- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Wakaliwood, Kisah Film Uganda Menaklukkan Dunia Dengan Film Action Berbudget Rendah


TS
asp-boi
Wakaliwood, Kisah Film Uganda Menaklukkan Dunia Dengan Film Action Berbudget Rendah
Intro :
Quote:
*kalau ada thread yang judulnya mirip, maaf ya, ini isinya agak beda kok, jangan dibully*
Mungkin ada yang pernah melihat trailer film ini :
Atau ini :
Namun, apakah kalian tahu bagaimana cerita sebenarnya dari film tersebut? Disini, seorang reporter mencoba untuk membukanya. (sumber)
Mungkin ada yang pernah melihat trailer film ini :

Atau ini :

Namun, apakah kalian tahu bagaimana cerita sebenarnya dari film tersebut? Disini, seorang reporter mencoba untuk membukanya. (sumber)
Artikel (perhatian, bakal sangat panjang, namun menarik untuk disimak, jadi luangkan waktu kalian)
Quote:
Spoiler for part 1:
Quote:
Pada akhir tahun 2011, Alan Hofmanis sedang duduk di bar East Village dengan teman lamanya, mencoba untuk memperbaiki hidupnya. Dua hari sebelumnya, sang pacar mencampakkan dirinya setelah Alan membeli cincin pertunangannya
. Sebelumnya, pria 41 tahun ini telah menghabiskan hidupnya bekerja membuat film, namun dia tidak mengikuti jalur yang jelas, namun ia membenamkan dirinya ke dalam sinematografi, art direction dan sound editing. Pada umur 17 tahun, ia tidur di stasiun kereta bawah tanah Queens untuk mengikuti magang sebagai personal assistant di sebuah acara TV. Pada umur 20an, ia pergi ke Adirondacks dan tidur di mobilnya selama sebulan sebagai bagian dari Lake Placid FIlm Festival. Ia kemudian menjadi organizer festival film, namun dengan kegelisahan. Kini pada paruh bayanya, ia tak punya tujuan yang jelas, kurang pengalaman dengan teknologi film digital, dan tidak memiliki pasangan.
Berharap untuk menyenangkan Hofmanis, seorang temannya, pekerja NGO yang telah menghabiskan waktunya di Uganda, mengambil smartphone miliknya dan memainkan trailer film berjudul Who Killed Captain Alex yang diproduksi dengan dana $200 oleh Isaac Nabwana, pendiri perusahaan film aksi Uganda, Ramon Film Productions (RFP). FIlm itu adalah film yang sangat "gila" dimana para komandan menyerang geng bandar narkoba yang kejam bernama Tiger Mafia, dengan menggunakan ilmu beladiri dan senjata-senjata berat. Ketika syuting, para karakter mengeluarkan kabut darah CGI, seperti kematian dalam video game. Hofmanis berpikir itu seperti Buster Keaton versi Afrika.

Berharap untuk menyenangkan Hofmanis, seorang temannya, pekerja NGO yang telah menghabiskan waktunya di Uganda, mengambil smartphone miliknya dan memainkan trailer film berjudul Who Killed Captain Alex yang diproduksi dengan dana $200 oleh Isaac Nabwana, pendiri perusahaan film aksi Uganda, Ramon Film Productions (RFP). FIlm itu adalah film yang sangat "gila" dimana para komandan menyerang geng bandar narkoba yang kejam bernama Tiger Mafia, dengan menggunakan ilmu beladiri dan senjata-senjata berat. Ketika syuting, para karakter mengeluarkan kabut darah CGI, seperti kematian dalam video game. Hofmanis berpikir itu seperti Buster Keaton versi Afrika.
Spoiler for part 2:
Quote:
"Ketika kau sedang membedah film, apalagi film yang Anda tidak ketahui sama sekali, ada dua hal yang Anda lihat," tutur Hofmanis. "Apa yang mereka lakukan, dan bagaimana mereka melakukannya? Biasanya Anda melihat sesuatu yang sangat halus namun tidak terlalu menarik. Yang Anda harapkan adalah yang sebaliknya."
Setelah melihat trailer film tersebut selama 50 detik, ia memutuskan untuk pergi ke Uganda. Ia telah menabung $16,000 untuk pernikahan dan bulan madu, dan menyimpan frequent-flier miles miliknya dan waktu liburan dari pekerjaan film-programming dirinya. Pada malam itu ia membeli tiket ke Kampala, ibukota Uganda, seharga $1,450.
Setelah melihat trailer film tersebut selama 50 detik, ia memutuskan untuk pergi ke Uganda. Ia telah menabung $16,000 untuk pernikahan dan bulan madu, dan menyimpan frequent-flier miles miliknya dan waktu liburan dari pekerjaan film-programming dirinya. Pada malam itu ia membeli tiket ke Kampala, ibukota Uganda, seharga $1,450.
Spoiler for poster:

Poster untuk film "Who Killed Captain Alex"
Spoiler for part 3:
Quote:
Pada hari pertamanya di Kampala—kota padat berpenduduk 1.2 juta jiwa—Hofmanis pergi ke pasar Owino, bazaar besar yang diatapi payung, jauh dari rute para turis Barat yang melewati kota itu untuk menuju Safari. Ia berencana mencari Nabwana, namun ia butuh waktu untuk orientasi sebelum memulai perburuannya. Ia tak punya petunjuk dimana Nabwana tinggal dan tak yakin apa yang ia inginkan bila menemuinya.
Tiba-tiba, dari kerumunan orang tersebut, ia menemui penjual DVD dengan kaos RFP.
Ia di garis akhir, pikir Hofmanis. Dan aku ada di garis 50 yard. (note : Ini mungkin mengacu pada American Football)
Ia berlari melewati kios-kios yang sempit untuk menemui orang asing tersebut—berpikir untuk meminta uang dari mzungu (istilah lokal untuk orang Barat berkulit putih) adalah sebuah masalah—berlari ke arah sebaliknya.
Hofmanis memojokkan orang tersebut, dan setelah membuat jaminan (bahwa sang penjual bukan penjual DVD bajakan dan Hofmanis bukanlah agen Interpol), penujal teresebut mengaku bahwa ia tahu diamana Nabwana tinggal. Keduanya kemudian menaiki boda-boda (semacam ojek atau becak motor) melewati daerah Kampala yang padat.
Tiba-tiba, dari kerumunan orang tersebut, ia menemui penjual DVD dengan kaos RFP.
Ia di garis akhir, pikir Hofmanis. Dan aku ada di garis 50 yard. (note : Ini mungkin mengacu pada American Football)
Ia berlari melewati kios-kios yang sempit untuk menemui orang asing tersebut—berpikir untuk meminta uang dari mzungu (istilah lokal untuk orang Barat berkulit putih) adalah sebuah masalah—berlari ke arah sebaliknya.
Hofmanis memojokkan orang tersebut, dan setelah membuat jaminan (bahwa sang penjual bukan penjual DVD bajakan dan Hofmanis bukanlah agen Interpol), penujal teresebut mengaku bahwa ia tahu diamana Nabwana tinggal. Keduanya kemudian menaiki boda-boda (semacam ojek atau becak motor) melewati daerah Kampala yang padat.
Quote:
Hofmanis tiba di rumah Nabwana, memanggilnya dari pintu depan yang terbuka, dan berteriak dengan kata-kata yang ia latih saat menaiki motor tadi : "Hai, namaku Alan, Aku dari New York City, dan ingin bicara denganmu."
Nabwana, pria ramah bertutur lebut berusia 38 tahun, menyapanya dengan jabat tangan yang acuh tak acuh seperti saat mzungu muncul di rumahnya setiap hari.
Dan kemudian Hofmanis mengetahui bahwa dua pembuat dokumenter Perancis yang baru saja tiba sebelumnya (mereka membuat film tentang perfilman Afrika dan berhenti di rumahnya sebagai kunjungan). Ketika empat orang tersebut berbicara canggung di studio, Hofmanis merasa terganggu dengan dua orang Perancis tersebut memakai kata "film pribumi" untuk menggambarkan film Nabwana, dimana ia merasa Captain Alex hanya menarik sebagai catatan antropologis, bukan film.
Ketika dua orang tersebut pulang, Hofmanis dan Nabwana berbicara tentang film. Hofmansi menyerangnya dengan pertanyaan tentang perlengkapan, distribusi, estetika dan pengaruh. Ia terkejut untuk mengetahui bahwa Who Killed Captain Alex merupakan satu dari 20 film yang Nabwana buat dibawah bantuan perusahaan produksinya (karena Nabwana tidak punya software untuk mengarsipkan filmnya, ia kehilangan angka jumlah film yang ia buat). Hofmanis mengetahui bahwa RFP merupakan sebuah studio penuh.
Sejak perusahaan dibentuk pada 2005, film Nabwana telah dilihat oleh ratusan bahkan ribuan penonton Afrika. Walau fim tersebut tak bisa dilihat penonton diluar Uganda, trailer Youtube Captain Alex telah ditonton 2 juta kali. Membuat film untuk penonton besar dengan dana kecil memaksa Nabwana menggunakan teknik-teknik yang inovatif. Sepuluh film aksi pertamanya, menggunakan darah sapi

Dua orang tersebut berbicara selama lima jam. Pada suatu titik, Nabwana menceritakan kepada Hofmanis rencana masa depannya untuk karya selanjutnya dimana Presiden Obama mengunjungi Uganda dan diculik para kanibal. Tema ini berhubungan dengan karya RFP lain, namun proyek ini adalah bukti dari ambisi Nabwana yang besar : Ia perlu helikopter asli, walaupun satu jam dari masa terbang tersebut lebih besar dari dana semua film RFP.
"Kau tahu," Hofmanis berkata, "Coppola memiliki masalah yang sama dengan helikopter di Apocalypse Now."
Nabwana tersenyum dan berkata "Siapa Coppola?"
Spoiler for part 4:
Quote:
Spoiler for katogo:

Kagolo, atau "Katogo" (tercampur) dengan tampilan seperti kanibal. Foto oleh Frédéric Noy.
Bagian ini adalah cerita dari sang penulis artikel, Sam McPheeters.
November lalu, saya mengunjungi Nabwana di Uganda. Wakaliga, daerah Kampala dimana ia tinggal dan bekerja, dibelah oleh Sir Albert Cook Road, jalan arteri yang penuh minivan, truk dan boda-boda. Bau diesel sangat tercium di sini. Di jalan tak bernama yang menuju RFP, bau knalpot berganti dengan bau perkampungan: asap, sampah, saluran air. Parit terbuka mengalir sejajar dengan jalan ini, mengular melalui lingkungan hingga terpecah ke sungai yang berisi kotoran cair.
Tempat Nabwana berada pada daerah paling rendah dan paling rentan banjir di Wakaliga. Nabwana membuat rumah utamanya sendiri dengan batu abta yang ia buat sendiri (Ia mewarisi rumah tersebut dari sang kakek). Di luar pintu masuk luar adalah dapur terbuka. Nabwana dan sang istri, Harriet, berbagi tempat tidur dengan tiga anaknya, dan mertua mereka tinggal di ruangan lain. Semua di rumah tersebut berbagi toilet. Tidak ada air mengalir di situ.
Di luar rumahnya ada sepetak tanah yang merupakan tempat rehearsal, studio rekaman, empat kamar untuk penghuni dan pondok kecil berisi besi tua. Di seberangnya ada tempat sampah yang berisi hewan mati, popok dan sampah medis—dimana sepetak daun singkong hijau menjadi penyeimbang warna pemukiman yang didominasi merah dan coklat. Agak jauh dari sana, ada Mutundwe Hill, pemukiman kaya yang dikabarkan merupakan rumah pangeran Uganda. Di sana selalu ada listrik yang mengalir, namun tidak dengan Wakaliga yang kadang listriknya padam.
Nabwana menyapa saya di rumahnya, rumah bata satu lantai yang berwarna sama dengan tanah di sekitarnya. Janggut kecilnya menutupi mukanya yang muda dan matanya yang berat membuatnya terlihat lelah. Setelah membiarkannya beberapa menit berbicara, saya mengerti bahwa orang ini tampak mendapat kepercayaan diri yang tak terbatas, bahkan penampilannya menandakan dirinya sebagai self-promoter yang tak lelah. Pada setiap pagi saat kunjungan saya, Nabwana memakai baju polo biru-putih RFP. Slogan studio tersebut—"The Best of the Best Movies!"—merefleksikan kepercayaan dirinya.
Kami masuk rumahnya untuk menyelamatkan diri dari matahari khatulistiwa yang panas. Listrik telah padam beberapa hari, dan perlu beberapa saat untuk saya untuk menyesuaikan mata. Ia terlihat ceria walaupun listrik padam.
"Ada tantangan lain," tuturnya. "Setidaknya saat ini, listrik mulai stabil. Kau dapat menggunakannya selama seminggu!"
Kekacauan di studionya mengejutkan saya. Beberapa sofa bobrok yang menghadap meja dengan bagian komputer, buku, hard drive, pakaian, dan perlengkapan yang rusak dan juga banyak benda yang tak berhubungan yang nantinya menjadi properti di filmnya. Namun ada saja tempat yang bisa dipakai untuk komputer Acer miliknya. Jendela di dalam rumahnya memiliki palang di dalam kacanya dan ia selalu tidur dengan video camera dan CPU dibawah tempat tidurnya.
"Pada pagi hari, tidak ada masalah. Pada malamnya, itulah dimana masalah muncul."
Di tumpukan kertas didekat komputer, saya melihat mainan assault rifle di bungkusan plastik yang bertuliskan "rapid gun". Itu adalah hadiah dari orang asing; kadang orang datang untuk menyumbangkan senapan mainan yang dipakai di filmnya. Studio tersebut memiliki loker yang berisi snejata palsu, yang telah berumur dan rusak setelah beberapa tahun dipakai dalam adegan aksi.
"Bila kami membuatnya lebih berat, sangat mudah untuk para aktor untuk memperlihatkan bahwa ini nyata," tutur Nabwana tentang penggunaan senajta metal sebagai properti. "Namun kalau kau membuatnya ringan, tidak. Makanya sekarang kita tidak menggunakan senjata plastik. Kita membelinya untuk mendapat modelnya, lalu meniru dan memodifikasinya." Dari cetakan yang didasarkan dari mainan murah, studio membuat replika senjata metal mereka sendiri. Nabwana menirukan penggunaan senjata metal buatan. Membuat para aktor menirukan gestur tersebut dengan senjata yang kurang baik adalah pekerjaan yang tidak perlu.
Spoiler for part 5:
Spoiler for poster:

Artis dari Ramon Film Production, Henry The Barbarian.
Quote:
Nabwana tumbuh di rezim Idi Amin, yang membunuh 100 hingga 500 ribu rakyat Uganda dari 1971 hingga 1979. Ketika pemerintah Inggris menutup hubungan diplomatik dengan Amin, ia menambahkan "CBE" yang berarti :Conqueror of the British Empire" pada gelarnya. Namun Nabwana, dimana kakeknya dulu adalah petani yang memiliki tanah dimana RFP berada sekarang selamat dari kekerasan tersebut dengan keberuntungan yang besar.
Pengetahuan Nabwana tentang peperangan muncul dari acara televisi Amerika. Tumbuh di dekat Wakaliga, ia menonton Hawaii FIve-0 dan Logan's Run pada malam hari di televisi keluarganya dimana saat itu listrik sedang tidak di puncak pemakaian dan lebih dapat diandalkan. Sebagai remaja, ia membuat sketsa Chuck Norris—aktor yang ia kenal dari coretan jalanan—bertarung bersama tokoh besar Uganda. Film pertama yang menumbuhkan imajinasinya adalah film tahun 1978, WIld Geese, film aksi-petualangan Inggris tentang tentara bayaran tua di Afrika Tengah. Namun ia tak pernah menonton film itu, tutur Nabwana, namun mendengarkan saudaranya menjelaskan tentang cerita film tersebut. Inilah sinema sebagai sejarah yang menyebar dari mulut.
Setelah turunnya Amin dari kekuasaan pada 1979, televisi lokal berhenti menayangkan acara tengah malam, dan menggantinya dengan pidato Milton Obote yang diturunkan Amin delapan tahun sebelumnya. Era kedua Obote akan dikenal dengan perang saudara yang dimulai oleh Yoweri Museveni yang mengudeta Obote pada 1986 dan menjadi presiden hingga saat ini.Walau keluarga Nabwana kembali selamat dari kekerasan tersebut, kakeknya dianggap mendukung pemberontak dan keluarganya hampir bangkrut. Hasilnya, Nabwana harus menggali pasir untuk membayar sekolahnya. Pada tahun-tahun tersebut ia melihat tentara pemerintah berpatroli di sekitar Kampala, berpose satu sama lain seperti Arnold Schwarzengger dengan senjata asli.
Nabawana melihat dirinya sebagai artis, dan masuknya dia dalam dunia film sangat alami. Kesulitan ekonomi di era remajanya membuatnya sangat bergantung pada diri sendiri, dan membuatnya mudah untuk belajar hal-hal seperti membuat bata dan mengelas. Setelah pernikahan dan anak pertamanya, ia melihat film sebagai kesempatan artistik dan juga finansial. Tidak ada pencerahan baginya. Ia hanya mengambil dua kelebihan dari posis tersebut. Pertama, ia memiliki sumberdaya mental yang diperlukan untuk menyutradarai. Dan kedua, adanya pasar untuk film aksi dan horror Uganda yang tertutupi oleh film "Nollywood" dari Nigeria.
"Aku katakan," kata Nabwana, "Semua orang Uganda ingin bermain dalam film laga."
Umur 33 tahun, ia mengkuti kursus komputer selama enam bulan. Mengetahui bahwa ia hanya dapat mengikuti selama sebulan, ia mengikuti kelas lain dan membaca buku pelajarannya hingga habis. Setelah itu, ia melanjutkan sendiri, melihat internet untuk melihat tutorial. Ia membeli motherboard, prosesor dan power supply dan belajar merakit komputer dan menggunakan green screen.
Nabwana menghabiskan umur 30annya dengan membantu memroduksi dan syuting video musik. Pada 2009 ia memutuskan untuk membuat film aksi pertamanya. Ia mengumpulkan aktor dari mulut ke mulut, membuatnya mudah untuk memakai naskah yang telah ia siapkan. Berita produksi film itu menyebar dengan cepat, tidak hanya di Kampala, namun juga di kota-kota lainnya.
Untuk Who Killed Captain Alex, para aktor menyuplai kostumnya sendiri, dan biasa membelinya di pasar umum. Nabwana menggunakan semangat untuk mengimprovisasi secara konstan, menggunakan cat rumah untuk minuman alkohol dan dongkrak mobil untuk kaki tiga kamera videonya. Jika dia tidak memiliki orang yang cukup untuk adegan seperti adegan penyerangan, ia menaruh topeng pada salah satu aktor dan menggunakan orang yang sama pada pengambila gambar lain. Pembuatan film dengan senapan mainan membuat penduduk yang lewat merasa takut, dan Nabwana belajar untuk mengambil gambar dengan cepat di lokasi film. Film tersebut diambil dan diedit pada Januari 2010.
Kekerasan bersenjata di Captain Alex, seperti di film Nabwana lain, dimaksudkan untuk memiliki arti komedi. Penonton Barat pun akan mengerti maksud tersebut di menit-menit awal. Walaupun ia kadang mereferensikan adegan militer yang ia lihat semasa remaja, pengaruh dari dirinya sangatlah sinematik : Aksi dari Barat dan beladiri dari Timur.
Tidak banyak penonton lokal yang mengetahui kiasan era Obote. Median umur di Uganda adalah 15.5 tahun, dan Nabwana secara spesifik menyasar penonton muda. Kebanyakan rakyat Uganda (termasuk semua aktor RFP kecuali satu) tumbuh setelah masa kekerasan Idi Amin dan perang saudara. Sebelum Captain Alex, film aksi Uganda tidak pernah ada karena dana, bukan karena ketakutan mengulang trauma yang telah ada.
Kalian bisa lihat, dengan dana tak sampai 2 juta rupiah pun mereka bisa membuat film panjang yang menghibur. Sesuatu yang harusnya dicontoh pembuat film lokal. Semoga saja industri film kita bisa seperti ini...
Kickstarter : https://www.kickstarter.com/projects...dio-wakaliwoo/
Di link tersebut kalian juga bisa melihat film Captain Alex secara gratis.
Diubah oleh asp-boi 08-03-2015 12:51
0
9.4K
Kutip
35
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan