spoofiAvatar border
TS
spoofi
Bukittinggi, Kota Sejuk Berseri yang Nempel di Hati

Kota ini merupakan kota wisata yang memiliki beberapa tempat menarik.


Sehari Menyusuri Kota Sejuk Berseri



Bukittinggi merupakan kota wisata yang memiliki beberapa tempat menarik yang tersebar di penjuru kota. Mulai dari bentang alam yang menawan, taman kota yang monumental, hingga bangunan-bangunan unik yang menjadi landmark kota. Di sini, kuliner, seni, sejarah, dan kecintaan pada alam terbuka, bukanlah konsep semata, melainkan kebahagiaan ala Parijs Van Sumatra.

Cuaca di kota Bukittinggi pagi itu mendung. Sama seperti cuaca pada hari-hari sebelumnya. Kabut tipis masih menyelimuti kota, udara dingin masih sangat terasa. Sudut-sudut jalan Ahmad Karim yang ada di hadapan saya saat itu nampak lengang, deretan ruko di seberang jalan belum satu pun ada yang buka. Cuaca membuat kota ini seperti lambat memulai hari.

The Hilss Bukittinggi, hotel tempat saya menginap, terletak di lokasi yang sangat strategis. Dikelilingi berbagai objek wisata seperti Jam Gadang, Istana Bung Hatta, Kampung Cina, Benteng Fort de Kock, Taman Marga Satwa Dan Budaya Kinantan, dan juga pasar tradisional. Jaraknya berdekatan. Sehingga cukup dengan jalan kaki saja saya bisa mencapai semua tempat itu dengan mudah.



Jam gadang


Landmark Kota
Kontur jalan Kota Bukittingi cenderung berbukit. Iklimnya yang sejuk membuat saya nyaman berjalan kaki. Perjalanan dimulai dari komplek Istana Bung Hatta yang berada tepat di sebelah hotel The Hills Bukittinggi. Komplek ini memiliki pelataran cukup luas dengan dua bangunan utama, yakni Istana Bung Hatta dan Balai Bung Hatta, dan dilengkapi dengan dua patung Bung Hatta, serta taman yang asri.

Yang pertama terlihat kala melintas di depan istana Bung Hatta adalah patung Bung Hatta yang dibuat separuh badan. Warnanya kuning tembaga. Tampak menonjol di antara tanaman yang menghiasi taman istana. Arsitektur bangunan istana berciri kolonial. Di dalamnya terdapat 12 kamar berukuran luas. Sementara, Balai Sidang Bung Hatta yang berdiri di sisi istana, kini kerap digunakan sebagai tempat seminar, lokakarya dan pertemuan tingkat nasional dan regional yang representatif serta sebagai rumah tamu negara bila berkunjung ke Bukittinggi.

Dari depan istana saya menyeberang ke Menara Jam Gadang. Letaknya hanya beberapa meter dari komplek istana Bung Hatta, berdiri diatas kawasan Taman Sabai Nan Aluih. Pelatarannya cukup luas dan sering dijadikan pusat kegiatan masyarakat. Di sini terdapat taman asri yang dilengkapi dengan bangku-bangku dan fasilitas toilet bawah tanah yang memadai.


Panorama Gunung Merapi yang terlihat dari taman Jam Gadang


Ketika duduk di taman ini, nampak panorama tiga gunung sekaligus, yakni Singgalang, Merapi, dan Sago. Sebetulnya, jika ingin melihat dari tempat yang lebih tinggi, bisa masuk ke dalam menara lalu naik ke bagian paling atasnya. Pemandangan sekitar Bukittinggi akan terlihat lebih spektakuler jika dilihat dari puncak menara. Namun saya tidak mencobanya.

Jam Gadang Bukittinggi adalah jejak kenangan kolonial Belanda sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, Sekretaris Kota semasa pendudukan Belanda. Diproduksi di Recklinghausen, Jerman, pada tahun 1892.Dibangun pada 1926 dan telah mengalami beberapa kali renovasi. Jam Gadangmemiliki empat buah jam yang diletakkan pada empat sisi bangunan menara dan masing-masing jam ini berdiameter 80 cm. Ada satu hal menarik pada jam ini dalam mencantumkan angka, yang mana angka 4 dalam tulisan Romawi kuno seharusnya ditulis dengan“IV” tetapi pada Jam Gadang tertulis “IIII”. Betapa ikon kota ini tak hanya sarat sejarah, tetapi juga unik karena kekhasan ornamennya.

Pukul 9 pagi langit di atas Kota Bukittingi masih kelabu, namun keramaian kota mulai terlihat. Kuda delman mulai berbaris di taman Menara Jam Gadang, menanti wisatawan yang ingin berkeliling kota. Saya kembali berjalan, menyusuri Jalan Ahmad Yani, memunggungi landmark kota Bukittinggi.


Kawasan Pecinan


Wisata Kota
Sebagaimana di kota-kota besar lainnya di Indonesia, Bukittinggi juga memiliki kawasan Pecinan. Untuk mencapai kawasan ini saya jalan kaki sekitar 1 km dari menara Jam Gadang. Meskipun disebut sebagai Chinatown -nya Bukittinggi, namun di sini tidak terdapat bangunan yang menampakkan nuansa Cina. Keorientalan kawasan Pecinan hanya terlihat dari keberadaan bangunan Vihara Buddha Sasana yang berhiaskan ukiran naga dan didominasi warna merah. Klenteng ini berfungsi sebagai rumah ibadah sekaligus rumah duka.

Beberapa puluh meter dari Klenteng, berdiri Jembatan Limpapeh. Sebuah jembatan gantung yang hanya bisa dilintasi oleh pejalan kaki, namun memiliki arsitektur dan corak yang unik khas Minangkabau. Panjang jembatan ini 90 meter dan lebar 3,8 meter. Jembatan yang dibangun pada tahun 1995 ini menghubungkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan benteng Fort de Kock. Sehingga, untuk melintas di jembatan ini harus melalui kedua tempat tersebut.

Awalnya saya kira ada tangga untuk naik ke atas jembatan, ternyata saya harus masuk melalui Benteng Fort de Kock, tempat salah satu ujung jembatan Limpapeh berada.


Benteng Fort De Kock


Taman Monumental
Bukittinggi kental dengan sejarah peninggalan masa silam semasa pendudukan Belanda dan Jepang. Salah satunya adalah Benteng Fort de Kock. Benteng ini didirikan tahun 1825 oleh Kapten Bauer di atas Bukit Jirek Negeri, Bukit Tinggi, pada masa Baron Hendrik Merkus de Kock saat menjadi Komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Benteng Fort De Kock dibangun sebagai benteng pertahanan penjajah dalam menghadapi perlawanan rakyat Minangkabau, terutama sejak meletusnya Perang Paderi.

Bangunan benteng Fort De Kock berdiri di tengah lapangan berumput. Bangunannya sederhana. Berbentuk kubus setinggi 20 meter. Terlihat tua, kesepian, dan berlumut di beberapa bagiannya. Di ke empat sudut benteng terdapat meriam-meriam kuno yang pernah menjadi saksi perlawanan rakyat Minangkabau dalam Perang Paderi pada tahun 1821-1837. Keberadaan taman burung tropis, tempat bermain warga, dan wahana permainan untuk anak-anak, membuat kawasan benteng ini jadi ceria dan menarik.


Museum & Rumah Adat Ba'anjuang

Seusai mengelilingi kawasan benteng, saya melintasi jembatan Limpapeh, menyeberang ke Taman Marga Satwa Kinantan. Taman satwa ini merupakan kebun binatang tertua di Indonesia serta satu-satunya di Sumatera Barat. Awal mulanya di bangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1900 oleh Conteleur Gravenzande dengan nama Stompark yang artinya kebun bunga. Salah satu hewan yang menarik perhatian saya di taman ini adalah onta. Hewan yang biasanya tinggal di gurun pasir itu tampak kurus tinggal di Ranah Minang yang sejuk.

Tak hanya satwa, di taman ini juga terdapat replika Rumah Gadang (rumah adat khas Minang), yang kini berfungsi sebagai Museum Kebudayaan Minangkabau. Namanya Museum Rumah Adat Baanjuang. Museum ini berada di bawah pengelolaan Dinas Pariwisata, seni, dan kebudayaan kota Bukit Tinggi.

Beberapa koleksi museum terbagi menjadi beberapa kategori, misalnya seperti etnografi, numismatik, dan biologi. Selain itu, disini juga terdapat beberapa replika peninggalan-peninggalan sejarah kebudayaan Minangkabau dan beberapa pajangan dari hewan yang mati dan telah diawetkan. Saya sempat ditawari berfoto dengan menyewa baju adat Minang yang telah disediakan. Sayang waktu saya tak banyak, tawaran itu saya tolak. Mungkin lain waktu.


Aneka product busana bordir : Kebaya, Baju Kurung, Mukena, & Gamis

Nampang cantik di antara kebaya-kebaya cantik emoticon-Big Grin


Pasar Ateh
Setelah berkeliling selama berjam-jam, perjalanan saya tutup dengan memasuki Pasar Atas (Pasar Ateh). Di Bukittinggi, pasar ini terkenal sebagai pusat oleh-oleh. Ada beragam product yang bisa didapatkan di sini, seperti aneka kerajinan tangan, suvenir, kebaya bordir Padang, mukena bordir Padang, serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat.

Selain itu, los Lambung Pasar Ateh merupakan pusat warung nasi kapau terkenal yang ada di Bukittinggi. Jadi, di pasar inilah saya menikmati lezatnya kuliner nasi kapau, sekaligus berbelanja buah tangan.

Malam hari saat acara makan malam di hotel, kami para tamu disuguhi pertunjukan tari tradisional Minangkabau, yaitu Tari Piring. Makin lengkaplah kebahagiaan saya hari itu. Setelah siangnya menjelajah Kota Bukittinggi, menikmati kuliner khas, malamnya dihibur oleh gerakan para penari yang diiringi hentakan musik tradisional yang memukau. Pengalaman berwisata di Bukittinggi terasa sangat berkesan.

Spoiler for Sumber:
0
3K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan