- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
(KOMANDO!!) Mengenang Operasi Woyla, Penyergapan Teroris Jihad Pertama di RI


TS
the.barbarossaa
(KOMANDO!!) Mengenang Operasi Woyla, Penyergapan Teroris Jihad Pertama di RI
(KOMANDO!!) Mengenang Keberhasilan Operasi Woyla, Penyergapan Teroris Jihad Pertama di RI

Jakarta - Tepat 34 tahun yang lalu di hari dan
tanggal yang sama, operasi Woyla dilakukan oleh
Kopassus. Saat itu hari Sabtu, 28 Maret 1981 adalah
tonggak sejarah keberhasilan personel Kopassus
membebaskan sandera pembajakan pesawat oleh
teroris pertama yang dilakukan di Thailand.
Seperti dilansir dari berbagai sumber, kala itu 5
orang teroris yang dipimpin oleh Imran bin
Muhammad membajak pesawat Garuda Indonesia
jurusan Jakarta-Medan. Mereka yang
mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok
Islam ekstremis Komando Jihad naik dari Bandara
Palembang saat pesawat transit.
Para pembajak yang menyamar sebagai
penumpang lalu menyuruh pilot pesawat DC-9
Woyla itu, Kapten Pilot Herman Rante dan Kopilot
Hedhy Djuantoro, untuk terbang menuju Kolombo,
Sri Langka. Namun karena bahan bakar terbatas,
pesawat lalu transit di Bandara Penang, Malaysia,
untuk isi bahan bakar.
"Tuntutan mereka agar temen-temannya
dibebaskan," cerita Komandan Penanggulangan
Teror Kopassus, Satuan 81 Kolonel Inf Thevi Zebua
di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Sabtu
(28/3/2015).
Sebelum pembajakan terjadi, beberapa anggota
Komando Jihad memang ditahan pasca Peristiwa
Cicendo di Bandung, Jawa Barat. Saat itu 14 orang
dari kelompok radikal tersebut membunuh 4
personel polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981
dinihari.
Total ada 48 penumpang di dalam pesawat yang
dibajak ditambah 5 kru, termasuk 3 pramugari.
Mereka membacakan tuntutannya yakni: 80
anggota Komando Jihad yang menjadi tahanan
politik dibebaskan, uang senilai USD 1,5 juta, orang
Israel dikeluarkan dari Indonesia, dan Adam Malik
dicopot sebagai wakil presiden.
Teroris juga meminta pesawat Woyla terbang ke
Timur Tengah mengantar mereka beserta tahanan
yang dibebaskan. Mereka mengaku telah
memasang bom dan akan meledakan diri bersama
pesawat berserta penumpang jika tuntutannya
tidak dikabulkan.
Sehari setelah tersiarnya kabar pembajakan,
pembebasan sandera dilakukan oleh Komado
Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang
merupakan nama Kopassus saat itu. Operasi
dikomandoi oleh mantan Panglima TNI Jenderal
Benny Moerdani yang saat itu menjabat sebagai
Kepala Pusat Intelijen Strategis. Setelah mendapat
perintah untuk menyiapkan pasukan, Benny
langsung menghubungi Asrama Kopasandha yang
diterima oleh sang asisten operasi, Letkol Sintong
Panjaitan.
"Waktu itu zamannya pak Benny Moerdani. Pilot
Garuda melaporkan adanya pembajakan pesawat
oleh teroris," kata Thevi.
Saat peristiwa tersebut terjadi, Indonesia belum
memiliki pengalaman dalam menangani terorisme
pembajakan pesawat. Setelah melakukan pelatihan
dengan meminjam pesawat Garuda, pada Minggu,
29 Maret 1981 malam, 35 anggota Kopassandha
bertolak ke Bandara Don Muang, Thailand, tempat
pesawat yang dibajak terakhir mendarat.
Operasi pembebasan sandera itu sempat menuai
protes dari Amerika Serikat (AS). Dubes AS kala itu,
Edward Masters menghubungi Benny Moerdani dan
meminta agar operasi militer tersebut dibatalkan
terlebih dahulu dan menunggu bantuan. Benny
dengan tegas menolaknya. AS khawatir karena ada
warga negaranya yang berada di dalam pesawat
yang dibajak itu.
"Maaf pak, tapi ini sepenuhnya adalah
permasalahan yang dihadapi Indonesia. Ini pesawat
udara Indonesia," tutur Benny menjawab
permintaan AS seperti ditirukan Thevi. Ia juga
menegaskan bahwa Indonesia berhak mengambil
segala langkah untuk meringkus para pembajak
tanpa perlu meminta izin dari negara lain.
Pemimpin CIA di Thailand juga waktu itu
menawarkan untuk memberi pinjaman rompi anti
peluru namun ditolak karena pasukan Kopassandha
telah membawa perlengkapan sendiri. Pesawat
Garuda DC-10 yang membawa pasukan
Kopassandha mendarat di Bandara Don Muang
setelah mendapat clearance dari Thailand dengan
menyamar sebagai pesawat Garuda yang baru
terbang dari Eropa.
Pasukan tak bisa langsung menyergap para teroris
dan menyelamatkan sandera, sebab pemerintah
Thailand tak langsung memberikan izin. Akhirnya
clearance diberikan usai Benny bertemu dengan
Perdana Menteri Thailand saat itu, Prem
Tinsulanonda. Meski deadlock sempat terjadi dalam
perundingan, Indonesia bersikeras menyelesaikan
sendiri pembajakan yang terjadi.
Sintong yang pada saat itu sedang terluka di bagian
kakinya, memutuskan terjun ke lapangan untuk
membantu anak buahnya melakukan operasi
pembebasan sandera. Ia bahkan membuang
tongkat penyangga kakinya. Sebelum operasi
dilakukan, pasukan kembali melakukan latihan di
mana seorang pilot Garuda berkontribusi memberi
informasi mengenai bagian-bagian pesawat.
Salah seorang penumpang yang menjadi sandera,
WN Inggris, berhasil keluar melalui pintu darurat
dengan selamat karena para pembajak sudah mulai
lelah. Sementara itu seorang WN Amerika yang
juga berusaha menyelamatkan diri tertembak
teroris dan tersungkur di aspal. Pembajak pun
marah besar.
Selasa, 31 Maret 1981 dinihari, pasukan yang
terbagi menjadi 3 tim mulai mendekati pesawat
yang dibajak. Mereka berbaring di lantai mobil,
bersama Benny yang tiba-tiba masuk dan ikut
dalam operasi. Sintong pun kaget karena hal
tersebut di luar skenario sebelumnya.
Di tengah deretan pasukan berseragam berbaret
merah, Benny mengenakan pakaian preman dengan
tangan memegang pistol. Sintong pun sempat
memerintahkan anak buahnya agar mengeluarkan
perwira tinggi 3 bintang itu demi keamanannya.
Namun tak ada yang berani.
Dari kesaksian penumpang, serbuan dimulai dalam
kegelapan malam di mana pasukan mendobrak
semua pintu kabin pesawat dari luar. Baku tembak
pun riuh terdengar dan membangunkan para
penumpang yang sedang terlelap.
Salah satu anggota pasukan bernama Achmad
Kirang dan Kapten Pilot Herman Rante tertembak
dalam operasi pembebasan sandera ini. Setelah
beberapa hari mendapat perawatan medis, nyawa
keduanya tak dapat diselamatkan. Mereka pun
dimakamkan di TMP Kalibata.
"Pak Achmad pangkatnya saat itu Peltu. Tapi
karena dia gugur dalam tugas, dapat Bintang Sakti
langsung jadi Perwira, kenaikan pangkat luar bisa 2
tingkat, anumerta," jelas Thevi.
Drama penyanderaan tersebut akhirnya dapat
diakhiri setelah 60 jam berlangsung. Di bawah
pimpinan Sintong, pasukan Grup 1 Para-Komado
Kopassandha berhasil menyelamatkan seluruh
penumpang. Tiga orang pembajak tewas seketika,
2 lainnya meninggal beberapa saat usai ditembak.
Namun pimpinan teroris, Imran bin Muhammad Zein
selamat dan ditangkap. Ia pun lantas dihukum mati.
Usai penyerbuan singkat itu, Benny lalu
menghubungi Kepala Bakin (sekarang BIN) Jenderal
Yoga Sugomo melalui kokpit pesawat. Ia
menginformasikan bahwa operasi telah selesai
dijalankan. Sejumlah negara pun memberikan
apreasiasi tinggi terhadap keberhasilan Indonesia
tersebut.
"Sekarang kalau direfleksikan, untuk generasi
penerus harus mempersiapkan segala sesuatu
dalam menghadapi aksi teror," tukas Thevi.
Sementara Asintel Kopassus, Kolonel Inf Rafael G
Baay menyatakan Operasi Wolya merupakan
sejarah keberhasilan yang membuat pasukan
Indonesia tak lagi dipandang sebelah mata oleh
negara-negara maju.
"Itu yang menempatkan kita jadi nomor 3 terbaik di
dunia. Belum lagi operasi-operasi lainnya seperti di
Papua tahun 1997. Itu bagian dari tugas kita," ucap
Rafael di lokasi yang sama.
Mengenang Keberhasilan Operasi
Woyla, Penyergapan Teroris Jihad
Pertama di RI
Quote:

Jakarta - Tepat 34 tahun yang lalu di hari dan
tanggal yang sama, operasi Woyla dilakukan oleh
Kopassus. Saat itu hari Sabtu, 28 Maret 1981 adalah
tonggak sejarah keberhasilan personel Kopassus
membebaskan sandera pembajakan pesawat oleh
teroris pertama yang dilakukan di Thailand.
Seperti dilansir dari berbagai sumber, kala itu 5
orang teroris yang dipimpin oleh Imran bin
Muhammad membajak pesawat Garuda Indonesia
jurusan Jakarta-Medan. Mereka yang
mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok
Islam ekstremis Komando Jihad naik dari Bandara
Palembang saat pesawat transit.
Para pembajak yang menyamar sebagai
penumpang lalu menyuruh pilot pesawat DC-9
Woyla itu, Kapten Pilot Herman Rante dan Kopilot
Hedhy Djuantoro, untuk terbang menuju Kolombo,
Sri Langka. Namun karena bahan bakar terbatas,
pesawat lalu transit di Bandara Penang, Malaysia,
untuk isi bahan bakar.
"Tuntutan mereka agar temen-temannya
dibebaskan," cerita Komandan Penanggulangan
Teror Kopassus, Satuan 81 Kolonel Inf Thevi Zebua
di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Sabtu
(28/3/2015).
Sebelum pembajakan terjadi, beberapa anggota
Komando Jihad memang ditahan pasca Peristiwa
Cicendo di Bandung, Jawa Barat. Saat itu 14 orang
dari kelompok radikal tersebut membunuh 4
personel polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981
dinihari.
Total ada 48 penumpang di dalam pesawat yang
dibajak ditambah 5 kru, termasuk 3 pramugari.
Mereka membacakan tuntutannya yakni: 80
anggota Komando Jihad yang menjadi tahanan
politik dibebaskan, uang senilai USD 1,5 juta, orang
Israel dikeluarkan dari Indonesia, dan Adam Malik
dicopot sebagai wakil presiden.
Teroris juga meminta pesawat Woyla terbang ke
Timur Tengah mengantar mereka beserta tahanan
yang dibebaskan. Mereka mengaku telah
memasang bom dan akan meledakan diri bersama
pesawat berserta penumpang jika tuntutannya
tidak dikabulkan.
Sehari setelah tersiarnya kabar pembajakan,
pembebasan sandera dilakukan oleh Komado
Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang
merupakan nama Kopassus saat itu. Operasi
dikomandoi oleh mantan Panglima TNI Jenderal
Benny Moerdani yang saat itu menjabat sebagai
Kepala Pusat Intelijen Strategis. Setelah mendapat
perintah untuk menyiapkan pasukan, Benny
langsung menghubungi Asrama Kopasandha yang
diterima oleh sang asisten operasi, Letkol Sintong
Panjaitan.
"Waktu itu zamannya pak Benny Moerdani. Pilot
Garuda melaporkan adanya pembajakan pesawat
oleh teroris," kata Thevi.
Saat peristiwa tersebut terjadi, Indonesia belum
memiliki pengalaman dalam menangani terorisme
pembajakan pesawat. Setelah melakukan pelatihan
dengan meminjam pesawat Garuda, pada Minggu,
29 Maret 1981 malam, 35 anggota Kopassandha
bertolak ke Bandara Don Muang, Thailand, tempat
pesawat yang dibajak terakhir mendarat.
Operasi pembebasan sandera itu sempat menuai
protes dari Amerika Serikat (AS). Dubes AS kala itu,
Edward Masters menghubungi Benny Moerdani dan
meminta agar operasi militer tersebut dibatalkan
terlebih dahulu dan menunggu bantuan. Benny
dengan tegas menolaknya. AS khawatir karena ada
warga negaranya yang berada di dalam pesawat
yang dibajak itu.
"Maaf pak, tapi ini sepenuhnya adalah
permasalahan yang dihadapi Indonesia. Ini pesawat
udara Indonesia," tutur Benny menjawab
permintaan AS seperti ditirukan Thevi. Ia juga
menegaskan bahwa Indonesia berhak mengambil
segala langkah untuk meringkus para pembajak
tanpa perlu meminta izin dari negara lain.
Pemimpin CIA di Thailand juga waktu itu
menawarkan untuk memberi pinjaman rompi anti
peluru namun ditolak karena pasukan Kopassandha
telah membawa perlengkapan sendiri. Pesawat
Garuda DC-10 yang membawa pasukan
Kopassandha mendarat di Bandara Don Muang
setelah mendapat clearance dari Thailand dengan
menyamar sebagai pesawat Garuda yang baru
terbang dari Eropa.
Pasukan tak bisa langsung menyergap para teroris
dan menyelamatkan sandera, sebab pemerintah
Thailand tak langsung memberikan izin. Akhirnya
clearance diberikan usai Benny bertemu dengan
Perdana Menteri Thailand saat itu, Prem
Tinsulanonda. Meski deadlock sempat terjadi dalam
perundingan, Indonesia bersikeras menyelesaikan
sendiri pembajakan yang terjadi.
Sintong yang pada saat itu sedang terluka di bagian
kakinya, memutuskan terjun ke lapangan untuk
membantu anak buahnya melakukan operasi
pembebasan sandera. Ia bahkan membuang
tongkat penyangga kakinya. Sebelum operasi
dilakukan, pasukan kembali melakukan latihan di
mana seorang pilot Garuda berkontribusi memberi
informasi mengenai bagian-bagian pesawat.
Salah seorang penumpang yang menjadi sandera,
WN Inggris, berhasil keluar melalui pintu darurat
dengan selamat karena para pembajak sudah mulai
lelah. Sementara itu seorang WN Amerika yang
juga berusaha menyelamatkan diri tertembak
teroris dan tersungkur di aspal. Pembajak pun
marah besar.
Selasa, 31 Maret 1981 dinihari, pasukan yang
terbagi menjadi 3 tim mulai mendekati pesawat
yang dibajak. Mereka berbaring di lantai mobil,
bersama Benny yang tiba-tiba masuk dan ikut
dalam operasi. Sintong pun kaget karena hal
tersebut di luar skenario sebelumnya.
Di tengah deretan pasukan berseragam berbaret
merah, Benny mengenakan pakaian preman dengan
tangan memegang pistol. Sintong pun sempat
memerintahkan anak buahnya agar mengeluarkan
perwira tinggi 3 bintang itu demi keamanannya.
Namun tak ada yang berani.
Dari kesaksian penumpang, serbuan dimulai dalam
kegelapan malam di mana pasukan mendobrak
semua pintu kabin pesawat dari luar. Baku tembak
pun riuh terdengar dan membangunkan para
penumpang yang sedang terlelap.
Salah satu anggota pasukan bernama Achmad
Kirang dan Kapten Pilot Herman Rante tertembak
dalam operasi pembebasan sandera ini. Setelah
beberapa hari mendapat perawatan medis, nyawa
keduanya tak dapat diselamatkan. Mereka pun
dimakamkan di TMP Kalibata.
"Pak Achmad pangkatnya saat itu Peltu. Tapi
karena dia gugur dalam tugas, dapat Bintang Sakti
langsung jadi Perwira, kenaikan pangkat luar bisa 2
tingkat, anumerta," jelas Thevi.
Drama penyanderaan tersebut akhirnya dapat
diakhiri setelah 60 jam berlangsung. Di bawah
pimpinan Sintong, pasukan Grup 1 Para-Komado
Kopassandha berhasil menyelamatkan seluruh
penumpang. Tiga orang pembajak tewas seketika,
2 lainnya meninggal beberapa saat usai ditembak.
Namun pimpinan teroris, Imran bin Muhammad Zein
selamat dan ditangkap. Ia pun lantas dihukum mati.
Usai penyerbuan singkat itu, Benny lalu
menghubungi Kepala Bakin (sekarang BIN) Jenderal
Yoga Sugomo melalui kokpit pesawat. Ia
menginformasikan bahwa operasi telah selesai
dijalankan. Sejumlah negara pun memberikan
apreasiasi tinggi terhadap keberhasilan Indonesia
tersebut.
"Sekarang kalau direfleksikan, untuk generasi
penerus harus mempersiapkan segala sesuatu
dalam menghadapi aksi teror," tukas Thevi.
Sementara Asintel Kopassus, Kolonel Inf Rafael G
Baay menyatakan Operasi Wolya merupakan
sejarah keberhasilan yang membuat pasukan
Indonesia tak lagi dipandang sebelah mata oleh
negara-negara maju.
"Itu yang menempatkan kita jadi nomor 3 terbaik di
dunia. Belum lagi operasi-operasi lainnya seperti di
Papua tahun 1997. Itu bagian dari tugas kita," ucap
Rafael di lokasi yang sama.
Mengenang Keberhasilan Operasi
Woyla, Penyergapan Teroris Jihad
Pertama di RI
Diubah oleh the.barbarossaa 29-03-2015 02:09
0
6.2K
Kutip
47
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan