Angin berhembus sepo-sepoi membasuh rambut soerang perempuan paruh baya. Dengan keringat menetes yang bercucuran dari dahi kemudian mengalir membasahi. Tangan perempuan sangat terampil dalam memotong irisan daun bawang sambil sesekali menengok ke arah kompor untuk memastikan api masih tetap pada kondisi yang diinginkan. Bunyi irisan bawangnya memecah keheningan malam itu.

Jam didapurnya menunjukkan pukul 03.30 WIB. Jam dimana seharusnya orang untuk beristirahat namun tidak dengan Tutik(49).
Baginya jam yang menunjukkan pukul 03.30 WIB itu merupakan awal baginya untuk bekerja. Menyiapkan segala sesuatu sebelum mulai berjualan. Beliau adalah seorang penjual lontong balap di daerah Pasar Krian. Makanan yang identik dengan Kota Surabaya itu menjadi mata pencahariannya untuk membantu sang suami guna mencukupi kebutuhan sehari-hari. Perempuan berambut hitam lurus itu menuturkan bahwa sebelum berangkat untuk berjualan,beliau menyiapkan semuanya saat dini hari. Saat semua orang beristirahat.

Kalau tidak dipersiapkan dini hari maka beliau pasti kepayahan pada pagi harinya dan juga jam pulang beliau akan bertambah. Yang biasanya sampai jam 9,maka kalau telat bangun bisa sampai jam 11 siang. “Kalau jam segitu lontong balap rasanya kurang enak,dan tidak cocok apalagi di Pasar Krian ini panas kalok siang hari” tutur beliau. Beliau juga menuturkan bahwa membuat lontong balap itu sangat lama dan menguras tenaga. “Untuk lontongnya saya buat sendiri,kalok beli itu pendapatan yang nanti didapat terlalu sedikit dan belum tentu bisa untuk bisa beli lontong lagi esok hari”.

Proses pembuatan lontong sangat sulit dan perlu kerelaan yang luar biasa hebat. Dimulai dengan mencuci beras dilanjutkan dengan membuat bungkus lontong yang dibuat dari daun pisang kemudian beras yang dicuci itu dimasukkan kedalam bungkusnya selanjutnya ditutup kemudian dimasak dalam air selama 4 jam. “Biasanya saya kukus lontong selama 4 jam,namun sekarang saya sudah ndak lagi karena saya sudah pakek alat untuk mempresto biar lebih cepat ” tegas beliau. Pembuatan lontong itu dibuat ketika sore hari atau sepulang berjualan.

Kemudian beliau melanjutkan pekerjaan beliau untuk memasak bagi keluarganya untuk makan malam dan melaksanakan tugas-tugas lain layaknya ibu rumah tangga biasa. Kemudian pada dini harinya beliau bangun jam 03.00 WIB untuk membuat bumbu dan memasak petis yang merupakan bahan khas dalam makanan ini. Kemudian beliau juga harus membuat lento,menggoreng tahu,membuat sarapan,mencuci piring serta alat-alat lain. Membuat lento itu bukan lah hal yang mudah.

Orang pikir bahwa menghancurkan kacang dengan blender bisa mempersingkat waktu namun sebetulnya tidak karena proses menghancurkan kacang lento secara manual dengan menggunakan cobek jauh lebih tradisional dan menghasilkan cita rasa sendiri. Semua hal itu beliau lakukan sendiri tanpa bantuan suami dan anak-anaknya yang pada jam tersebut masih tidur. Jerih payah seorang Ibu guna mencukupi dan memberikan kehidupan bagi sang anak nampak jelas dari aktifitas sang Ibu 49 tahun ini. Semoga beliau mendapat kebahagian yang luar biasa atas pengorbanan ini. Sungguh tak terbayangkan betapa panjangnya cerita dan pengorbanan yang terselip dibalik lezat lontong balap.