarang ini bisa dikatakan bahwa nyaris pada setiap sendi kehidupan manusia, uang menempati peran sentral yang sulit untuk ditawar-tawar. Tak ada yang keliru memang dan tak musti pula ada yang dipersalahkan. Jikapun ada yang musti diperkarakan adalah bahwa seharusnya orientasi kita, orang Indonesia pada khususnya, mustinya tak semata-mata uang. Kita sedang mengidap krisis dan harus mulai mengembangkan kesadaran. Kiranya untuk menghadapai krisis energi dan lingkungan sekarang ini kita harus berangkat dari hal-hal remeh dan hal ihwal sehari-hari yang biasanya luput.
Jargon dari beberapa firma dan pemerintah di Indonesia saya kira sudah tepat dengan mengusung “hemat energi secara total”. Tapi untuk sampai ke “total”, memerlukan aksi dan bukan semata konsepsi. Di titik ini saya akan berangkat dari perkara air. Sudah diketahui oleh umum bahwa air adalah sumber kehidupan awal, bahkan paling awal dan komponen paling fundamental untuk menyokong kehidupan organis. Sayangnya kesadaran penggunaannya tak sebanding dengan cara menjaganya, terutama di Indonesia.
Berapa persen penggunaan air dengan cara bertanggung jawab dilakukan di Indonesia? Tebakan saya sangat sedikit: kebanyakan malah sebaliknya. Politik air di satu sisi semakin dilakukan, baik yang dijadikan sebagai sarana dagang, jual beli, atau pun digunakan untuk keperluan sehari-hari biasa, tapi di satu pihak sedikit sekali usaha untuk menjaganya. Asumsinya yang paling konyol dan tak terpikirkan adalah bahwa seakan tak ada hubungan erat antara menanam pohon dan sumber air bersih. Berapa banyak orang Indonesia yang menyadari eratnya rantai kesinambungan ini?
Menanam pohon, sejatinya adalah menjaga pasokan air tetap ada dan berkualitas. Lahan serapan dan lahan hijau sangat menunjang ekosistem ini. Jika tidak, maka air sebagai salah satu sumber energi yang vital, sukar dipertahankan dan akan kian menjadi langka. Dalam keadaan langka dan krisis biasanya orang saling tuding, saling menuduh, tak jarang saling jarah dan membunuh.
Biasanya ada apologi: di wilayah perkotaan yang padat tak ada lagi lahan untuk bertele-tele menanam. Jawabannya bisa menjadi cemooh pada orang dengan pandangan sempit seperti itu. Sejatinya tak ada lagi alasan untuk tak berusaha menanam. Titik tekannya adalah kesaran menanam yang berujung pada gerakan menanam. Tidakkah juga terpikirkan bahwa penduduk perkotaan—jika tidak mulai menanam tetumbuhan—kehilangan dua elemen penting sumber kehidupan (dalam hal ini energi tak tergantikan). Pertama, air dan kedua adalah udara yang baik. Udara diperlukan (maksudnya adalah pasokan oksigen) untuk menjunjang kehidupan. Adakah orang tergerak dari udara panas perkotaan ke kesadaran menanam pohon? Dari penggunaan air dengan cara serampangan ke kesadaran menanam pohon dan menyediakan ruang hijau serapan air? Saya kira tidak terlalu naif jika saya menjawab nyaris tak ada.
Menanam pohon itu sangat sedernaha. Yang diperlukan hanyalah waktu. Sialnya, dengan dalih kehabisan waktu kita jadi tak menanam pohon, tak mencintai lingkungan, tak menyimpan cadangan energi untuk kehidupan di masa yang akan datang. Bagaimana bisa, sedangkan di satu sisi manusia juga mendambakan visi kehidupan sejahtera? Tanpa rantai sistem yang terjaga—yang padahal bisa dimulai dengan cara menanam pohon—saya kira semua tabungan kita untuk masa depan selain hanya profit oriented, juga akan menyisakan PR panjang beban krisis ekologis bagi anak-cucu mendatang. Adakah kita tergerak berpikir holistik (menyeluruh) dan memulai dengan hal yang paling kecil tersebut?
Jika semua agenda kecil ini, yang sudah dirancang oleh banyak orang dan sejak jauh hari ini dimulai, menggejala, maka pada saat yang sama orientasi menanam bisa diperluas. Yang penting ada dulu kesadaran menanam, selanjutnya saya mengaharapkan sambutan baik dari firma dan pemerintah bersekala besar untuk mengeksekusi kesadaran ini ke sekala yang lebih masif.
Titik tolaknya adalah, proyek akbar yang berkesinambungan itu meniscayakan gerak bersama, kesadaran bersama. Izinkan saya sedikit teoritik untuk meminjam Adam Smith: “hasil terbaik datang dari semua orang dalam kelompok yang melakukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri.” Yang selanjutnya dikembangkan oleh Nobelis ekonom John Nash bahwa: “hasil terbaik akan datang dari semua orang dalam kelompok, melakukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri dan kelompoknya.”
Adalah jelas bahwa harus ada kesinambungan, tanpa itu, proyek akbar ini akan macet. Proyek menanam dengan sekala besar membutuhkan sirkulasi dan keterjagaan tenaga kerja yang berkesadaran akan kebutuhan. Jika ditanyakan proyeknya untuk apa, saya hendak menjawab: masih ingat dengan bioetanol? Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan energi, dan seiring waktu diharapkan dapat mengganti ketergantungan kita dalam menggunakan energi fosil. Memang sedikit utopis jika hanya dibayangkan. Tapi lain hal jika ini mulai dioperasikan dalam sekala 99 banding 1 persen. Karena tak mungkin sesuatu terjadi, dan perubahan dimungkinkan tanpa adanya gerakan memulai dari firma dan pemerintah.
Kenapa firma? Saya kira untuk mencapai satu persen yang sebagaimana disinggung di atas, kurang efektif jika dijalankan oleh usaha mikro dan menengah. Kita harus juga menghitung regulasi pasar, jika terlalu banyak cabang dan tidak terfokus maka hasilnya berceceran dan dampaknya bahkan tak bisa memenuhi yang satu persen tadi. Sedangkan kebutuhan energi terbarukan ini sifatnya mendesak. Dan bukan saja itu, kita juga membutuhkan lahan hutan yang dikelola dengan tanggung jawab dan berkelanjutan, butuh oksigen, butuh pula pasokan sumber air yang memadai.
Karena itu, sudah lagi bukan saatnya bergaya hidup abai, meski kenyataannya Indonesia tak henti-hentinya dirundung perkara kemanusiaan yang juga krisis, yakni korupsi. Tak ada salahnya berharap, bukan hanya pada manusia, tapi juga pada pepohonan seraya memimpikan ketercukupan energi di masa depan. Jika tidak, nasib kita tak akan jauh dari ramalan alegori di muka.




Spoiler for WARNING!!!:
Disini ane tidak meminta
Cendol
apalagi bata
Tapi ane Ingin Gan/Sis MENGEVOTE TULISAN/ARTIKEL ANE DIMARIH => VOTE TULISAN INI Juga Tulisan yang satu lagi yang berjudul MENGURAI KRISIS DARI KESADARAN: Upaya Meretas Jalan Keluar Dari Krisis Energi dan Lingkungan => VOTE DIMARIH
Ane sangat Menghargai SR asal Menge'Vote tulisan ini
Yang JUNKER DIHARAP MINGGIR !!
Dan Mohon komeng nya yaa gan sis




Ane sangat Menghargai SR asal Menge'Vote tulisan ini





Dan Mohon komeng nya yaa gan sis


0
1.7K
Kutip
17
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan