- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Negara Ketinggalan Kereta


TS
faisaleffendi
Negara Ketinggalan Kereta
Tidak berlebihan bila dikatakan Indonesia negara ketinggalan kereta. Moda transportasi darat itu, di negeri ini, dulu acap terlambat.
Perumpamaan ketinggalan kereta pun menunjukkan betapa parahnya tingkat kelambanan negara ini dalam merespons perubahan sosial.
Tengoklah ketika negara-negara lain sejak lama menggunakan gas dari pipa, sebagian besar rakyat di sini masih mengonsumsi gas dari tabung.
Ketika rakyat di negara-negara lain tinggal memutar keran ketika hendak menggunakan gas, rakyat di sini masih harus menggotong gas dalam tabung sebelum mengonsumsinya sebagai bahan bakar.
Semua itu terjadi karena kita lamban membangun infrastruktur pipa gas. Kita, kata Menko Perekonomian Sofyan Djalil, terlalu lama asyik menggunakan anggaran negara untuk subsidi BBM, bukan membangun infrastruktur energi.
Lihat pula bagaimana negara ini lamban membangun transportasi massal. Jakarta memang sedang sibuk membangun moda raya terpadu (MRT). Namun, banyak negara lain sudah memiliki itu sejak 20 tahun silam. Kita pun, yang katanya negara maritim, baru belakangan ramai mewacanakan tol laut.
Negara lain yang bukan negara maritim sudah memanfaatkan laut sebagai sarana transportasi.
Di Jepang, penggunaan transportasi laut untuk mengangkut barang dari Tokyo ke Miyagi yang berjarak 720 kilometer sudah sebesar 52%. Di Norwegia, penggunaan transportasi laut untuk mengangkut barang dari Rorvik ke Bodo yang berjarak 550 kilometer telah mencapai 48%.
Di sini, penggunaan transportasi laut untuk mengangkut barang dari Jakarta ke Surabaya yang berjarak 800 kilometer cuma 9%. Belum lagi ihwal ketersediaan listrik. Kita masih memakai energi fosil untuk menggerakkan pembangkit listrik. Negara lain sudah menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir. Di antara 10 negara berpenduduk besar, cuma Indonesia yang tak punya PLTN. Kelambanan tersebut menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Ujung-ujungnya rakyat juga yang harus membayarnya.
Jika ada gas pipa, rakyat cukup merogoh kocek Rp60 ribu. Dengan elpiji tabung 12 kilogram, rakyat membayar Rp150 ribu. Kelambanan muncul karena secara politik kemauan pemerintah lemah.
Pemerintah cenderung memikirkan popularitas politik di mata publik ketika hendak menjalankan kebijakan. Selain itu, secara ekonomi ada yang diuntungkan dengan kelambanan itu.
Sebagai contoh, penggunaan gas dalam tabung menguntungkan pembuat tabung, agen, atau pengecer. Contoh lain, sangat terbatasnya transportasi massal menguntungkan industri otomotif.
Secara kultural masih lekatnya budaya biar lambat asal selamat juga berkontribusi bagi kebiasaan kelambanan. Kita tidak khawatir akan ketinggalan kereta karena yakin masih ada kereta yang akan lewat. Padahal, perubahan sosial yang cepat tak akan menunggu kita, kecuali kita mengejarnya.
Karena itu, kita tak punya kemewahan berleha-leha dan terus berwacana karena kita sudah terlalu jauh tertinggal kereta. Kita butuh pemerintahan yang teguh pendirian, yang lututnya tak lekas goyah karena opini ketika hendak menjalankan kebijakan, sejauh itu maslahat buat masa depan rakyat. Kita juga butuh pelaku ekonomi yang tak cuma mau meraup keuntungan pribadi sesaat. Kita butuh pelaku ekonomi yang memikirkan keuntungan ekonomi jangka panjang bagi rakyat.
Kita semua mesti memulai budaya cepat, tepat, maslahat. Hanya dengan itu, kita sebagai bangsa sanggup mempercepat langkah dan tak lagi ketinggalan kereta.
Perumpamaan ketinggalan kereta pun menunjukkan betapa parahnya tingkat kelambanan negara ini dalam merespons perubahan sosial.
Tengoklah ketika negara-negara lain sejak lama menggunakan gas dari pipa, sebagian besar rakyat di sini masih mengonsumsi gas dari tabung.
Ketika rakyat di negara-negara lain tinggal memutar keran ketika hendak menggunakan gas, rakyat di sini masih harus menggotong gas dalam tabung sebelum mengonsumsinya sebagai bahan bakar.
Semua itu terjadi karena kita lamban membangun infrastruktur pipa gas. Kita, kata Menko Perekonomian Sofyan Djalil, terlalu lama asyik menggunakan anggaran negara untuk subsidi BBM, bukan membangun infrastruktur energi.
Lihat pula bagaimana negara ini lamban membangun transportasi massal. Jakarta memang sedang sibuk membangun moda raya terpadu (MRT). Namun, banyak negara lain sudah memiliki itu sejak 20 tahun silam. Kita pun, yang katanya negara maritim, baru belakangan ramai mewacanakan tol laut.
Negara lain yang bukan negara maritim sudah memanfaatkan laut sebagai sarana transportasi.
Di Jepang, penggunaan transportasi laut untuk mengangkut barang dari Tokyo ke Miyagi yang berjarak 720 kilometer sudah sebesar 52%. Di Norwegia, penggunaan transportasi laut untuk mengangkut barang dari Rorvik ke Bodo yang berjarak 550 kilometer telah mencapai 48%.
Di sini, penggunaan transportasi laut untuk mengangkut barang dari Jakarta ke Surabaya yang berjarak 800 kilometer cuma 9%. Belum lagi ihwal ketersediaan listrik. Kita masih memakai energi fosil untuk menggerakkan pembangkit listrik. Negara lain sudah menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir. Di antara 10 negara berpenduduk besar, cuma Indonesia yang tak punya PLTN. Kelambanan tersebut menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Ujung-ujungnya rakyat juga yang harus membayarnya.
Jika ada gas pipa, rakyat cukup merogoh kocek Rp60 ribu. Dengan elpiji tabung 12 kilogram, rakyat membayar Rp150 ribu. Kelambanan muncul karena secara politik kemauan pemerintah lemah.
Pemerintah cenderung memikirkan popularitas politik di mata publik ketika hendak menjalankan kebijakan. Selain itu, secara ekonomi ada yang diuntungkan dengan kelambanan itu.
Sebagai contoh, penggunaan gas dalam tabung menguntungkan pembuat tabung, agen, atau pengecer. Contoh lain, sangat terbatasnya transportasi massal menguntungkan industri otomotif.
Secara kultural masih lekatnya budaya biar lambat asal selamat juga berkontribusi bagi kebiasaan kelambanan. Kita tidak khawatir akan ketinggalan kereta karena yakin masih ada kereta yang akan lewat. Padahal, perubahan sosial yang cepat tak akan menunggu kita, kecuali kita mengejarnya.
Karena itu, kita tak punya kemewahan berleha-leha dan terus berwacana karena kita sudah terlalu jauh tertinggal kereta. Kita butuh pemerintahan yang teguh pendirian, yang lututnya tak lekas goyah karena opini ketika hendak menjalankan kebijakan, sejauh itu maslahat buat masa depan rakyat. Kita juga butuh pelaku ekonomi yang tak cuma mau meraup keuntungan pribadi sesaat. Kita butuh pelaku ekonomi yang memikirkan keuntungan ekonomi jangka panjang bagi rakyat.
Kita semua mesti memulai budaya cepat, tepat, maslahat. Hanya dengan itu, kita sebagai bangsa sanggup mempercepat langkah dan tak lagi ketinggalan kereta.
0
2.2K
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan