- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[NEWS] MK: Dokter Tetap Dapat Dipidanakan


TS
pukpukhijau
[NEWS] MK: Dokter Tetap Dapat Dipidanakan
MK: Dokter Tetap Dapat Dipidanakan
![[NEWS] MK: Dokter Tetap Dapat Dipidanakan](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2014/12/12/1547111Dokter-Australia780x390.jpg)
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sejumlah dokter yang mempersoalkan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran. Alasannya, ketentuan pelaporan pidana atau gugatan perdata yang bisa dilayangkan pasien bertujuan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan umumnya.
Demikian putusan Mahkamah Konstitusi pada pengujian konstitusionalitas Pasal 66 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Uji materi diajukan sejumlah dokter muda yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu antara lain Agung Sapta Hadi, Yadi Permana, dan Irwan Khresnamurti.
Pasal 66 Ayat (3) UU No 29/2004 berbunyi "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan (2) tak menghilangkan hak tiap orang melaporkan dugaan tindak pidana pada pihak berwenang".
Menurut pemohon, pasal itu membuka interpretasi luas terhadap tindakan kedokteran dan dengan penafsiran luas membuat pelanggaran kedisiplinan seorang dokter jadi kasus pidana. Itu menimbulkan ketakutan kalangan dokter untuk mengambil tindakan kepada pasien yang berisiko tinggi ataupun dalam kondisi darurat karena bisa dipersalahkan akibat kelalaian yang menyebabkan pasien meninggal.
Melindungi hak pasien
Namun, MK tak sependapat dengan hal tersebut. Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan MK, Senin (20/4), di Jakarta, menyatakan, pelaporan secara pidana dan/atau gugatan perdata tetap perlu untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan. Itu juga untuk melindungi hak pasien jika tindakan dokter atau dokter gigi dinyatakan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) melanggar disiplin profesi kedokteran dan merugikan pasien.
Proses pidana atau gugatan perdata pada perkara kedokteran, lanjut Alim, menurut Pasal 66 Ayat (3) UU Praktik Kedokteran, harus dimaknai dengan menjadikan ilmu kedokteran, khususnya kode etik dan disiplin profesi kedokteran, sebagai rujukan penanganan. Oleh karena itu, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang harus mendengarkan pendapat dari pihak kompeten di bidang tersebut.
Alim menambahkan, hal serupa harus dilakukan ketika aparat hukum menafsirkan peraturan terkait dengan tindakan dokter atau dokter gigi. Hal tersebut juga mesti diterapkan dalam penilaian terhadap tindakan yang dilakukan.
Pelaksanaan peradilan yang menjadikan ilmu kedokteran sebagai salah satu rujukan dalam mengadili dokter dan/atau dokter gigi yang diduga melakukan malapraktik dinilai telah membatasi risiko yang harus ditanggung dokter ataupun dokter gigi dari pelaporan pidana atau gugatan perdata.
"Artinya, dalam proses pengadilan, akan tertutup kemungkinan dijatuhkan sanksi pidana dan/atau perdata kepada dokter ataupun dokter gigi yang tindakan medisnya dinyatakan MKDKI telah sesuai atau tak melanggar disiplin profesi kedokteran," kata Alim.
Menanggapi putusan tersebut, Agung Sapta Hadi mengungkapkan kekecewaannya. Putusan MK itu tetap membuat dokter ketakutan mengambil tindakan medis karena bisa dibawa ke ranah pidana. Padahal, belum tentu kesalahan tersebut merupakan bentuk kesengajaan dan di luar disiplin profesi kedokteran.
Jika dokter dinyatakan tak bersalah melanggar etik profesi oleh MKDKI, lanjut Agung, semestinya juga dimaknai tak ada pelanggaran hukum. "Dengan putusan ini, MKDKI seakan tak berguna ketika dinyatakan tidak ada pelanggaran profesi, tetapi secara hukum tetap dikenai pasal KUHP," ujarnya. (ANA)
health.kompas.com
IDI Menyayangkan Putusan Mahkamah Konstitusi
![[NEWS] MK: Dokter Tetap Dapat Dipidanakan](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2014/08/14/1547590shutterstock-124145977780x390.jpg)
JAKARTA, KOMPAS— Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi, Senin (20/4), yang menolak gugatan peninjauan kembali yang diajukan sejumlah dokter terkait dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zaenal Abidin, putusan MK semakin menegaskan bahwa aparat hukum tidak mengerti profesi kedokteran. "Itu juga terlihat dari kasus Dokter Ayu Sasiary sebelumnya, keputusan hukum tidak pasti, sudah dinyatakan bersalah, kemudian dicabut, akhirnya ditetapkan lagi hingga akhirnya dicabut lagi," kata Zaenal, Selasa (21/4).
Kasus Dokter Ayu dan kawan-kawan itulah yang menjadi latar belakang sejumlah dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Muda (DIB) mengajukan gugatan peninjauan kembali (judicial review) atas Pasal 66 Ayat 3 UU Praktik Kedokteran pada 29 Januari 2015. Dalam pasal tersebut memuat unsur pidana atas praktik kedokteran.
Pasal pidana berupa sanksi kurungan 10 bulan pernah dikenai kepada Dokter Ayu beserta dua rekannya, (Dokter Hendry Simanjuntak dan Dokter Hendy Siagian), atas kasus meninggalnya pasien yang mereka tangani. Namun, keputusan peninjauan kembali Mahkamah Agung kembali membebaskan mereka.
Menurut Zaenal, seharusnya penegakan hukum yang diterapkan terhadap profesi kedokteran sama dengan profesi lainnya, yakni penegakan hukum berjenjang, bukan bersamaan. Dalam arti semua kasus kedokteran harus melewati aturan kode etik dan kedisiplinan profesi kedokteran. Selama tidak ada unsur pidana pada kasus, tidak harus diintervensi pengadilan umum.
Ia mencontohkan pada kasus Dokter Ayu, seharusnya diselesaikan di tingkat Majelis Kehormatan Etika Kedokteran atau Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), bukan di ranah pengadilan umum dan dijerat dengan KUHP. Menurut Zaenal, dalam kasus tersebut tidak ada unsur kesengajaan untuk membunuh, tetapi hanya risiko.
"Bukan berarti dokter itu harus kebal hukum. Tetapi, kalau terbukti ada identifikasi pidananya (kesengajaan membunuh), silakan. Adapun tuduhan kelalaian tetap masuk wilayah disiplin kedokteran," tuturnya.
Ia menambahkan, semua kasus dokter yang dipidana sudah pasti melanggar kode etik dan kedisiplinan, tetapi tidak semua pelanggaran kode etik dan kedisiplinan otomatis masuk ranah pidana.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Pembelaan Anggota PB IDI N Nazar, persoalan substansial pada putusan MK yang tidak berkeadilan adalah dengan memasukkannya unsur keputusan tambahan berupa pelibatan MKDKI dalam proses penyidikan lanjutan pengadilan. Padahal, menurut Nazar, kewenangan MKDKI dalam keputusan hanya memutuskan kedisiplinan dokter yang sifatnya sanksi administratif.
"Sebelum-sebelumnya semua keputusan MKDKI itu mengikat dan final. Kecuali ketika ada unsur pidana baru diserahkan sepenuhnya kepada penegak hukum," ujar Nazar.
Keputusan MKDKI bukan mengurangi hak pasien untuk memperkarakan persoalannya hingga ke pengadilan sebab ranah pidana tergantung dari pasien. Namun, dengan keputusan tambahan MK tersebut, itu berarti pengadilan bisa memidanakan kasus meski tanpa persetujuan pasien.
"Kami (IDI) akan terus mengupayakan upaya-upaya hukum atas persoalan ini meski kami tahu keputusan MK final dan mengikat. Dalam waktu dekat, selain berupaya meluruskan informasi, kami juga akan mengomunikasikan dengan legislatif yang menangani persoalan kesehatan," tutur Nazar. (B11)
health.kompas.com
MK Putuskan Dokter Bisa Dipenjara Tanpa Rekomendasi MKDKI
![[NEWS] MK: Dokter Tetap Dapat Dipidanakan](https://dl.kaskus.id/images.detik.com/customthumb/2015/04/20/10/gedungmk1.jpg?w=460)
Jakarta- Impian para dokter untuk tidak mudah dipidana seperti yang dialami oleh dr Ayu pada tahun 2014 lalu kandas. Mahkamah Konstitusi (MK) mengunci rapat-rapat keinginan dokter supaya bisa dipidana berdasarkan rekomendasi dewan etik kedokteran.
"Menolak permohonan untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (20/4/2015).
Gugatan ini diajukan oleh sekumpulan dokter. Mereka meminta MK membatalkan pasal 66 ayat 3 UU Praktik Kedokteran. Alasannya, karena pasal itulah para dokter bisa langsung diadukan dan dipidana tanpa melewati rekomendasi Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Tapi majelis MK berkata lain. Menurut Arief, pasal 66 ayat 3 tetap diperlukan demi memenuhi hak hukum para pasien. Arief juga menganggap pasal tersebut demi menjaga marwah dan martabat para dokter.
"Mahkamah memahami bahwa sanksi pidana terhadap profesi dokter atau dokter gigi memang ditujukan untuk melindungi dokter, pasien serta stake holder lainnya," ucap Arief.
Atas putusan itu, dr Agung Saptahadi, perwakilan Dokter Indonesia Bersatu, mengatakan, putusan MK menandakan peran MKDKI menjadi tidak ada. Putusan para hakim MK, menurut dr Agung bisa membuat para dokter ketakutan untuk mengambil tindakan penting kepada pasien.
"Misalnya dokter yang melakukan pembedahan lalu beresiko potensi komplikasi dan meninggal itu akan bisa dikenakan seperti pasal pembunuhan," kata dr Agung kecewa.
Gugatan yang diajukan awal 2014 ini dilatar belakangi kasus dr Ayu yang sempat dipenjara lewat vonis kasasi yang diputus hakim agung Artdijo Alkotsar. Atas vonis inilah, para dokter merasa takut dipidana dengan mudah. Vonis Artidjo itu lalu dianulir di tingkat peninjauan kembali (PK).
Akhiri hari anda dengan menyimak beragam informasi penting dan menarik sepanjang hari ini, di "Reportase Malam" pukul 01.30 WIB, hanya di Trans TV
news.detik.com
Quote:
![[NEWS] MK: Dokter Tetap Dapat Dipidanakan](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2014/12/12/1547111Dokter-Australia780x390.jpg)
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sejumlah dokter yang mempersoalkan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran. Alasannya, ketentuan pelaporan pidana atau gugatan perdata yang bisa dilayangkan pasien bertujuan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan umumnya.
Demikian putusan Mahkamah Konstitusi pada pengujian konstitusionalitas Pasal 66 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Uji materi diajukan sejumlah dokter muda yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu antara lain Agung Sapta Hadi, Yadi Permana, dan Irwan Khresnamurti.
Pasal 66 Ayat (3) UU No 29/2004 berbunyi "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan (2) tak menghilangkan hak tiap orang melaporkan dugaan tindak pidana pada pihak berwenang".
Menurut pemohon, pasal itu membuka interpretasi luas terhadap tindakan kedokteran dan dengan penafsiran luas membuat pelanggaran kedisiplinan seorang dokter jadi kasus pidana. Itu menimbulkan ketakutan kalangan dokter untuk mengambil tindakan kepada pasien yang berisiko tinggi ataupun dalam kondisi darurat karena bisa dipersalahkan akibat kelalaian yang menyebabkan pasien meninggal.
Melindungi hak pasien
Namun, MK tak sependapat dengan hal tersebut. Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan MK, Senin (20/4), di Jakarta, menyatakan, pelaporan secara pidana dan/atau gugatan perdata tetap perlu untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan. Itu juga untuk melindungi hak pasien jika tindakan dokter atau dokter gigi dinyatakan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) melanggar disiplin profesi kedokteran dan merugikan pasien.
Proses pidana atau gugatan perdata pada perkara kedokteran, lanjut Alim, menurut Pasal 66 Ayat (3) UU Praktik Kedokteran, harus dimaknai dengan menjadikan ilmu kedokteran, khususnya kode etik dan disiplin profesi kedokteran, sebagai rujukan penanganan. Oleh karena itu, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang harus mendengarkan pendapat dari pihak kompeten di bidang tersebut.
Alim menambahkan, hal serupa harus dilakukan ketika aparat hukum menafsirkan peraturan terkait dengan tindakan dokter atau dokter gigi. Hal tersebut juga mesti diterapkan dalam penilaian terhadap tindakan yang dilakukan.
Pelaksanaan peradilan yang menjadikan ilmu kedokteran sebagai salah satu rujukan dalam mengadili dokter dan/atau dokter gigi yang diduga melakukan malapraktik dinilai telah membatasi risiko yang harus ditanggung dokter ataupun dokter gigi dari pelaporan pidana atau gugatan perdata.
"Artinya, dalam proses pengadilan, akan tertutup kemungkinan dijatuhkan sanksi pidana dan/atau perdata kepada dokter ataupun dokter gigi yang tindakan medisnya dinyatakan MKDKI telah sesuai atau tak melanggar disiplin profesi kedokteran," kata Alim.
Menanggapi putusan tersebut, Agung Sapta Hadi mengungkapkan kekecewaannya. Putusan MK itu tetap membuat dokter ketakutan mengambil tindakan medis karena bisa dibawa ke ranah pidana. Padahal, belum tentu kesalahan tersebut merupakan bentuk kesengajaan dan di luar disiplin profesi kedokteran.
Jika dokter dinyatakan tak bersalah melanggar etik profesi oleh MKDKI, lanjut Agung, semestinya juga dimaknai tak ada pelanggaran hukum. "Dengan putusan ini, MKDKI seakan tak berguna ketika dinyatakan tidak ada pelanggaran profesi, tetapi secara hukum tetap dikenai pasal KUHP," ujarnya. (ANA)
health.kompas.com
IDI Menyayangkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Quote:
![[NEWS] MK: Dokter Tetap Dapat Dipidanakan](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2014/08/14/1547590shutterstock-124145977780x390.jpg)
JAKARTA, KOMPAS— Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi, Senin (20/4), yang menolak gugatan peninjauan kembali yang diajukan sejumlah dokter terkait dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zaenal Abidin, putusan MK semakin menegaskan bahwa aparat hukum tidak mengerti profesi kedokteran. "Itu juga terlihat dari kasus Dokter Ayu Sasiary sebelumnya, keputusan hukum tidak pasti, sudah dinyatakan bersalah, kemudian dicabut, akhirnya ditetapkan lagi hingga akhirnya dicabut lagi," kata Zaenal, Selasa (21/4).
Kasus Dokter Ayu dan kawan-kawan itulah yang menjadi latar belakang sejumlah dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Muda (DIB) mengajukan gugatan peninjauan kembali (judicial review) atas Pasal 66 Ayat 3 UU Praktik Kedokteran pada 29 Januari 2015. Dalam pasal tersebut memuat unsur pidana atas praktik kedokteran.
Pasal pidana berupa sanksi kurungan 10 bulan pernah dikenai kepada Dokter Ayu beserta dua rekannya, (Dokter Hendry Simanjuntak dan Dokter Hendy Siagian), atas kasus meninggalnya pasien yang mereka tangani. Namun, keputusan peninjauan kembali Mahkamah Agung kembali membebaskan mereka.
Menurut Zaenal, seharusnya penegakan hukum yang diterapkan terhadap profesi kedokteran sama dengan profesi lainnya, yakni penegakan hukum berjenjang, bukan bersamaan. Dalam arti semua kasus kedokteran harus melewati aturan kode etik dan kedisiplinan profesi kedokteran. Selama tidak ada unsur pidana pada kasus, tidak harus diintervensi pengadilan umum.
Ia mencontohkan pada kasus Dokter Ayu, seharusnya diselesaikan di tingkat Majelis Kehormatan Etika Kedokteran atau Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), bukan di ranah pengadilan umum dan dijerat dengan KUHP. Menurut Zaenal, dalam kasus tersebut tidak ada unsur kesengajaan untuk membunuh, tetapi hanya risiko.
"Bukan berarti dokter itu harus kebal hukum. Tetapi, kalau terbukti ada identifikasi pidananya (kesengajaan membunuh), silakan. Adapun tuduhan kelalaian tetap masuk wilayah disiplin kedokteran," tuturnya.
Ia menambahkan, semua kasus dokter yang dipidana sudah pasti melanggar kode etik dan kedisiplinan, tetapi tidak semua pelanggaran kode etik dan kedisiplinan otomatis masuk ranah pidana.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Pembelaan Anggota PB IDI N Nazar, persoalan substansial pada putusan MK yang tidak berkeadilan adalah dengan memasukkannya unsur keputusan tambahan berupa pelibatan MKDKI dalam proses penyidikan lanjutan pengadilan. Padahal, menurut Nazar, kewenangan MKDKI dalam keputusan hanya memutuskan kedisiplinan dokter yang sifatnya sanksi administratif.
"Sebelum-sebelumnya semua keputusan MKDKI itu mengikat dan final. Kecuali ketika ada unsur pidana baru diserahkan sepenuhnya kepada penegak hukum," ujar Nazar.
Keputusan MKDKI bukan mengurangi hak pasien untuk memperkarakan persoalannya hingga ke pengadilan sebab ranah pidana tergantung dari pasien. Namun, dengan keputusan tambahan MK tersebut, itu berarti pengadilan bisa memidanakan kasus meski tanpa persetujuan pasien.
"Kami (IDI) akan terus mengupayakan upaya-upaya hukum atas persoalan ini meski kami tahu keputusan MK final dan mengikat. Dalam waktu dekat, selain berupaya meluruskan informasi, kami juga akan mengomunikasikan dengan legislatif yang menangani persoalan kesehatan," tutur Nazar. (B11)
health.kompas.com
MK Putuskan Dokter Bisa Dipenjara Tanpa Rekomendasi MKDKI
Quote:
![[NEWS] MK: Dokter Tetap Dapat Dipidanakan](https://dl.kaskus.id/images.detik.com/customthumb/2015/04/20/10/gedungmk1.jpg?w=460)
Jakarta- Impian para dokter untuk tidak mudah dipidana seperti yang dialami oleh dr Ayu pada tahun 2014 lalu kandas. Mahkamah Konstitusi (MK) mengunci rapat-rapat keinginan dokter supaya bisa dipidana berdasarkan rekomendasi dewan etik kedokteran.
"Menolak permohonan untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (20/4/2015).
Gugatan ini diajukan oleh sekumpulan dokter. Mereka meminta MK membatalkan pasal 66 ayat 3 UU Praktik Kedokteran. Alasannya, karena pasal itulah para dokter bisa langsung diadukan dan dipidana tanpa melewati rekomendasi Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Tapi majelis MK berkata lain. Menurut Arief, pasal 66 ayat 3 tetap diperlukan demi memenuhi hak hukum para pasien. Arief juga menganggap pasal tersebut demi menjaga marwah dan martabat para dokter.
"Mahkamah memahami bahwa sanksi pidana terhadap profesi dokter atau dokter gigi memang ditujukan untuk melindungi dokter, pasien serta stake holder lainnya," ucap Arief.
Atas putusan itu, dr Agung Saptahadi, perwakilan Dokter Indonesia Bersatu, mengatakan, putusan MK menandakan peran MKDKI menjadi tidak ada. Putusan para hakim MK, menurut dr Agung bisa membuat para dokter ketakutan untuk mengambil tindakan penting kepada pasien.
"Misalnya dokter yang melakukan pembedahan lalu beresiko potensi komplikasi dan meninggal itu akan bisa dikenakan seperti pasal pembunuhan," kata dr Agung kecewa.
Gugatan yang diajukan awal 2014 ini dilatar belakangi kasus dr Ayu yang sempat dipenjara lewat vonis kasasi yang diputus hakim agung Artdijo Alkotsar. Atas vonis inilah, para dokter merasa takut dipidana dengan mudah. Vonis Artidjo itu lalu dianulir di tingkat peninjauan kembali (PK).
Akhiri hari anda dengan menyimak beragam informasi penting dan menarik sepanjang hari ini, di "Reportase Malam" pukul 01.30 WIB, hanya di Trans TV
news.detik.com
Diubah oleh pukpukhijau 22-04-2015 20:10
0
3.2K
Kutip
14
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan