Kaskus

Entertainment

kenzo23Avatar border
TS
kenzo23
(Share) Kisah tragis Seorang pemimpin yang memerdekakan Bangsanya di akhir hidupnya
sore agan agan semua. ane mau share kisah memilukan yang pernah dialami Proklamator Bangsa kita, Bung Karno.
maaf bila thread ane repost.

(Share) Kisah tragis Seorang pemimpin yang memerdekakan Bangsanya di akhir hidupnya

TERUSIRNYA PRESIDEN SOEKARNO DARI ISTANA YANG SANGAT MEMILUKAN

“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan Rakyat. Dan diatas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (SOEKARNO)

Tak lama setelah mosi tidak percaya Parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk langsung Soeharto menjadi Presiden RI, Bung Karno menerima Surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.

Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginvetarisir barang barang Pribadinya. Wajah wajah Tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. “Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!”

Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. “Mana Kakak kakakmu” Kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata “Mereka pergi ke Rumah Ibu”.

Rumah Ibu yang dimaksud adalah Rumah Fatmawati yang di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi “Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang barangmu, jangan kamu ambil Lukisan atau hal lain, itu punya Negara” Kata Bung Karno.

Lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana, disana ia mengumpulkan semua Ajudan Ajudannya yang setia. Beberapa Ajudannya sudah tidak kelihatan karena para Ajudan Bung Karno sudah ditangkapi karena diduga terlibat GESTAPU. “Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan Lukisan itu, Souvernir dan macam macam barang, itu milik Negara.”

Semua Ajudan menangis saat tahu Bung karno mau pergi “Kenapa Bapak tidak melawan, kenapa dari dulu Bapak tidak melawan...” Salah satu Ajudan Separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.

“Kalian tahu apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu... keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara”. Tegas Bung Karno kepada ajudannya.

Tiba tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. “Pak kami memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agar enak dari biasanya”.

Bung Karno tertawa “Ah, Sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..”

Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju bajunya datang Perwira suruhan Orde Baru. “Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini”. Beberapa Tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan.

Mereka juga berdiri didepan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari Koran bekas dipojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah Bendera Pusaka akan diambil oleh Tentara.

Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus Bendera Pusaka dengan koran bekas, ia masukkan kedalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap Tentara tentara itu, namun beberapa Perwira mendorong tubuh Bung karno untuk keluar kamar.

Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Maulwi Saelan (Pengawal terakhir Bung Karno) dan Bung Karno menoleh ke Saelan.

“Aku pergi dulu” kata Bung Karno dengan terburu buru. “Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak” Saelan separuh berteriak.

Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, Rumah Ibu Fatmawati.

Di Rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja dipojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta Bendera Pusaka dirawat hati hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun daun dihalaman.

Kadang kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi.

Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri gadis bali untuk jalan jalan. Saat melihat Duku, Bung Karno kepengen Duku tapi dia tidak punya uang. “Aku pengen duku... Tru, sing ngelah pis, aku tidak punya uang” Nitri yang uangnya pas pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo.

Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata “Pak bawa dukunya ke orang yang ada didalam mobil”. Tukang duku itu berjalan dan mendekat kearah Bung Karno “mau pilih mana, pak manis manis nih” sahut tukang duku dengan logat betawi kental.

Bung Karno dengan tersenyum senang berkata “coba kamu cari yang enak” tukang duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak “Bapak... Bapak... Bapak... itu Bapak... Bapaak” tukang duku itu malah berlarian ke arah teman temannya dipinggir jalan “ada Pak Karno, ada Pak Karno...” mereka berlarian ke arah VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah buah pada Bung Karno.

Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam Pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tahu apa apa ini lantas digelandang Tentara gara gara dekat dengan dirinya. “Tri, berangkat... cepat” perintah Bung Karno dan ia melambaikan tangan ke rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tahu pemimpinnya dalam keadaan susah.

Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa Perwira Pro Soeharto tidak suka. Tiba tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!..

Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras keras saat tahu wajah ayahnya bengkak bengkak dan sulit berdiri.
Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.

Malamnya Rachmawati memohon pada bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. “coba aku tulis Surat Permohonan kepada Presiden” kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis Surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak anaknya.

Rachmawati adalah Puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana Rumah Soeharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada diteras rumahnya.

“Lho, Mbak Rachma ada apa?” tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam tangan Rachma, Bu Tien mengantarkan ke ruang Kerja Pak Harto.

“lho, mbak Rachma... ada apa?” kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma pun menceritakan kondisi bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Jakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawat di Wisma Yaso.

Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.

Kamar Bung Karno berantakan sekali, Jorok dan Bau. Memang ada yang merapikan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, Dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karna sama sekali tidak ada obat obatan yang bisa digunakan Bung Karno.

Ia tahu obat obatan yang ada dilaci Istana sudah dibuang atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar Mardjono hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Soekarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.

Banyak rumor beredar dimasyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberapa orang diketahui diceritakan nekat membebaskan Bung Karno.

Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.

Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke Rumah Fatmawati untuk menghadiri Pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke Rumah Istrinya itu. Wajah Bung Karno Bengkak bengkak.

Ketika tahu Bung Karno datang ke Rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong bondong ke sana sesampainya didepan rumah mereka berteriak “hidup Bung Karno... hidup Bung Karno... hidup Bung Karno...!!!”

Soekarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar Tentara menurunkan tangan Soekarno dan menggiringnya ke dalam. Bung karno paham dia adalah tahanan politik.

Masuk ke bulan februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.

Ia berteriak “sakit... sakit ya Allah... sakit...” tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai sampai ada satu Tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno didepan pintu. Kepentingan Politik tak bisa memendung rasa kemanusian, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusian itu.

Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Soeharto dan mengecam cara merawat Soekarno. Dirumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada istrinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.

“kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi Tahanan Politik” ujar istri Bung Hatta.

Hatta menoleh pada istrinya dan berkata “Soekarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Soekarno disakiti seperti ini”.

Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Soeharto untuk bertemu Soekarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.

Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan “bagaimana kabarmu, No” kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah.

Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta “Hoe gaat het met Jou?” kata Bung Karno dalam bahasa belanda – bagaimana pula kabarmu, Hatta – Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.

Dua Proklamator bangsa ini menangis, disebuah kamar bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang memerdekakan bangsa ini diakhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.

Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta dikamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.

Sumber Thread : www.islamtoleran.com
Sumber Pic : Google
0
3.4K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan