- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Gayatri dan Doa


TS
metva
Gayatri dan Doa
Selamat pagi, siang, malam para penghuni SFTH. Ijinkan saya berbagi cerpen karangan sahabat saya yang terinspirasi dari kisah nyata beliau.
Gayatri dan Doa
Quote:
Suatu malam di New Selo sebuah tempat di lereng gunung merapi, malam itu udara begitu dingin, cerahnya langit membuat ku dapat melihat galaksi bima sakti dengan jelas sekali, jauh di bawah lereng terlihat kelap kelip lampu yang berasal dari perumahan warga. Seperti tak terasa sudah sepuluh menit saya terduduk sendiri beralaskan matras.
Tebalnya jaket ini tidak menghalangi dinginnya udara sekitar , hingga akhirnya kuputuskan untuk mengumpulkan ranting ranting yang mengering, lalu ku tumpuk dan ku bakar hingga nyalanya api unggun mengusir dingin ini.
“Aha, untung bawa teko” lalu ku keluarkan teko itu dari tas dan juga beberapa saset teh dan jahe bakar yang telah kusiapkan dari rumah.
Beratapkan bintang malam, sambil mendengar alunan lagu Untuk Perempuan Yang Sedang di Pelukan yang mendayu-dayu ditelingaku, dan ditemani hangat nya teh jahe yang baru saja matang,lalu ku berkata ”ah nikmatnya malam ini”.
Mungkin hal seperti ini tak akan ku dapatkan jika saja aku tak pindah dari jakarta, banyak sekali kenangan indah di sana. Tapi kota dimana ibu ku berasal, menawarkan warna yang berbeda, keunikan budaya nya, ramah masyarakatnya, ragam masakan nya, indah alamnya, membuat kuterbuai dan tak mau pulang ke sibuknya Jakarta tercinta. “Anda bisa menemukan Jakarta di Solo, tapi tidak sebaliknya” mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan kota ini.
Seakan tak mau kalah dengan indahnya galaksi bima sakti, sesekali bintang jatuh muncul, menambah syahdunya malam ini, malam dimana satu tahun yang lalu, dia meninggalkan ku begitu saja tanpa alasan, “arrghhh!” Mengenangnya tak sepadan dengan rusak nya mood ku malam ini.
Satu jam, dua jam, tak terasa waktu berlalu begitu cepat, seakan tak rela malam ini berkhir begitu saja dari hadapanku, irama alam merapi dan penghuni nya bersahutan seakan berbisik pada ku, “dakilah aku! dakilah aku!’’. Sebuah godaan buat ku menikmati indahnya Golden Sunrise di puncak merapi, “lain waktu!” gumam ku, mengingat peralatan yang ku bawa tidaklah lengkap.
Rasanya tak mungkin aku menolaknya, “ mari silahkan”.
Sulit untuk memulai obrolan, hingga dia menanyakan asalku, “ dari mana mas? “, “dari Solo” jawabku. Kemudian ku ulurkan tangan ku sambil mengatakan namaku, lalu dia mengatakan nama nya “gayatri”, “nama yang indah” jawabku, senyum indah pun terbentuk di wajah manisnya. tanpa banyak basa basi saya mengambil gelas dan menuangkan sisa teh jahe yang sebelumnya ku buat.
Pembicaraan semakin hangat walaupun dingin nya malam tak terhindarkan, “wah sudah jam dua pagi!” dia berkata, “ada apa?” tanyaku, dengan penuh semangat dia menjawab “Setahun yang lalu, tepat jam 2 pagi aku berdoa di sini, aku minta agar tahun depan, di tempat ini, aku dapat dipertemukan dengan seseorang yang mungkin akan menjadi jodoh ku”. Pemintaan yang bodoh gumam ku, tapi cuma aku yang ada di sini bersamanya, dan aku tertawa kecil.
Sesekali dia bercerita tentang bagaimana rasa sayang dan rindu pada ibu nya , dia berpesan pada saya “ jangan sia-siakan waktu bersama ibu mu yah, itu waktu yang harus kamu manfaatkan sebaik mungkin”, lalu ia berkata “aku kangen ibu” sambil ia meneteskan air mata.
Hingga menjelang subuh dia pun pulang dan berpamitan dengan ku, dan diapun pergi menghilang, gayatri sempat memberikanku nomor handphone nya, mungkin aku akan menghubunginya sesampainya di Solo.
Kumandang adzan subuh, memanggilku untuk berbenah, setelah beberapa menit, saya menyalakan motor dan turun dan mencari musholah terdekat untuk menunaikan ibadah shubuh.
Mentaripun kian menunjukan sinarnya, seakan tak mau kehilangan momen, saya bergegas mencari spot terbaik untuk menikmati sunrise, dan di sebuah tempat benama tikungan irung petruk saya berhenti, tikungan dimana ada ruang yang cukup untuk memarkirkan motor dan menikmati terbitnya sang mentari, ditemani sisa teh jahe panas yang ada di termos lumayan menghangatkan badanku.
Semua tampak indah, terbitnya mentari membuat lereng lereng gunung menjadi berwarna keemasan, tiba-tiba ku teringat gayatri, tidak ada salahnya ku menelpon dia untuk sekedar basa basi menanyakan kabar atau apalah.
Beberapa kali nada tunggu berdering, “halo selamat pagi, dengan siapa ya? Ada yang bisa di bantu?”, suara wanita paruh baya menyapa, lalu ku jawab, “saya teman nya Gayatri, bisa bicara dengan nya”, tiba-tiba, dengan nada sedih wanita itu bicara ” saya ibunya Gayatri, dia sudah meninggal sebulan yang lalu, dia kecelakaan motor di tikungan petruk”, sontak aku kaget! Mungkin ini cuma guyonan yang gayatri buat.
Seminggu kemudian aku menyempatkan untuk datang ke alamat yang ibu nya berikan, dia tampak tegar walau kenyataan begitu berat, anak tunggalnya harus pergi mendahuluinya. Akupun diantarkan ke makam nya, nampak sebuah pusara indah di atas bukit, dan dia bercerita semua tentang gayatri semasa hidupnya. Seakan tak mau menambah kepedihannya, mungkin akan lebih baik ku simpan semua cerita waktu itu.
Gayatri, ibumu baik baik saja
Tebalnya jaket ini tidak menghalangi dinginnya udara sekitar , hingga akhirnya kuputuskan untuk mengumpulkan ranting ranting yang mengering, lalu ku tumpuk dan ku bakar hingga nyalanya api unggun mengusir dingin ini.
“Aha, untung bawa teko” lalu ku keluarkan teko itu dari tas dan juga beberapa saset teh dan jahe bakar yang telah kusiapkan dari rumah.
Beratapkan bintang malam, sambil mendengar alunan lagu Untuk Perempuan Yang Sedang di Pelukan yang mendayu-dayu ditelingaku, dan ditemani hangat nya teh jahe yang baru saja matang,lalu ku berkata ”ah nikmatnya malam ini”.
Mungkin hal seperti ini tak akan ku dapatkan jika saja aku tak pindah dari jakarta, banyak sekali kenangan indah di sana. Tapi kota dimana ibu ku berasal, menawarkan warna yang berbeda, keunikan budaya nya, ramah masyarakatnya, ragam masakan nya, indah alamnya, membuat kuterbuai dan tak mau pulang ke sibuknya Jakarta tercinta. “Anda bisa menemukan Jakarta di Solo, tapi tidak sebaliknya” mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan kota ini.
Seakan tak mau kalah dengan indahnya galaksi bima sakti, sesekali bintang jatuh muncul, menambah syahdunya malam ini, malam dimana satu tahun yang lalu, dia meninggalkan ku begitu saja tanpa alasan, “arrghhh!” Mengenangnya tak sepadan dengan rusak nya mood ku malam ini.
Satu jam, dua jam, tak terasa waktu berlalu begitu cepat, seakan tak rela malam ini berkhir begitu saja dari hadapanku, irama alam merapi dan penghuni nya bersahutan seakan berbisik pada ku, “dakilah aku! dakilah aku!’’. Sebuah godaan buat ku menikmati indahnya Golden Sunrise di puncak merapi, “lain waktu!” gumam ku, mengingat peralatan yang ku bawa tidaklah lengkap.
Rasanya tak mungkin aku menolaknya, “ mari silahkan”.
Sulit untuk memulai obrolan, hingga dia menanyakan asalku, “ dari mana mas? “, “dari Solo” jawabku. Kemudian ku ulurkan tangan ku sambil mengatakan namaku, lalu dia mengatakan nama nya “gayatri”, “nama yang indah” jawabku, senyum indah pun terbentuk di wajah manisnya. tanpa banyak basa basi saya mengambil gelas dan menuangkan sisa teh jahe yang sebelumnya ku buat.
Pembicaraan semakin hangat walaupun dingin nya malam tak terhindarkan, “wah sudah jam dua pagi!” dia berkata, “ada apa?” tanyaku, dengan penuh semangat dia menjawab “Setahun yang lalu, tepat jam 2 pagi aku berdoa di sini, aku minta agar tahun depan, di tempat ini, aku dapat dipertemukan dengan seseorang yang mungkin akan menjadi jodoh ku”. Pemintaan yang bodoh gumam ku, tapi cuma aku yang ada di sini bersamanya, dan aku tertawa kecil.
Sesekali dia bercerita tentang bagaimana rasa sayang dan rindu pada ibu nya , dia berpesan pada saya “ jangan sia-siakan waktu bersama ibu mu yah, itu waktu yang harus kamu manfaatkan sebaik mungkin”, lalu ia berkata “aku kangen ibu” sambil ia meneteskan air mata.
Hingga menjelang subuh dia pun pulang dan berpamitan dengan ku, dan diapun pergi menghilang, gayatri sempat memberikanku nomor handphone nya, mungkin aku akan menghubunginya sesampainya di Solo.
Kumandang adzan subuh, memanggilku untuk berbenah, setelah beberapa menit, saya menyalakan motor dan turun dan mencari musholah terdekat untuk menunaikan ibadah shubuh.
Mentaripun kian menunjukan sinarnya, seakan tak mau kehilangan momen, saya bergegas mencari spot terbaik untuk menikmati sunrise, dan di sebuah tempat benama tikungan irung petruk saya berhenti, tikungan dimana ada ruang yang cukup untuk memarkirkan motor dan menikmati terbitnya sang mentari, ditemani sisa teh jahe panas yang ada di termos lumayan menghangatkan badanku.
Semua tampak indah, terbitnya mentari membuat lereng lereng gunung menjadi berwarna keemasan, tiba-tiba ku teringat gayatri, tidak ada salahnya ku menelpon dia untuk sekedar basa basi menanyakan kabar atau apalah.
Beberapa kali nada tunggu berdering, “halo selamat pagi, dengan siapa ya? Ada yang bisa di bantu?”, suara wanita paruh baya menyapa, lalu ku jawab, “saya teman nya Gayatri, bisa bicara dengan nya”, tiba-tiba, dengan nada sedih wanita itu bicara ” saya ibunya Gayatri, dia sudah meninggal sebulan yang lalu, dia kecelakaan motor di tikungan petruk”, sontak aku kaget! Mungkin ini cuma guyonan yang gayatri buat.
Seminggu kemudian aku menyempatkan untuk datang ke alamat yang ibu nya berikan, dia tampak tegar walau kenyataan begitu berat, anak tunggalnya harus pergi mendahuluinya. Akupun diantarkan ke makam nya, nampak sebuah pusara indah di atas bukit, dan dia bercerita semua tentang gayatri semasa hidupnya. Seakan tak mau menambah kepedihannya, mungkin akan lebih baik ku simpan semua cerita waktu itu.
Gayatri, ibumu baik baik saja



anasabila memberi reputasi
1
3.2K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan